CINTA ITU MENYESATKAN


Cinta itu menyesatkan, Sayang, jadi jangan bermain-main dengannya. Aku bilang begini bukan tanpa alasan dan/atau tetek bengek lainnya. Aku bilang begini memang benar-benar nyata. Ini nyata, lho ya!

Dengar.

Apa kau lupa? Kita bahkan tersesat karena cinta. Aduh, kau pasti lupa, kan? Maka untuk mengingatkan kembali, kuceritakan sahaja ya. Semoga cerita ini bisa membuka batok kepalamu agar faham benar bahwa cinta itu menyesatkan.

Sudah siap? Belum? Baiklah, siap tidak siap kuceritakan sahaja lah. Hm, sebentar, kuseruput kopiku terlebih dulu yah, biar tak mengantuk di tengah cerita kelak.

Baiklah, tetap duduk di sana, dan dengar dengan seksama ceritaku ini. Cerita tentang kita!

Kala itu kita hanya orang asing. Kemudian bertemu karena kebetulan belaka. Dari kebetulan itu, tumbuhlah bentol-bentol di hatiku. Bentol-bentol itu semakin banyak dan menyeruak. Kau tahu apa bentol-bentol itu? Yeah! Itu benih cinta!

Bagaimana tidak dengan mudah aku cinta padamu, Sayang? Bersamamu aku begitu nyaman. Kau seolah bantal guling yang selalu kuidamkan di setiap malam. Maksudku, di setiap malam aku memeluk bantal guling dan membayangkan bantal guling itu seorang perempuan yang kuidamkan. Dan bantal guling itu, kuyakin, ternyata, adalah kau!

Siapa lelaki di dunia ini yang tidak senang jika telah menemukan bantal gulingnya? Semua lelaki akan senang!

Begitulah. Aku nyaman. Kau bisa membuat ramai suasana, walau hanya ada kita berdua. Kau seperti membawa banyak nyawa, dan nyawa itu kaulepaskan ketika kita berdua. Nyawa-nyawa itu menemani kita. Nyawa-nyawa itu yang membuat kita selalu tertawa. Mereka selalu menghibur kita di setiap pertemuan.

Sebelumnya, aku adalah lelaki yang larut dalam sepi. Ibarat laut, sepiku sudah sampai di kedalaman yang paling dalam. Sepi yang paling sepi! Yang paling hitam dan gelap!

Kau pasti pernah melihat relung laut paling dalam kan? Setidaknya di televisi kan? Begitulah gambaran sepiku. Begitu parahnya.

Kemudian kau datang, kau seolah putri duyung yang berenang tanpa arah ke kedalaman laut. Putri duyung yang frustasi barangkali?

Di perjalananmu, kau menemukan lelaki kurus kering sedang sendirian. Tatapan lelaki itu kosong. Kau mendekat dan berkata, ''Sedang apa?'' aku menjawab sedang menunggumu.

Itu jawaban spontan saja. Tapi kadang yang spontan yang paling jujur di antara yang jujur.

Kurasa, kita jangan percaya dengan perkataan orang jika mereka ditanya tapi menjawabnya lama. Harus spontan! Jawaban spontan adalah jawaban jujur!

''Menungguku?'' katamu sang putri duyung.
''Yah, menunggumu.''

Karena belas kasihan, kau membawaku ke permukaan air. Kau membawaku ke tepi laut, membaringkanku begitu saja.

Oh.. Aku semakin larut jadinya.

Yang jelas kau perempuan, Sayangku, bukan putri duyung. Putri duyung juga perempuan kan? Ah sudahlah, bikin pusing saja! Pokoknya ya begitu itu.

Nah, jadi, di mana letak cinta itu menyesatkan yang aku katakan di muka?

Kau pasti bertanya seperti itu kan? Iya kan?! Jawab saja iya! Jangan diam melulu!

Nah, setelah kita lama berkenalan dan bentol-bentol di hatiku kian penuh. Datanglah masalah.

Masalah itu datang dari arah mana saja dan berupa macamnya.

Kau masih ingat ketika aku cemburu dan ingin segera membunuhmu? Kau harus ingat itu!

