pencabutNYAWA

Afsokhi abdullah. Aku ingat, nama itu tertulis di buku hitamku, buku target manusia yang akan ku cabut nyawanya. Ya, aku bukan manusia biasa, dari job description-ku saja sudah jelas, apa tugasku dan siapa aku.

         
 Aku sudah lama berpetualang di alam yang fana ini, banyak kujumpai kisah-kisah manusia yang tragis dan sadis. Aku melihat seorang lelaki dengan seragam sekolah, umurnya kira-kira 15 tahun, tak sengaja ku lihat badge nama yang ada di seragam SMKnya ‘AFSOKHI ABDULLAH’

         
 Deraan air hujan yang runcing di sore hari mengkuyupkan seluruh tubuh anak itu dan bersama air matanya yang ikut terjun, ku rasa ia sedang patah hati, di putuskan pacarnya, selayaknya remaja labil.

Tapi tidak!, ku dengar lamat-lamat gumamnya 
“Tuhan, aku ingin bertemu ibu bapakku, sedari kecil aku jauh dari perhatiannya, aku terasa bukan siapa-siapa !!!! ku lihat anak-anak di sekitarku ter-urus orang tua nya. Aku lelah dengan takdirMU, CABUT SAJA NYAWAKU !!!!! ”

         
 Tebakan ku salah, ku kira ia ingin mempercepat waktu untuk bunuh diri. Ia hanya pasrah dengan hidupnya. Aku mendekatinya, ingin ku cabut nyawanya sekarang, tapi ....
Ahh, aku kasihan dengan anak itu. Wajahnya putih pucat formalin, tangannya kasar seperti kuli pasar.

         
 Melihat anak itu yang takdirnya jauh dari orang tua, aku malu mengingat masa hidupku, matiku tak terpuji. Saat itu aku ikut-ikutan tawuran, batu menghujan tepat ke arahku, aku terjatuh, sebilah parang menyasat tepat di perutku, darah segar bercucuran, isi jeroanku berhamburan di jalanan. Dan aku tak terselamtkan, nafas terakhirku berhembus ....

         
 Ibu bapakku sangat baik kepadaku, setiap harinya ku tak luput dari perhatiannya. Sekarang aku menyesal, sungguh amat menyesal, tapi tak ada guna untuk sekarang. Andai aku dulu seperti ini, seperti itu, seperti ini itu. Ahhh.. penyesalan selalu di saja akhir.
                                      ***
Sebelumnya aku sering bertemu anak itu, yang kini kuyup di terjang hujan. Pernah suatu hari, aku melihatnya di kontrakan yang kecil, tidurnya-pun bergaya seperti pistol. Makan, belajar, tidur, memasak, apapun itu di lakukan di kontrakan kecilnya. Hanya gubuk ber-atap seng karatan dan dinding-dinding terlapis koran bekas dan juga spanduk bekas yang di dapatnya dari para caleg.

Aku melihat ia makan disana, “kriuk-kriuk-kriuk“ suara krupuk renyah terdengar nyaring dari sela-sela mulutnya yang penuh dengan nasi putih dan hanya di temanai krupuk untuk lauknya. Dan itu sering kulihat setiap hari. Sungguh tragis hidupnya.

Sekarang, ia masih berdiri menadang hujan. Hari mulai gelap, saut-saut suara adzan bergema. GUBBRAK’ anak itu terjatuh pingsan, mujurnya ada Bapak kumis tetangga kontrakannya yang melihat tak lama anak itu terjatuh, kira-kira 15 menit.

Di gotong oleh Bapak kumis itu ke tempat kontrakan. Sampai di depan pintu kontrakan anak itu, tak ada sama sekali yang peduli dengan anak itu. Ia mulai terbujur kaku di degapan si Bapak kumis. Bapak kumis meminta tetangganya untuk membawa anak itu ke puskesmas.

“ hayy ... panggil Bajaj, kasihan ini anak. Sudah mau mati !!! “ Teriak bapak kumis ke salah satu temannya.

