MEMBACA KISAH INSPIRATIF HELEN KELLER LEWAT NOVEL TERE LIYE

Pernahkan kamu merasakan kegelapan? Seberapa lama? Sepuluh detik? Satu menit? Bagaimana rasanya gelap? Mengerikan? Bagaimana jika kamu terus-menerus melihat hanya gelap. Hitam. Ditambah tak mendengar?
            Kamu bisa mencobanya dengan memejamkan mata, dan menutup telinga. Rasakan. Apa yang terjadi?
            Ya, pasti tidak menyenangkan, buruk, dan semua orang pasti tidak mau untuk tidak bisa melihat, mendengar apalagi berbicara. Tiga hal ini adalah ‘pintu masuk’ semua informasi. Bagaimana jika ada yang orang tidak bisa melakukan tiga hal tersebut?
            Bertanyalah pada Helen Keller. Kau tak perlu bertemunya langsung. Kau bisa membaca bukunya atau menonton film tentangnya. Tentang perempuan yang lahir normal tapi di umur 19 bulan seolah dunia terputus dengannya, ia tuli dan buta—karena ia tuli dan buta, ia tak bisa berbicara normal.
            Hanya ada hitam, kosong, hampa..


            Itu pula yang membuat Tere Liye menuliskan novel berjudul Moga Bunda Disayang Allah. Novel ini terinspirasi dari kisah hidup Helen Keller dan film India berjudul Black. Intinya sama, bercerita tantang perempuan buta, tuli, tak bisa bicara. Tapi tak sembarang cerita, cerita itu sungguh menginspirasi. Bagaimana tidak? Seorang yang sudah terputus dengan dunia terus berusaha bagaimana caranya untuk keluar dari itu semua.
            Seperti kisah di dalam novel Tere Liye ini. Tokoh Helen Keller diperankan menjadi Melati. Melati adalah anak kecil buta, tuli dan tak bisa bicara. Sudah berapa banyak dokter yang diundang untuk menyembuhkan Melati. Tapi tak ada yang bisa. Dokter-dokter itu menyarankan agar Melati dimasukan ke rumah sakit jiwa saja. Hingga akhirnya kedua orangtua Melati setuju untuk memanggil guru yang terkenal sangat dekat dengan anak kecil, guru itu bernama Karang.
            Di sini cerita berjalan.

cover belakang.. 

            Hari demi hari Melati diajari Karang untuk mengenal dunia. Di Minggu-minggu pertama Karang begitu kasarnya pada Melati. Sehingga membuat Tuan HK (ayah melati) geram, apalagi Karang ketahuan pemabuk. Itu semakin menyulut amarah Tuan HK yang sangat tak suka dengan pemabuk.
            Karang diusir, tapi ia masih ingin mengajari Melati untuk mengenal dunia. Menjelang kepergian Karang (karena diusir), ternyata Melati sudah bisa makan dengen sendok—biasanya Melati makan dengan tangannya langsung, dan menghamburkan semuanya—ini adalah suatu keajaiban bagi Bunda. Anak satu-satunya itu bisa makan dengan sendok! Ini suatu kemajuan yang luar biasa!
            “Kami tidak meminta keajaiban Melati sembuh, ya Allah! Kami tidak meminta keajaiban Melati bisa melihat dan mendengar lagi, karena itu mustahil. Kami tahu itu! tapi kami hanya meminta keajaiban agar Melati mempunyai cara untuk mengenal dunia ini. Mengenal Bunda dan Ayahnya, dan… dan.. mengenal Engkau, ya Allah. Anak itu bisa dengan baik mengenal-Mu.” (86)
            Ketika Tuan HK pergi ke luar negeri untuk keperluan perusahaannya dan Karang diusir. Melihat kemajuan Melati, Bunda setuju dengan Karang bahwa ia akan tambah lama di rumah mereka untuk mengajarkan Melati. Sebagaimapun, Tuan HK jangan sampai tahu akan hal ini. Bisa-bisa dia akan marah besar pada Karang. Kerena lelaki pemabuk itu masih di rumahnya.
            Di waktu-waktu itu, Karang terus mengajari Melati tanpa lelah. Mengajari anak kecil yang tak bisa melihat, mendengar dan berbicara. Bagaimana tidak susahnya? Mengajari anak kecil yang bisa melihat mendengar  dan berbicara pun sangat sulit.
            Hingga akhirnya Tuan HK membuat kejutan bahwa ia pulang sehari lebih cepat. Didapati Karang masih di rumahnya. Terjadilah keributan itu. Bunda menjadi penengah, dan pembantu di rumah besar itu menjadi penontonnya. Semua lupa pada Melati yang sudah pergi keluar rumah besar itu.
            Melati menuju halaman rumah, menuju air mancur. Ia meraba-raba tetesan air hujan itu. Meraba tanah. Hingga akhirnya Karang tahu bahwa ini caranya Melati berkomunikasi. Dengan tangannya!
            Ia dekatkan telapak tangan itu di mulutnya, dan berkata A-I-R. Melati mengerti. Ternyata yang basah-basah ini adalah air!
            Berbulan-bulan Karang terus mengajari Melati dengan cara seperti itu. Mulut, telinga, mata melati ada di telapak tangan itu. Itulah jalur komunikasinya!
“Tahukah Tuan hal yang paling menyedihkan di dunia ini? Bukan! Bukan seseorang yang catat atau memiliki keterbatasan fisik. Bukan itu! melainkan seseorang yang sehat, normal, sempurna fisiknya, tapi justru memiliki keterbatasan akal pikiran. Bebal bodoh.” (hlm. 107)

