Membaca 'The Red-Haired Woman' (Orhan Pamuk)

Buku ini bercerita tentang remaja Turki yang dalam hidupnya selalu diawasi oleh ketakutan karena ia meninggalkan majikannya di bawah galian sumur yang dangkal. Itu adalah saat Cem lulus dari SMA dan ingin mencari uang tambahan untuk berkuliah. Ia memutuskan untuk pergi bersama Tuan Mahmut, seorang ahli sumur.

Hubungan Cem dengan tuan Mahmut terbilang sangat dekat, padahal awalnya mereka adalah orang asing, bahkan menurut Cem, tuan Mahmut lebih hangat dari ayahnya yang hilang dijemput aparat karena ‘kekiri’-nya.

Tuan Mahmut sering bercerita tentang kisah yang ada di Al-Qur’an kepada Cem, namun ia tidak pernah melihat orang tua ini shalat. Sedangkan Cem bertukar cerita kepada Tuan Mahmut, ia bercerita tentang mitos Rostam dan Sohrab.



Ini adalah buku Orhan Pamuk pertama yang kubaca. Namanya tentu saja sudah harum di kancah sastra dunia, ia adalah penerima nobel sastra tahun 2006. Tentu saja aku menemukan hal-hal segar melalui karyanya ini.

Singkatnya, semua cerita dari buku ini mempunyai bumbu yang sangat kental akan kisah lagenda Oedipus Rex dan kisah Rostam dan Sohrab. Tentu kedua kisah itu belum pernah aku dengar sebelumnya, dan sangat disarankan untuk membaca setidaknya sekilas terlebih dahulu tentang kisah itu untuk kemudian membaca buku ini.

Oedipus Rex pada intinya bercerita tentang seorang anak yang membunuh bapaknya, sedangkan kisah Rostam dan Sohram bercerita tentang seorang ayah yang membunuh anaknya. Dalam pembunuhan itu keduanya tidak tahu bahwa yang ia hadapi adalah anak atau ayahnya sendiri.

Dan kedua kisah itu seperti menghantui Cem kemana saja ia pergi hingga dewasa, apalagi ketika ia merasa telah membunuh majikannya, tuan Mahmut, yang ia tinggalkan di sebuah galian sumur yang dangkal.

“Kadang kehidupan ini mengikuti sebuah dongeng.” 

Omong-omong, dalam pekerjaannya membuat galian sumur, Cem yang masih berusia 18 tahun jatuh cinta kepada seorang wanita berambut merah yang lebih tua darinya dan tidur dengannya di sebuah apartemen. Yang kemudian hasil bercintanya itu menjadi boomerang terhadapnya, dan mengancam nyawanya pada suatu hari nanti.

Malam itu, aku tidur dengan seorang wanita untuk kali pertama dalam hidup. Itu saat yang sangat penting, dan rasanya seperti mukjizat. (….) wanita berambut merah itu menunjukkan siapa diriku dan apa artinya bahagia. (hlm. 121)

Cara bercerita Orhan Pamuk dalam buku ini sangat tersusun rapi, ia membuat kejutan-kejutan yang menarik dan teka-teki yang sukar untuk dipecahkan. Kualitas terjemahannya juga terbilang baik dan memuaskan. Aku suka bagaimana Pamuk membuat satu bab ke bab lainnya tidak terlalu tebal dan terbilang singkat. Namun tidak mengurangi nilai di dalamnya.

Omong-omong tentang nilai, menurutku ini adalah buku yang kaya nilai. Mulai dari hubungan anak dan ayah hinggga negara dan kebebasan individu. Banyak hal baru yang kupelajari melalui buku ini.

Bukui inijuga mengulas tentang potret Turki lintas zaman, hingga bagaimana negera itu kini menjadi sangat terkenal akan sekurelnya.

