Beberapa Angkatan di Dalam Sastra (Catatan Kelas 10 SMK)

Kata kebanyakan orang, pelajaran Bahasa Indonesia tuh' mudah. Wong bahasa yang biasa kita pakai sehari-hari, kenapa harus dipelajari? Begitu pikir mereka.

Hai! Bahasa Indonesia tak semudah itu. Nyatanya, ketika saya UAS dan duduk bersama anak kelas 10 (saya kelas 11), kerena saat itu tempat duduk diseting sedemikian rupa. Ketika itu pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas 10 dan Bahasa Inggris untuk kelas 11. Kebetulan di samping saya wanita begitu pula di belakang saya. Mereka berdua saling bekerja sama dan sama-sama kesulitan. Melihat itu, saya geram, dan mengasih jawaban yang benar kepada mereka tanpa sepengatahuan pengawas. Awalnya saya berdalih agar mereka tidak brisik--membuat saya tidak konsen, malah lama-kelamaan banyak jawaban yang saya berikan. Tidak apa, sebut saja ini membantu. Dan pada akhirnya saya dahulu yang menumpulkan kertas jawaban.

Nah, saya juga pernah merasakan kelas 10 SMK. Untuk kali ini, saya akan membahas mengenai....

BEBERAPA ANGKATAN DI DALAM SASTRA, kalau begitu, langsung saja kita simak.

1. Angkatan 20 (Angkatan Balai Pustaka).
Pelopor: Mara Rusli
Tema: Terikat akan adat-istiadat yang karyanya berupa Roman (cerita dari lahir sampai meninggal).

2. Angkatan 30 (Angkatan Pujangga Baru).
Pelopor: STA (Sutan Tabir Alisyabana).
Tema: Emansipasi Terhadap Wanita.
Karya yang dihasilkan berupa Novel, Cerpen dan sebagainya.

3. Angkatan 45
Pelopor: Chairul Anwar dan WS. Rendra.
Tema: Kepahlawanan (Heroistis)
Kerya yang dihasilkan adalah berupa Puisi.

4. Angkatan 66
Pelopor: Taufik Ismail
Tema: Menumpas Kebohongan.
Kaya yang dihasilkan sama seperti angkatan 45, puisi.


Demikianlah BEBERAPA ANGKATAN DI DALAM SASTRA yang penulis ambil dari buku catatan kelas 10 SMK. Semoga dapat bermanfaat dan membuka wawasan mengenai pembendaharaan ilmu Bahasa Indonesia.***

Afsokhi Abdullah
Kosan, 28 Februari 2015

Kata Siapa Kamu Tidak Punya Jiwa Kepramukaan?

Hari Rabu adalah hari di mana pelajar (pada umumnya) mengenakan seragam Pramuka. Nah di situ akan terlihat mana yang Pramuka Asli dan Mana yang Karbitan, ckckckc, bisa dilihat dari seragamnya :3
Baik, hari Rabu seperti ini saya jadi ingat suatu hari di mana ada yang berujar kepada saya:

Aku tidak punya jiwa pramuka seperti kamu?

''Khi, aku tidak mempunyai jiwa kepramukaan seperti kamu.''

Sontak saya kaget. Tapi kenapa dia berujar demikian?
Segera saya menjawab pesan itu yang kebetulan di pesan singkat (SMS), seperti ini:

''Pada dasarnya, semua orang itu mempunyai jiwa kepramukaan. Modalnya hanya cinta pada tanah air. Kamu tahu kan? Arti dari Pramuka? Ya, Praja Muda Karana, itu dari dari bahasa sansekerta yang artinya pemuda yang suka berkarnya. Jadi intinya, pramuka itu adalah pemuda yang suka berkarya untuk mengisi kemerdekaan indonesia. Emang kamu nggak cinta sama negara kita ini?'' balik tanya saya. Lalu dia menjawab,

''Ya cintalah, khi.''

''Tarus kenapa bilang nggak punya jiwa kepramukaan?''

''Hem..., yaudah deh.''

Dia sudah sadar dengan jawaban saya tadi. Di sisi lain, banyak Pramuka yang tak mengerti arti Pramuka itu sendiri. Padahal Pramuka sangat berguna bagi bangsa dan negara. Di mana Pramuka ikut andil dalam mengajar kerakter pemuda Indonesia agar tidak 'lembek'. Di gerakan Pramuka, kita akan dilatih banyak hal. Ada mengenai kemandirian, kepemimpinan, kerja sama dan banyak lagi. Tapi, belakangan ini Pramuka mulai ciut kelihatannya. Ada pula yang malu mengakui dirinya Pramuka, sudah tidak zaman, katanya.

Hai, Pramuka itu tidak mungkin dimakan zaman, ia selalu ada dan teguh berdiri. Saya percaya itu, sebab Pramuka benar-benar nyata dalam hal membangun bangsa. Banyak orang-orang besar yang lahir melalui Pramuka.

Nah, bukan alasan lagi untuk kita tidak berpramuka, jangan malu jadi pramuka. Berbangga hatilah menjadi Pramuka, menjadi salah satu pembangun bangsa. Ayo maju Pramuka Indonesia.***

Afsokhi Abdullah
Kelas yang tak berguru, 25 Februari 2015

Apa Sebab Saya Ngeblog?

Hal yang paling menyedihkan bagi setiap orang, menurut saya, adalah, kehilangan. Kehilangan sangat sulit untuk dilupakan. Bahkan, dengan kehilangan, ada orang yang sampai rela mati atau bisa menjadi orang tidak waras. Ya tergantung apa yang hilang. Begitu.

Sebab musabab kenapa saya ngeblog adalah sebuah kehilangan jua. Data notebook saya, yang isinya karya tulis saya, hilang. Sebab kehilangan itu, rasa sakit terus terparti dalam hati. Membuat saya dongkol dan serasa ingin meledak meratapi keadaan ini. Saya kehilangan karya saya. Di sana banyak karya yang sengaja tidak saya publikasikan. Sebab juga nih ya, jika dipublikasikan, pihak penerbit terkadang enggan menerbitkan karya saya itu.

Karya saya sebagian besar adalah tulisan. Ada novel yang hampir selesai, kumpulan cerpen yang saya banggakan, dan masih banyak lagi data penting yang hilang di notebook saya. Alangkah sakitnya kehilangan. Bagi saya, saya senang ketika melahirkan sebuah karya, mbok manusia hakekatnya diciptakan untuk berkarya, bukan?

Nah, maka dari itu, saya tidak mau larut-larut dalam kesedihan akan kehilangan. Rasanya sakit sekali jika mengingatnya memang. Namun, dengan cara saya ngeblog, itu bisa membuat saya agak lega. Di mana karya saya menempel di internet, dan suatu saat bisa saya baca dengan mudahnya atau terlebih lagi bermanfaat bagi khalayak umum.

Sebenarnya saya sudah mulai ngeblog sejak lama, tepatnya tahun 2014 silam *emang udah termasuk lama yah!*. Namun hanya karya yang kiranya untuk lomba, curhatan dan beberapa artikel edukasi-lah yang saya publikasikan di sana. Saya sadar betul akan sifat penerbit. Jelas penerbit tidak mau menerbitkan karya yang sudah dibaca banyak orang. Ya kan minat pembeli (jika karya kita terbit), akan turun. Maksudnya, karya kita sudah dahulu ada sebelum lahir (dari penerbit) dan ini tidak diinginkan oleh penerbit. Begitulah.

Namun saya sudah mengubur dalam-dalam untuk menerbitkan buku dalam waktu singkat ini. Saya ingin menulis lepas di blog, selepas-mungkin, sampai lautan terpenuhi oleh air *abaikan*.
Belakangan, saya menemui forum blog yang anggotanya (member) yang cukup banyak. Forum blog itu bernama Warung Blogger. Di sana kita bisa Blogwalking, ya, di mana kita saling mampir sesama member lalu memberikan komentar akan post-an kita di blog. Di sisi lain, itu bisa menambah teman kita juga, ilmu juga, dan trafic (pengunjung) blog akan ikutan naik.

Belum lama ini saya berkelana di internet mencari seluk-beluk blogger sebenarnya. Saya tercengang ketika mampir di sebuah blog yang menuliskan mengenai survei-nya. Nah, di sana dikatakan bahwa hampir 70% blogger, membuat blog untuk mencari uang tambahan bahkan pekerjaan pokok, ya, bekerja di depan monitor dan mengoprasikan blognya sedemikian rupa.

Sontak saya tertarik jua untuk ikutan dalam 70% blogger itu. Bukan karena saya mata duitan? Lebih tepatnya adalah mencoba jiwa enterpener' atau kewirausahaan saya. Kendalanya adalah, trafic blog-nya, yang harus dipunyai oleh blogger yang bisa menghasilkan uang, rata-ratanya harus 10.000 per-bulan. Nah, sedangkan trafic blog saya baru sampai 3-ribuan. Belum lama ini, saya mendapatkan ide cemerlang, caelah, di mana ide itu adalah saya akan membuat iklan mengenai dagangan Abang dan Paman saya. Mbok ya ada orang yang nyasar di blog saya karena apa yang dia cari tertulis di blog saya, lalu dia membutuhkan apa yang ada di Abang dan Paman saya, selepas itu dia klik itu iklan yang saya buat. Setidaknya itu usaha saya untuk membantu beban orang yang dekat sama saya walau jarang jumpa di kosan, ckckckc.

Intinya adalah, nge-blog membuat saya melepas urat nadi kesengsaraan. Semua hanyut dalam tulisan dan menempel di internet. Harapan lain, semoga apa yang saya posting di blog ada manfaatnya sebab, manusia yang baik, menurut ajaran agama, adalah manusia yang bermanfaat sesama manusia, begitu kiranya.***

Afsokhi Abdullah
23 Februari 2015

Aku Mencintai Wanita Berhijab. Bagaimana Caranya?

Entah bagaimana cara menyampaikan rasa sayang, cinta, kasih, amat suka kepada seorang wanita yang menarik hati. Dari sudut mana pun wanita itu menarik hatiku. Terlebih lagi, aku masih belum cukup umur untuk memikirkan: meminangnya atau melamarnya. Sungguh, aku cinta padanya..., rasanya, darahku mendidih, dadaku penuh ketika melihat wanita itu. Sayang, dia itu berhijab, ayu, pakaiannya elok, tertutup dan tak pamer aurat. Jelas ia tak mungkin bisa kudekati dan berharap kami pacaran seperti remaja umumnya.

Aku cinta pada wanita berhijab itu sudah lumayan lama, sejak kelas 1 SMA, dan setahun telah lalu. Kini aku kembali sekelas dengannya lagi. Pada usiaku yang rentan kobaran asmara seperti ini--belasan tahun--tak mungkin berjanji untuk ta'arufan dengannya. Tak mungkin, itu tak mungkin. Tapi, ah, rasa, iya, rasa, rasa yang lahir ketika melihatnya sungguh teramat menyakitkan, tak sanggup aku menahan gejolak asmara di usia muda. Ingin rasanya aku..., mendekatinya dan menyatakan cinta secara langsung. Kami sudah sering jumpa, hampir saban hari, atau jika sekolah tidak diliburkan. Aku selalu menyiasati bagaimana caranya menyampaikan rasa yang bergejolak di dada ini.