*
Aku suka novel ini. Novel yang sangat inspiratif. Ia mengajarkan kepada kita semua tentang syukur yang kadang kala kita lupa akan hal itu. Ia mengajarkan kita untuk menjaga nikmat Tuhan. Bahwa kita yang sempurna ini pun kadang kala malas untuk ‘mencari’ Tuhan. Lalu bagaimana jika kita tuli dan buta?
            Bahasa yang digunakan dalam novel ini sangat ringan. Kadang ada unsur komedinya. Kadang juga ada bahasa lisan dalam narasinya. Tokoh pendukung seperti Salamah—pembantu rumah tangga Tuan HK—sangat menarik untuk disimak. Ia unik dan ada di sekitar kita.
            Tapi, aku menemukan beberapa typo di sana. Aku tak sempat menandainya di halaman berapa, karena takut nanti ‘ndak dapet’ ketika membaca novelnya. Jadi aku teruskan walau menemukan beberapa typo dan narasi yang ndak sesuai.

            Terlepas dari itu. Aku suka dengan novel ini. Patut untuk kamu baca, walau sudah lama terbit.. 

"KAK EYD"



Esa Mutiara. Dari namanya, kita bisa menebak bahwa cewek ini anak pertama. Dari namanya pula, kita bisa tahu kalau dia anak rohis (apa hubungannya?)
 Perkenalkan, dia bisa dibilang teman gue, lebih tepatnya adik kelas sejak SMP..  
            Ketika SMP, gue sama sekali ndak kenal sama cewek satu ini. Bahkan gue baru kenal sama dia pas satu sekolah di SMK. Itu pun gara-gara ada seminar bareng yang kami ikuti. Berjalannya waktu, kami dekat dan udah gitu aja. Ngoahaha..
            Hingga akhirnya, kemarin dia bilang ke gue untuk menuliskan tentangnya. Gue bingung nulis apa. Tapi semoga aja postingan ini bisa memenuhi ekspetasi dia.
            Gue mulai dari mana ya..
            Hm.
            Jadi gini, cewek satu ini menurut gue kalau emang lu belum kenal, tampak begitu judes atau bahkan cuek. Kalau udah kenal, beuh, dia emang bener super judes dan cuek. Tapi sebentar, hal itu akan terjadi kalau lu bikin dia bete. Selama ini sih berteman sama dia, ndak terlalu bermasalah sama hal ini. Ya enjoy aja..
            Menurut temen-teman gue, doi ini cantik. Bagaimana ndak? Lihatlah, dia menutup auratnya, wajahnya berseri-seri, murah senyum, dan begitu menggemaskan. Selain cara bertuturnya yang lembut. Ditambah lagi, di sekolah dia sering membaca al-qur’an gitu.
            Jadi di sekolah kami setiap hari tepatnya setelah bel masuk sekolah, akan ada yang namanya KI1. KI1 ini, untuk yang beragama islam membaca al-qur’an, dan yang non-muslim beribadah menyesuaikan.
            Dan si doi ini, sering banget baca al-qur’an lewat speker sekolah untuk mempimpin kami satu sekolah membaca al-qur’an. Suaranya merdu, enak didengar dan rasanya pengin terus dengerin sampe lupa baca al-qur’an sendiri. Astaghfirullah..
            “Siapa tuh yang baca al-qur’an?” tanya temen gue suatu hari.
            “Paling si anu,” gue menyebut namanya.
            “Dia adik kelas lu waktu SMP kan? Cantik lu gila,” katanya sambil melotot ke arah gue. Gue ndak menjawab, cuma menempeleng kepalanya.
            Kata doi, dia minta gue nulis tentang dia atas dasar kenang-kenangan karena gue mau lulus. Walaupun sampai saat ini pengumuman kelulusan belum terang benderang. Semoga aja sih gue lulus. Biar tulisan yang udah telanjur diposting ini ndak malu-maluin, hihi..