Kala itu, kalau aku tidak salah lihat, wajahmu panik. Wajahmu merah padam, otot-otot di keningmu menjadi sebesar cacing tanah besar-besar. Matamu hampir saja melorot keluar.

''Jangan lakukan itu. Kau salah paham!'' katamu. Sedang tanganku sudah mencekik lehermu kuat, tangan yang lain membawa sebuah golok. Tajam.

''Jika kau ulangi lagi, mati kau!'' kataku.

Ketahuilah, Sayang, cemburu yang hebat berbanding lurus dengan cinta yang hebat. Menurutku begitu. Kalau ada yang berbeda pendapat, mari kita rundingkan di meja dingin rumahku. Akan kusajikan kue kering dan kopi hangat untuknya.

Nah, Sayang, cinta itu menyesatkan, bukan?

Ah iya, bukan hanya peristiwa di atas yang hampir merengut nyawamu saja. Aku bahkan masih ingat ketika aku ingin membakar hidup-hidup tubuhmu, apalagi kalau bukan karena cemburu. Aku ini pencemburu ya? Memang.

Aku tak mau menceritakan yang kedua itu. Kurasa, nanti kalau ada yang menguping dari pembicaraan kita ini, dia bergidik dan kabur tunggang-langgang.

Jadi, cinta itu menyesatkan, bukan? Ia bisa membuat orang seperti hewan. Dan kau harus tahu tentang perkara ini. Setiap tubuh manusia ada hewannya. Hewan itu bermacam-macam. Ada yang beruang, macan, kucing, kelinci, banyak.

Kalau aku, kucing. Aku bisa melihat hewan kucing di tubuhku ketika aku benar-benar marah. Aku merasakan diriku adalah kucing liar. Kucing paling liar!

Darahku mendidih, mataku memerah dan kurasakan hanya dengan sorot tajam mataku saja, aku bisa menebas lehermu itu.

Ah, sudahlah. Aku selesaikan saja ya ceritanya?

Hei, kamu tidur ya?

Ini sudah selesai...!

Hei!

Hei!

Hei!!!

Tolongggg! Tolonnngg! Toloong!

*

Di antara teriakan serak tolong lelaki itu, tergeletak perempuan yang bersimbah darah. Rumah gubuk itu bisu. Tempatnya ada di pinggir sawah. Jarang ada orang lewat. Di dalamnya hanya ada dua manusia. Yang satu mati, yang satu lagi gila karena telah membunuh yang mati. Kemudian hujan lebat. Petir menyambar. Tak ada orang datang. Hari sudah malam. Nyamuk berpesta.

Di saat seperti ini, si lelaki malah berahi. Ia menyetubuhi mayat yang mati. Mayat yang masih seorang gadis. Mayat yang diberi cerita-cerita tololnya barusan.

''Aku adalah kucing liar...!'' gumam lelaki itu di tengah-tengah orgasmenya yang, kau tahu? Amat gila!***

Bayoran, 12 Mei 2016, kelaparan

NGOBROL-NGOBROL SAMA DEE LESTARI DI TAMAN ISMAIL MARZUKI

Ada orang yang kalo pas nulis ekspresif banget. Tapi pas ketemu sama penulisnya, dia ngomong ndak lancar, grogian. Itu karena penulis terlalu asyik dengan dunia imajinasinya sendiri. -Dee