Untung saja cara itu telah kutemukan sekarang. Tulisan, ya, lewat tulisan sahaja. Aku percaya bahwa tulisan itu tidak tuli. Dengan tulisan aku bisa menuangkan rasa yang bergejolak di dada. Bila waktu itu tiba, waktu di mana aku akan mengasihkan tulisan padanya, aku akan menuliskan ini di sebuah kertas putih dengan pena yang menari ria, seperti ini tulisan itu nantinya:

''Wahai wanita elok, ayu nan cantik jelita. Ya, surat ini untukmu, jadi bacalah, bukan salah kirim atau sebuah gurauan. Lihat, sekarang di depanmu ada deretan aksara yang ditulis oleh seorang laki-laki penakut. Dia hanya bisa berbicara lewat tulisan denganmu. Tapi, jangan salah paham. Laki-laki itu atau tepatnya adalah aku, takut dosa. Aku tidak mau mendekatimu secara langsung, kamu kan wanita berhijab, pasti tidak sembarangan orang bisa menyentuhmu. Jujur, aku hanya ingin menulis yang isinya adalah rasa sayang, cinta, kasih dan suka padamu. Jadi bacalah sampai habis, kumohon..., masalah balasan darimu, itu urusan belakangan untukku, yang terpenting sekarang adalah, luangkan waktumu, ya, luangkan waktu.

Wanita, asal kautahu, aku selalu memikirkanmu setiap malam, setiap ada waktu luang untuk berkhayal, pasti di situ ada kamu. Wajahmu akan terukir dengan sendirinya di langit sana. Seyogianya aku tak harus mengirimkan tulisan ini pada wanita berhijab sepertimu, laiknya tak elok mungkin bagi remaja seperti kita. Tapi, aku yakin, aku yakin aku adalah laki-laki masa depanmu kelak. Jadi, akan kutunggu waktu yang tepat untuk kita bersama. Menjalin rasa cinta sebenarnya.

Kita akan bahagia. Aku akan menjagamu, menjaga semua yang ada padamu. Akan kucarikan nafkah yang halal untuk keluarga kita nanti. Anak kita akan tumbuh-kembang dengan sehat. Kamu tak usah bekerja, diam diri saja di rumah menjadi wanita yang baik-baik. Tenang, jika aku menjadi suamimu, aku akan bertanggung jawab, dan tak akan membuatmu sengsara.

Aku sedia menunggu saat-saat itu, saat di mana aku harus berhadapan dengan orangtuamu. Mau bagaimanapun cerita hidup ini nantinya, aku akan selalu berusaha, berusaha semampuku. Jadi, akulah laki-laki masa depanmu, dan kamu wanita masa depanku. Jangan bilang aku gila, aku tidak demikian, aku sadar menulis ini.

Mengertilah hai wanita berhijab....''

***

Ya, mungkin itu yang akan kutuliskan untuknya. Tapi, masalahnya adalah kapan? Cukupkah nyaliku sekedar mendekat dan mengasihkan surat!? Arght!***

Afsokhi Abdullah
Kosan, 22 Februari

Si Calon Mati (Tantangan Nulis Kampus Fiksi #FiksiBunga)

Awan hitam telah merata. Kilat kerap kali mengejap. Guntur berdentuman memenuhi ruang angkasa, seolah ia ikut menyaksikan bunyi kutukannya. Angin muai menangis pula, melintasi celah pepohonan yang mengakibatkan goyangan sampai ke mahkota daun.



Suasana amat mencekam. Di tempat inilah nantinya eksekusi mati akan dijalankan. Timah panas--serta piranti lainnya--yang akan menusuk dada manusia si calon mati sedang disiapkan.



Nusakambangan, atau yang memiliki arti 'pulau yang mengambang' adalah saksi bisu akan tegaknya 'hukum untuk kali ini'. Sudah banyak kisah yang masyhur datang dari sana, seperti eksekusi teroris dan sebagainya. Nusakambangan adalah tempat yang ideal untuk membunuh manusia secara hukum.



Hukum harus ditegakan dan yang salah harus dijejal hukum. Walaupun 'bunyi' hukum di dunia bagi kebanyakan manusia sudah tak elok lagi untuk didengar telinga; sukar untuk dipercaya.



Kali ini, tidak ada pilihan lain selain membunuh manusia yang telah membunuh manusia jua. Mereka, si calon mati, memang pantas mendapat hukuman mati. Sebab, mereka telah menyelundupkan narkoba yang beratnya setara berat dosa besar atau bahkan melampauinya.



Bayangkan, setiap harinya puluhan manusia mati karena mangonsumsi narkoba yang bervariasi jenisnya. Sebab musababnya tak jelas, manusia yang sudah diringkus di penjara saja--karena kasus narkoba--pun masih bisa leluasa menari dan mengoprasikan bisnis haramnya itu. Bagi mereka (pebisnis nerkoba), bisnis yang satu ini sangat menguntungkan. Segmen konsumennya siapa saja, yang penting urusan uang harus mengalir ke kantung mereka, mati? Urusan belakangan, toh semua manusia pasti mati. Bagi mereka uang adalah segalanya, hidup ini harus bergelimang uang, ya harus!



***



Nusakambangan adalah setitik dari wilayah suatu negara yang berlambang burung garuda. Negara itu memiliki ribuan pulau, ribuan bahasa; konon, indah alamnya salah satu termasyhur di jagat raya. Ternyata di sana, hukum bisa dibeli dengan recehan uang dan akan tumpul ke atas lalu tajam ke bawah, macam pisau sahaja.



***



Syahdan, bumi telah dipadamkan sedemikian rupa. Hanya gelap gulita yang tertangkap mata. Enam orang si calon mati gembong narkoba itu digiring ke tempat pe-eksekusi-an. Suasana amat mencekam, bulu roma mereka lumer sampai membasahi apa yang terkena. Peluh membanjiri masing-masing tubuh mereka.



Pulau yang terkenal mengerikan itu berdetak, mengiringi langkah si calon mati. Di antara mereka pun ada..., ada putra-bunga-bangsa. Ah, sayang sekali, mereka harus menghembuskan napas terakhir menjadi penghianat bangsa.



Semua tumbuhan diam, bisu, tak dapat lagi menari, ia larut dalam suasana yang dirasakan si calon mati. Mahkota daun ikut tunduk malu melihat keadaan di sekitarnya. Rembulan masih saja tersenyum ria di atas sana. Seharusnya, dalam situasi seperti ini, tak ada boleh yang tersenyum.



Si calon mati sudah pasrah tampaknya. Kini mata mereka ditutup kain hitam legam, dan seragam pula baju yang dikenakan. Diikatlah dengan tali amat kuat di tangan mereka lalu dikaitkan ke seonggok batang kayu berdiri bisu. Deru napas mereka berirama. Sang eksekutor siap dengan laras panjangnya. Sang eksekutor pun ikut ditutup wajahnya, hanya sahaja meninggalkan sebolong ruang di mata dan mulutnya.



Sudah tak dapat ditunda. Keadaan tak terperikan lagi, kata-kata tak bisa pula mewakili. Dengan bersamaan, enam timah panas berlari kencang menancap jantung manusia.



Dor!!!



Suara laras panjang itu merobek rongga hutan. Hewan-hewan tunggang langgang berlarian mencari hidup. Seketika si calon mati kini mati. Ambulan sudah siap untuk mengangkut mereka yang bergelimang darah segar. Warga sekitar pun berebutan ingin melihat atau sekedar meramaikan keadaan.



Kabar ini meluas seantero negeri itu. Di tempat lain, si calon mati yang masih menunggu gilirannya untuk mati gonjang-ganjing di dalam sel penjara. Mereka takut bukan kepalang dan menyesal akan tindak tanduknya selama ini, ya, menyesal tepat di waktu yang tidak tepat.***



Afsokhi Abdullah.

Kosan yang sepi, 22 Februari 2015

Kisahku Mengajar Anak Pramuka Siaga yang Ingusan (Selamat Hari Boden Powell

Bel pulang sekolah berteriak. Kencang sampai memenuhi udara sore itu. Di horizon sana, senja pun ikut terkaget. Lekas semua murid keluar dari kelasnya, dan mengerutkan wajah lesu. Semua tugas sekolah seolah berada di wajah-wajah mereka. Membaur menjadi satu-padu.



Udah, nanti abis kata-kata gue --''



Jadi gini, gue ini Pramuka Penegak, tingkatan Bantara seharusnya. Sebenarnya sih gue udah dilantik, namun ya belum diproses. Jadi, ngegantung gitu. Jadi Pramuka tuh menyenangkan, apalagi di tingkatan Penegak ini. Yang paling menyenangkan menurut gue adalah, ketika kita bisa mengajar anak Pramuka Siaga dan Penggalang yang unyu-unyu itu.



Hari ini gue akan mengajar anak Siaga di salah satu SD dekat Tanah Sereal Jakarta. Sebelumnya gue udah janjian sama Kak Fahrul ketika kami bertemu di kantin,



''Khi!'' panggil Kak Fahrul ketika itu, gue nengkok dan terpampang nyata seutuh tubuh Kak Fahrul yang agak gemuk; memakai seragam Pramuka sampai nggak muat sebab badanya yang tak mau kalah.



''Nanti bantuin kakak yah, ngajar anak SD, nanti kamu ngajar anak kelas 1, 2, 3 terus kakak ngajar kelas 4, 5 ma 6. Gimana?''



''Siap, kak....''



Selepas itu, gue berpikir, ngajar anak SD yang masih orok itu? Gimana caranya?



Ketika di perjalanan menuju TKP menggunakan motor. Gue tanya Kak Fahrul yang sedang asyik mengemudi,



''Kak, nanti ngajarnya gimana?''



''Ya..., terserah kamu. Bikin permainan kayak di seminar-seminar ajah. Sering ikut seminar, kan?''



''Em..., yaudah dah kak.''



Memang, gue sering mengikuti seminar keluar kota. Lebih seringnya sih di Puncak Bogor. Tapi apakah sudah bisa dibilang luar kota yah? *abaikan*



Di seminar itu kan pesertanya anak-anak SMA sederajat yang sudah nalar. Masak gue akan bermain dengan permainan yang gue rasa sulit untuk dinalar anak SD, seperti membuat 9 sisi berbentuk kotak, masing-masing sisi ada titiknya terus gue tanya, ''Coba kalian tarik sisi ini dengan satu garis saja....''



E malah mereka tarik beneran tuh gambarnya, berebutan ke papan tulis. Aduh..., gak kebayang deh ya.