            Selain itu, si doi ini bisa dibilang sedang memperbaiki dirinya. Jadi buat kalian yang berharap bisa dekat TERUS mencoba melancarkan rayuan gombal TERUS nembak TERUS berharap pacaran. Gue rasa ndak mungkin.
            Bukan apa-apa, gue yakin sama si doi pasti dia bersungguh-sungguh dalam hal di atas. Gue sebenernya juga ndak deket-deket amat sama dia, apalagi sampai-sampai pacaran atau apalah. Biar, biarkan si doi asyik dengan dunianya sendiri. Ini bukan berarti dia ndak mau berteman sama kalian. Bolehlah kalau itu. Tapi ingat aja apa yang gue omongin barusan.
            Btw, doi ini anak akuntansi, paling jago ngitungin duit walau ndak ada duitnya. Pun suka dunia psikologi. Awalnya, itu gara-gara salah-satu guru di SMP bernama Bu Sri sering berbicara psikologi di pelajarannya. Tertariklah si doi ini, dan sering pula minjem buku ke gue tantang psikolog. Gue juga suka psikolog sih, punya beberapa bukunya juga. Kenapa gue suka? Karena di dunia psikolog tuh mengasyikan, kita belajar tantang kemungkinan-kemungkinan manusia yang bisa dibedakan berdasar ‘yang telah Tuhan berikan sejak lahir’, dan banyak lagi.
            Kalau si doi ini minjem buku, cepat juga kembaliinnya. Gue curiga metode apa yang dia anut dalam membaca buku. Jangan-jangan bukunya ndak dia baca, pinjem cuma biar deket sama yang punya buku aja? Ngohaha..
            Gue juga pernah terlibat dalam satu ekskul sama si doi. Yakni ekskul PIK dan Jurnalis. Tapi keterlibatan ini ndak berlangsung lama. Mungkin karena si doi ini bosenan kali ya? Mungkin..
            Di jurnalis, dia minat banget menjadi orang yang mewawancarai narasumber. Maka pernah beberapa kali dia menghasilkan satu berita dan gue yang nulis. Dan sekarang, kedua ekskul itu di sekolah entah bagaimana kabarnya, barangkali sudah tinggal kenangan, huhuhu…
            Gue rasa, postingan ini sudah lumayan panjang. Jadi gimana? Tutup aja nih?
            Eits bentar-bentar. Ada satu lagi nih, yaitu asal-usul panggilan Kak EYD. Sungguh, ini panggilan paling absurd yang pernah ada yang disematkan pada gue.

ini pas ada kegiatan bareng..


            Jadi, waktu itu gue lagi sakit hati karena dikasih komentar sama admin kampusfiksi tentang tulisan gue yang berantakan. EYD berantakan, metafor, analogi dan sebagainya. Maka gue beli buku EYD untuk memperbaiki salah satunya. Yang lain gue belajar dari buku-buku nyastra.
            Nah, buku EYD ini sering gue bawa dan dibaca di blankon sekolah sambil duduk dan menikmati suasana sekolah, di samping pohon. Mungkin beberapa orang di bawah atau di bagian manalah di gedung sekolah kami, ada yang liat gue lagi baca buku EYD. Termasuk si doi ini. Akhirnya terciptalah: Kak EYD itu lahir. Yups, kak Ejaan yang Disempurnakan. Ngoha..
            Ada-ada aja emang. Tapi ya gue terima panggilan itu dengan lapang dada. Kadangkala kalau ketemu dan doi panggil gue, orang yang denger sering senyum-senyum ndak jelas gitu.
            “KAK EYD!”
            Mana ada orang punya panggilan seperti itu? ngoahaha..
            Dah, gimana? Sampai sini aja tulisan ini? Yaudah.***


ini dia sosoknya!

REUNIAN SD SETELAH 7 TAHUN NDAK KETEMU!



