Air Mata dari Sebuah Rumah Berbilik Bambu

          

Di sebuah kampung yang sunyi. Mentari telah menyingsing di ufuk timur,  embun baru saja diusir oleh mentari. Sekarang reremputan agak terlihat gagah, dan pohon bergoyang sedikit-sedikit ke kanan-ke kiri dengan lihai. Menikmati alam yang asri.

          Tapi lain dengan sebuah rumah dengan bilik bambu sebagai dindingnya, kayu tua menjadi tiang, dan tak berlantai. Hanya sahaja tanah hitam menjadi pijakan kaki. Tampak seseorang sedang memperjuangkan hidup-matinya. Di kampung ini, rumah sakit amat jauh jaraknya. Belum lagi melewati jalanan yang banyak lubang besar dan tak beraturan. Terlalu bahaya untuk seorang Ibu yang akan melahirkan dilarikan ke sana dan di atas sana.
          Sebab itu, dukun bayilah yang sangat dipercaya untuk persalinan.
  
        Seorang Ibu masih menahan sakit yang teramat sakit, menyayat perutnya, tubuhnya menggelinjang, keringat beranak sungai di dahinya. Dalam perjuangan hidup-matinya..., akhirnya bunyi-bunyian tangis dari cabang bayinya merekah. Tampaklah seorang bayi lelaki lahir, mengisi bumi yang siap mendekapnya.

                                                          ***

Beberapa hari setelah kelahiran itu. Banyaklah orang berdatangan untuk muyen1. Padahal rumah ini sudah tidak muat lagi jika dipaksa untuk menampung banyaknya orang yang berdatangan membawa parem, selimut, dan barang-barang bayi.

          Bayi itu telah mandapatkan nama akhirnya: Arbi Choirul Umam. Kini ia masih tertidur pulas dalam dekapan Ibunya. Terbuai ia, dan hanya melihatkan tatapan kosong.

          Waktu terus berjalan walau tak punya kaki. Hari berbuah minggu, minggu melahirkan bulan bahkan detik pun bisa mengubah tahun. Arbi kecil tumbuh. Seperti bayi biasa, hanya saja Arbi tampak kepalanya lebih besar dibanding bayi pada umumnya.

          Banyak yang mengira bahwa itu kelainan, penyakit, dan lain sebagainya. Namun, jika memang itu penyakit, pastilah akan memberikan tanda-tanda gajil. Hingga sampai saat ini, tanda itu tak tampak adanya.

          Tatkala Arbi diselimuti kain batik cokelat dan ada warna emas di antaranya, ia terselimuti sampai tenggelam dan hanya menyisakan kepalanya sahaja. Agar mudah bernapas tentunya. Dalam pada itu ketiga kakaknya mencoba menghiburnya dengan memperlihatkan ekspresi muka yang berubah-ubah.

          “Cilup, bah....”

          “Nang-ning-nang-nang-ning-nung....”

          “Cilup, bah....”

          Tak luput pula neneknya ikut ambil andil menimang-nimangnya. Banyak juga bibir telah terjun di kedua pipinya. Gemas adalah alasan yang sering terlontar. Tapi tak sampai hati jika mencubitnya.

                                                              ***

          Kampung yang damai itu seperti biasa menyapa setiap penghuninya dengan ramah dan deru angin mesra. Embun tampaknya enggan untuk diusir mentari, ia masih bercokol di dedauan, rumput dan atap rumah.

          Rasanya ada yang ganjil untuk hari ini. Miks mushola dinyalakan, kabar sudah menyebar. Semua mushola mengabarkan bahwa ada seorang wanita meninggal dunia, pagi hari tadi.

          “Innalilahi...., Innalilahi...” beberapa orang tak kuasa mendenger kelanjutannya.

          Airmata terjun dari berpasang-pasang pelupuk mata. Terlebih lagi airmata dari sebuah rumah yang berbilik bambu, bertiang kayu tua dan tak berlantai itu. Ibu Arbi telah meninggal. Bersebab terserang penyakit. Akh. Wajah orang yang meniggal itu tersenyum, rasanya dia masih dalam keadaan tertidur dan bermimpi manis.

          Tak lama kemudian. Orang berjubal datang ke rumah itu. Sosok mayit telah terbujur kaku tak berdaya. Pemandian sedang berlangsung, beberapa orang menangis sedu-sedan dan beberapa lagi menahan isaknya.

          Arbi kecil hanya diam seribu kata. Tak mungkin ia mengerti akan hal ini? Kalau memang dia mengerti, kanapa ia tak menangis mengikuti ketiga kakaknya sanak keluarganya?

          Kain kafan telah siap, dibungkuslah mayit itu. Dan setelah rapi, disholatinya dengan jamaah yang luar biasa banyaknya. Membeludak sampai ujung sana.

           Keranda menunggu untuk diangkut. Jauh dari sini, kuburan sedang digali. Setelah siap, keranda pun diangkat membawa mayit. Empat orang memikulnya dengan gagah, berjalan dengan cepat sampai kuburan yang jauh tempatnya.
         
       Sampailah di pamakanan. Saat mayit mulai dimasukan ke liang lahat, tangis tak terbendung lagi, banjir airmata. Akh. Tenang, semua orang mengalami hal ini. Yaa..., entah, waktu yang akan menjawab atas izin Allah.
          
          Usahlah menangisi kematian.  
          
                                                 ***

Beberapa tahun setelah sepeninggalnya Ibunya, Arbi kecil mulai tumbuh menjadi anak yang riang dan suka bermain. Dia muali kritis pada semua keadaan. Pada suatu hari, ia bertanya pada kakak perempuannya yang masih kelas 2 SMP.