Gue dan kak Fahrul sudah sampai di gerbang sekolah. Ketika kami melangkah beberapa dekap, ada anak Pramuka Siaga yang sedang jajan tak jauh dari gerbang gue berdiri. Secepat kilat mereka pun berlari mengejar gue dan Kak Fahrul, mencium tangan, dan meninggalkan beberapa tetes ingus. Bener deh ya, berasa menjadi guru gitu. Tapi nggak enaknya ya gitu, harus bercumbu dengan ingus. Huuu....



Adzan Ashar berkumandang. Beberapa saat lagi kami akan masuk ke kelas untuk mengajar, tapi alangkah eloknya jangan lupakan sholat. Gue pernah membaca, kalau kita meninggalkah sholat Ashar maka, seolah kita kehilangan semua harta benda dan keluarga. Ataghfirullah. Dan dasar lainnya adalah, Dasa Darma Pramuka pertama: Taqwa Terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Menjadi Pramuka yang baik, kita tidak bisa lupakan itu, ya, Dasa Darma....



''Kak, gue sholat dulu yah.''



Kak Fahrul mengangguk. Sebenarnya gue ada niatan untuk mengajak dia sholat juga, tapi, ya gitulah. Sebenarnya lagi nih ya, gue juga agak bingung bahasa yang gue pake ke Kak Fahrul. Terkadang pake bahasa baku, gaul dan campuran. Begitulah.



***



Selepas sholat, tiba saatnya ngajar. Weehh gue ngajar. Namun sebelumnya kami menuju ruang guru terlebih dahulu. Di sana kami duduk sebentar, mengobrol mengenai pelantikan dan lalu melesat ke kelas. SD ini masuknya siang, dan pulang sore. Saban hari Rabu seperti ini, mereka diwajibkan Berpramuka. Semua antusias sekali. Ada anak yang ketemu di tangga, mereka salim mencium tangan. Ketika sampai di ambang pintu kelas, mereka berebut salim mencium tangan. Ya rasanya seperti guru. Menyenangkan....



Kelas 1, 2, dan 3 dijadikan satu di suatu ruangan. Ruangan yang seperti kelas biasa. Di dalamnya penuh akan anak Siaga dan hanya gue yang paling tua. Kali ini kami hanya bermain dan belajar di kelas. Kata kak Fahrul, biasanya ada 'apel' pembukaan terlebih dahulu di lapangan, tapi kali ini ndak, sebab, kali ini lebih condong ke materi tekpram (teknhik kepramukaan). Sebelumnya sih harus ada permainan dulu sih ya, ini wajib, kudu dan sangat harus. Karena tanpa permainan, mereka akan bosan dan begitulah, lesu, susah diatur. Harus ada pendekatan batin terlebih dahulu, begitu kata kak Fahrul sebelum kami ngajar.



Nih yah, walaupun gue udah terbiasa presentasi di kelas, berbeda rasanya di depan anak SD. Gue harus banyak ngomong basa-basi yang nggak penting walau gue nggak suka bengoedwt sama ntu basa-basi. Tertuntut keadaan, maka gue harus melakukan hal itu, basa-basi. Hufts.



''Baik adik-adikku sekalian. Udah makan semuanya...?!''



''Belum....!'' jawab mereka kompak dan nyaring.



''Yasudah, makan sana!''



E. Gue lupa, harus basa-basi.



''Becanda yah,'' sambung gue, ''kali ini kakak akan membawakan sebuah permainan yang tidak biasa. Kita akan mengarang....''



''Oh iya, sebelumnya, perkenalkan dulu. Nama kakak Afsokhi Abdulloh. Apah!?''



''Aaafff Sssookkkhhii Abduulllooh!'' jawab mereka sangat antusias. Setelah itu gue memperkenalkan lebih dalam lagi mengenai gue.



Semua mata fokus memerhatikan gue. Cie....



''Nah, nanti kalian membuat karangan tulis. Bercerita gitu, tapi, tiap cerita kalian harus ada kata: Bintang, cita-cita, dan Pramuka. Sekarang, robek kertas tengah.''



Kelas kembali diam. Nggak ada yang robek kertas mereka.



''Ayokk...!''



Baru mereka gasak-gusuk merobek kertas dari bukunya. Setelah siap dengan sobekan kertas dan pensil yang mereka taruh di meja. Kali ini gue menjelaskan lagi dan mulai berkisah,



''Nah..., kalian sudah pernah balajar bahasa indonesia, kan? Em..., pasti sudahlah..., ya, kita akan belajar bahasa indonesia dengan mengarang. Sebagai bentuk cinta bahasa dan tanah-air sebagai pramuka. Kita harus jaga bahasa kita in ya....''



Anggukan kepala bergerak naik-turun. Ada yang nyeropot ingusnya dan ada yang bercanda, yang bercanda sih cuma sedikit.



''Ya, ayo, mulai!''



Wah. Murid gue mulai mengarang. Wajah polos di raut meraka tak terperikan lagi. Ada yang bengong, cengo, dan gasak-gusuk. Tak lama dari pada itu. Ada yang datang ke gue yang duduk di bangku guru.



''Kak, gimana sih maksudnya?'' tanya salah seorang Siaga yang gagah dengan seragamnya.



''Begini. Kamu mengarang. Nulis. Ya, nulis. Di tulisan itu..., yang penting ada kata bintang, cita-cita dan pramuka. Ngerti?''



''Oh..., begitu. Ya, ngerti, kak,'' jawabnya lalu pergi ke alamnya.



***



Mengarang tulisan agaknya sulit bagi mereka. Tapi, ada satu anak yang semangat sekali menulis. Dia fokus dengan apa yang dikerjakan, tampaknya pandai dia mengarang. Lain lagi dengan anak di pojokan sana, dia diam dan termenung, tampak galau sekali. Tak mengerti apa yang dia tulis, mungkin begitu.



''Jangan dikasih nama yah...!'' kata gue memecah keheningan. Mereka pun sontak terkaget sejenak. kenapa gue bilang begitu? Ya biar mereka nggak malu dalam mengarang. Nanti, pas mau dikumpulin baru gue bilang, ''Kasih nama kalian....!'' heheheh.



***



Belasan menit berlalu.



''Selesai...! Sekarang kasih nama lengkap kalian...!''



Wah, kelas gonjang-ganjing, langit kelap-kelip, wuahahaha. Nggak beraturan jadinya kelas gue.



''Kak..., malu kak..., jelek tulisan saya...!'' keluah mereka rata-rata. Gue hanya bergeming. Dan berkata,



''Ngga apa-apa, ayo tulis!''



Mereka pun patuh dan menuliskan namanya. Tak lama dari pada itu, kumpulan kertas telah kumpul di meja gue. Kini, dilanjutkan permainan yang lain lalu pemberian materi. Semua berjalan lancar, dan menyenangkan. Gue suka mengajar.



Saat pulang. Kami berdo'a terlebih dahulu dan seperti biasanya di sekolah. Mereka pun keluar kelas, dan mencium tangan gue. Lagi-lagi ada ingus yang mengalir di tangan gue. Ah, lama-lama menjadi terbiasa.



Sekolah sepi. Sore yang sebenarnya telah tiba. Suasana agak kemalam-malaman.



''Khi, ayo,'' ajak kak Fahrul ke ruang guru. Di sana, kami kembali duduk dan mengisi absensi di buku besar kantor. Selapas itu, kami diberi uang masing-masing LIMA PULUH RIBU RUPIAH. Wah, jumlah uang yang besar tentunya buat gue, buat kak Fahrul..., entahlah. Tak lama dari itu, kami pamit pulang ke guru yang masih ada di rungannya. Termasuk juga penjaga sekolah yang kami temui di tangga. Semua kami cium tangannya tanda hormat.



Gue dan kak Fahrul berpisah karena berbeda jalan pulang. Gue berjalan kaki menuju kosan yang lumayan jauh dari sini. Di perjalanan gue pengin banget baca karya-karya anak-anak SD itu. Dan. Ketika gue sampai kosan, segera gue untuk sholat Maghrib terlebih dahulu dan ngaji bersama Paman yang rutin tiap ari. Selepas itu, gue buka tas gue, dan segera gue ambil tumpukan kertas yang tak beraturan itu. Lekas gue baca satu persatu,



''Saya suka pramuka, saya ingin bercita-cita menjadi TNI yang berbintang.''



''Pramuka melatih karakter saya. Saya bercita-cita jadi arsitek dan bintang film.''



''Di pramuka saya senang, mempunyai banyak teman, saya bercita-cita menjadi penyayi terkenal dan menjadi bintang.''



''Pramuka oke. Bintang senetron cita-cita saya dan menjadi alien.''



Wah ada yang mau jadi alien!!!!!!!

Gue amat terkaget dan melanjutkan membaca lagi.



''Pramuka is the best. Cita-cita nomor satu, bintang di langit.''



''Pramuka oke yes is the best. Bintang cita-cita.''



Ini terpaksa banget kata-katanya....



Ah. Puas gue baca-baca. Tiba saatnya gue menuliskan hal yang lain di notebook sampai larut malam. Hari ini sungguh menyenangkan. Maju terus Pramuka Indonesia...!! #AkuBanggaJadiPramuka.***



Afsokhi Abdullah

Kosan, 21 Februari 2015



NB: KISAHKU KALA ITU YANG BARU SEMPAT KUTULISKAN....

Tulisan untuk Stevenly

Selamat ulang tahun Stevenly

Pagi tadi aku mendapat kabar via pesan singkat dari seorang yang spesial dalam hidupku. Dalam pesan itu, tertera bahwa si anak besar, Stevenly, ulang tahun hari ini..., ya, hari ini, 21 Januari 2015. Di pesan itu pun tertera ajakan agar aku hadir ke rumah Stevenly atau akrab disapa Epen.

Epen, sebut saja begitu, dia temen sekelasku sedari kelas 10 sampai sekarang ini, kelas 11 SMK. Tinggi badanya berkisar 170 cm dan berat..., entahlah, sulit untuk diucapkan, ckckckc. Saban bertemu dengannya, aku sering melihat Epen membenarkan celananya, dalam artian merapikan (seragam sekolah) yang kadang terlihat kebesaran dan kadang pula kekecilan itu. Mungkin bersebab tak ada ukuran yang sepadan dengan dan untuknya, Epen terlalu besar bila dibilang masih anak SMK. Ckckckc.

Kalau ada guru, dia terpaksa memasukan baju seragamnya secepat mungkin, sebab itu aturan di sekolah kami: 'baju harus dimasukan'. Peraturan itu menyebabkan Epen sulit untuk mematuhinya. Epen yang berbadan besar itu lebih sering mengeluarkan baju seragamnya dengan dalih kesempitan. Pernah suatu waktu, dia memasukan baju seragamnya bermaksud merapikan, tapi, ya begitu, sulit dan tak elok dipandang mata. Celananya naik sampai atas sana. Ckckckc.