Hujan masih terjun bebas, awan mulai gelap. Di bajaj, si Bapak kumis menggerutu “ aduhhh.. kasihan amat anak ini, orang tuanya jauh, semua kakanya sibuk dengan kerjaannya, Ane gak bisa ngebayangin kalo ini anak Ane “

Sampai di puskesmas, terpaksa ia juga ikut mengantri. Si Bapak kumis tidak sabar.
“ haaayy.. kamu gak liat ini anak ???? udah mau mati ini !!! cepatan bawa kami ke tempat perawatan !!! “ semua pasien menolehkan matanya ke Si Bapak kumis yang suaranya nyaring di tempat antri yang tadinya tenang suara.
          “ maaf pak, ini sudah Birokasinya seperti ini, semua pasien harus ngantri “ dengan tenang si anak muda di resepsionis mengatakannya
“ agghhhtt ... gila kau ini !! lihat anak ini !!! “ si Bapak kumis naik fital. Ku lihat anak muda resepsionis merasa iba seraya takut kepada si Bapak kumis yang perawakannya seperti TNI gadungan.
           “ hmm.. yasudah pak, nanti saya akan usahakan kepada dokter untuk pasien bapak ini “
 
           “ huih “ si Bapak Kumis menghela nafas lega
                               ***
Setelah mendapat ruang perawatan. Anak itu masih kaku, ia pingsan. Baju basah seragamnya masih belum di ganti. Si Bapak kumis di sampingnya anak itu amat cemas melihat keadaannya. 
“ agghht ... kemana ini dokternya !!! lama banget !!! “ si Bapak Kumis kesal dan keluar dari kamar anak itu mencari dokter.

Anak itu bernafas satu-satu, matanya masih tertutup rapat-rapat dan detak jantungnya semakin tak beraturan.

“kau luar biasa, kau anak yang mandiri, ulet, rajin,  cerdas, pintar. Namun ini sudah takdirmu“ aku membisikan kepadanya, walaupun ku tau dia tak akan mendegarkanku. Hujan masih deras, ruangan ini sepi, gegap nafas anak itu mengisi senyapnya ruangan.

Tapi, sebelum ia menutup mata dan meninggalkan raganya untuk kuantar ke pengadilan terakhir (akhirat), ia menggumamkan satu kalimat yang ku dengar dengan teramat jelas “ ibu bapak, Sokhi kangen “ ku lihat ia berlinang air mata.


Anak itu menghembuskan nafas terakhirnya ........................

Dipaksa untuk TEGUH.. cerita nyata

Di tanah yang lapang, aku dan teman sebayaku bermain bola sepak. Semua gembira, karena hari akhir pekan.

hari yang mulai sore, langit senja mejingga. bayi-bayi hujan mulai turun. Angin menderap pohon-pohon bergoyangan. Sesekali ada lidah kilat di atas awan senja.  awan menggeser menjadi ke hitaman. Para petani mulai pulang ke rumah untuk bertemu sanak keluarga. Aku dan teman sebaya jua meng akhiri  bola sepak.
Semua pulang ke rumah masing-masing. Begitupun dengan ku, kaki yang terpincang ku paksa untuk pulang kerumah, “ibu pasti akan mengobati” batinku. Maklum, aku anak terakhir bisa dibilang bontot, mutlaknya selalu di sayang.
Sampai depan rumah. Setelah di perjalanan penuh perjuangan kaki yang pincang.
Ku dorong gagang pintu kayu rumah ku. Isinya sepi. Tak ada tanda kehidupan sejauh mata mencoba memandang mengamati sampai ke seluruh ruangan.
“ ibu !!! “
“ bapak !! “
“ aku pulang “ ku menderap dengan kaki pincang.
“ tak ada jawaban ?? kemana ibu bapak ku ?? “ batinku cemas
 Lalu, Ku lihat ada beberapa lembar uang dan secarik kertas yang ber isi tulisan di kamarku.
“ anak ku tersayang. Ibu dan bapakmu akan merantau. Jaga baik-baik dirimu. ibu sudah menitipkan kamu kepada kakek dan nenek. Gunakan uang ini dengan sebaik-baiknya. Tetap ber sekolah. Jangan putus semangat. Ibu dan bapak pasti akan kembali dengan membawa kebahagian untuk mu nak ” SOFINGATUN
Klik.tubuhku serasa melayang  se enteng kapas. Hatiku begah, Serasa tak ada riak kehidupan. Tangan ku gemetaran memegang secarik jahanam ini. ku tarik nafas se penuh paru-paru, lalu ku hembuskan ke langit-langit rumah kosong ini. jaring laba-laba seperti meng kasihanku melihat tetesan air mata yang berlinang di sepasang pipi. Sakit perihnya Kaki pincangku meruak menjajah ke seluruh tubuh.