Ini kali pertamaku bisa bertemu secara langsung dengan Dee Lestari. Setelah sebelumnya hanya bisa ketemu di layar notebook dan twitter  (aku jarang nonton tv). Omong-omong, siapa yang ndak kenal sama perempuan satu ini? Dia penulis, penyanyi, pencipta lagu, ah pokoknya perempuan yang sangat menyenangkan. Bagaimana ndak? Dia menghibur banyak orang dengan tulisan-tulisannya, suaranya, lagu ciptaannya..
            Nah, ceritanya nih aku mendapat kesempatan untuk bisa ngobrol-ongobrol sama Mbak Dee dalam rangkaian acara ASEAN Literary Festival 2016. Di teater kecil taman ismail marzuki siang itu, ramai pengunjung. Apalagi kalau bukan menunggu Ibu Suri?
            Ada mb-mb, mz-mz, bpk-bpk, ibu-ibu dan anak kecil.
            Ketika acara dimulai dan sang moderator mulai bertanya-tanya kepada Dee Lestari, aku menyimak sangat takzim. (moderatornya bernama natasya indri, aku suka sama moderator itu).
            Beberapa yang bisa aku rangkum dari obrolan tersebut:
1.      Dee Lestari menulis karena suka.
Iya, dia menulis apa yang dia sukai. Dia tidak berpikir menulis buku dikhususkan untuk genre ini, pembaca ini, dan seterusnya. Bisa dibilang, karya-karya Dee itu ‘abu-abu’.  Dibilang sastra kurang tepat, dibilang pop juga kurang tepat. Dee menulis ya berdasar apa yang dia suka. Omong-omong, Dee kecil sangat suka membaca buku serial. Jadi ya dia menulis buku serial juga. Pokoknya, apa yang kita tulis itu dipengaruhi dengan apa yang kita baca.
2.      Penulis adalah pekerjaan yang rawan bunuh diri
Dee mengutip dari survey bahwa penulis memang rentan akan bunuh diri. Dia juga megakui untuk menulis itu butuh energi yang luar biasa. Maka itu alasannya kenapa dia menikah dengan fisioterapi. “Bisa jadi pasien seumur hidup,” canda Dee dan disambut gelak tawa pengunjung.

itu yang dee di sebelah kanan, dan kak natasnya indri yang kiri...


3.      Penulis yang baik adalah yang mampu mengamati
Bisa dibilang, seseorang bisa dibilang penulis jika ia sudah pandai mengamati kehidupan sekitar. Jika sudah begitu, maka ide-ide tak ada hentinya mengalir.
4.      Penulis kebanyakan mempuyai keresahan personal
Penulis adalah mereka yang mempunyai keresahan-keresahan dan ingin mengungkapkannya ke khalayak. Untuk karya Dee sendiri, jika diamati, keresahan yang ada di karyanya adalah tentang ‘pencarian jati diri’.
5.      Supernova sudah berakhir, tapi masih berlanjut
Sebenarnya Supernova adalah suatu permasalahan itu sendiri. Nanti akan ada cerita lanjutannya. Tapi bukan Supernova namanya.
6.      Menulis cerpen ketika hamil
Dee bilang, kalau dia sedang hamil, dia menulis cerpen. Karena menurutnya menulis cerpen tidak begitu menguras banyak energi. Tapi ia perlu beradaptasi. Karena ia sudah terbiasa membuat novel yang, memiliki proses panjang.
7.      Adaptasi novel ke film bukan perkara memfotocpy novel ke layar lebar
Karya Dee beberapa ada yang sudah difilmkan. Perlu diketahui, adaptasi bukan sekadar menyalin novel ke film. Ambil contoh, ketika di novel digambarkan begitu memakan banyak uang (karena tempat dan situasinya yang membuatnya mahal) itu akan dipangkas. Dan juga, jika visualisasinya kurang bagus, di film akan diperhitungkan lagi. Bisa dengan mengganti adegannya, tempatnya, dan sebagainya. Pokoknya novel dan film itu sangat jauh berbeda.
8.      Tekhnik menulis
Selain mengumpul ide menulis, meditasi dan sebagainya. Jangan lupakan tekhnik menulis. Kendati membaca buku tekhnik menulis tidak bisa memberi tahu apa yang kita suka, tapi tekhnik menulis itu penting. Dengan begitu, kita bisa tahu di babak pertama ada apa, babak kedua, ketiga..
9.      Menulis novel memerlukan nafas panjang
Biasanya penulis novel itu sangat bernergi di bab pertama, tapi selanjutnya melempem. Itu memang sudah fitrahnya, kata Dee. Jadi memang, untuk menulis novel dibutuhkan nafas panjang. Kalau nafasmu ndak panjang, ya ndak bisa menulis novel sampai kapan pun.

