BETAPA NIKMATNYA BERKATA KOTOR DAN KASAR

Hampir setiap hari, aku selalu menemukan orang berkata kotor dan kasar. Entah itu secara oral, atau malaui teks. Entah itu kudengar secara langsung, atau di sebuah taks tempur sebuah game. Sampai akhirnya aku berpikir: apa sih yang membuat mereka berkata seperti itu?



Kata-kata kotor dan kasar itu lebih sering datang dari anak-anak dan remaja, apalagi jika mereka sedang bergerembol dengan taman-teman. Seolah kata-kata kotor dan kasar tersebut adalah bumbu dari percakapan mereka yang harus ada. Jika tanpa berkata kotor dan kasar, seperti ada yang hilang dan rasanya hampa.  

Karena penasaran bagaimana rasanya berkata kotor dan kasar yang hampir tiap hari kudengar itu,  aku mencoba untuk berlatih berkata seperti itu, atau setidaknya coba-coba untuk mencari tahu apa sensasinya. Aku mencoba di teks pertempuran game, hasilnya? Aku merasa seperti anak kecil yang masih melihat dunia ini hanya sekadar kembang gula, aku terlihat bodoh, dan seperti tidak punya otak.

Lalu aku mencoba untuk mengucapkannya secara oral, tentu saja tidak di tempat umum. Hasilnya? Itu cukup menyenangkan, malah membuatku merasa lebih dekat dengan orang yang kuajak berkata kasar, kata-kata itu seperti: anjing, bangsat, sialan, kontol, dsb, dsb..

Tentu saja kata-kata itu tidak diambil hati olehnya, juga olehku. Aku hanya sedang mencoba berkata kasar dan mencari sensasi di baliknya. Dan ya, ternyata memang cukup menyenangkan dan nikmat. Seolah segala rasa yang ada di dada bisa diwakilkan oleh kata-kata kasar itu.

Hal itu malah membuatku sadar bahwa aku ternyata mempunyai hati yang cukup kotor. Karena jika memang hati yang bersih, pasti kata-kata yang keluar adalah kata-kata yang baik.

Dan menurutku orang yang doyan berkata kasar sepertinya mereka adalah orang-orang yang bermasalah. Orang yang mempunyai hati yang kotor, berpikir bahwa dunia begitu sempit dan pilihan kata-katanya juga sempit. Jika memang ia sudah dewasa dan berpikir dunia ini lebih luas, maka pilihan kata yang dipilih tentu lebih santun dan enak didengar. Walau tidak semuanya begitu, sih..

Ya, walau di sisi lain, dalam berkomunikasi secara personal di lingkungan, berkata kasar seperti itu cukup membantu dalam hal pertemanan. Terkesan lebih akrab dan saling memahami (mungkin?).

Tapi ya tentu sebagai manusia yang berinteraksi sesama individu setiap harinya, kita seharusnya menghargai lawan bicara kita, lebih dari itu, kita juga harus menghargai orang yang memungkinkan mendengar suara kita. Kita diajari bertahun-tahun tentang sopan santun dan etika. Kita punya norma, punya malu, dan sewajarnya begitu.

Pada akhirnya, berkata kasar hanyalah pilihan bagi mereka yang melihat dunia seolah seperti sebatang sumpit--mereka yang dadanya sempit, sehingga pilihan kata-kata yang keluar adalah kata-kata kasar dan kotor. Yang tidak enak didengar.

Semoga kita terus belajar tentang bagaimana menghargai orang lain, jika sudah, coba kita belajar menghargai perasannya. Begitulah seharusnya manusia. Mungkin.***

MEMBACA 'DAWUK' (MAHFUD IKHWAN)

Pada sebuah pagi di warung kopi, Warto Kemplung terus mengoceh tentang kejadian yang belum lama terjadi. Tentang tentara Jepang yang mengepung Pesantren. Dan kemudian ia bercerita tentang Mat Dawuk, seorang pria buruk rupa yang beristri gadis cantik anak seorang ustad, tapi nakal, ialah Inayah.

