Maling Pulpen di Kelasku
Di kelasku ada banyak maling pulpen. Tapi tidak sampai dimasukan penjara dan digebukin kalau ketahuan sampai berdarah-darah seperti pembegal yang ditangkap polisi. Di sini, pulpen harus dijaga amat ketat, agar tidak ada yang kemalingan pastinya. Sampai-sampai, kautahu, aku memberi rantai yang kukaitkan langsung ke tangan sebelah kanan dan pulpenku. Khawatir aku kehilangan pulpen, sebab pulpen adalah benda untuk mencatat ilmu, isi otak dan segala hal, tanpa pulpen aku tidak bisa hidup. Aku cinta pulpen. Namun sudah berpak-pak bahkan dus pulpen yang ludes dalam sejarah aku bersekolah. Kalau dihitung-hitung dari SD sampai SMA ini, ah, entahlah berapa banyak tepatnya pulpen yang sudah raib oleh maling pulpen.
Selain pulpen, aku juga cinta pensil. Namun, pulpenlah yang lebih aku cintai. Sebab pensil bisa sahaja dihapus lalu menjadi debu dan menyatu dengan sampah. Pulpen tidak demikian, ia awet dan mudah untuk menulis di lembaran kertas. Tak usah diraut, dan tidak mudah patah. Itulah pulpen!
Banyak yang mencibirku ketika mereka tahu bahwa aku sampai merantai pulpenku, agar tidak hilang dimalingi.
''Ah, gila kamu. Pulpen saja sampai dikaitkan dengan rantai seperti itu. Takut sekali kehilangan. Bisa beli lagi toh, banyak, Din,'' teman sebangkuku, Bagas, angkat bicara.
Aku hanya menjawab dengan entengnya bak kertas dihempas angin topan,
''Biar saja. Aku-aku ini. Daripada hilang dimalingin!'' sembari kupasang wajah datar, datar sekali.
Tak hanya Bagas, banyak lagi yang lainnya ikut andil berkomentar jua.
''Pulpen saja..., sampai segitunya kamu, Din, apalagi wanita? Hahahah....''
''Apa nggak sulit itu dipakai, Din?''
''Dasar, anak bodoh!''
''Berlebihan kamu, Din.''
''Pake rantai kapal sekalian, Din.''
Aku hanya mengulas selembar senyum kepada mereka sebagai jawaban. Tak sampailah kata-kata itu hinggap di hatiku. Toh, itu hanya kata-kata. Kalau mereka sampai bermain fisik padaku. Akan kusambit dengan rantai ini. Biar saja, biar mereka rasa!
''Kamu kenapa sampai segitunya?'' tanya Bu Endah padaku pada suatu waktu, ketika pelajarannya baru dimulai.
''Bu, saya takut kehilangan pulpen lagi. Dari SD sampai SMA ini, banyaklah maling pulpen di kelas. Sampai, kalo dihitung, berdus-dus pulpen saya raib begitu saja, dimalingin, bu, pasti, ya, pasti itu dimalingin, bu...,'' jawabku penuh kejujuran dan memang jujur dari lubuk hati paling dangkal.
Bu Endah hanya diam. Beberapa detik kemudian dia mengangat bahunya--bernapas lalu menghempaskan napas itu keluar perlahan. Itu adalah bahasa tubuh yang berarti tak mau lanjut berbincang lagi dengan lawan bicaranya.
Sampai kabar ini menyebar ke kepala sekolah dan hingga media masa. Aku tetap bergeming, toh ini nggak ada salahnya kok. Kan biar nggak kemalingan.
Hingga suatu hari media masa meliputku, mengutus Bapak jurnalis dan ia bertanya padaku penuh nada tanya diam akhir bicaranya,
''Kenapa kamu pakai rantai itu untuk mengaitkan ke tangan dan pulpenmu?''