Jadi itu saja yang bisa aku bagikan kepada kalian semua tentang obrolan dengan Dee Lestari. Kuharap bisa berguna bagi aku khususnya dan bagi pembaca umumnya.***


NDAK HARUS MENJADI POLITISI UNTUK MEMBANGUN KAMPUNG HALAMAN

Setiap orang memiliki tujuan. Dan tentu kita memiliki tujuan yang berbeda. Untuk mencapai tujuan itu, menurutku, kita harus membayarnya terlebih dahulu. Naik ojek saja bayar kan? Singkatnya, ibarat kita naik motor, dari Jakarta ke Bogor. Nah, untuk naik motor itu kita menggunakan bensin. Kalau ndak beli bensin ya ndak mungkin sampai tujuan.
            Bensin itu adalah semangat, rajin, tekun, pantang menyerah dan, hal positif lainnya. Sampai ndaknya di tujuan ya tergantung bensin yang tersedia. Kalau bensinnya cuma seumprit, bisa apa? Lha wong tujuan kita nun jauh di sana. Maka, kita butuh bensin yang banyak, bukan?
            Di lain waktu, aku merasa ‘tujuan’ ikut tenggelam dengan kemuraman hati. Nah, di saat seperti inilah kita harus mengisi bensin. Mengisi bensin di tempat-tempat yang sudah disediakan. Tempat pengisian ini adalah tempat di mana kita berkarya, mencari ilmu, mengeluarkan penat, tempat yang bisa membuat semangat tujuan kita bangkit lagi. Bensin kita terisi kembali! Jika sudah terisi, tancap gas lagi!
            Ya singkatnya seperti itu pandanganku tentang tujuan. Sekarang umurku 17 tahun, baru saja lulus SMK. Kata orang, angkatanku ini cukup-agak-sial. Itu karena di angkatan kami, kami menjadi kelinci percobaan kurikulum 2013, di SMP pertama kali diterapkan ujian nasional berpaket, partama kali juga UN dengan basis komputer, ditambah lagi, di tahun kelahiran kami, kerusuhan mahadahsyat itu terjadi. Hahaha..
            Aku sendiri memiliki tujuan yang kutargetkan beberapa tahun ke depan, mungkin lima, sepuluh, lima belas tahun, di saat yang tepat, aku akan mengabdi untuk kampung halamanku.
            Untuk mencapainya aku sadar ndak semudah membalikan telapak tangan. Aku akan kuliah dengan sungguh-sunggh, aku akan bekerja sama dengan orang-orang yang satu visi dan misi.
            Omong-omong, aku ini dari kelas 4 SD sampai sekarang, tinggal di Jakarta. Aku juga sudah hafal benar betapa kerasnya hidup di kota metropolitan ini. Paling rajin, aku pulang kampung setahun sekali. Dan rasanya pulang kampung itu.. seperti menemukan oase di gurun pasir gersang! Maklum, di Jakarta aku ndak bareng orangtua.
            Di kampungku memang terkenal sebagai penyalur tenaga kerja luar negeri, alias TKI/TKW. Mereka ini mencari sesuap nasi kok ya sampai ke ujung dunia sana. Yang lain merantau ke kota-kota besar. Jadi sisanya di kampungku hanya orang-orang tua yang sudah udzur. Tenaga mudanya sudah langka, atau barangkali punah.

foto ini aku ambil ketika liburan sekolah, ketika pulang kampung. dan dalam liburanku, aku hanya menemukan orang-orang tua dan anak-anak kecil seperti mereka. pemudanya pada merantau entah ke mana...

            Ini sangat miris. Menurutku, pemuda di kampung mempunyai kewajiban untuk membangun tempat kelahirannya. Bukan malah merantau ke ujung dunia sana.
            Sepertinya ini sudah menjadi tradisi, sehingga menjadi hal yang wajar. Atau malah pemuda-pemuda ini merasa malu jika ndak merantau? Merantau adalah kewajiban bagi mereka yang sudah cukup umur! Jika ndak merantau, kamu anak durhaka!
            Menurutku, di kampung-kampung itu memiliki potensi besar yang patut untuk digali. Hanya saja kita belum menemukan ‘cangkul’ untuk menggalinya. Di kampung, sumber daya alam sangat melimpah, yang juga bisa untuk mencukupi atau memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya. Bahkan boleh jadi menjadi mata pencaharian yang patut diperhitungkan.
            Andai saja semua pemuda sadar: mereka memiliki kewajiban untuk membangun kampungnya. Boleh jadi kampung-kampung di Indonesia akan lebih maju. Lho kan ndak harus menjadi politisi terlebih dahulu untuk bergerak. Ndak perlu duduk di dewan sana baru mau membangun kampung. Menjadi pemuda yang bisa membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar saja itu sudah prestasi besar!            Dan itu pula tujuan dan, impianku!
            Hal ini sudah kupikirkan jauh-jauh hari. Dan terus menggentayangi tidurku setiap malam. Aku harus menyusun strategi untuk itu. Aku akan terus mencari ilmu, hingga akhirnya menemukan konsep yang pas. Dan jika semua sudah pas, aku akan mengabdi untuk kampungku. Mengabdi kepada tanah kelahiranku! Membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar! Biar mereka ndak usah jauh-jauh mencari sesuap nasi, nilai plusnya, bisa selalu dekat dengan keluarga. Duh, kalau dibayangin kok nikmat banget ya..