Kedua orang tua ku hanyalah seorang petani. Tapi beliau tidak mujur. Tak ada punya sawah sendiri, hanya menggarap sawah orang dan bagi hasil untuk bayarannya.
barang tentu, itu yang membuat kedua orang tua ku merantau. Aku malu. Sering, jika aku berangkat sekolah, ibu tak punya uang sangu, untuk sarapan pagi saja aku jarang. Penuh terpaksa, ibu meminjam uang ke nenek, acapkali ibu tanpa rasa malu meminjam lembaran kertas berharga itu kepada tetangganya, hanya untuk memberi sangu sekolah ku.

Itu pula yang mengkuatkan ku agar tetap ikhlas dan mencoba mandiri hidup jauh dari orang tua. Ku yakin ini rencana yang terbaik berian yang maha kuasa. walau Pilu tak dapat di pungkiri nyatanya.
                                                         ******
Beberapa hari menjadi minggu, ku coba membiasakan hidup tanpa kedua orang tua. Nenek dan kakek ku sudah sepuh. Ku tak tega jika kulit keriput dan tubuh bongkoknya untuk mengurusi ku. Mandiku, menimba air di sumur dangkal sendiri, makan ku sendiri, mencuci baju, aku sendiri, tidur aku sendiri.
Bila hujan tiba, kilat bergelayutan di atap genteng. rumah nenek yang sudah peok tak sanggup menahan deraan air runcing dari langit. Bocor dimana-mana. Jika malam, sungguh menyiksa. Malangnya cucu mu ini.

Tak bisa di obati. aku rindu perhatian ibu. Hatiku sesak jika mengingat ibu. Batinku tak bernyawa.tak ada riak kehidupan rasanya. Aku terkucilkan. Aku iri dengan teman sebayaku yang selalu di manja ibunya.
Berangkat sekolah aku berjalan kaki. Tak ada tangan yang biasa aku cium sebelum berangkat sekolah dan memberi sangu. Sering jua di perjalanan sekolah aku menangis. Sungguh menangis sadu sedan ...

sekolahku Melewati pesawahan, sungai dan jalan tak beraturan. Aku kelas 4 SD. Seharusnya aku butuh perhatian kedua orang tua selau. Tapi apa daya, ini sudah takdir.
Aku anak terakhir dari 4 bersaudara. Ketiga kakaku mmenimba ilmu di pesantren dan memondok. Sesekali kakaku datang mejenguk ku. Hanya sekedar melihat keadaan ku. Yang kurus kering keronta ini.
suatu hari, kakaku mendatangi rumah nenek tempat aku berteduh tinggal, matanya berkaca-kaca, lalu memegang pundak ku. Gemetar.
“ de, kamu harus bisa mandiri yahh” airmatanya berlinang perih.
“ iyah ka, aku akan mandiri “ aku senyum hampar, mencoba menahan linangan air mata yang mulai terjun. Akupun terbawa kesediahn kaka,
lalu dia menghadiahkan kepada ku gantungan tas berbentuk bola basket dan beberapa bungkus coklat yang ku kira didapat dari kiriman uang ibu bapak di perantauan.

lalu, tak lama. kakaku kembali ke sumber ilmunya. Aku murung kembali. apa yang harus aku lakukan. Anak se umuran denganku, sewajibnya hanya bergantung kepada orang tua.
                                              *******
Sembilan bulan kemudian. Ku jalani alur hidup ku, tanpa menyerah. Walau pada nyatanya sulit untuk di prestasikan. Ku coba tegar, ku coba berdiri dengan kaki munyil bak kijang ini. selamatkan masa depan.
 