Aku mengenalnya sejak kelas 10 kala itu, lebih spesifiknya ketika dia menjadi wakilku selaku aku menjadi ketua kelas. Masih hangat di kepala, bagaimana ulang tahunnya yang tahun lalu dirayakan. Waktu itu hari Jum'at, di jam genting pulang sekolah petang hari. Vina, pacar Epen, cieee, melambaikan tangan pertanda memanggilku ke mejanya yang dekat dengan ambang pintu kelas. Sampai di meja Vina, dia berbisik,

''Nanti, jangan pulang dulu, Epen ulang tahun hari ini. Jangan bilang-bilang ke yang lain yah.''

Aku mengiyakan, sebelumnya aku meminta Vina untuk mengulang, sebab kelas sedang bising, maklum ini jam terakhir plus lagi tak ada guru masuk. Kelas sudah seperti pasar apung yang tak mengapung. Rafika, yang tepat di samping Vina tersenyum, terlihat wajahnya yang berseri-seri dan selalu sumringah bak ikan emas, eh. Tak lama kemudian, bel pulang dinyalakan, bunyinya menguasai seantero sekolah. Rafika dan Vina sudah siap di kantin. Aku, yang masih di kelas, sudah mendapat tugas untuk mengajak si anak besar itu, Epen, ke kantin dengan menutup matanya. Wah sudah seperti di FTV-FTV saja ini, ckckckck... Batinku.

Susah memang menutup mata anak besar ini, sampai-sampai keadaan menuntutku agar harus menjijit dan meraih matanya sekenanya. Sampai di kantin, tampak kantin sudah mulai sepi. Lilin sudah dinyalakan dan mata Epen pun dibuka....

Happy Birth Day To You ....
Happy Birth Day To You ....
Happy Birth Day To You ....

Suasana meriah. Om, tukang es, hanya duduk di mejanya dan ikut tersenyum lalu beranjak memberikan selamat pula ke Epen. Aku, Vina, Rafika, Bagus, dan Tania larut dalam kesenangan si anak Besar itu. Wajah Epen selalu begitu, sipit, putih, dan rautnya datar dan, sesekali ia memasukan ingusnya ke dalam hidung. Semua itu tak melukiskan tanda haru atau apa pun yang berbeda dari biasanya. Selalu begitu, ckckckc.

***

Kue pun dipotong, dibagikan kepada yang hadir. Aku mendapat bagian cukup banyak dan mungkin Bagus, si Embe itu, yang terbanyak. Kue cokelat yang dihias cery di atasnya itu cukup nikmat ketika lumer di mulut. Ah, aku ingin menambah lagi rasanya. Hai, rasa kue itu pun masih terasa sampai sekarang. Tapi hari ini dia kembali ulang tahun, ya orang yang sama. Ah, cepat sekali waktu berlari, walau dia tak punya kaki, bukan?

Epen anak yang beruntung. Mempunyai banyak teman yang perhatian padanya, terlebih lagi, pacar. Di sisi lain, Vina dan Epen, membuktikan bahwa mereka pasangan setia..., Dan..., semoga berlanjutlah usia Epen si anak besar itu, diisi oleh hal positif dan berbangga hatilah dengan apa yang dia punya. Selamat ulang tahun Steven... Dari temanmu yang itu.***

Afsokhi Abdullah
Kosan, 21 Februari 2015

Pengatahuan Adalah Ingatan (Jangan Takut Mengingat!)

Sekarang bayangkan Anda sedang dalam kuis yang berhadiah jutaan rupiah. Kuis ini hanya pertanyaan yang simpel, dan siapa dari Anda yang cepat dan tepat menjawab adalah pemenangnya. Bayangkan seperti Anda merasakan benar-benar akan mendapatkan puluhan juta rupiah. Ya, puluhan juta rupiah ada di depan mata Anda sekarang...! Jika Anda mampu menjawab cepat dan tepat, mutlak Anda akan mendapatkannya...!

Pertanyaannya adalah: Kuning, Merah, Hijau. Apa warna paling 'atas' di lampu lalu lintas...?

Apa jawaban Anda? Hijau? Merah? Mungkin tak ada yang menjawab kuning. Apa pilihan pertama Anda? Apa Anda ragu-ragu? Ingat, berapa kali Anda melewati lampu lalu-lintas? Pulang sekolah? Pulang kerja? Anda pasti sering melihatnya, namun, (mungkin Anda) tak pernah mengamati. Ya, jawabannya adalah Merah. Di belahan negeri mana pun (setahu saya), semua lampu lalu-lintas akan selalu merah di atas dan hijau di bawah, kuning selalu di tengah.

Pertanyaan kedua. Kali ini Anda mendapatkan milyaran rupiah jika bisa menjawabnya dengan tepat dan cepat: Sebutkan tiga digit nomor belakang kartu keluarga Anda? Apa jawaban Anda? Anda ingat? Atau tidak sama sekali? Anda pernah melihat, bukan? Jika dari Anda ada yang hafal, saya sungguh salut kepada Anda. Ckckckc.

Nah, dari dua pertanyaan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak orang yang 'hanya' melihat tanpa mengamati. Dan kita tidak mungkin dapat ingat segala sesuatu yang tidak kita amati (Harrry Lorayne, How To Devolop A Power Memory, 2004, halaman 10).

Selain dari pada itu, pertanyaan di atas juga menunjukan bahwa memori kita tidak terlatih (jika kita tidak bisa menjawabnya). Dan percayalah, untuk kapasitas memori tidak ada batasnya, jadi jangan takut untuk mengingat. Lucius Scipio mampu mengingat nama semua orang yang tinggal di Roma; Cyrus mampu menyapa setiap tentara dalam pasukannya dengan nama masing-masing; sementara Snace dapat mengingat dan mengulangi 'dua ribu kata', setelah mendengarkannya sekali saja.

Dalam buku How To Devolop A Power Memory atau Cara Mengembangkan Memori Super, penulis, Harry Lorayne dalam salah satu buku terlaris dunianya itu menyatakan: ''Saya percaya bahwa semakin banyak Anda mengingat, Anda semakin dapat mengingat. Memori, mempunyai banyak persamaan dengan otot. Otot harus dilatih dan dikembangkan agar dapat memberikan pelayanan dan penggunaan yang tepat; demikian juga halnya dengan memori. Perbedaanya adalah bahwa Anda 'kelebihan' melatih otot atau menjadi unsur yang membatasi, sementara memori tidak pernah mengalaminya.''

Kesimpulannya, bahwa otot sama seperti memori. Hanya saja, otot mempunyai unsur kelebihan tetapi memori tidak memiliki unsur kelebihan.

Masih dalam buku yang sama, penulis menyatakan, analisis terakhir, semua pengatahuan kita didasarkan pada memori kita. Plato mengatakan demikian, ''Semua pengetahuan adalah ingatan.''

Nah, sekarang ayo latih memori kita untuk banyak mengingat. Sebab, dengan mengingat maka kita akan lebih mengingat. Langkah pertama adalah dengan mengamati. Terutama dalam pelajaran..., tanpa mengamati, kita tidak bisa mengingat. Maka dari itu, yukz kita banyak-banyak mengingat, biar otak encer dan nggak tumpul seperti ujung handphone, ups. Ketika pelajaran, kita bisa menyadapnya dengan mudah, sebab wong memori kita sudah terlatih, jadi gampang kalau ada hal baru yang masuk ke memori kita. Satu hal lagi yang perlu diingat, adalah konsentrasi. Konsentrasi sangat amat penting dalam proses mengingat, dengan konsentrasi kemungkinan besar semakin banyak yang dapat kita ingat. Sekali lagi, PENGETAHUAN ADALAH INGATAN.

Oke, baiklah. Selamat mencoba..., selamat mengamati yah..., dan semoga bermanfaat ^_^***

Afsokhi Abdullah
Kosan, 20 Februari 2015

Maling Pulpen di Kelasku

Di kelasku ada banyak maling pulpen. Tapi tidak sampai dimasukan penjara dan digebukin kalau ketahuan sampai berdarah-darah seperti pembegal yang ditangkap polisi. Di sini, pulpen harus dijaga amat ketat, agar tidak ada yang kemalingan pastinya. Sampai-sampai, kautahu, aku memberi rantai yang kukaitkan langsung ke tangan sebelah kanan dan pulpenku. Khawatir aku kehilangan pulpen, sebab pulpen adalah benda untuk mencatat ilmu, isi otak dan segala hal, tanpa pulpen aku tidak bisa hidup. Aku cinta pulpen. Namun sudah berpak-pak bahkan dus pulpen yang ludes dalam sejarah aku bersekolah. Kalau dihitung-hitung dari SD sampai SMA ini, ah, entahlah berapa banyak tepatnya pulpen yang sudah raib oleh maling pulpen.

Selain pulpen, aku juga cinta pensil. Namun, pulpenlah yang lebih aku cintai. Sebab pensil bisa sahaja dihapus lalu menjadi debu dan menyatu dengan sampah. Pulpen tidak demikian, ia awet dan mudah untuk menulis di lembaran kertas. Tak usah diraut, dan tidak mudah patah. Itulah pulpen!

Banyak yang mencibirku ketika mereka tahu bahwa aku sampai merantai pulpenku, agar tidak hilang dimalingi.

''Ah, gila kamu. Pulpen saja sampai dikaitkan dengan rantai seperti itu. Takut sekali kehilangan. Bisa beli lagi toh, banyak, Din,'' teman sebangkuku, Bagas, angkat bicara.
Aku hanya menjawab dengan entengnya bak kertas dihempas angin topan,

''Biar saja. Aku-aku ini. Daripada hilang dimalingin!'' sembari kupasang wajah datar, datar sekali.

Tak hanya Bagas, banyak lagi yang lainnya ikut andil berkomentar jua.

''Pulpen saja..., sampai segitunya kamu, Din, apalagi wanita? Hahahah....''

''Apa nggak sulit itu dipakai, Din?''

''Dasar, anak bodoh!''

''Berlebihan kamu, Din.''

''Pake rantai kapal sekalian, Din.''

Aku hanya mengulas selembar senyum kepada mereka sebagai jawaban. Tak sampailah kata-kata itu hinggap di hatiku. Toh, itu hanya kata-kata. Kalau mereka sampai bermain fisik padaku. Akan kusambit dengan rantai ini. Biar saja, biar mereka rasa!

''Kamu kenapa sampai segitunya?'' tanya Bu Endah padaku pada suatu waktu, ketika pelajarannya baru dimulai.

''Bu, saya takut kehilangan pulpen lagi. Dari SD sampai SMA ini, banyaklah maling pulpen di kelas. Sampai, kalo dihitung, berdus-dus pulpen saya raib begitu saja, dimalingin, bu, pasti, ya, pasti itu dimalingin, bu...,'' jawabku penuh kejujuran dan memang jujur dari lubuk hati paling dangkal.

Bu Endah hanya diam. Beberapa detik kemudian dia mengangat bahunya--bernapas lalu menghempaskan napas itu keluar perlahan. Itu adalah bahasa tubuh yang berarti tak mau lanjut berbincang lagi dengan lawan bicaranya.