Sekarang gue udah UN SMK dan nunggu pengumuman lulus atau ndak, dan nunggu apakah di sekolah gue mau ada acara perpisahan atau ndak. Tapi kabarnya acara itu ndak bakal ada di sekolah gue, konon dilarang oleh pemerintah atau apalah itu. Nanti kalau ketauan ngadain acara, kepala sekolahnya bisa kena. Konon juga, regulasi ini sudah ada tiga tahun lalu. Hm..
            Tapi anehnya, banyak tuh sekolah-sekolah yang ngadain acara perpisahan. Yasudahlah, itu hal aneh.
            Sekarang gue mau cerita tentang reuni SD. Yups, kumpul-kumpul kangen gitu. Biasanya kami merayakan ini bukan di tempat SD kami, dan kali ini kami berinisiatif untuk merayakannya di SD kami dulu. SDN MANGGA BESAR 05 PAGI!
            Bayangkan, gue lulus dari SD ini 2009, dan sekarang udah 2016. Udah berapa tahun tuh gue ndak ke sini? 7 tahun broh!
            Dan saludnya, angkatan gue tuh solid bangits. Sekalinya kumpul jarang sepi, dan jarang juga rame, ya biasa aja lah.. tapi menurut gue sih, angkatan SD gue ini cukup solid. Gue bangga bisa di antara mereka.
            22 April 2016, pagi hari gue bertemu teman-teman SD gue dulu. Ada yang biasa gue ketemu pas reunian di luar, ada pula yang baru gue liat setelah 7 tahun lamanya pisah. Gila, wajah mereka beda banget, bahkan sempat gue ndak kenal. Gue kira dia angkatan lain yang mau ikut-ikutan gitu. Tapi eh, dia angkatan gue. Ngohaha..
            Kami langsung menuju ruang guru. Benar-benar banyak banget yang berubah di ruangan ini, di samping guru yang mengajar semakin sedikit. Kalau ndak salah hanya ada 8 guru.
            Kami masuk ruangan itu sopan, dan salim ke semua guru yang ada di ruangan itu. Ada Bu Kunti, Bu Intan, Pak Yusuf, Bu Aisyah waktu itu. kami ngobrol-ngobrol ringan.  Ditanya sekolah di mana, kerja di mana, udah nikah apa belum?
            Dan kebanyakan dari kami baru aja selesai UN, walau ada satu yang udah kerja, Eva.
            Salah satu teman gue adalah Andre. Dia jadi beda banget. Waktu SD dulu gue selalu sebangku sama dia. Waktu itu dia gendut, ngeselin, rambutnya kayak mangkuk, dan pinter di segala bidang pelajaran. Btw, dari SD sampe SMK gue selalu duduk sama orang yang lebih pinter dari gue, atau setidaknya MTK-nya lebih dari gue. Karena memang di situ kelemahan gue. Ngohaha..
            Gue dan Andre bincang-bincang di blankon sekolah. Kami melihat ke bawah, melihat lapangan yang penuh kenangan itu.
            “Lu masih inget nggak? Waktu itu gue ledekin lu ‘Maman-Maman!’ terus lu marah-marah sampai ginian gue?” Andre memakretakan bagaimana ia dijorogin sama gue tapi dengan tangannya sendiri. Niat banget dia bikin ilustrasinya.
            Gue mikir, mengorek potongan-potongan itu. btw, Maman adalah Bapak gue, dan bapaknya Andre namanya Aren! Gula Aren! Ngoha..
            “Gue lupa. Hahaha,” jawab gue, tapi beberapa jam kemudian gue inget!
            Kami ngobrol banyak, karena memang gue dan Andre boleh dibilang sohib sejak SD kelas 4—kelas 1-3 kan gue di kampung—sampai sekarang kami masih terus teman baik.
            “Ndre, fotoin gue dari sono deh, gue lagi begini,” pinta gue, dan dia nurut. Hasilnya begini:



            Reunian ndak terlalu lama, ini pun ndak terlalu terencana. Di grup BBM katanya banyak yang respon, tapi mereka malah ndak dateng.
            Kami membelikan guru-guru kue Swis, hasil patungan kami. Tapi gue ndak patungan, ngohahah, waktu itu gue ndak megang duit! Serius.
            Dari guru-guru SD, gue paling inget sama Ibu Kunti.
            Waktu SD dulu, gue terkenal sebagai anaknya Bu Kunti, btw namanya agak serem ya? Orangnya juga serem sih, ups, ndak-ndak, Bu Kunti ini sangat baik hati, lemah-lembut dan penyayang… buktinya gue waktu SD terkenal jadi anaknya? Ya kan?
            Kalau ndak salah kenapa gue bisa dibilang anaknya Bu Kunti, itu karena gue kalau disuruh apa-apa mau. Disuruh maju, mau, disuruh lomba, mau, disuruh beli makanan, mau. Ya begitulah gue waktu SD, rajin bangets, sekarang juga, jarang tapi..
            Akhirnya..
            Kami pulang setelah banyak mengambil foto selfie. Sialnya, fotonya ndak pake hp gue. Kalau pun pake hp gue juga ndak bakal bagus hasilnya. Gue cuma beberapa mengambil gambar untuk blog gue. Seperti biasa, mereka komen.
            “Wah awas lu nanti diupload ke blog.”
            “Blab la bla bla..”