Bulan puasa tiba, aku berpuasa sehari penuh. Itu sudah kebiasanku. Saat-saat sahur dan berbuka puasa selalu membuatku menangis’ sungguh menangis !!!. Saat sahur aku menyantap masakan nenek yang sudah sepuh, rasanya hampar jika sampai lidah. Namun, sebagai pengisi perut, untuk seharian berpuasa ....  itu bermasalah. Tapi, buah-buahan yang di punyai kakek dari kebunya itu menambah energi berpuasa jika di jadikan sahur.
Aku puasa full sebulan penuh. Akan lebih bangga jika di hari lebaran, kedua orang tua ku pulang ke kampung dan mengatahui bahwa anaknya berpuasa sebulan penuh. Aku bangga akan itu. Tak lupa jua aku mengaji, dan sholat teraweh.
Semua berjalan dengan sepenuh hati.
Sampailah di penghujung bulan ramadhan, yang di tunggu-tunggu ku kira datang. Kedua orang tuaku.

seperti halnya tetangga-tetangga yang merantau, pastiah wajib di hari lebaran pulang ke kampung halaman. Tapi sampai saat ini, belum ada tanda-tanda rencana ketibaan ibu bapak ku.
1 hari menjelang lebaran. Senja yang di tunggu tiba. Adzan maghrib bersautan di akhir puasa.
Setelah berbuka puasa, semua ramai menyinggahi jalan pedasaan KALIYASA. Ku lihat teman sebayaku, ia gembira dengan baju barunya dan amat senang bermain kembang api, di malam takbiran.
Yang ku rasa uang pembelian kembang api dari kedua orang tuanya. Berbeda denganku, aku tak punya baju baru, sandal baru, koko baru dan serba baru untuk menyambut hari idul fitri paginya.
“ sokhi, mana kembang api mu ?? “ tanya teman ku, yang kurasa sedang mengeledek
“ aku tidak punya “ aku memelas
“ bolehkah aku meminta satu milikmu ?? ” lanjutku
“ beli dewek !! punya uang kan ?? “ ketusnya di depan teman sebayaku
“ a-a-aku ndak punya uang buat beli seperti milik mu “ aku sungguh melas di depan teman sebayaku yang semua memliliki benda ajaib yang bisa terbang dan menyala-nyala lalu di iringi letusan keras. Sungguh banyak macamnya permainan itu.
“ kalo gak punya, mending gak usah main bersama kami, dari pada kamu hanya menyusahkan. Mending pulang sana!! “ sungguh perkataan BAGUS temanku menyakitkan.

*aku pergi dari keramain. Lari ku ke rumah nenek, ada kakek dan nenek sedang berjejeran bak pengantin baru.
“ kakek... nenek.... kapan Ibu bapakku pulang  ???” tanyaku rada tersendak karena ada benih tangis di teggorokan
“ kakek tidak tahu nak. Hukk hukkk “ mulut keriputnya batuk. Aku tak tega bertanya lagi. Apa lagi kepada nenek yang sudah pirang. Jakun kakek sungguh gersang keronta. Aku kasihan.

 TERKUCILKAN. Di luar sana semua orang bersuka ria. Suara takbir saling bersautan. Hatiku sungguh amat lara. Sungguh lara. Aku murung, kakek dan nenek hanya duduk di meja tamu, di depanya ada sesaji untuk para tamu, yang ku rasa kedua orang tua sepuh itu tak tau apa yang ku rasakan. Aku menangis. Suara takbir sungguh menyilet hati. Air mata bermanja bercucuran  di kaca yang ku tempelkan di jendela dengan penuh harapan ada yang datang .......
 
 aku menangis. Suara takbir terus menyilet-nyilet hati. Tangisku semakin menjadi.  

Suara takbir terbawa angin malam’
ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR LAA ILAHAILLAH HU ALLAH HU AKBAR. ALLAH HU AKBAR WALILAH HILHAM.