Sampai kabar ini menyebar ke kepala sekolah dan hingga media masa. Aku tetap bergeming, toh ini nggak ada salahnya kok. Kan biar nggak kemalingan.

Hingga suatu hari media masa meliputku, mengutus Bapak jurnalis dan ia bertanya padaku penuh nada tanya diam akhir bicaranya,

''Kenapa kamu pakai rantai itu untuk mengaitkan ke tangan dan pulpenmu?''

''Begini, pak, ini pulpen,'' kataku sambil mengangkat pulpen yang menyatu dengan rantai ini, ''pulpen ini saya gunakan untuk menulis ilmu yang saya dapat di sekolah. Lah kalo hilang, saya tidak bisa menuliskan ilmu? Dan, saya juga mau biar maling-maling pulpen kapok. Saya harap dengan seperti ini, makin banyak yang mengikuti saya. Untuk memberantas maling dan bisa leluasa menuliskan ilmu dengan pulpen, begitu.''

Beberapa kali Bapak yang tidak terlalau tua dan berkumis tipis itu mengiyakan dengan anggukan kecil ketika aku berujar.

''Ya, benar juga,'' sahut Bapak jurnalis, ''tapi..., apa itu tidak mengganggu belajarmu? Apa kamu tidak malu?''

''Yang mengganggu belajar saya adalah ketika pulpen itu sendiri hilang, pak..., yang membuat malu saya adalah semakin banyaknya maling pulpen di kelas.''

''Em..., baiklah. Terima kasih waktunya,'' Bapak itu senyum ramah lalu memotoku dengan kameranya. Krek.

Esoknya, teman sekelasku gembar-gembor.

''Hai si Udin masuk koran!''

''Udin masuk koran, gara-gara merantai pulpennya. Ah, memalukan saja teman kita ini!''

''Aduh, si Udin. Masuk koran.''

''Keren, Udin masuk koran..., ada fotonya juga, dia sedang berpose dengan pulpennya....''

''Udin, uuddiinnn....''

Kembali komentar mengarus begitu saja. Ya aku hanya tersenyum. Siapa tahu banyak yang terinspirasi dari karyaku: merantai pulpen dan mengaitkannya ke tangan. Biar maling pulpen kapok-sekapok-kapoknya. Biar sadar, kalau pulpen itu berharga. Jadi, jaga pulpen. Ia itu benda yang bisa digunakan untuk menuliskan ilmu, isi otakmu, dan segala hal, ya segala hal.***

Afsokhi Abdullah
Di kelas yang tak berguru, menyandar ke tembok dekat jendela. Di bangku nomor dua dari depan, tak jauh dari meja guru jua, 17 Februari 2015.

Ini Dia Panitia Pentas Seni SMK N 11 Jakarta

Hai. Ini saya ada info. Semoga aja penting yah buat kamu-kamu. Saya kan selaku Humas (Hubungan Masyarakat). Ya jadi saya harus bisa mempuublikasikan info ini nih. Jadi simak yah, sapa tau ada nama kamu?


Ketua: M. Reza Batubara.

Wakil: Sisca Siti Jubaidah.

Sekretaris: Shinta Araina, Evelyn, Maurencia.

Bendahara: Putri Fahriati, Vivi Devita Sari.

Hubungan Masyarakat: Afsokhi Abdulloh, Rival Ardianto, Fahmi.

Kordinator Acara: Michael, Fadly Martias, Adit, Indri, Andray.

Seksi Konsumsi: Chandra Wulan, Adnan, Adel, Erni.

Seksi Perlengkapan: Irvan, Ridho, Dinda, Marshelly, Esa.

Seksi Keamanan: Risky, Ahmadi Yusup, Fitri, Ilyas, Sadath.

Dokumentasi: Selvira, Mayga, Feby.

Seksi P3k: Ricky, Erni, Argi.***


Semoga saja masih pada inget nih, tugas-tugasnya. Dan, semoga saja pensi ini nggak cuma rencana, namun dibarengi dengan rasa tanggung jawab yang tersemat di setiap dada panitia. Aamiin.

Dukungan dari siswa/siswi SMK11 pun sangat diharapkan. Kita maju bersama, yaaa.... Kan kalau pensi ini sukses, sekolah kita juga bakal terpampang baik dari ranah umum. Dan semoga juga stalkholeder yang akan mendaftar di sekolah kita semakin banyak. Sehingga meluluskan siswa/siswi yang berkopeten. Aamiin.***


Afsokhi Abdullah
Kosan, 17 Februari 2015.

Hilang Begitu Saja

Naskah atau tulisan yang udah ditulis dengan susah payah, penuh perasaan, penuh lika-liku akhirnya hilang begitu saja. Saat itu gue berasa dibanting ke lantai yang berduri. Kalau gue burung, bulu-bulu akan rontok, kalau gue batu, gue akan hancur lulu-lantah seperti tepung yang biasa dipake Abang gue bikin serabi.

Sekarang, gue lagi murung di perpus sekolah. Beberapa buku yang udah gue pilih; baru aja gue baca setengahnya, mereka pun bisu di depan mata. Melihat gue menulis penuh perasaan di hape. Buku itu seperti menarik gue untuk gaib dari masalah ini.

Di perpus suasananya nggak terlalu ramai juga nggak terlalu sepi. Hanya ada penjaga dan anak PKL yang sedang ria bercanda gurau. Suara mereka seperti mencibir gue yang terus murung.

Gue masih diam tanpa pikiran. Merenung dan, entah apa yang akan terjadi detik selanjutnya. Hampa, kosong, letih, sejuta rasa bersemayam di dada. Sebab, tak ada yang di samping gue saat ini. Berharap ada yang datang lalu menepuk pundak gue dan berkata,

''Sabar, lu pasti bisa mengulangi lagi.''

Ya itu hanya harapan. Nyatanya hanya dingin ac yang menyeruak ke sekujur tubuh. Perpus adalah pelampiasan terakhir gue. Sebab di sini, gue bisa lebih dekat dengan cita-cita gue. Gue bisa lebih (agak) semangat melihat kumpulan buku di rak. Di rak, pasti ada karya yang lahir dari tangan para penulis hebat. Dan itu, jelas, cita-cita gue.

BUKU KBBI, BUKU KUMPULAN CERPEN, BUKU TERJEMAHAN TENTANG KREATIVITAS. Mereka hanya bisu, diam tampak murung tak ubah seperti gue sendiri. Aroma buku membuat gue terpacu untuk menyapu kesedihan di batok kepala. Memang, rasanya sudah tak terperikan lagi. Bayangkan, gue sudah menulis saban hari, saban malam, hilang lenyap begitu saja.

Naskah untuk seleksi @kampusfiksi, naskah yang sudah siap diterbitkan di @nulisbuku.com lenyap. Awalnya gue hanya ingin membuat cover buku dari photoshop. Waktu itu gue instal tuh aplikasi photoshop dari temen gue di notebook gue. Awalnya meyakinkan. Namun, gue masih inget betul, ketika ada yang nyabut kabel dari notebook gue dan terus klep mati gitu aja, dari situlah akhir dari kehidupan notebook gue kala itu. Padahal proses instal sedang berlangsung. Ah, yasudahlah.

***

Hal itu sudah 2 hari yang lalu, tepatnya hari Jum'at tanggal 13 Februari 2015. Sungguh, hari itu menjadi hari titik balik gue buat nulis dari awal. Di sisi lain, itu membuat gue belajar. Di mana gue harus lebih detail lagi dalam menyimpan data. Besok-besok gue bakal beli flashdisk untuk nyimpen tuh naskah. Tapi duit tak kunjung juga kumpul.

Sudah jelas naskah gue yang udah gue tulis nggak bakal balik lagi. Sebab, gue simpan di data C semua. Kan kita tahu, bahwa kalo notebook dan sebagainya kalo diinstal ulang, pasti akan hilang data C-nya. Ya..., gue bisa kok mengambil hikmahnya, seperti kata Winda kala itu, ''Ambil hikmahnya aja....''

Di perpus ini gue bisa tenang bernapas. Bisa mengingat kala-kala di mana gue remuk. Jum'at itu gue duduk di bangku biasa, diam, lalu entah kenapa mulai merasa 'nelangsa' dan akhirnya menangis sedu-sadan. Tak sanggup gue manahan isak. Gue menulis apa yang gue rasa waktu itu ke kertas putih. Gue tulis semuanya penuh perasaan, sampai-sampai gue kira nggak ada ujungnya.

Gue berhenti ketika, Ratna, dateng menghampiri gue, mencolek bahu gue lalu berujar,

''Kenapa Khi? Gara-gara gue yah...?'' tanyanya dengan suara yang sudah gue hafal betul.

Gue diam sejenak, lalu membalas,

''Nggak kok. Itu data yang ada di notebook gue ilang semua, ilang.''

Entah, Ratna mendengar atau tidak. Soalnya gue masih dalam keadaan menangis. Lama ada hening. Ratna masih berdiri di samping gue, sebab nggak ada bangku. Erika pun mengambil inisiatif untuk mengambilkan bangku untuk Ratna. Ratna pun duduk di samping gue. Gue mulai merobek-robek apa yang udah gue tulis di kertas tadi. Ratna hanya diam-diam melirik ke kertas itu, dan dia masih bermain handphone-nya yang lebih besar daripada genggam tangannya.

Kecil-kecil robekan itu sampai tak bisa dirobek lagi. Setelah gue kira tulisan di dalam kertas itu hancur. Segera gue remas sekuat tenaga dengan menahan isak yang menggebu di dada.

Tiba-tiba Ratna berdiri lagi lalu berkata,

''Ven, lu bisa kali Ven!'' suaranya menguasi kelas. Gue sontak seperti anak kecil yang tak dibelikan mainan oleh Ibunya.

''Percuma, na,'' sela Bagus, ''itu mah ilang datanya...!''

Ratna kembali hening. Gue menarik tas sampai ke pipi lalu disenderkan sampai gue seperti tertidur dan tas menjadi bantalnya. Seengganya gue menjadi lebih tenang ketika ada Ratna di samping gue. Dia wanita yang perhatian banget sama gue. Dari sebelum jadian sampai jadian saat ini. Cuma saja, dia nggak suka ngomong. Dia lebih ke perbuatan yang mengandung unsur perhatiannya. Dia wanita tulus, beberapa sahabatnya pun sayang sama dia. Gue tahu itu dan, itu nyata.

Lama Ratna masih bertahan di samping gue. Dan masih memainkan handphone hitam lebar sampai memamakan jari-jemarinya yang kecil.

Gue hela napas keluar-masuk untuk menenangkan dan melapangkan dada. Isi dada gue sudah lumayan nggak nelangsa lagi. Tapi, ketika membayangkan orangtua gue, gue manjadi sedih lagi. Gue sudah menulis target bahwa, dalam waktu dekat ini gue akan menerbitkan buku dan royaltinya gue serahkan ke orangtua gue semua. Dan gue pun sudah bertekad untuk nggak pulang kampung sebelum membawa tulisan gue yang sudah menjadi sosok buku. Ini target, dan sekarang target itu harus gue ulang lagi dari awal.

