Sebelum menjadi anjing, aku ini juga manusia seperti kalian. Ternyata, aku cukup berbakat menjadi anjing. Dan beginilah cerita awal mula kenapa aku bisa jadi anjing.
Saat itu kekasihku marah besar kepadaku. Dan dia begitu sangat marah. Padahal masalahnya hanya sepele. Tapi mungkin karena masalah itu terlalu sering terjadi, ia jadi marah sebegitu hebatnya. Ia seperti menyimpan kemarahannya jauh-jauh hari, dan sekarang adalah puncaknya. Gunung telah meletus.
''Anjing! Bajingan! Keparat!'' Ia mengumpat sejadi-jadinya kepadaku. Wajahnya yang tadinya sangat cantik, berubah begitu saja seperti setan. Dan sebenarnya aku mau balik marah padanya, tapi aku tak bisa marah. Jadi mataku hanya jadi merah seketika itu juga. Mulutku kelu, dan tubuhku menjadi dingin merinding.
''Aku bukan anjing! Aku bukan anjing..,'' kataku dalam hati sambil menggeleng.
Sebenarnya aku ingin bercerita kepadamu kenapa kami bisa bertengkar, apa sebab dan kenapa hal ini bisa terjadi. Tapi sayang, ini hanya kami yang tahu, bagaimanapun aku harus menjaga rahasia, aku sudah berjanji. Walaupun aku seekor anjing, aku bisa jaga rahasia..
''Anjing! Anjing tetap anjing!'' Suaranya menggelegar. Seperti ada gemuruh dan ombak ganas memenuhi batok kepalaku. Aku tak habis pikir ia bisa semarah ini. Jari telunjuknya yang lentik itu menunjuk-nunjukku penuh amarah. Sesekali mengenai pelipisku yang mulai berkeringat.
Taman tempat kami berpijak sudah sepi, hari mulai senja, matahari akan pulang ke peraduan. Dan angin menjadi begitu magis, menyentuh tubuh dan hatiku dan rambut panjang kekasihku. Langit mendung. Suasana berubah menjadi mencekam.
''Anjing! Keparat!'' Ia masih mengumpatku, dan aku hanya diam. Karena aku hanya diam, dia lelah dan kalah tanpa perlawananku. Dia pergi. Aku melihatnya berlalu begitu kesal. Punggungnya naik turun, dan berjalan begitu cepat. Pergi.
Aku masih diam, tak bergerak sedikit pun. Tubuhku menjadi begitu kaku. Dan kemudian turun hujan, aku tak bisa beranjak, seperti ada yang menancapkanku ke tanah. Detik selanjutnya, seperti yang kautebak, pelan-pelan aku punya bulu hitam, mulutku jadi mocong, terus hingga aku jadi anjing, seekor anjing sempurna. Begitu saja.
Aku merasakan darahku mendidih, seperti dimasak di atas wajan paling panas, dadaku terus bergemuruh, ada angin ribut di sana, aku merasa aku ini sangat ganas. Aku merasa sakit, begitu sangat sakit. Terutama di dadaku. Maka aku berteriak sekencang-kencangnya. Tapi bukan suaraku teriakan manusia terdengar, yang terdengar gong-gongan anjing.
Aku merasa gong-gonganku begitu keras dan panjang, mungkin manusia yang mendengar akan berpikir itu suara anjing yang sangat menderita. Dan aku menderita. Aku jadi anjing, kau pasti menderita jika jadi anjing. Menjadi anjing itu sendiri pun sudah menderita, apalagi manusia yang menjadi anjing.
Aku masih mencium bau kekasihku yang khas. Setelah menjadi anjing, ternyata indra penciumanku begitu ganas. Aku mencari bebauan itu, aku berlari dan berlari hingga bau itu mulai terasa dekat dan begitu dekat. Aku melihat kakinya yang jenjang. Aku merasa darahku makin mendidih. Tanpa banyak pikir, aku gigit yang jenjang itu. Dia menjerit kesakitan, sempat menendang perutku sangat keras sambil berteriak anjing! Anjing! dan, aku bahagia. Darah kekasihku mengalir deras, baunya amis menyengat.
Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, kekasihku meninggal. Ia dikuburkan dan aku setia menjaga kuburannya. Walaupun aku anjing, aku setia.
Bagaimanapun aku tetap anjing, hingga suatu hari seekor betina lewat di depanku. Ia begitu menggoda, aku dekati dan dia malah memamerkan duburnya. Aku berahi, kurasa ia juga. Maka kami bercinta, di sebalah kuburan kekasihku yang sedang dicumbui cacing.***
0 Comments