Karena terlalu nakal, Inayah memutuskan pergi ke Malaysia untuk merantau, di sana ia bertemu dengan laki-laki yang hanya mau diajaknya kawin, tidak menikah. Hingga akhirnya ia berkekasihkan seorang laki-laki yang posesif, laki-laki itu tidak mau diputuskan oleh Inayah, dan ia sudah terlalu sering menyiksa gadis itu.

Dalam keadaan kabur dari lelaki posesif itu, ia bertemu Mat Dawuk, pemuda yang satu desa dengannya di Rembuk Randu. Ia menyelamatkan Inayah dari lelaki posesif itu dan menampungnya di sebuah gubuk di mana Mat Dawuk tinggal. Di sebuah pinggiran hutan di Malaysia. Mat bekerja sebagai pembunuh bayaran, tapi ia berjanji pada Inayah, jika mereka menikah, ia akan berhenti dari pekerjaannya itu. Dari sini, Mat mulai memikirkan masa depan--yang tak pernah dipikirkan sebelumnya.


Rumbuk Randu adalah sebuah desa fiktif yang dikarang penulis. Ia digambarkan berada di tengah hutan di pulau jawa, jauh dari laut dan pertanian. Orang-orang Rumbuk Randu kebanyakan bergantung pada hasil tani di hutan, sebagaian lagi menjadi TKI di Malaysia.

Novel ini sangat kental dengan budaya Jawa. Karakter-karakter yang muncul dengan segala hal magisnya juga sangat berkaitan dengan budaya Jawa.

Alur menuju konflik dalam novel ini dibawa dengan tidak biasa. Pembaca akan terus bertanya-tanya, apakah Mat Dawuk yang diceritakan oleh Warto Kemplung di kedai kopi benar-benar nyata? Atau sebenarnya Warto Kemplung adalah Mat Dawuk?

Dengan cara bercerita yang tidak biasa itu, sebagai pembaca aku merasa tidak bosan. Aku seperti tokoh ‘aku’ di novel ini yang mendengarkan cerita Warto Kampung di sebuah kedai kopi. Cerita dalam buku ini bergaya 1001 malam. Di mana kita merasa didongengi oleh penulis melalui tokoh Warto. Dan itu cukup mengasyikan. Saking asyiknya, kita sampai hampir lupa bahwa cerita yang sedang kita baca adalah sebuah dongeng dari tokoh fiktif juga.

Warto juga terkadang menghentikan ceritanya dan meminta kepada para pendengarnya untuk memberikan kopi dan rokok agar ia melanjutkan ceritanya. Cerita yang begitu detail dan seperti seolah-olah Warto berada di dalam cerita tersebut, membuat para pendengar ceritanya curiga bahwa itu hanya kisah bualan saja, atau memang Warto adalah Mat Dawuk?

Novel ini berfokus kepada emosi mat Dawuk yang seburuk rupa apapun, ia memiliki cinta dan belas kasih kepada istri dan calon anaknya. Namun orang-orang jahat terus berdatangan dalam hidupnya, dan membuatnya murka. Satu sisi kita akan bersimpati kepada Mat Dawuk, sisi lain kita bisa memaafkannya sebagai tokoh yang penuh dosa di masa lalu, sekarang ia adalah lelaki baik-baik.

Masalah dalam novel ini muncul ketika orang-orang tidak setuju dengan pernikahan Mat Dawuk dengan Inayah alias buruk rupa dengan cantik menawan. Keluarga Mat terus terusik dan kita bisa merasakan emosi Mat yang bergejolak. Cerita berhasil dibawa ke tensi yang paling tinggi untuk kemudian turun kembali perlahan. Seru sekali.

Tidak diragukan lagi bagaimana Mahfud Ikhwan menulis, novel pemenang Kasula Sastra Khatulistiwa 2017 ini memang salah satu karya penting dalam perjalanan sastra Indonesia. Setidaknya menurutku.