Tekad dan target itu adalah salah satu penyemangat gue untuk menulis tiap malam, Ratna pun ikut andil di dalamnya. Dan semangat juga harus gue ulang lagi, di mana gue harus memupuk lagi semangat itu dari 'nol', gue nggak mau larut dalam kesedihan ini terlalu lama. Baiklah, gue bakal mulai dari awal sambil menunggu notebook diinstal ulang yang kabarnya masih sulit dilaksanakan. Sabar, ya, sabar. Orang sabar selalu bersama Allah, kata Ratna.

Beberapa orang pun ikut nyemangatin gue. Oh,... Terima kasih. Dalam tiap sujud pun gue berdo'a, agar selalu berkarya yang lebih baik.

Perpus lamat-lamat ramai. Gue pun nggak konsen lagi buat nulis. Maka, gue akhiri tulisan ini.

Pelajaran amat banyak gue lahap dalam masalah ini. Ya, ambil hikmahnya lalu bersabarlah.***

Afsokhi Abdullah
16 Februari 2015, Perpus SMK N 11 Jakarta.

Jawaban Bagi yang Nanyain Madingnya11

Kenapa mading sepi? Kenapa edisinya nggak ganti-ganti? Apakah udah pada bubar redaksi mading di sekolah?

Pertanyaan ini bukan saja timbul di benak Anda. Sama, saya juga.

Untuk menjawab pertanyaan di atas. Mari kita simak tulisan di bawah ini, baca sampai habis yah..., biar jelas :)

1. Masalah yang paling terlihat jelas adalah mengenai dana. Awalnya, pembina kami, Bu Venty, menyatakan bahwa akan ada dana sebesar 12 Juta. Untuk pendanaan Mading dan jurnalistik.

Namun, pada kenyataannya, itu hanya isap jempol belaka. Terakhir saya diberitahu oleh beliau bahwa dana diperbulat, lebih tepatnya diperkecil menjadi 3 juta. Dan dana turun pada bulan Maret ini. Saya tidak bisa menggugat tentunya.

2. Anggota. Anggota mading hanya berisikan beberapa orang saja. Bisa dihitung jari. Sedangkan Mading di sekolah kita banyak. Awalnya kita 'ingin' mengadakan 'patungan'. Namun sulit. Jika pun dijalankan, uang yang terkumpul tidaklah cukup. Lagi pula sudah ada yang menjanjikan akan ada yang mendanani, bukan?

Bahkan pada pertemuan pertama Mading. Pembina menawarkan akan adanya komsumsi dan lain sebagainya untuk ekskul ini.

3. Tempat dan waktu. Mengerjakan mading di rumah masing-masing. Oh, ini tidak mengasyikan. Seharusnya mengerjakan mading itu bersama-sama. Dengan mengerjakan mading masing-masing, hasil tempelnya akan tidak menarik. Ada kesan tidak kompak di sana.

Nah, maka dari itu, kami ingin menjadwalkan mengerjakan mading di hari-hari di mana bisa berkumpul bersama dan mengerjakan semua. Ekskul sekalin silaturahim.

Sebenarnya tidak hanya mading yang dijanjikan dana. Ekskul jernalis pelajar pun jua. Untuk ekskul jurnalis ini, kami akan aktif memburu informasi di sekolah serta luar sekolah. Ini menimbulkan siswa menjadi peka terhadap lingkungan sekitar (setidaknya). Selain itu, ekskul jurnalis ini juga akan berperan serta/berguna bagi sekolah dalam hal penyebaran informasi pun promosi sekolah.

Wah, terbayang bukan? SMK 11 mempunyai jurnalis pelajar...!

Semua ini jelas tidak mudah untuk diwujudkan, tidak hanya semalaman. Kalo kita nanem tumbuhan aja harus menunggu bertahun-tahun, bukan? Habis itu baru bisa dinikmati buahnya. Ya sama dengan project jurnalis ini.

Nah, siapa nih yang mau jadi bagian jurnalis pelajar SMK 11!? Moga aja banyak yah. Selain di dunia nyata, kami juga aktif di maya; di twitter, blog lho....

Akhirnya, itu jawaban untuk kalian yang nanyain di mana mading. Intinya ya kita harus sabar yah, di balik kesabaran itu, semoga, ada hal yang lebih baik daripada terburu-buru.***

Afsokhi Abdullah
Kosan, 15 Februari 2015

Menyikapi Valentine (Catatan Seorang Remaja)

Empat belas Februari datang. Kabarnya, hari Valentine pun tiba. Di sebuah negeri yang kuambah ini ada banyak yang menolak secara keras dan merayakan senang-senang. Darimana saja terberitan bahwa hal itu menjadi topik menarik tiap orang. Dan baru-baru ini, berbeda dengan tahun sebelumnya, kian banyak yang menolak hari Velentine atau hari kasih-sayang itu.



Ada pula yang mengsulkan empat belas Februari menjadi hari perdamaian tawuran pelajar, dan lain sebagainya yang berbau kasih-sayang. Di media sosial, ada yang berfoto bersama secarik kertas dan tertulis di sana tentang penolakan Valentine. Yaa entah, mereka itu menolak atau hanya ikut arus belaka. Ada pula yang ditanya apa itu Valentine, mereka tidak tahu, padahal merayakan. Negeriku banyak orang yang mengikuti arus saja dan tenggelam di hulunya.



Lebih heboh lagi, ada yang terjaring razia di hotel-hotel atau di tempat biasa pasangan pra nikah bercokol. Hasilnya fantastic, di sebuah berita di katakan, ada ratusan pasangan yang terjaring razia itu bahkan, ada yang membawa narkoba. Mungkin itu pelampiasan dari hari kasih-sayang?



Negeriku mempunyai banyak agama. Orangnya banyak yang berbeda-bada. Bayangkan, negari yang luasnya sampai jauh sana, berjajar ribuan pulau, ya tentu susah untuk menyatukan kepala mereka.



Ada yang saking kerasnya menolak. Mereka berdalih bahwa hari kasih-sayang adalah setiap hari, setiap saat. Namun, mungkin, dengan cara yang salah menjadi ada masalah.



Alangkah baik. Kita saling bertoleransi dan, mengahargai tiap pendapat orang walau sulit, namun meningat hidup di negeri yang beragam ini, yo mari kita pecahkan masalah dengan kepala dingin.

KAN: +.+ = - (baca: plus kali plus sama dengan min).***





Afsokhi Abdullah

Di kelas tanpa guru, 17 Februari 2015

''Sepasang Kekasih Seharusnya....'' (Catatan Seorang Remaja)

Sepasang kekasih tidak serta-merta saling kasih dan betul-betul mengasihi dari segala aspek kehidupan terlebih lagi, akhirat. Apalagi yang sudah bukan dalam hal berkata, akan tetapi perbuatan yang tidak senonoh; dan tidak senada dengan ajaran agama. Banyak pula sepasang kekasih mengasingkan ajaran agama ketika berdua: buta hatinya. Saling menatap mata, berpegang tangan atau bahkan sampai ke tingkat yang berbahaya. Sehingga terbitlah penyesalan yang tak terperikan di akhirnya.

Seharusnya kita sadari bahwa, semua apa yang kita lakukan itu mempunyai akibat. Sepasang kakasih kebanyakan buta beralasan cinta. Anda mempunyai kekasih?

Sepasang kekasih seharusnya saling kasih. Seiya-sekata dalam perbuatan baik. Banyak pasangan kekasih yang seiya-sekata namun tidak berbuat baik. Terlebih di ranah remaja; darah muda, usia tanggung. Katanya cinta, namun ya hanya ucapan kata saja. Agama? Tak usah dipikirkan ketika dimabuk (hanya) oleh kata-kata cinta yang kosong isinya.

Memang, yang namanya cinta sekonyong-konyong datang mengetuk dada lalu kita terima begitu saja dengan lapang. Apalagi jika 'dia' sedap dipandang mata, bergetarlah tubuh ini.

Paling riskan penafsiran cinta yang tidak senada dengan agama adalah remaja. Sudah tampak di mata, bagaimana remaja bercinta. Saling adu kasih-sayang setiap waktu dan setiap saat dengan cara apa pun. Bisa dengan mem-posting segala kegiatannya bersama kekasih di sosmed yang tidak senonoh. Hal ini sepertinya sudah wajar-wajar saja. Mengikuti budaya barat padahal kita berbudaya timur.

Semua agama mengajarkan kebaikan. Mengatur semua ranah kehidupan, dari kita membuka mata di pagi hari sampai menutup mata di malam kelam bahkan sampai akhir hayat, semua diatur. Terlebih lagi mengenai cinta lewan-jenis. Sepasang kekasih banyak yang tidak tahu ini, hingga akhirnya (bisa saja) menyesal jika hari itu tiba. Berasalan cinta, namun berujung dosa.

Sabda Nabi Muhamad SAW: ''Sekiranya kepala salah seorang daripada kamu
ditusuk dengan jarum besi, itu adalah lebih baik bagi
kamu daripada kamu menyentuh wanita yang tidak
halal bagi kamu.'' (Hadis Riwayat ath-Thabrani. Dinilai
sahih oleh al-Mundziri, al-Haitsami, dan al-Albani).

***

Berpegangan tangan, berciuman, berpelukan sepertinya sudah menjadi rahasia umum lagi bagi remaja yang mempunyai kekasih. Bisa dikata itu adalah pelampiasan dari rasa kasih-sayangnya, pelampiasan dari rasa rindu yang menggebu. Kebanyakan, rasa rindu ini menjadi sisi yang mudah untuk dimasuki 'setan'. Di mana ketika rindu kita akan mengungkapkan rasa yang menggunung di dada. Rasa yang bergejolak dan ingin melampiaskan jika bertemu. Terkadang kata yang terucap ketika merasakan rindu mengandung unsur yang tidak etis lagi. Sampai-sampai ada yang berhubungan fisik lebih jauh sebab rindu. Bagi mereka yang bersuami-istri jelas tak masalah. Jika terjadi di ranah remaja, apa bukan masalah lagi? Tentu ini PR besar bagi kita semua.

Remaja yang seharusnya berada di masa emasnya, masa jayanya, bisa-bisa hancur karena hal itu. Sebaiknya rasa di dada ketika melihat lawan jenis itu harus dibarengi dengan agama. Alangkah baiknya kita saling mendo'akan orang yang kita cinta, suka, sayangi. Alangkah indahnya jika kita menjaga kesucian orang yang kita sayangi. Yang paling indah adalah: saling rindu di tempat yang berbada dan, saling mendo'akan dalam sujudnya.