“ ibu ..... ayah ... kaka ..... aku rindu, di sini aku rala. Disini aku bukan apa-apa tanpa kalian “  ...... *menangis, airmataku terjun, 

patung NAGA

 ‘’PATUNG NAGA’’

Malam dengan rintik-rintik hujan, bergemerincih ke tanah hampar jogja. mataku mulai berat, serasa bangunan besar menyinggahi bulu mataku. Aku tertidur lelap. Hujan menenangkan hati ini, selimut menyetubuhiku berlapis-lapis.
Pagi yang cerah, burung beo milik bapak basah kuyup, karena semalaman lupa tak di masukan rumah. Dasar bapak, maklumi saja, beliau sudah sepuh.
Aku sudah siap untuk berangkat sekolah. Hari ini hari pertama ku UJIAN NASIONAL. Aku kelas 3 SMK.
Seperti biasa aku berangkat sekolah dengan sepeda fixi kesayangan ku, ku lewati malioboro. Semua riung di dekat bangunan baru disana, ku kira itu patung. Iyah patung, tapi yang ini lebih besar di bangdingkan patung-patung yang ku lihat sebelumnya. Bentuknya seperti naga, ku kira ini pemberian dari negara tetangga. Tapi yasudahlah ku lanjutkan menggowes sepeda ku, ke sekolah.
Ban sepedaku ber’ aduan dengan jalanan yang di genangi air bekas hujan semalam. Tapi yasudah ke kebut sajalah, aku sudah handal.
Sampai sekolah tepat waktu. pengawas ujian masuk ke ruangan peserta ujian, semua peserta mempersiapkan pensil, penggaris, penghapus DLL.
“ masih di segel yah !! “ pengawas menyakinkan semua peserta ujian.
Soal dan lembar jawaban di bagikan pengawas. Ku terka-terka semua soal. Ku kerjakan yang lebih mudah dahulu.
Ku kira tidak ada kesulitan dalam mengerjakan soal. akupun keluar pertama dari ruangan ujian. Bahasa indonesia adalah pelajaran favoritku. Soal yang di uji nasionalkan sangat mudah bagi ku.