''Begini, pak, ini pulpen,'' kataku sambil mengangkat pulpen yang menyatu dengan rantai ini, ''pulpen ini saya gunakan untuk menulis ilmu yang saya dapat di sekolah. Lah kalo hilang, saya tidak bisa menuliskan ilmu? Dan, saya juga mau biar maling-maling pulpen kapok. Saya harap dengan seperti ini, makin banyak yang mengikuti saya. Untuk memberantas maling dan bisa leluasa menuliskan ilmu dengan pulpen, begitu.''
Beberapa kali Bapak yang tidak terlalau tua dan berkumis tipis itu mengiyakan dengan anggukan kecil ketika aku berujar.
''Ya, benar juga,'' sahut Bapak jurnalis, ''tapi..., apa itu tidak mengganggu belajarmu? Apa kamu tidak malu?''
''Yang mengganggu belajar saya adalah ketika pulpen itu sendiri hilang, pak..., yang membuat malu saya adalah semakin banyaknya maling pulpen di kelas.''
''Em..., baiklah. Terima kasih waktunya,'' Bapak itu senyum ramah lalu memotoku dengan kameranya. Krek.
Esoknya, teman sekelasku gembar-gembor.
''Hai si Udin masuk koran!''
''Udin masuk koran, gara-gara merantai pulpennya. Ah, memalukan saja teman kita ini!''
''Aduh, si Udin. Masuk koran.''
''Keren, Udin masuk koran..., ada fotonya juga, dia sedang berpose dengan pulpennya....''
''Udin, uuddiinnn....''
Kembali komentar mengarus begitu saja. Ya aku hanya tersenyum. Siapa tahu banyak yang terinspirasi dari karyaku: merantai pulpen dan mengaitkannya ke tangan. Biar maling pulpen kapok-sekapok-kapoknya. Biar sadar, kalau pulpen itu berharga. Jadi, jaga pulpen. Ia itu benda yang bisa digunakan untuk menuliskan ilmu, isi otakmu, dan segala hal, ya segala hal.***
Afsokhi Abdullah
Di kelas yang tak berguru, menyandar ke tembok dekat jendela. Di bangku nomor dua dari depan, tak jauh dari meja guru jua, 17 Februari 2015.
Selain pulpen, aku juga cinta pensil. Namun, pulpenlah yang lebih aku cintai. Sebab pensil bisa sahaja dihapus lalu menjadi debu dan menyatu dengan sampah. Pulpen tidak demikian, ia awet dan mudah untuk menulis di lembaran kertas. Tak usah diraut, dan tidak mudah patah. Itulah pulpen!
Banyak yang mencibirku ketika mereka tahu bahwa aku sampai merantai pulpenku, agar tidak hilang dimalingi.
''Ah, gila kamu. Pulpen saja sampai dikaitkan dengan rantai seperti itu. Takut sekali kehilangan. Bisa beli lagi toh, banyak, Din,'' teman sebangkuku, Bagas, angkat bicara.
Aku hanya menjawab dengan entengnya bak kertas dihempas angin topan,
''Biar saja. Aku-aku ini. Daripada hilang dimalingin!'' sembari kupasang wajah datar, datar sekali.
Tak hanya Bagas, banyak lagi yang lainnya ikut andil berkomentar jua.
''Pulpen saja..., sampai segitunya kamu, Din, apalagi wanita? Hahahah....''
''Apa nggak sulit itu dipakai, Din?''
''Dasar, anak bodoh!''
''Berlebihan kamu, Din.''
''Pake rantai kapal sekalian, Din.''
Aku hanya mengulas selembar senyum kepada mereka sebagai jawaban. Tak sampailah kata-kata itu hinggap di hatiku. Toh, itu hanya kata-kata. Kalau mereka sampai bermain fisik padaku. Akan kusambit dengan rantai ini. Biar saja, biar mereka rasa!
''Kamu kenapa sampai segitunya?'' tanya Bu Endah padaku pada suatu waktu, ketika pelajarannya baru dimulai.