Rasa cinta sah-sah saja berada di lubuk hati setiap orang. Toh, tanpa cinta kita tidak bisa hidup. Allah cinta sama kita, maka, kita pun harus cinta kepada Allah dengan menjalankan ajarannya dan menjauhi larangannya.

Seharusnya sepasang kekasih sadar. Untuk tidak melanggar agama Allah yang sangat mencintainya. Alasan cinta kepada lawan jenis, tak mesti pula (bisa sampai) melanggar ajaran agama dan, berbuah dosa.

Melihat sekarang ini. Susah untuk ditelaah dan diuraikan satu-persatu untuk menjelaskan bahwa sepasang kekasih harus diselipkan agama di dalamnya. Sepasang kekasih adalah orang yang saling suka, sayang, kasih, dan berbagi satu sama lain. Tak mesti juga karena itu, sekali lagi, melenceng dari agama.

Kuatkan hati. Sertakan agama di setiap kehidupan kita, setiap detik, setiap napas.***


Kosan
Minggu, 14 Februari 2015

Renungan Anak SMK Kelompok Manajemen Bisnis



Pelajaran di kelas dimulai. Kali ini pelajaran ekonomi, dan menyangkut pembangunan ekonomi. Jika berbicara mengenai ekonomi, anak SMK kelompok manajemen bisnis nggak pernah bosen pastinya. Mau nggak mau ya harus nelen kan? Iya emang.

Nah, kali ini guru saya menjelaskan panjang lebar mengenai pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan ekonomi itu berbeda. Lebih tepatnya, kalau yang pertama untuk negara berkembang dan yang ke dua untuk negara maju. Kalo masih nggak mudeng baca ulang paragraf dua deh yah.

Namun hari ini kita akan membahas mengenai pembangunan ekonomi. Ya, sesuai negara kita ini, Indonesia yang sedang berkembang dan entah sampe kapan terus berkembang.

Saya bertanya kepada guru saya ketika beliau menjabarkan apa-apa yang akan dipelajari di kelas hari itu. Setelah dijabarkan, saya tidak menemukan adanya masalah-masalah di pertumbuhan ekonomi (negara maju), yang ada hanya masalah perkembangan ekonomi. Sontak membuat saya bertanya,

''Bu,'' nama guru saya Ibu Besty, ''apakah di negara maju yang tumbuh ekonominya nggak ada masalah!?''

Sepersekian detik bu Besty tarik napas dan angkat bicara,

''Tentunya ada, Sokhi. Di mana kita mempelajari ekonomi sesuai keadaan negara kita. Kalau di negera maju sana, pasti mereka belajar ekonomi pertumbuhan. Jadi mereka berpikir harus bagaimana untuk mempertahankan ekonomi terus tumbuh, dan sebagainya. Bukan tanpa masalah. Hanya saja pembelajaran kita berbeda, mereka petumbuhan dan kita perkembangan. Intinya, belajar ekonomi sesuai keadaan negara.''

Saya pun paham. Ternyata begitu....

Guru ekonomi yang satu ini memang dan emang mempunyai jiwa kewirausahaan yang tinggi. Beliau mempunyai usaha di rumahnya (online shop) dan menjadi second line di perusahaan asuransi mobil. Pekerjaannya hanya di depan laptop, itu saja sudah bisa menerbangkan beliau beserta anak dan suaminya ke luar negeri.

''Sekarang, seharusnya anak SMK juga harus mempunyai jiwa kewirausahaan,'' ujar Bu Bes panggilan akrabnya, ''tanya kepada guru kewirausahaan kalian: bagaimana menumbuhkan jiwa kewirausahaan. Nih ya, Ibu nggak modal banyak buat usaha di rumah. Cukup laptop, hape, dan pulsa. Kalian juga bisa seperti ibu. Tapi yaa..., tidak online shop juga, ngga harus asuransi juga.''

''Kalian ini lulus SMK pasti mau bekerja, kan?'' tanya Bu Bes kepada seluruh muridnya yang kini diam mendengarkan penjelasan tadi. Semua pun mengangguk jawban 'iya' untuk lulus dari SMK mau bekerja.

''Nak,'' papar Bu Bes, ''negara kita ini butuh wirausaha-wirausaha muda. Coba, ada tidak di antara kalian menjawab untuk lulus dari SMK bakal menjadi pengusaha dan membuat lapangan usaha lalu memperkejakan orang banyak?''

Kelas sunyi, tampaknya semua sedang merenung. Bu Bes kembali melanjutkan,

''Nggak ada yang jawab, kan? Di luar sana banyak orang butuh lapangan pekerjaan, nak. Oke lah kalian unggul di TIK, orang yang jadi kuli panggul mana bisa TIK. Nanti kalian 'kalo' kerja bakal dikasih komputer dan ruangan sendiri. Tapi, sekali lagi, kalian harus mempunyai jiwa kewirausahaan!''

Ya, benar juga apa kata Bu Bes. Kita lulus dari SMK pasti ingin bekerja bukan membuka lapangan pekerjaan. Tapi, kenapa sekolah mempersiapkan tenaga ahli untuk bekerja bukan untuk mempersiapkan pengusaha ahli untuk membuat lapangan usaha. Entah.

Andai saja begitu, lulus anak SMK semua membuka lapangan usaha dan memperkejakan orang banyak. Wah, kerennya negeri ini. Bisa-bisa mengalahkan Jepang kali yah.

Tapi apakah ada anak SMK yang berpikiran sama seperti saya untuk kali ini. Jadi, anak SMK nanti khususnya jurusan manajemen bisnis lulus akan membuka usaha dan memperkejakan orang banyak. Wah..., keren.

Saya juga masih bertanya-tanya, bagaimana untuk mengembangkan jiwa kewirausahaan.

Selama saya belajar mata pelajaran Kewirausahaan dari kelas satu sampai kelas dua ini. Kebanyakan adalah teori, dan membuat kerajinan tangan, itu saja. Sama sekali tidak mengeluarkan jiwa kewirausahaan menurut saya. Apalagi pelajaran yang baru-baru ini mengenai budi daya ikan. Dalam pada itu, siswa hanya dibuat berkelompok, mencari materi mengenai budi daya ikan, mempresentasikan dan lalu sudah. Itu saja. Entah guru Kewirausahaan yang tidak sesuai prosedur atau apalah, entah.

Menurut saya belajar seperti itu sama sekali tidak mengembangkan jiwa kewirausahaan.

Nilai rapot saya di mapel kewirausahaan adalah A+, A, dan SB. Ya, ini nilai yang sangat memuaskan bagi saya. Namun hanya nilai, itu saja tidak lebih dari cukup. Jadi nggak jadi memuaskan deh.

Saya tidak tahu bagaimana mengembangkan kewirausahaan. Kalau saja hanya membaca, tidak shahih rasanya. Saya butuh penjelasan langsung dari guru. Secara lisan dan jelas.

Dan saya tidak akan lupa untuk bertanya kepada guru kewirausahaan saya, ''Bagaimana cara mengembangkan jiwa kewirausahaan!?'' begitu.

Tampaknya sudah selayaknya sekarang anak SMK khususnya bisnis manajemen bisa turut andil di pembangunan ekonomi. Sebentar lagi AFTA akan menukik di Indonesia dan orang Indonesia meluas di Asia Tenggara yang katanya bebas. Jadi, yo Mari kita bersaing dengan negara asing. Memupuk tekad penuh kesadaran menapak masa depan untuk Indonesia Raya yang lebih cerah. Demikianlah renungan anak SMK kelompok Bisnis Manajemen, mungkin masih banyak lagi di luar sana. Dan mungkin belum berani menuliskannya atau..., hanya pasrah akan keadaan pendidikan di Indonesa.***


Afsokhi Abdullah
Kosan kecil, 11 Februari 2015.

#JakartaBajir Brohh. Apa yang lu lakuin!?

Sebenernya gue nggak betul-betul ngarti sih ya. Bagaimana banjir bisa terjadi dan menjelaskan dengan ilmiahnya, karena gue nggak pernah belajar itu dan mungkin nggak akan pernah. Yang pernah gue pelajari cuma proses hujan yang pada dasarya air laut kembali ke air laut. Tapi kok ini kaga yah, malah air betah berlama-lama di penghunian dan mungkin dia caper. Soalnya di mana-mana mengabarkan kalo air sudah tinggi dan itu tandanya banjir broh...., dia jadi tranding topic pula.

Oh iya. Kan waktu gue belajar dulu..., itu ada yang namanya penyerapan. Ya jadi itu semacam pohon lah katakanlah, pohon itu bisa menyerap air dan bisa menjadi cadangan air di dalam tanah. Tuh, hujan bersahabat bukan sama kita? Udah dikasih subur tumbuhan, dikasih cadangan air pula. Buat mandi dan BAB broh..., kalo nggak ada air lu mana bisa mandi, dan lu pasti jelek kalo nggak mandi, kan?

Tapi kenapa banjir ini terjadi karena banyak banget pilihannya. Ada yang bilang drainase yang tidak berfungsi, pompa yang tidak berfungsi karena mati listrik dan lain sebagainya. Kenapa ya broh?

Ironisnya, banjir sudah menjadi langganan di Jakarta. Pada hari jauh sebelum banjir datang, gue melihat kali dikerukin, rumah digusurin, dengan dalih mencegah banjir nantinya. Namun apa semua itu kita rasakan? Apa manfaatnya? Banjir ya tetap saja banjir. ''Kalo nggak mau kebanjiran ya jangan di jakarta luh.'' begitulah kata yang menjadi tren kalau banjir datang. Setidaknya kata itu menerbitkan gelak tawa. Ya, gelak tawa, bukannya mikir gini, ''Aduh, kota gue kebanjiran tiap tahun. Apa yang telah gue lakukan. Apa salah gue, salah ade gue, ibu, kakak, abang, ayah, dan semuanyaaa!?'' lalu merenung dan mendapatkan inovasi. Andai ada seribu orang aja yang merenungi, paling nggak banjir nggak parah-parah amatlah. Soalnya mereka sadar kalau banjir juga disebabkan oleh mereka juga. Bener kan broh? Lu coba deh ya.

Kebanyakan orang akan angkat bicara mengenai banjir ketika banjir saja. Sebelumnya mana mereka sadar. Buang sampah sembarangan, mau sampah plastik ato sampah apa aja digabung jadi satu sampai tong sampah kekenyangan dan tidak bisa menampung dan luber menjadi pemandangan di setiap sudut kota. Ini kota lu broh, masak sampah di mana-mana?

Terlebih lagi, ada yang buang sampah di kali. Kabarnya karena tong sampah yang jauh dari jangkauannya. Kali menjadi alternatifnya. Apa salahnya? Wong kali yang paling deket dan di kali juga udah seperti sampah. Hitam legam, bau, dan mengalir tersendat-sendat seperti orang tua lagi bengek. Mungkin kayak orang yang kecanduan ngerokok lah gitu? Lu nggak kan broh? Kalo gue sih enggak.