            Pokoknya seneng dah bisa kumpul-kumpul bareng teman SD dulu. Cobain deh. Kalau teman SD lu masih inget tapi, ngohaha.. 

ini di kelas 6, kecil-kecil banget ya. atau mungkin gue pernah sekecil ini? :0
Lapangan.. 


SEDANG APA IBU SEKARANG?




Tadi malam saya melihat langit. Hitam. Ndak ada bintang. Kelam. Dingin. Seketika itu juga saya ingat bahwa ketika kecil dulu saya pernah begitu dekatnya dengan Ibu. Bertanya tentang hal-hal spele yang ndak penting.
            Saya ingat, ketika itu saya, Ibu dan adik saya pulang dari rumah kakek. Waktu itu malam hari, di kampung. Pencahayaan minim, tapi di langit, bulan dan bintang terang. Padang bulang, kata orang-orang kampung.
            Di kanan-kiri penuh pepohonan, suasana begitu dingin, sesekali ada suara jangkrik bersautan, ranting tersapu angin.
            Kami berjalan, adik kecil saya digendong Ibu, sedang saya berjalan di samping Ibu. Entah apa yang saya pikirkan waktu itu—karena saya masih kecil—bertanya begini sambil menatap bintang yang kerlap-kerlip, “Cita-cita ibu apa?” lalu Ibu menjawab agak lama, berpikir. Sedang suara jangkrik menjadi mendominasi di antara kami. Saya kira Ibu ndak akan menjawab.
            “Ya, waktu kecil ibu pengin banget menjadi orang sukses,” jawab Ibu datar.
            “Kayak sekarang?”
            “Ya, mau bagaimana lagi, ibu ndak sesukses yang ibu impikan waktu kecil. Ya biar anak-anak aja yang sukses. Seperti kamu, dan kakak-kakak, adik-adik kamu. Jadilah orang sukses.”
            Sungguh, waktu itu saya ndak berpikir panjang bahwa jawaban Ibu itu bisa teringat sampai sekarang.

*
            Ibu akan menjadi orang paling sibuk nomor satu di rumah kami. Beliau yang mengatur makan kami, pakaian kami, biaya sekolah kami, dan segala hal. Seolah beliau ndak ada waktu barang sebentar untuk menikmati dunia. Super sibuk. Ditambah anaknya yang banyak.
            Ibu begitu sibuknya, sampai sekarang pun saya jarang melihat ibu bersantai. Ibu melakukan banyak hal untuk anaknya. Ibu akan mencari uang untuk anaknya agar bisa terus bersekolah, mencari uang dari mana saja. Kadang ibu menjadi petani padi. Dengan pakaian alakadarnya dan tudung yang begitu lusuh pergi ke sawah. Pulang dengan penuh peluh. Itu semua untuk anaknya, untuk saya.
            Suatu hari saya pun masih ingat Ibu bercerita tentang masa kecilnya. Waktu itu Ibu mengenyam pendidikan hanya sampai SD. Waktu SD dulu, Ibu membawa air botol dari rumah dan ditaruhnya di semak-semak, saat istirahat air itu diambil ibu, saat itulah air menjadi agak dingin. Diminum jadi lebih nikmat. Beliau diberi uang jajan pun alakadarnya.
            Waktu kecil pun Ibu membantu orangtuanya mencari uang. Maklum, Ibu adalah anak nomor dua tertua di keluarga.
            Saya sungguh ndak tega melihat wajah Ibu. Di sana tersirat betapa lelahnya seorang perempuan. Ah.. apalah daya saya untuk membahagiakan Ibu? Bahkan sering menyusahkan Ibu. Belum ada yang bisa saya banggakan di depan Ibu, sampai kapan pun saya ndak bisa membalas kasih sayangnya selama ini. Ndak akan bisa.
            Ke depan, saya bertekad untuk membahagiakan Ibu. Saya akan membawanya jalan-jalan, meninggalkan rutinitas. Membawanya ke tempat refleksi, dipijat-pijat, sehingga semua penat yang ada di kepala Ibu terlepas. Walau hanya sementara.
            Entah bagaimana caranya, saya akan membuat Ibu tersenyum bahagia, walau selama ini kami jarang berjumpa. Kalau ada kesempatan berjumpa, saya selalu nelangsa. Ibu pasti memakai daster lusuh di depan rumah menyambut saya yang turun dari motor sehabis sampai di stasiun (dari Jakarta). Ibu memakai daster itu-itu saja dari tahun ke tahun, sampai ada bagian yang sobek.
            Ibu hanya sedikit mempunyai pakaian bagus. Mungkin hanya setahun sekali pakaian bagus Ibu dapat. Itu pun kadang-kadang di hari raya boleh diberi oleh saudara-saudaranya. Jarang pula Ibu membali pakaian baru di pasar, kalau pun beli, Ibu akan menimbang-nimbang uang yang Ibu pegang untuk membeli keperluan lain. Jadi kalau beli pakaian harus yang paling murah, biar bisa membeli kebutuhan yang lain.
            Duh, sedang apa Ibu sekarang ini di kampung? Sehatkah?
            Saya sungguh rindu Ibu. Saya ingin tidur di pangkuannya dan bercerita dan bertanya banyak hal. Tapi hal itu ndak mungkin. Saya sudah sebegini besarnya, sudah mempunyai tanggungan hidup sendiri. Sudah harus bisa mencari uang sendiri. Masak masih tidur-tiduran di pangkuan ibu? Ah..
            Waktu terasa begitu cepat.
            Ingin rasanya kembali ke masa-masa itu, masa di mana saya bisa bertanya kepada Ibu tanpa rasa sungkan. Dengan polosnya tanpa beban. Ah, Ibu, suatu saat saya pasti akan bisa membahagikanmu. Bagaimanapun caranya…
            Ketika orang-orang sibuk mencari Kartini di masa ini? Kartini saya adalah sosok Ibu saya.***
           