Langsung ku gowes sepeda ku, pulang kerumah. Lagi. ku lewati malioboro. Orang-orang nampak berwajah serius di tepi-tepi bangunan patung naga itu. Rasa penasaran ku simpan dalam-dalam.
Sampai di rumah, aku langsung ke kamar. Tak sengaja ku dengar percakapan ibu ku dan ibu penggosip lainya di ruang tamu.
“ kalian semua tau, kalo patung naga itu bisa mengabulkan permintaan siapa pun” suara ibu ajeng rada membisik.
“ ahh. Masa iyah. Musrik itu !!! “ ibu ku (atun)  menimpa pembicaraan ibu ajeng.
“ ah. Gimana sih kamu tun. Buktinya tuh, tetangga kita, bu UUM dagangan nya laris manis, setelah dia ke patung naga itu”
“ satu lagi, anaknya bu UUM juga sekarang mendapatkan pekerjaan. Setelah 5 tahun nganggur” tambah bu ATI
Ibuku hanya terdiam, nampak ibuku tak percaya akan argumen-argumen ibu-ibu penggosip itu.
Aku meriuh dalam hati “Apa ?? patung naga itu bisa mengabulkan permintaan apa saja ???”
tempatnya saja di keramaian. Tapi mana mungkin semua orang tahu akan keajaiban patung itu. Ku pikir-pikir, besok masih UN. Mungkin aku bisa meminta kepada patung naga itu agar di mudahkan soal-soal UN. Hmmm.. “apa salahnya jika mencoba “ dalam hatiku.
Yasudahlah, ku niatkan tidak belajar hari ini. ke patung naga itu saja, ku yakin permintaan ku terkabulkan.
Malam harinya. Ku menyelinap keluar rumah. Ku bawa pensil yang kemarin mengisi soal ujian bahasa indonesia.
Ku tuntun sepada ku sepelan mungkin. Sampai di jalan besar lalu ku kebut secepat mungkin. Jalan lumayan lengan. Beberapa menit sampailah ku di tempat naga itu. Hmmmm... tapi aku bingung bagaimana cara meminta kepada patung naga itu.
Akupun bertanya kepada kakek berjenggot yang meyakinkan ku untuk bertanya kepadanya.
“ kek bagaimna ritual untuk meminta kepada patung naga itu ?? “ tanyaku kepada kakek berjenggot uban.
“ begini nak “ alisku menjulur penasaran mendengar penjelasan si kakek. Lalu ia lanjutkan
“ kamu ambil air di sekitaran patung itu. Lalu di malam hari jam 1. Taburkan air-air itu di depan rumah mu nak ‘’ mulut keriputnya meyakinkanku
“ hmmmm... yasudah kek, terima kasih. Akan aku lakukan ritual itu”
“ iyah nak. Hukc kukc “ kakek itu sudah sepuh seperti bapak ku.
aku lekas mengambil air di tepi-tepi patung itu dengan gelas yang ku beli dari air minum kemasan.
tanpa mengulur waktu. Setelah ku dapat airnya. Lalu ku Kebut sepada ku. Bayi-bayi hujan mulai jatuh, angin serasa semilir di malam selasa. Membuatku lebih hati-hati dengan air yang ku bawa.
Sampai di rumah. Semua sudah tidur. Sengaja sebelum ku berangkat ke patung naga itu, kamar ku sudah ku kunci rapat-rapat, ku beralasan untuk mempersiapkan diri untuk besok menempuh ujian nasional yang membuatku setres !! bagaimana tidak ?? 3 tahun ku belajar. Tapi hanya 4 mata pelajaran yang meluluskan ku. Aku lelah. Aku bisa saja gila. Aku halalkan saja semua cara untuk lulus !!! .
Lalu ku buka jendela kamarku. Dengan hati-hati, ku masuk kamar. Air bawaan ku terjaga ketat oleh ku.
“Ahhh semua berjalan dengan sempurna malam ini” menarik hela nafas panjang. Hujan mulai deras. Lidah –lidah petir bergelayutan di atap rumahku. Aku takut. Tapi yasudahlah, kupaksa mata ini untuk tidur. tinggal ku lakukan ritual jam 1 nanti. Ku set alaram tepat jam 1 malam.                                     
                                               ***

Kringgggg !!!!!!! jam beker ku bersuara keras membangunkan Tepat jam 1 malam. “ ahhh. Waktunya untuk ritual” dalam hati ku
Lalu ku keluar dari kamar, lewat jendela kayu. Dengan amat hati-hati langkahku hampa. Dengan cepat dan penuh harapan agar lulus ujian nasional, ke cebrik-cebrik’an air patung naga itu di depan rumah. Secepat kilat, lalu ku balik ke kamarku. Tidurku belum puas. Lalu aku tidur ....
Aku bermimpi .......
Aku duduk menatap patung itu. Suasana sepi. Gemuruh air mancur di tepi patung naga itu menenangkan hatiku. Beberapa orang juga sama seperti ku. Mereka teman sekelas ku. Lalu ku datangi salah satu sahabatku.
“ sedang apa kamu di sini ?? “ tanya ku dengan senyum hampar
“ aku sedang menunggu kereta kuda yang akan membawaku berangkat sekolah “ wajahnya pucat
“ ohh, baiklah. Aku tidak akan mengganggu mu “