            Nah, jika sudah begitu, yang kuharapkan akan terwujud: pemerataan ekonomi. Itu bisa jadi juga berbanding lurus dengan pemerataan pendidikan, inflastruktur dan seterusnya. Jadi kita ndak perlu lagi bergantung pada kota-kota besar, negara-negara tetangga, ‘emas’ itu ada di tanah kelahiran kita!*** Tulisan ini diikutsertakan dalam #WhatsYourGoalsGiveaway2016

BEBAN HIDUP SETELAH LULUS SMA

foto pas masih kelas 10..


Sekarang memang saya belum benar-benar kaffah lulus SMA, tapi mulai dari sekarang, entah bagaimana mulanya, beban hidup saya tarasa begitu tambah berat. Pasti yang baru aja selesai UN SMA, pada bingung nyari kerja, pada bingung nyari kuliah. Ditambah lagi pikiran uang perpisahan yang belum juga terkumpul. Minta sama orangtua? Malu..
            Saya tahu pasti di luar sana ada banyak orang yang baru aja selesai UN yang pada sters, merasa beban hidupnya bertambah.
            Di saat seperti ini, seharusnya kita berpikir bahwa apa yang kita rasakan seperti ini belum seberapa dibandingkan dengan orangtua kita. Bayangkan, orangtua kita yang membiayai sekolah kita. Beliau yang memberi uang saku, membelikan seragam, semuanya. Beliau bela-bela kerja sampai malam demi kita. Tapi kita? Apa? Baru lulus aja udah ngeluh.
            Menjadi orang yang baru aja UN SMA, itu benar-benar berat. Karena di saat inilah kebiasaan-kebiasaan dulu harus dihapus. Kebiasaan minta uang saku, kebiasaan nakal, kebiasaan coba-coba. Itu seharusnya sudah ditinggalkan. Sekarang saatnya menatap ke depan menyongsong masa depan yang lebih cerah.
            Entah, setelah selesai UN SMA, saya menjadi lebih berpikir-dalam ketimbang sebelumnya. Atau inikah yang orang-orang bilang tingkat kematangan?
            Di saat-saat seperti ini saya berpikir bahwa untuk hidup di dunia ini sangat sulit. Untuk mencari sesuap nasi untuk diri sendiri pun sulit. Kita harus bekerja keras dan berkorban sampai berjuta-juta peluh berjatuhan. Memang hal ini sudah kita sadari sedari lama, tapi, baru akan lebih berasa ketika kita ndak mendapat uang saku lagi.

*ditulis ketika baru aja selesai UN

            

GIVEAWAY BERHADIAH BUKU KUMPULAN CERPEN 'BU, AKU MENYAKITI PEREMPUAN'