NYEWA CASAN HP DI KONTER, PERTAMA KALI DALAM HIDUP GUE


Gimana rasanya kalau hp lu lobet di keadaan genting dan ndak tau mau ngecas di mana. Casan ilang, di kosan lagi mati lampu,  power bank habis. Pilihan paling akhir adalah, nyewa casan di konter!
            Ya, persis banget dengan apa yang gue alami sekarang.
            Sungguh, gue dalam keadaan terburuk sekarang ini. Kosan lagi ada kasus, pemiliknya belum bayar listrik berbulan-bulan. Hingga kini dicabut dah tuh listrik. Jadi jangan tanya kalau malem gue kayak gimana. Udah pasti gue pake lilin sebagai penerang, berasa ke zaman-zaman yang itu..
            Ditambah nyamuk semakin banyak kalau kipas angin ndak nyala. Maka gue pake obat nyamuk untuk menimalisirnya. Tetep aja bentol-bentol di mana-mana.
Gue ndak betah kalau malem di kosan, gue lebih milih jalan-jalan ndak jelas ke luar, sambil bawa-bawa tas yang isinya notebook dan buku. Siapa tau ada tempat yang pas buat nulis atau baca gitu.
            Sampai saat ini, gue jadi sering nongkrong sendirian di sevel. Sambil nulis dan sesekali baca buku. Berlama-lama sampai diusir sama pegawainya. Ngohaha..
            Gue cuma beli satu botol air dan dengan sok-nya memainkan notebook dan menjadikan meja dan kursi yang gue pakai seperti di rumah sendiri. Kalau gue jadi pegawainya sih agak gedek ya liat orang kayak gue ini. Tapi ya bagaimana lagi, mz, gue butuh listrik. Di kosan gue ndak ada listrik, kalau ndak percaya nyok maen ke kosan gue, udah kayak goa noh!
            Gue sih menikmati aja keadaan ini. Menantang!
            Dan yang membuat lebih menantang, itu ketika hp lu mati dan ada beberapa hal penting yang harus lu tau lewat hp lu. Kalau gue, gue pilih ngecas di konter. Waktu itu gue masih inget ngecas di konter (karena ini pertama kali dalam hidup gue), pas udah selesai ngecas, mbak-mbaknya baik banget, bilang gini, “Ndak usah (bayar), bayar air minumnya aja,” sambil senyum.
            Ya akhirnya gue bayar air minumnya aja, waktu itu gue beli Floridina. Sensasi ngecas di konter tuh menantang. Kita harus was-was sama hp kita yang lagi dicas, jangan sampe ilang dibawa sama maling. Sekitar 10 detik sekali lu harus melihat keadaan hp lu. Kalau ndak, siap-siap aja hp hilang!
            Gue pernah merasa bahwa kehidupan gue tarasa terputus ketika hp gue mati total dan ndak dicas. Di waktu kayak gini, gue lontang-lantung ndak jelas. Duit ndak megang, listrik mati, hp mati, duh.. kehidupan terasa terputus…
            Gue cuma bisa tidur di kosan, sambil meratapi hidup ini dan ndak tarasa mata ini menitikan air.. huhuhu.. ndak, ndak.. bohong itu! gue seterong!
            Dalam hal ini, gue belajar bahwa betapa berharganya itu yang namanya listrik. Dia memberikan kehidupan. Gue jadi sadar bahwa gunanya menghemat listrik adalah untuk ini. Untuk kalau bayar listrik ndak mahal, dan kalau udah kemahalan jadi ndak kebayar deh, akhirnya dicabut deh.. heu-heu..
            Sekarang gue lagi di sevel, menulis ini ditemani tas di samping gue dan satu buku terbuka. Ada satu botol minuman, di samping notebook gue, gue ngecas hp. Hm.. seru juga sih hidup kayak gini.

