Awan hitam telah merata. Kilat kerap kali mengejap. Guntur berdentuman memenuhi ruang angkasa, seolah ia ikut menyaksikan bunyi kutukannya. Angin muai menangis pula, melintasi celah pepohonan yang mengakibatkan goyangan sampai ke mahkota daun.
Suasana amat mencekam. Di tempat inilah nantinya eksekusi mati akan dijalankan. Timah panas--serta piranti lainnya--yang akan menusuk dada manusia si calon mati sedang disiapkan.
Nusakambangan, atau yang memiliki arti 'pulau yang mengambang' adalah saksi bisu akan tegaknya 'hukum untuk kali ini'. Sudah banyak kisah yang masyhur datang dari sana, seperti eksekusi teroris dan sebagainya. Nusakambangan adalah tempat yang ideal untuk membunuh manusia secara hukum.
Hukum harus ditegakan dan yang salah harus dijejal hukum. Walaupun 'bunyi' hukum di dunia bagi kebanyakan manusia sudah tak elok lagi untuk didengar telinga; sukar untuk dipercaya.
Kali ini, tidak ada pilihan lain selain membunuh manusia yang telah membunuh manusia jua. Mereka, si calon mati, memang pantas mendapat hukuman mati. Sebab, mereka telah menyelundupkan narkoba yang beratnya setara berat dosa besar atau bahkan melampauinya.
Bayangkan, setiap harinya puluhan manusia mati karena mangonsumsi narkoba yang bervariasi jenisnya. Sebab musababnya tak jelas, manusia yang sudah diringkus di penjara saja--karena kasus narkoba--pun masih bisa leluasa menari dan mengoprasikan bisnis haramnya itu. Bagi mereka (pebisnis nerkoba), bisnis yang satu ini sangat menguntungkan. Segmen konsumennya siapa saja, yang penting urusan uang harus mengalir ke kantung mereka, mati? Urusan belakangan, toh semua manusia pasti mati. Bagi mereka uang adalah segalanya, hidup ini harus bergelimang uang, ya harus!
***
Nusakambangan adalah setitik dari wilayah suatu negara yang berlambang burung garuda. Negara itu memiliki ribuan pulau, ribuan bahasa; konon, indah alamnya salah satu termasyhur di jagat raya. Ternyata di sana, hukum bisa dibeli dengan recehan uang dan akan tumpul ke atas lalu tajam ke bawah, macam pisau sahaja.
***
Syahdan, bumi telah dipadamkan sedemikian rupa. Hanya gelap gulita yang tertangkap mata. Enam orang si calon mati gembong narkoba itu digiring ke tempat pe-eksekusi-an. Suasana amat mencekam, bulu roma mereka lumer sampai membasahi apa yang terkena. Peluh membanjiri masing-masing tubuh mereka.
Pulau yang terkenal mengerikan itu berdetak, mengiringi langkah si calon mati. Di antara mereka pun ada..., ada putra-bunga-bangsa. Ah, sayang sekali, mereka harus menghembuskan napas terakhir menjadi penghianat bangsa.
Semua tumbuhan diam, bisu, tak dapat lagi menari, ia larut dalam suasana yang dirasakan si calon mati. Mahkota daun ikut tunduk malu melihat keadaan di sekitarnya. Rembulan masih saja tersenyum ria di atas sana. Seharusnya, dalam situasi seperti ini, tak ada boleh yang tersenyum.
Si calon mati sudah pasrah tampaknya. Kini mata mereka ditutup kain hitam legam, dan seragam pula baju yang dikenakan. Diikatlah dengan tali amat kuat di tangan mereka lalu dikaitkan ke seonggok batang kayu berdiri bisu. Deru napas mereka berirama. Sang eksekutor siap dengan laras panjangnya. Sang eksekutor pun ikut ditutup wajahnya, hanya sahaja meninggalkan sebolong ruang di mata dan mulutnya.
Sudah tak dapat ditunda. Keadaan tak terperikan lagi, kata-kata tak bisa pula mewakili. Dengan bersamaan, enam timah panas berlari kencang menancap jantung manusia.
Dor!!!
Suara laras panjang itu merobek rongga hutan. Hewan-hewan tunggang langgang berlarian mencari hidup. Seketika si calon mati kini mati. Ambulan sudah siap untuk mengangkut mereka yang bergelimang darah segar. Warga sekitar pun berebutan ingin melihat atau sekedar meramaikan keadaan.
Kabar ini meluas seantero negeri itu. Di tempat lain, si calon mati yang masih menunggu gilirannya untuk mati gonjang-ganjing di dalam sel penjara. Mereka takut bukan kepalang dan menyesal akan tindak tanduknya selama ini, ya, menyesal tepat di waktu yang tidak tepat.***
Afsokhi Abdullah.
Kosan yang sepi, 22 Februari 2015
5 Comments