          “Ibu di mana, kak?” tanya Arbi dengan entangnya.

        Perempuan di hadapannya bergeming. Tak menjawab segera. Malah, matanya mulai panas, berembun, lalu tumpahlah airmata.
          
          “Kakak kenapa?” tanya Arbi lagi.

          Tanya Arbi hanya mendapatkan jawaban tak bersuara. Di hati kakaknya mungkin tersayat hebat. Tak terasa Arbi telah tumbuh besar, dan..., jauh dari kasih sayang Ibu.

          Tapi, banyak yang peduli kepada Arbi. Ketika ia mulai sekolah MI (setingkat SD), banyaklah orang yang ingin membantunya. Dan jika lebaran tiba, ia bisa mendapatkan banyak sekali baju baru, uang, bahkan petasan.

          Ayah Arbi terus bekerja sedemikian rupa. Tak lelah memanjat batang pohon kelapa yang kasar, berjuang mendapatkan badeg2 lalu dijadikanya gula Jawa yang manis. Walau pada akhirnya dia terjangkit penyakit usus buntu. Sebab itu, dioprasinya sampai menghabiskan banyak uang.

          Dan ketika Ayah Arbi sembuh dari penyakitnya, ia hanya menderesi3 pohon kiwel. Hasilnya tak seberapa, namun cukup untuk membiyayi anaknya sekolah dan makan saban hari.

Anaknya yang pertama, Maskur, pun tak hanya berpangkutangan. Ia sadar menjadi anak yang paling besar. Tidaklah mereka mengandalkan uluran tangan orang lain.

Tapi, tetap saja mereka tak justru berkembang dan keluar dari keadaan yang itu-itu saja. Rumahnya terus dibiarkan berbilik bambu, jika malam hari tiba, angin akan amat terasa sampai menyellinap ke tulang. Atap rumah banyak yang bocor. Pondasi rumah makin hari makin terkikis air bah. Tiangnya menjadi santapan rayap.

                                                ***

Arbi kini kelas 4 MI. Kabarnya, Arbi bisa mengoprasikan handphone, yaa..., walau pada akhirnya handphone itu rusak olehnya. Ya, Arbi kecil sangat kritis dan selalu mencoba hal baru yang menarik baginya.

          Tatkala Ayah Arbi dikenalkan kepada seorang janda, kini hidupnya agak terlihat lebih ceriah. Dia menjadi akrab dengan handpone, sering pula menelepon dan ditelepon oleh kenalannya itu. Banyak pula yang prihatin padanya sebab menjadi duda.

       Setelah anak perempuannya lulus dari pesantren setingkat SMA. Tak lama kemudian ia dilamar oleh seorang pria yang siap menanggung hidup perempuannya. Hingga pada hari yang berbahagia, anaknya itu menikah. Agaknya beban hidupnya tertutupi. Tidak lagi membayar bulanan sekolah. Sekarang anaknya hidup bersama pria yang bertanggung jawab, gagah, dan dewasa.

          Sebab itu, Ayah Arbi yang masih dalam proses perkenalan kini agaknya tampak tanda-tanda ke arah serius. Dan benar saja, tak lama setelah pernikahan anaknya, ia pun menikah dengan seorang janda beranak satu itu; kenalannya.

          Tidak terlalu jauh jarak rumahnya dengan istrinya yang kini. Kadang ia ke rumah istrinya membawa serta anaknya, dan kadang pula istrinya datang ke rumahnya. Begitulah.

          Kini Arbi pun tak terlantar lagi. Ia telah mempunyai Ibu baru yang perhatian padanya. Ia juga tak kering keronta lagi akan kasih sayang Ibu; ia lebih terurus dari sebelum-sebelumnya.

                                                          ***

          Ayah Arbi tak sembarang memperisitri anak orang. Istrinya kini mempunyai usaha, dan anak dari istrinya itu bekerja di negeri jiran Malaysia. Saban bulan mengirimkan uang. Bekerjanya pun bukan menjadi pembantu rumah tangga, namun bekerja di kantoran. Pernah suatu saat Ayah Arbi ditawari dibelikannya motor. Namun ia menolak, agaknya motor lusang miliknya itu masih bisa menepaki jalan yang tak beraturan dan banyak lubang di sana-sini di kampung ini.

          Senja kini menjadi saksi keluarga baru yang berbahagia. Deru anginnya menyejukan tenggorokan yang kering, awannya memberikan perlindungan, cahanya sepuh, setelah seharian berpijar di angkasa. Pohon bergoyang dengan ikhlas. Lambat laun, malam tiba, pijar matahari sudah berpindah dari tempat ke tempat tak kenal lelah. Dalam kegelapan, pasti ada yang takut, dan ada yang berakhir.***


[1] muyen: kunjungan orang ke rumah orang yang baru saja melahirkan bayi. Biasanya mereka yang datang memberikan peralatan bayi, doa’a serta ucapan selamat.

[2] badeg: adalah getah dari pohon kelapa, adanya di atas pohon, tapat di bunga yang baru merekah.

[3] menderesi: kegiatan untuk mengambil getah itu sendiri. Pekerjaanya disebut dengan penderes.
[4] kiwel: bukan kiwil. Kiwel adalah buah berwarna cokelat. Pohonnya tumbuh di tanah yang berair asin tak terlalu dalam. Tumbuh di tepian sungai, kali.

NB: CERPEN INI TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA.

Afsokhi Abdullah
Tengah Malam di Kosan, 02 Februari 2015


Maskur


       

   Daun Kiwel

 Arbi.

 
JALAN YANG BERLUBANG DAN BERLIKA-LIKU.



Comments
0 Comments

Posting Komentar