            Yang penting jangan lupa buat tertawa biar ndak gila! Ngohaha… 

Sevel Mangga besar

Tantri, Perempuan yang Bercerita dan Kisah Hewan Penuh Pesan Moral




Saat itu aku sedang jalan-jalan di toko buku gramedia Matraman. Bukan, aku bukan jalan-jalan di toko buku yang penuh dengan buku-baku baru dan mulus itu. Aku jalan-jalan di basement gedung gramedia matraman. Jangan salah, di sana pun ada penjual buku, bedanya, di sana buku-buku dijual dengan harga miring. Jadi, kalau mau beli harus berjalan miring dulu.. #krik
Kerena itu, aku sering ke sana. Beberapa faktornya, karena uang ndak memenuhi untuk membeli buku-buku mahal di ‘toko buku sebenarnya’. Tapi bukan berarti buku-buku di basement gedung gramedia ini ndak ada mutunya. Banyak buku-buku bagus dijual di sini. Dari pelbagai penerbit. Ada dari kompas, gramedia, KPG dan penerbit besar lainnya. Di tempat ini pun buku-buku yang dijual selalu ‘diupdate’ secara berkala.
Salah satu buku yang aku beli di basement gedung gremedia itu adalah novel Tantri, Perempuan yang Bercerita, karya Cok Sawitri. Awalnya aku tertarik dengan buku ini karena sampulnya, ditambah sinopsisnya, ditambah lagi penerbitnya. Kendati buku ini terbit tahun 2011, menurutku buku ini ndak termakan zaman, dibaca kapan saja ndak ‘ketinggalan’.
Menurutku untuk membaca buku ndak harus membaca buku yang baru terbit, buku-buku yang sudah lama terbit pun patut kita baca. Emang ada aturan untuk membaca buku harus buku yang baru terbit? Ya ndak ada salahnya sih, tapi ya coba sekali-kali baca buku yang udah lama terbit deh..
Buku ini berkisah tentang seorang perempuan, Nih Diah Tantri yang bercerita sepanjang hari untuk raja Patali Nagantum: Eswaryadala. Tantri bercerita sepanjang hari di peraduan sang raja. Tantri bercerita tentang hewan-hewan yang dihidupkannya seperti manusia, dan hewan-hewan itu terus bercerita dari kisah ke kisah. Aku membacanya juga sempat bingung.
Bukan apa-apa, soalnya hewan yang diceritakan Tantri terus berkisah dan kisah dari hewan itu malah berkisah lagi. Tapi cerita-cerita hewan itu cukup menggelitik, banyak pesan moralnya dan sangat menghibur.
Kenapa Tantri berkisah sepanjang hari di peraduan raja?
Itu karena sang Raja (yag masih muda) selalu resah hatinya. Bahkan raja ini menculik banyak perempuan dan ditampung di sebuah ruangan besar entah untuk apa. Apa hal ini akan membuatnya ndak resah lagi? Ternyata ndak..
Sampai suatu hari, ayah Tantri (patih dari sang Raja) memberikan tawaran. Ia memberikan tawaran anaknya Tantri untuk mengusir kegundahan di hati Sang Raja. Misi lain, Tantri ingin tahu perempuan-perempuan yang disekap di istana itu.

Apa bedanya raja dengan rakyatRumahnya disebut istanaPerintahnya adalah kuasaTak beda dengan saudagar kayaRumahnya bagai istanaPerintahnya juga kuasaPasar tunduk padanya. (hal 24)

            Maka Tantri mulai melakukan tugasnya, bercerita kepada sang Raja tentang hewan-hewan itu. Tantri perempuan cerdas, di dalam ceritanya itu, ia pun mengkritik kekuasaan sang raja tersebut. Pastinya dengan cara yang ciamik. Ia membuat tokoh-tokoh yang amat unik.
            Contohnya Sambada, dikisahkan Candapinggala seekor pemimpin dari gerombolan anjing di hutan Malawa yang terkenal angker. Hari itu semua pengikuitnya disuruh untuk berburu. Sial bagi anjing-anjing itu, ndak ada sama sekali hewan yang bisa diburu. Sampai pada suatu siang, mereka bertemu dengan Sang Nandaka, seekor lembu. Perut mereka sudah sangat lapar.