Hallo gais! Apa kabarnya nih? Semoga baik ya..
Untuk postingan kali ini, ada yang sangat berbeda dan ini pertama kali di blog gue. Yups, giveaway! Setelah lama hanya menjadi peserta, kali ini gue ngadain giveaway! Wah, seneng banget pastinya bisa bagi-bagi hadiah kepada kalian.
            Untuk menangin givawaynya ndak susah. Yuk perhatikan tulisan di bawah ini:
*
GIVEAWAY
Buku "Bu, Aku Menyakiti Perempuan" karya Afsokhi Abdullah 
8-30 Mei 2016
Buku ini berisi kumpulan cerpen yang berbeda tema dan gaya bercerita. Cerita-ceritanya mampu menghanyutkan pembaca hingga mengaduk-aduk perasaan. Tak sedikit juga pembaca yang baper setelah baca buku solo perdana penulis belia ini.
Dalam giveaway ini terdapat satu buku gratis untuk satu pemenang yang beruntung.
Langsung saja berikut adalah syarat dan ketentuannya:
1. Peserta tinggal di Indonesia
2. Follow akun twitter 
@reybook_id dan  @SoQ__ (setelah giveway selesai, kamu boleh kok unfollow)
3. Berteman dengan akun facebook PenerbitReybook 
4. Like fanpage 
Reybook
5. Jawab pertanyaan di kolom komentar pengumuman
Giveaway ini. 
Klik di sini 
6. Tulis juga nama dan akun twittermu
7. Pertanyaannya adalah : Kapan terakhir kali kamu
ngobrol dengan ibu? dalam hal apa?
8. Kamu juga harus membagikan info giveaway ini
di akun facebook / twitter / blog
9. Giveaway berlangsung dari tanggal 8 - 30 mei 2016




Nah, begitulah persyaratan giveawaynya, ndak ribet kan? ya jadi ditunggu ya partisipasimu :)

DI BALIK TERBITNYA BUKU 'CELOTEH PELAJAR DOYAN REMEDIAL'


Menulis buku memang ndak mudah. Ndak semudah kita membaca buku pastinya. Dan gue berangan-angan untuk menulis satu buku dalam setahun secara rutin. Tujuannya apa? Ya sampai sekarang gue ndak punya tujuan pasti, tapi yang gue rasakan adalah kesenangan ketika buku sudah naik cetak.
            Dan buku gue yang ketiga ini: Coleteh Pelajar Doyan Remedial adalah hasil kumpulan tulisan yang menceritakan, mengkritik, menertawakan hal-hal yang menurut gue patut untuk kita resahkan bersama.
            Di balik terbitnya buku ini, ada peran penting dari Mas Rey selaku pihak penerbit. Kebetulan waktu itu ada promo terbit gratis, dan gue tertarik, kebetulan juga gue punya naskah. Desain cover, lay out, dan sebagainya dikerjakan oleh penerbit. Kecuali menulis dan editing, itu gue lakukan sendiri. Dengan ini gue ucapkan terima kasih banyak buat Mas Rey.
            And then, buku ini ndak seserius buku gue sebelumnya. Buku ini sangat ringan untuk dibaca oleh kalian yang sedang di angkot, di wc, menunggu gebetan di depan rumahnya, di mana saja kalian bisa baca buku ini.  
            Gue menulis buku ini pun ndak terlalu serius sih, tapi tetap, gue manaruh faedah yang bisa kita  (gue harap) terima bersama. Tapi ya imbasnya gue pernah ketiduran di kelas, ditegur sama guru, diceramahin karena gue nulis buku ini sampai larut malam. Sialnya, gue duduk di depan, jadi keliatan banget sama guru kalau lagi ngantuk parah. 
            Ada beberapa perubahan setelah naskah diterima di penerbit. Yang paling menonjol adalah judul bukunya. Judul buku berubah setelah dapat saran dari penerbit. Dan gue sesegera mungkin mencari judul baru. Gue diskusi sama temen-temen, hingga akhirnya diputuskan judul yang sekarang ini menjadi keputusan final.
            Omong-omong, gue suka sama cover bukunya. Bukan karena di sana ada foto gue, tapi ya emang kenapa ada foto gue? Okay, ini mulai ngelantur.
            Untuk mendapatkan foto yang ada di cover buku itu, cukup susah. Tempat fotonya di Lapangan Banteng setelah-gue-lari-untuk-nilai-pelajaran-olahraga. Jadi itu gue masih keringetan. Ketahuilah, kacatama yang gue pake boleh-minjem dari teman, namanya Winda. Dan Winda juga yang motoin gue. Ya, dia teman yang baik.
            Bisa jadi di tahun ini gue nerbitin dua buku. Iya, selain buku ini ada satu buku lagi yang akan terbit. Itu adalah hasil dari project gregetandotcom dan fiksimini. Bocorannya, buku yang satu lagi akan terbit memuat cerita-cerita kilat, atau flash fiction, alias anakan dari cerpen.
            Ndak cuma gue yang nulis buku itu, banyakan, alias antalogi. Sekarang masih dalam proses itu buku. Semoga buku itu terbit dengan sehat, deh.
           *
            Kembali ke buku Coleteh Pelajar Doyan Remedial. Kalian pasti akan bertanya, kenapa gue harus membaca buku ini?
            Okay, buku ini memuat cerita, kritian, coleteh gue tantang dunia ini dalam paradigma seorang pelajar. Gue mencoba mengajak kalian untuk melihat itu semua dengan paradigma seorang pelajar yang notabene masih mengalami fase labil, ndak percayaan, pengin tahu banget, dan semacamnya. Target pembaca buku gue pun orang-orang itu, pelajar-pelajar tadi.