Orang-orang Turki yang kebarat-baratan ini terlalu jemawa untuk percaya kepada Tuhan. Mereka hanya peduli pada individualitas. Banyak yang memilih tiak percaya kepada Tuhan hanya untuk membuktikan bahwa mereka berbeda, meskipun tidak akan mengakui itulah alasannya. Tetapi, keyakinan itu sebetulnya seperti orang lainnya. Agama adalah tempat berlindung dan pelipur bagi orang yang lembek. (Hlm. 294)

Orang-orang kiri hanya peduli prinsip, bukan penampilan (Hlm. 219)

Pada akhirnya, pengalaman membaca buku ini sangat menyenangkan dan mempunyai nilai-nilai yang bisa kita ambil di dalamnya. Ia adalah sebuah karya dari  penulis kelas dunia yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.***

Membaca 'Persengkongkolan Ahli Makrifat' (Kuntowijoyo)

Akhir-akhir ini kita sedang diuji tentang bagaimana ‘memandang’ agama. Tentu saja ada banyak ahli agama yang menyiarkan ajaran-ajaran baik. Namun, dalam penyampaian itu, tidak semuanya dengan cara yang sama. Ada yang menyampaikan seolah marah-marah, ada juga yang halus.

Kuntowijoyo adalah nama besar dalam kesusastraan Indonesia. Beliau besar dalam keluarga yang religius dan mendapat pendidikan yang tinggi (terakhir ia menjadi guru besar di UGM). Jujur saja, aku belum lama mengenal nama ini. Dan begitulah sebuah karya, membuat penulisnya tetap hidup. Dan ya, melalui buku kumpulan cerpen ini, aku merasakan denyut kehidupan beliau.

Di pengantar buku ini sempat ada singgungagan tentang apa itu sastra profetik. Dan menurut Kuntowijoyo, itu adalah adalah sastra yang sebagai ibadah dan sastra yang murni. “’Sastra ibadah’ saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas.”


Penghayatan nilai agama yang dimaksud di atas, dalam buku ini adalah agama Islam. Dan terasa betul dalam membaca cerpen-cerpen di buku ini, aku merasakan penghayatan yang tidak biasa tentang realitas-agama. Tentu saja dibawa dengan cerita yang menarik; bahasa sederhana khas penulis tahun 60-an.

Buku ini dibuka dengan cerpen berjudul ‘Hati yang Damai Kembalilah kepada Tuhan’. Dari judulnya saja kita bisa mencium aroma-aroma religius di sana, dan memang begitu. Sebenarnya cerita ini simpel saja, tentang seorang lelaki yang tergeletak tak jauh dari sebuah masjid dan mencoba untuk masuk ke masjid dengan susah payah.

Orang-orang sekitar tidak suka dengan orang (bajingan) itu, kehadirannya bagi mereka bisa mengotori masjid. Karena si lelaki memang terkenal tidak baik, judi, mabuk, dan maksiat lainnya. Namun Kiai yang mereka hormati di desa itu datang dan membantu si bajingan untuk berdiri, orang-orang takjub melihat kejadian itu.

“Untuk apa kalian berusaha mengangkat orang ini keluar?”
Tak seorangpun menjawab.
“Untuk apa, anak-anak muda?”
“Masjid ini kotor, Kiai.”
“Masya Allah. Kautahu kalu masjid ini jadi kotor?”
Mereka semua terdiam.

Dialog di atas tentu saja mempunyai nilai sendiri secara penghayatan agama dan realitas kita. Yang mana banyak dari kita terlalu mudah men-cap setiap orang yang salah akan selalu salah. Padahal bisa saja dia hari ini salah, besoknya bertaubat. Bisa saja pagi ini kita muslim, sorenya kita kafir. Tidak ada yang tahu tentang keimanan seseorang kecuali urusannya paling sakral  dengan Tuhan.

Kebanyakan cerpen-cerpen dalam buku ini berangkat dari sebuah desa, dari sebuah lingkungan yang jauh dari keriuhan kota, di mana orang-orangnya masih ‘primitif’, masih kolot. Sebuah desa itu juga bisa berarti adalah kita, kita yang tidak terbuka tentang bagaimana memandang agama, kita yang memandang agama hanya dalam satu sisi, yang akhirnya yang muncul hanya kebencian dan kebencian.

Narasi-narasi yang ditawarkan buku ini menurutku dapat membuka mata kita tentang bagaimana menghayati realitas yang terlihat di depan mata dengan anjuran agama. Bahwa tujuan dari agama adalah kebaikan di muka bumi, tanpa ada kesan menceramahi dan di sisi lain menikmati kisah yang dibaca. Bukankah Al-Qur’an juga demikian? Berisi tentang ‘kisah’ masa lalu, agar kita tidak terjeremus di lubang yang sama?