lalu ku bertanya lagi kepada teman sebangku ku yang sedang duduk di tepian patung naga
“ sedang menunggu apa kamu disini. Ratna ?? “ tanyaku heran
“ aku dan teman-teman lainya sedang menunggu bis sekolah, ke sekolahan kita “ jawabnya dengan pelan-pelan wajahnya menengok kepada ku.
“ baiklah kalo begitu “
selang beberapa lama. Kereta kuda datang menjemput sahabat ku Andre. ke sekolah.
lalu di belakang kereta kuda itu. Datang bis sekolah. Semua teman-temanku masuk dengan senangnya.
 akupun mencoba ikut dengan teman-teman ku. Tapi langkah ku berat bukan kepalang. Setelah bis itu berangkat meninggalkan ku. Aku  sendiri di patung naga ini.
Ku menatap ke mata patung naga itu. Ohh tidak !!! patung itu hidup. Patung itu hidup !! lalu dengan suara berat naga itu berbicara kepaku.
“ hayy nak muda !!.. kaulah yang meminta kepada ku akan di permudahkan mengerjakan soal ujian nasional ?? “
“ i-i-i-iyah naga” keringatku hujan membasahi baju ku
“ apa dengan kau meminta kepada ku. kau akan lulus dan mendapatkan pekerjaan ??”
“ i-i-i-yah naga. Aku yakin. Aku percaya kepada mu naga”
“ kalau begitu. Ambil pisau ini. dan tancapkan ke perut mu. Sekarang  !!!!! “
“ aaaapaaa ?? apa dengan cara tersebut aku akan lulus ujian dan mendapatkan pekerjaan ?? “
“ jangan banyak tanya !! lakukan saja !! “
lalu dengan tangan gemetar ku penuhi permintaan naga itu.
“ ku hitung satu sampai tiga. Lalu kau tancapkan pisau itu !! “ naga itu sudah tidak sabar
“ satu “
tubuhku gemetar
“ dua “
pisau ku dekatkan di bagian perut ku
“ tiga !!!!! “
“ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhkkkkhh !!!! “
*****
“ bangun. Bangun !!!! “
“ apa !!! ??? “ aku kaget terbangun dalam tidur ku.
“ cepetan bangun sudah jam berapa ini. hari ini kamu UN juga” bapak ku membangunkan ku
Secapat apapun, aku berkemas. Ku kebut sepeda ku.
Sampai di sekolah. Soal dan lembar jawaban di bagikan. Aku pun langsung masuk ke ruangan ujian.
“ maaf bu. Saya telat “ ampun ku kepada pengawas.
“ yasudah. Kamu duduk “
ku rasa pengawas sedang baik hati.

Di kerjakan ku soal MTK. Ahh MTK !!!. melihat angka saja aku sudah ingin muntah.
“ ahhh.. anggap saja ini mudah. Aku kan sudah mengerjakan ritual tadi malam “ dalam hati ku
Tapi tak semudah yang ku bayangkan. Satu nomor saja belum aku kerjakan. Waktu tinggal 10 menit lagi. Menyontek tidak mungkin. Yasudah. Ku paksa pensil yang ku bawa ke patung naga ini untuk menari memilih sendiri jawaban sesuka hatinya. Itu sudah jalan terakhir.
Semua sudah keluar dari ruangan ujian. Tinggal aku sendiri yang nampak di campakan. Pengawas wajahnya sudah bosan. Dilipat kedua tangan di perutnya.
Tinngal beberapa nomor lagi. Waktu ujian sudah habis, tapi ini bonus dari pengawas ujian
 “ Selesai !! “  aku lega 
lalu ku tumpukan hasil jawaban ku bersama dengan yang lain.
dan aku pun lekas pulang.
hari sudah siang. Ku duduk di teras rumah. Terbisat di benakku mimpi semalam. Mimpi
dengan patung naga itu. Ku pikir-pikir. Ku pikir-pikir lebih dalam lagi. Tujuan ku sekolah adalah untuk bekerja. Apa dengan cara yang ku lakukan kemarin. Pekerjaanku akan berkah. Akan halal. Jika mujur aku bisa lulus dengan ritual itu. Jika tidak ?? hanya dosa yang ku dapat !!
ASTAGFIRULLAH ’’ AKU MENYESAL
                                      *****
Siang itu yang tadinya panas menjadi mendung. Bayi-bayi hujan mulai turun. Angin semilir-milir. Aku menyesal. Aku berdosa. Lalu suara adzan duhhur saling bersautan dari masjid dan suro. Suaranya di selingi angin yang menyapa pepohonan di hadapanku. Tak ku sadari air mata berlinang di pipi. Hatiku luluh. Aku bertobat. Maafkan hamba mu ya ALLAH