Pengalaman Pertama Kali ke Museum Kebangkitan Nasional (Muskitnas)



Museum Kebangkitan Nasional (Muskitnas) memang tidak sepopuler Museum Fatahila, Museum Gajah, atau Museum Bank Indonesia. Dalam sebuah wawancara di chanel youtube lihatjakarta official, Sujiman, kepala seksi palayanan dan penyajianMukitnas mengakui bahwa faktor letak museum sangat berpengaruh dalam hal ini.

Bahkan, aku sempat mengadakan survei kecil-kecilan di Instagram dengan pertanyaan: Apakah kamu pernah ke Museum Kebangkitan Nasional?. Hasilnya, 19 orang memilih opsi ‘dimana tuh’, dan 3 orang mengaku pernah ke Mukitnas.




Lihat Museum Fatahila yang berada di tempat karamaian, dekat dengan stasiun Kota dan permukiman. Jalan menuju ke sana pun mudah diakses dengan transportasi umum. Berbeda dengan Murkitnas, kau harus melewati perumahan untuk sampai kesana.

Minggu kemarin, aku ke Muskitnas, naik busway turun di Senen. Dan setelah itu berjalan cukup panjang untuk sampai di museum. Kami melewati gang-gang, dari sini aku bisa berkesimpulan bahwa benar, tempat museum yang satu ini kurang strategis.

Melewati perumahan

Padahal, museum yang dibangun pada 1908 ini memiliki koleksi yang cukup lengkap tentang dunia kedokteran, pers, dan keorganisasian. Aku tertarik  ke museum ini pun karena di internet aku melihat ada patung bapak Pers Indonesia, Tirto.

Tirto adalah pahwalan idolaku, ia menjadi orang Indonesia pertama yang mampu menggunakan media untuk propaganda dan mengkritik Belanda pada waktu itu.

Aku tidak bisa membayangkan apa yang beliau rasakan ketika itu. Yang pasti, bertemu dengan patungnya sudah membuatku bahagia.

***

Biaya masuk ke museum yang dulunya sebagai tempat menimba ilmu Ki Hadjar Dewantara ini  bisa dibilang murah, hanya Rp. 2000 sudah mendapatkan buku panduan yang cukup lengkap. Dan tentu saja kita disajikan dengan koleksi museum yang juga lengkap.

tiket
isi data diri untuk mendapat buku panduan

Saat aku datang ke museum itu, suasana sangat sepi, hanya terlihat beberapa orang yang sedang berfoto dan melihat koleksi. Namun, ketika aku bertanya dengan ibu kantin di museum, dia bilang begini:

“Kalo Minggu memang sepi, Mas, rame itu kalau Sabtu, ada pertunjukan gemelan di aula. Ohya, kalau pagi di sini juga rame kok.”

kantin

Aku datang ke museum sekitar jam 12 siang, dan memang yang kudapatkan suasana yang sepi.
Tidak hanya sepi, kadang juga ada kesan horor ketika kau masuk ke ruangan yang berisi patung-patung. Selain itu, tempat yang paling berkesan di museum ini menurutku adalah ketika kau masuk ke ruang asrama.

Ruang asrama ini dulunya digunakan oleh para pelajar (dulunya gedung ini adalah gedung sekolah). Di asrama itu memang terkesan begitu menegangkan, ada kasur yang serba putih, dan ruangan yang besar dan kokoh menambah kesan magis ketika melewatinya.

merinding

***

Kantin di museum ini pun nyaman, ada wifi gratis juga, passwordnya muskitnas1908. Kau bisa membeli popmie dan sebagainya. Ibu kantinnya pun ramah, ohya, penjaganya juga ramah. Menambah kesan bahwa museum ini tempat yang nyaman bagi siapa saja.

Dari Mukitnas, kau bisa main ke Atrium yang jaraknya tidak terlalu jauh. Di sana kamu bisa jalan-jalan ke toko buku atau bioskop atau makan-makan—setelah puas menikmati koleksi  museum.
Jadi, begitulah cerita singkatku di Museum Kebangkitan Nasional. Yuk lestarikan budaya kita dan jangan lupakan sejarah!

Lebih lanjut tentang Muskitnas, silakan klik di sini 
Kunjungi websitenya di sini

foto-foto:









Kenapa Membaca Cerpen Eko Triono Membuatku Tidak Bisa Tenang?



Hatiku sudah lama berencana jadi lemari es. Biar suhu kecewa dan sedih bisa diatur.
(Hal. 149)

Mungkin aku sudah bisa dikatakan terlambat karena baru mengenal cerpen-cerpen Eko Triono belakangan ini. Sebelum membaca buku kumpulan cerpennya berjudul Agama Apa yang Pantas Bagi Pohon-Pohon, sebelumnya aku hanya sempat membaca satu cerpennya yang berjudul sama dengan judul buku kumpulan cerpen tersebut.