''Bu, saya takut kehilangan pulpen lagi. Dari SD sampai SMA ini, banyaklah maling pulpen di kelas. Sampai, kalo dihitung, berdus-dus pulpen saya raib begitu saja, dimalingin, bu, pasti, ya, pasti itu dimalingin, bu...,'' jawabku penuh kejujuran dan memang jujur dari lubuk hati paling dangkal.
Bu Endah hanya diam. Beberapa detik kemudian dia mengangat bahunya--bernapas lalu menghempaskan napas itu keluar perlahan. Itu adalah bahasa tubuh yang berarti tak mau lanjut berbincang lagi dengan lawan bicaranya.
Sampai kabar ini menyebar ke kepala sekolah dan hingga media masa. Aku tetap bergeming, toh ini nggak ada salahnya kok. Kan biar nggak kemalingan.
Hingga suatu hari media masa meliputku, mengutus Bapak jurnalis dan ia bertanya padaku penuh nada tanya diam akhir bicaranya,
''Kenapa kamu pakai rantai itu untuk mengaitkan ke tangan dan pulpenmu?''
''Begini, pak, ini pulpen,'' kataku sambil mengangkat pulpen yang menyatu dengan rantai ini, ''pulpen ini saya gunakan untuk menulis ilmu yang saya dapat di sekolah. Lah kalo hilang, saya tidak bisa menuliskan ilmu? Dan, saya juga mau biar maling-maling pulpen kapok. Saya harap dengan seperti ini, makin banyak yang mengikuti saya. Untuk memberantas maling dan bisa leluasa menuliskan ilmu dengan pulpen, begitu.''
Beberapa kali Bapak yang tidak terlalau tua dan berkumis tipis itu mengiyakan dengan anggukan kecil ketika aku berujar.
''Ya, benar juga,'' sahut Bapak jurnalis, ''tapi..., apa itu tidak mengganggu belajarmu? Apa kamu tidak malu?''
''Yang mengganggu belajar saya adalah ketika pulpen itu sendiri hilang, pak..., yang membuat malu saya adalah semakin banyaknya maling pulpen di kelas.''
''Em..., baiklah. Terima kasih waktunya,'' Bapak itu senyum ramah lalu memotoku dengan kameranya. Krek.
Esoknya, teman sekelasku gembar-gembor.
''Hai si Udin masuk koran!''
''Udin masuk koran, gara-gara merantai pulpennya. Ah, memalukan saja teman kita ini!''
''Aduh, si Udin. Masuk koran.''
''Keren, Udin masuk koran..., ada fotonya juga, dia sedang berpose dengan pulpennya....''
''Udin, uuddiinnn....''
Kembali komentar mengarus begitu saja. Ya aku hanya tersenyum. Siapa tahu banyak yang terinspirasi dari karyaku: merantai pulpen dan mengaitkannya ke tangan. Biar maling pulpen kapok-sekapok-kapoknya. Biar sadar, kalau pulpen itu berharga. Jadi, jaga pulpen. Ia itu benda yang bisa digunakan untuk menuliskan ilmu, isi otakmu, dan segala hal, ya segala hal.***
Afsokhi Abdullah
Di kelas yang tak berguru, menyandar ke tembok dekat jendela. Di bangku nomor dua dari depan, tak jauh dari meja guru jua, 17 Februari 2015.
7 Comments
7 komentar
ha...ha....ha.....betul sekali bulpen tuh kalau di taruh ilang, di pinjem teman juga engga balik.... :D
Replygue tahu gimana rasanya kehilangan pulpen, apalagi itu satu-satunya. Tapi kalo sampe dirantai.... nggak deh, aku tidak sekejam itu pada pulpen. Aku tak ingin menjadi pengekangnya. *ini apa*
ReplyWkwkwk idenya antimeanstrim (y) ,, bgs2,, gara2 maling pulpen saya jadi gk pernah ngerasaiin lgi atau mendengar org yg bilang " aduh.. tinta pulpen w habiz ",,, karna sebelum tintanya habizz udh hilank duluan pulpenya -_-
Reply