            Ya, mungkin sampai sini saja ya.. ketahuilah, gue pengin banget bisa bertukar karya. Situ menulis buku, gue menulis buku, nanti tukeran gitu.




btw, gue punya video tentang proses pemotretan buat cover bukunya!
Yuk ikutan giveaway berhadiah buku saya! klik di sini

LIMA PULUH TAHUN LAGI


sumber gambar

 Sebelum langit memisahkan, aku masih ingat bagaimana waktu itu kita bertemu di tepi danau di malam hari. Malam yang dini, malam yang baru lahir dari rahim cakrawala. Kau mengumpat-ngumpat, sadar bahwa setelah itu tak ada lagi pertemuan bagi kita.
            “Sebelum kau pergi, perkosalah aku!” katamu. Tapi, tapi ketahuilah bahwa aku mencintaimu bukan sekadar nafsu. Maka kukulum saja bibirmu, kau membalas. Saking hebatnya, aku merasakan panas api di mulutmu. Ternyata, aku tak bisa menahan nafsu untuk menciummu. Ini yang pertama dan terakhir.
            “Berjanjlah, ketika aku jauh di sana,” kutunjuk langit hitam, “jagalah dirimu. Kau boleh berkalung lelaki mana saja. Tapi, ingat, lima puluh tahun setalah hari kepergianku ini, kita bertemu di sini. Tepat seperti ini posisinya.”
            “Janji.” Kau mengangguk yakin. Sorot mata khawatir khas perempuan, tampak jelas saat itu.
            Dan aku pergi. Melesat ke langit. Aku bisa melihatmu menangis, sampai danau pun terisi setengahnya oleh air matamu. Aku nelangsa melihatmu.
            Di perjalanan, tak sengaja aku menabrak bintang. Bintang kecil. Kecil sekali, sekecil kuku kaki orang dewasa. Kukirimkan saja bintang itu padamu. Kuambil sehelai rambutku, kulilitkan ke bintang itu. Siapa tahu ini bisa menjadi penghenti tangismu. Kau suka bintang, bukan?
            “Hiburlah gadis kesepian di tepi danau itu,” perintahku setelah bintang yang kulilitkan pada sehelai rambut, siap.
            Kulanjutkan perjalanan, melewati awan dan bintang, melewati ganasnya atmosfer bumi yang berubah-ubah. Hingga akhirnya sampai, di nirwana.
            Wajahmu yang lucu dan mengggemaskan itu selalu terukir di sini. Di dinding-dinding, di kayu-kayu, di daun-daun, di buah-buah, di udara-udara.
            Setelah bertahun-tahun di nirwana, sekiranya ketika aku mulai betah. Setelah aku mulai meninggalkan kebiasaanku setiap malam melamun di pinggir awan. Aku mendapat kabar. Bahwa kau sudah menikah dan mempunyai anak yang lucu. Kabar itu mengatakan, kau bertemu lelaki yang mirip denganku. Persis sepertiku tanpa cacat sekalipun.
            Dan ya, hal itu pun terjadi. Cintamu begitu saja diberikan padanya. Tanpa ingat bahwa lima puluh tahun setelah kepergianku kita akan bertemu di tepi danau itu. Apa kau pikir lalaki yang mirip itu adalah aku? Oh ya tuhan, boleh jadi lelaki itu menipumu!
            Ini tahun yang ke empat puluh sembilan, aku di nirwana.