Sebenarnya aku sudah lama menamatkan buku ini, tapi entah kenapa, cerita-ceritanya terus aku ingat, bahkan ada yang ‘terlihat’ sangat jelas sampai sekarang. 



            Tanpa babibu, anjing-anjing itu menyerang sang lembu. Tapi jangan salah, lembu itu bukan lembu biasa, ia lembu yang diberikan kepada seorang Bhagawan dari dewa. Lembu itu hebat, lembu itu ajaib.
            Dari banyaknya anjing yang mengepung sang lembu, dengan mudah lembu itu mengalahkan anjing-anjing itu. Hingga akhirnya kabar ini terdengar oleh Candapinggala, pemimpin mereka. Akhirnya keduanya bertemu, ndak dipercaya, Candapinggala malah berguru pada sang lembu. Pengikutnya kecewa..
            Candapinggala yang seekor anjing meniru kebiasaan sang lembu agar bisa menjadi seajaib, dan diberkahi dewa seperti Nandaka. Anjing itu ikut memakan remput, ndak memakan daging. Kata Nandaka (lembu itu), ndak diperbolehkan untuk memakan daging, itu pantangan.
            Di sini aku tertawa geli. Ini seperti singgungan untuk orang-orang yang ingin pintar seperti orang yang dianggapnya pintar dengan meniru orang itu mentah-mentah. Bahkan sebenarnya orang bisa pintar menurut jalannya sendiri. Ndak bisa dipaksakan.
            Seperti halnya anjing itu, ingin bisa diberkahi dewa seperti sang lembu, tapi ia dengan bodohnya mengikuti sang lembu dengan memakan tumbuhan. Bukannya anjing diciptakan untuk memekan daging?
            Sambada, patih dari pemimpin anjing itu bersiasat untuk mengembalikan pemimpinnya itu seperti sedia kala. Memakan daging lagi, berburu lagi selayaknya anjing yang ia kenal selama ini. Candapinggala tampak kurus, tulangnya sampai terlihat setelah beberapa lama berguru dengan sang lembu. Coba bayangkan anjing yang hidupnya terus-terus memakan tumbuhan?
            Sambada, akhirnya melancarkan kepicikannya untuk membuat Candapinggala kembali sedia kala. Ia bercerita pada sang anjing dan sang lembu itu. Ia bercerita tentang kejelekan Candapinggala kepada Nandaka dan sebaliknya. Cerita-cerita itu disampaikan dengan kisah-kisah pula, kisah-kisah tentang hewan juga.
            Sambada yang ndak ada lelahnya bercerita agar pemimpinnya bisa kembali sedia kala akhirnya membuahkan hasil.
            “Aiiih, Baginda jangan berduku dahulu, hamba yang setia, hanya menyampaikan apa yang dikatakan oleh Sang Nandaka. Bersabarlah, agar kelak Baginda tidak salah menilai kesetiaan hamba. Izinkan hamba menceritakan kambing yang bisa membuat macan ketakutan…” hal. (264)
           
            Iya, kisah ndak ada habisnya dari Sambada untuk memengaruhi pikiran keduanya, membuahkan hasil. Akhirnya sang anjing membunuh sang lembu (gurunya) itu.
            Semua gara-gara Sambada, ia anjing yang pandai mengadudomba!

***

Setelah aku baca lebih jauh, ternyata kisah di buku ini terinspirasi penulis dari kisah-kisah orangtuanya yang diceritakan kepadanya setiap malam. Betapa bagusnya cerita seorang orangtua terhadap anaknya ini? Buku ini patut kamu miliki. Pasti ndak nyesel.

Nah, berikut adalah endorsement dari Tantri ‘Kotak’ yang ditulis di bagian depan buku:

Sumpah, setalah membaca novel Tantri, Perempuan yang Bercerita dari Cok Sawitri, petama aku kaget! Ternyata nama Tantri itu bukan nama sembarangan lho. Ia nama yang memiliki sejarah panjang dalam dunia kesusastraan kita. Bayangin, hanya Tantri, dan dia seorang perempuan, yang bisa menaklukan seorang raja yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Kedua, hebatnya lagi, penaklukan itu dilakukan dengan cara bercerita sepanjang siang dan malam, tanpa henti. “Dongeng-dongeng” Tantri seperti mengalir dan tanpa sadar kita dirasuki petuah-petuah yang penting di dalam menjalani hidup. Aku saranin, baca deh, kalau enggak percaya. Sumpah…***

Sevel Gajah Mada. 15 April 2016