Membaca cerpen Eko Triono menurutku sangat asyik dan seolah membawaku bertamasya ke dunia tanpa batas. Satu hal yang kukhawatrikan ketika membaca buku kumpulan cerpen adalah ketika satu cerpen dengan cerpen selanjutnya mempunyai rasa yang sama. Dan itu sangat menyebalkan.

Namun, di buku kumpulan cerpen ini, Eko Triono seperti sudah menyiasati itu semua. Di setiap cerpennya mempunyai rasa sendiri-sendiri. Dan menurutku, penyisipan fiksimini di sela-sela cerpen yang panjang sangat bagus untuk membuat pembaca tidak bosan. Melalui fiksimini tersebut pembaca seolah dibawa beristirahat sebentar untuk kemudian melanjutkan perjalanan yang jauh, yang penuh warna dan, penuh tanda tanya.

Seperti yang dikatakan Tia Stiadi, kritikus sastra, di pengantar buku ini, bahwa Eko menghadirkan tamasya antah-berantah, suasana yang lahir dari keajaiaban fantasi dan penerbangan khayal edan-edanan. Dan aku setuju.

Menurutku, bahasa yang digunakan Eko dalam cerpen-cerpennya sangat sederhana namun berisi, lebih cenderung ke penghematan kata, kata-kata yang ia gunakan mempunyai kekuatan. Di tiap pembuka cerpennya, pun ia secara lugas langsung masuk ke inti cerita tanpa embel-embel deskripsi yang ‘disengaja’. Deskripsi itu, dalam cerpen-cerpennya, hadir dan terbayang di kepala pembaca dengan sendirinya ketika cerita terus berjalan.

Terkait pembuka cerpen, aku suka dengan cerpen yang berjudul Fantasmagoria Oligo:
Kita terhentak! Kereta Lumbrica berhenti mendadak. Padahal, baru saja melewati terowangan Pegunungan Rubella. Ada apa? (hal. 199)

Dalam buku kumpulan cerpen ini, Eko mengangkat cerita tentang cinta, kesepian, pembunuhan, politik, keluarga, bahkan kegilaan. Semuanya terkemas sangat apik menjadi cerita yang menggelitik dan kadang membuat pembaca tersentak.

Dengan tekhnik berceritanya, kadang pembaca dibawa bertanya-tanya sejak awal cerita hingga akhirnya semua terjelaskan di akhir cerita. Dan tekhnik ini sungguh membuat pembaca tanpa sadar ingin terus membuka halaman demi halaman karena penasaran apa yang akan terjadi selanjutnya.

Seperti dalam cerpen Turi-Turi Tobong, berkisah tentang seorang bocah yang pergi ke dukun, kemudian ia melalui perjalanan panjang dengan truk besar. Sampai di suatu tempat, ia duduk di tepi jala gawang, dan ternyata ia (hanya) sedang menonton pertandingan sepak bola antar desa. Ketika pertandingan akan dimulai, ia keluarkan air kencingnya yang sudah ia wadahkan di plastik dari sang dukun itu dan kemudian menumpahkannya di tiang gawang. Dan itu menjadi sebab kanapa tim sepak bola desanya menang.

Ceritanya sangat sederhana, namun dikemas sangat apik oleh Eko dan membuat pembaca terus memperhatikan gerak-geraik apa yang akan dilakukan tokoh selanjutnya.

Favorit 

Cerpen favoritku di buku kumpulan cerpen ini berjudul Bunga Luar Angkasa. Bercerita tentang sepasang suami istri. Suami ini bekerja sebaga pebisnis dan pada pagi itu ia akan bertemu dengan alien. Sedang istrinya bekerja di sebuah toko bunga.

Dari awal cerita, ketika si suami berkata ingin bertemu dengan alien, aku sudah curiga, apa yang salah? Keganjilan apa ini?




Tulisan Eko seolah mendobrak pakem yang sudah ada di wajah umum, ia berkeliaran tak terkontrol, dan kita hanya perlu membuka kepala lebih luas lagi untuk bisa menikmati. Tanpa itu, kau tidak bisa menikmati cerpen-cerpennya, setidaknya menurutku.

Cerpen-cerpen Eko membuat pembaca ikut membangun cerita itu bersama. Seperti gunung es, penulis hanya menghadirkan permukaan kisahnya saja kepada pembaca dan seraya demikian memyembunyikan sebagian besar kisahnya. Begitulah yang dikatakan Tia Stiadi di pengantar.

Cerpen Eko di buku ini membuat kita terus bertanya-tanya dan tidak membuat kita tenang. Ia membawa kita bertamasya di dunia antah-berantah. Dengan gaya bahasa dan tekhik berceritanya, kita seolah tersihir dan ingin terus melanjutkan membaca sampai habis. Itulah yang kuyakini kenapa aku tidak perlu banyak waktu untuk menghabiskan buku ini.

Ini adalah salah satu buku favoritku yang kubaca di tahun 2017. Terima kasih, Mas Eko, sudah menulis cerpen-cerpen yang menakjubkan!