*
Di tepi danau aku sering sendiri. Menatap apa yang ada. Daun, pohon, kayu, ranting, awan, mereka adalah teman setiaku, yang paling setia dari yang paling setia. Memang siapa lagi yang akan setia pada seorang yang tidak terbuka kehidupannya? Kupikir untuk mencari kesetiaan, kita hanya perlu menjadikan mereka seolah setia pada kita. Itu cukup menghibur.
            Aku duduk di tepi danau dengan kaki yang tertekuk. Menatap apa yang ada. Danau yang sepi, danau yang kucurigai ia dulunya adalah perempuan yang dingin dan jarang basa-basi. Bagaimana tidak? Danau tak mengerti bagaimana sakit hatinya lelaki di tepinya. Sekalipun ia memang perempuan dingin, pastinya akan menegurkan dan bertanya, “Kau kenapa?”
            Tapi danau tetap danau, danau bukan manusia apalagi perempuan yang selama ini kuimpikan. Kupikir, mana ada perempuan yang mau padaku? Lelaki yang lebih suka menyepi ketimbang bertemu secara harfiah dengan orang-orang.
            Dan ketika itu kau datang. Membawa serta wajah berseri-seri dan rambut yang diterpa angin. Aku melihatmu berjalan mendekat. Sambil tersenyum. Aku melihat ke belakangku, tak ada siapa-siapa. Dia tersenyum untukku? Ini pertama kali aku diberi senyum oleh perempuan! Mana, mana buku tulisku! Ini harus kucatat, ini harus kucatat!
            Aku gugup, jangankan mencari buku tulis, bernafas saja sulit saat itu.
            Oh ya tuhan, siapa perempuan ini? Penunggu danau ini kah?
            “Aku sering melihatmu di sini. Setiap menjelang malam, kau pasti di sini. Aku memperhatikanmu,” suaranya.. renyah sekali..
            “Oh, iya, aku suka tempat ini.”
            “Aku juga. Aku biasa duduk menikmati suasana sekitar, di sana.” Ia menunjuk tempat, banyak pepohanan menutupi. “Kenapa kita tidak berdua saja? Danau ini jarang ada yang tahu. Barangkali hanya kita berdua.”
            “Ide bagus..”
            Maka hari-hari selanjutnya aku tak sendiri lagi di tepi danau. Aku selalu berdua dengan perempuan itu. Ia orang yang sangat mengasyikan dan selalu bisa membuatku tersenyum. Kami lakukan apa saja. Yang penting melahirkan gelak tawa. Hingga akhirnya semua sirna ketika ia bertanya, “Kau dari mana?” padaku.
            “Aku, hm.. aku.. dari mana?”
            “Iya, asalmu…”
            “Aku dari atas sana,” kutunjuk langit yang bersih sore itu. Kami selalu bertemu di sore hari sampai malam. Setelahnya kami berpisah. Dan selalu seperti itu.
            “Oh.. kau bercita-cita menjadi astronot?”
            “Bukan. Memang benar aku dari atas sana. Besok aku akan pulang. Dan lima puluh tahun lagi aku baru bisa datang ke sini lagi.”
            “Kau bercanda.”
            “Tidak.”
            “Aku akan kehilangan jika kau tidak di sini lagi.”
            “Aku pun.”
            Kami berpelukan. Suasana yang dingin menambah getaran di dada ini semakin menjadi. Kurasakan pula dadanya. Berdekup kencang. Dug dug dug duuug…
            “Aku mencintaimu,” katamu.
            “Aku pun.”
           
*
Esok pun tiba. Saatnya aku pulang ke nirwana. Perempuan itu sudah di sampingku ketakutan dengan apa yang akan terjadi.
            “Bagaimana caramu pulang?”
            “Aku akan terbang. Lihatlah nanti. Bulan purnama sebantar lagi muncul.”
            “Semoga bulan purnama tidak akan muncul malam ini.”
            Aku menatapnya, ia melihat langit. Kutatap dari atas sampai bawah perempuan ini. Ia tersenyum.
            “Sebelum kau pergi. Perkosalah aku!” katanya. Aku tertegun.
            “Tidak. Cinta yang baik bukan seperti itu.”
            “Kau belum mengajarkan cinta yang baik itu.”
            “Tunggu lima puluh tahun lagi, aku akan kembali dan mengajarkannya padamu.”***
Bayoran, 2 Mei 2016