Entah, sudah beberapa pemimpin yang sudah memimpin negeri ini, khususnya Ibu Kota yang langganan banjir ini. Kalo Jakarta bisa ngomong, apa yah yang dia omongin, mungkin gini, ''Hai orang-orang yang udah nempatin gue. Rawat nih gue. Gue tempat di mana lu berpijak, tempat lu cari duit, e, lu malah nggak ngurusin gue. Lu kira gue apaan, hah!? Gue juga butuh kasih sayang..., jangan sampe gue marah nih. Kalo gue marah, gue bakal minta kirimin air yang lebih banyak dari ini dari Bogor! Jadi, rawat gue geh. Gue udah bosen jadi kota yang kebanjiran tiap tahunnye. Aduh, gue juga malu. Kemaren masak gue dicap jadi kota termacet dan tertidak aman di dunia. Gue malu, gue malu woy!'' lalu Jakarta menangis sedu sedan.

***

Mungkin bagi beberapa orang banjir sudah menjadi takdir, terima apa adanya saja, toh pas udah nggak banjir nggak diomongin lagi, kan? Begitulah. Ganti tema..., bisa aja tentang korupsi dan narkoba kalo udah kering nih Jakarta. Semoga lu kagak yah broh.

Pembuang sampah sembarangan baru-baru ini dihakimi di pengadilan dan didenda. Beberapa di antara mereka banyak yang sudah kapok. Baru-baru ini pula cctv akan disebar di seluruh pelosok Jakarta untuk memantau warganya yang bertangan nakal, maunya buang sampah sembarangan. Ya, baru-baru ini saja, setelah banjir sudah ancang-ancang tak jauh dari mata memandang dan siap menerjang. Moga lu kaga kena terjang yah broh.

Orang beruang bisa saja bercokol di atas rumahnya atau kantornya yang mencakar langit. Berbeda dengan orang tak beruang, menyatu dengan air yang menyatu pula dengan kotoran manusia dan lain sebagainya yang kabarnya bisa menimbulkan banyak penyakit. Orang tak beruang tak memikirkan penyakit, mereka malah berenang ria di genangan air. Sehabis itu? Baru ada yang sakit, bahkan meregang nyawa diseret arus.***


Afsokhi Abdullah
Terkepung Banjir, Jakarta 11 Februari 2015

Air Mata dari Sebuah Rumah Berbilik Bambu

          

Di sebuah kampung yang sunyi. Mentari telah menyingsing di ufuk timur,  embun baru saja diusir oleh mentari. Sekarang reremputan agak terlihat gagah, dan pohon bergoyang sedikit-sedikit ke kanan-ke kiri dengan lihai. Menikmati alam yang asri.

          Tapi lain dengan sebuah rumah dengan bilik bambu sebagai dindingnya, kayu tua menjadi tiang, dan tak berlantai. Hanya sahaja tanah hitam menjadi pijakan kaki. Tampak seseorang sedang memperjuangkan hidup-matinya. Di kampung ini, rumah sakit amat jauh jaraknya. Belum lagi melewati jalanan yang banyak lubang besar dan tak beraturan. Terlalu bahaya untuk seorang Ibu yang akan melahirkan dilarikan ke sana dan di atas sana.
          Sebab itu, dukun bayilah yang sangat dipercaya untuk persalinan.
  
        Seorang Ibu masih menahan sakit yang teramat sakit, menyayat perutnya, tubuhnya menggelinjang, keringat beranak sungai di dahinya. Dalam perjuangan hidup-matinya..., akhirnya bunyi-bunyian tangis dari cabang bayinya merekah. Tampaklah seorang bayi lelaki lahir, mengisi bumi yang siap mendekapnya.

                                                          ***

Beberapa hari setelah kelahiran itu. Banyaklah orang berdatangan untuk muyen1. Padahal rumah ini sudah tidak muat lagi jika dipaksa untuk menampung banyaknya orang yang berdatangan membawa parem, selimut, dan barang-barang bayi.

          Bayi itu telah mandapatkan nama akhirnya: Arbi Choirul Umam. Kini ia masih tertidur pulas dalam dekapan Ibunya. Terbuai ia, dan hanya melihatkan tatapan kosong.

          Waktu terus berjalan walau tak punya kaki. Hari berbuah minggu, minggu melahirkan bulan bahkan detik pun bisa mengubah tahun. Arbi kecil tumbuh. Seperti bayi biasa, hanya saja Arbi tampak kepalanya lebih besar dibanding bayi pada umumnya.

          Banyak yang mengira bahwa itu kelainan, penyakit, dan lain sebagainya. Namun, jika memang itu penyakit, pastilah akan memberikan tanda-tanda gajil. Hingga sampai saat ini, tanda itu tak tampak adanya.

          Tatkala Arbi diselimuti kain batik cokelat dan ada warna emas di antaranya, ia terselimuti sampai tenggelam dan hanya menyisakan kepalanya sahaja. Agar mudah bernapas tentunya. Dalam pada itu ketiga kakaknya mencoba menghiburnya dengan memperlihatkan ekspresi muka yang berubah-ubah.

          “Cilup, bah....”

          “Nang-ning-nang-nang-ning-nung....”

          “Cilup, bah....”

          Tak luput pula neneknya ikut ambil andil menimang-nimangnya. Banyak juga bibir telah terjun di kedua pipinya. Gemas adalah alasan yang sering terlontar. Tapi tak sampai hati jika mencubitnya.

                                                              ***

          Kampung yang damai itu seperti biasa menyapa setiap penghuninya dengan ramah dan deru angin mesra. Embun tampaknya enggan untuk diusir mentari, ia masih bercokol di dedauan, rumput dan atap rumah.

          Rasanya ada yang ganjil untuk hari ini. Miks mushola dinyalakan, kabar sudah menyebar. Semua mushola mengabarkan bahwa ada seorang wanita meninggal dunia, pagi hari tadi.

          “Innalilahi...., Innalilahi...” beberapa orang tak kuasa mendenger kelanjutannya.

          Airmata terjun dari berpasang-pasang pelupuk mata. Terlebih lagi airmata dari sebuah rumah yang berbilik bambu, bertiang kayu tua dan tak berlantai itu. Ibu Arbi telah meninggal. Bersebab terserang penyakit. Akh. Wajah orang yang meniggal itu tersenyum, rasanya dia masih dalam keadaan tertidur dan bermimpi manis.

          Tak lama kemudian. Orang berjubal datang ke rumah itu. Sosok mayit telah terbujur kaku tak berdaya. Pemandian sedang berlangsung, beberapa orang menangis sedu-sedan dan beberapa lagi menahan isaknya.

          Arbi kecil hanya diam seribu kata. Tak mungkin ia mengerti akan hal ini? Kalau memang dia mengerti, kanapa ia tak menangis mengikuti ketiga kakaknya sanak keluarganya?

          Kain kafan telah siap, dibungkuslah mayit itu. Dan setelah rapi, disholatinya dengan jamaah yang luar biasa banyaknya. Membeludak sampai ujung sana.

           Keranda menunggu untuk diangkut. Jauh dari sini, kuburan sedang digali. Setelah siap, keranda pun diangkat membawa mayit. Empat orang memikulnya dengan gagah, berjalan dengan cepat sampai kuburan yang jauh tempatnya.
         
       Sampailah di pamakanan. Saat mayit mulai dimasukan ke liang lahat, tangis tak terbendung lagi, banjir airmata. Akh. Tenang, semua orang mengalami hal ini. Yaa..., entah, waktu yang akan menjawab atas izin Allah.
          
          Usahlah menangisi kematian.  
          
                                                 ***

Beberapa tahun setelah sepeninggalnya Ibunya, Arbi kecil mulai tumbuh menjadi anak yang riang dan suka bermain. Dia muali kritis pada semua keadaan. Pada suatu hari, ia bertanya pada kakak perempuannya yang masih kelas 2 SMP.

          “Ibu di mana, kak?” tanya Arbi dengan entangnya.

        Perempuan di hadapannya bergeming. Tak menjawab segera. Malah, matanya mulai panas, berembun, lalu tumpahlah airmata.
          
          “Kakak kenapa?” tanya Arbi lagi.

          Tanya Arbi hanya mendapatkan jawaban tak bersuara. Di hati kakaknya mungkin tersayat hebat. Tak terasa Arbi telah tumbuh besar, dan..., jauh dari kasih sayang Ibu.

          Tapi, banyak yang peduli kepada Arbi. Ketika ia mulai sekolah MI (setingkat SD), banyaklah orang yang ingin membantunya. Dan jika lebaran tiba, ia bisa mendapatkan banyak sekali baju baru, uang, bahkan petasan.

          Ayah Arbi terus bekerja sedemikian rupa. Tak lelah memanjat batang pohon kelapa yang kasar, berjuang mendapatkan badeg2 lalu dijadikanya gula Jawa yang manis. Walau pada akhirnya dia terjangkit penyakit usus buntu. Sebab itu, dioprasinya sampai menghabiskan banyak uang.

          Dan ketika Ayah Arbi sembuh dari penyakitnya, ia hanya menderesi3 pohon kiwel. Hasilnya tak seberapa, namun cukup untuk membiyayi anaknya sekolah dan makan saban hari.

Anaknya yang pertama, Maskur, pun tak hanya berpangkutangan. Ia sadar menjadi anak yang paling besar. Tidaklah mereka mengandalkan uluran tangan orang lain.

Tapi, tetap saja mereka tak justru berkembang dan keluar dari keadaan yang itu-itu saja. Rumahnya terus dibiarkan berbilik bambu, jika malam hari tiba, angin akan amat terasa sampai menyellinap ke tulang. Atap rumah banyak yang bocor. Pondasi rumah makin hari makin terkikis air bah. Tiangnya menjadi santapan rayap.

                                                ***

Arbi kini kelas 4 MI. Kabarnya, Arbi bisa mengoprasikan handphone, yaa..., walau pada akhirnya handphone itu rusak olehnya. Ya, Arbi kecil sangat kritis dan selalu mencoba hal baru yang menarik baginya.

          Tatkala Ayah Arbi dikenalkan kepada seorang janda, kini hidupnya agak terlihat lebih ceriah. Dia menjadi akrab dengan handpone, sering pula menelepon dan ditelepon oleh kenalannya itu. Banyak pula yang prihatin padanya sebab menjadi duda.

       Setelah anak perempuannya lulus dari pesantren setingkat SMA. Tak lama kemudian ia dilamar oleh seorang pria yang siap menanggung hidup perempuannya. Hingga pada hari yang berbahagia, anaknya itu menikah. Agaknya beban hidupnya tertutupi. Tidak lagi membayar bulanan sekolah. Sekarang anaknya hidup bersama pria yang bertanggung jawab, gagah, dan dewasa.

          Sebab itu, Ayah Arbi yang masih dalam proses perkenalan kini agaknya tampak tanda-tanda ke arah serius. Dan benar saja, tak lama setelah pernikahan anaknya, ia pun menikah dengan seorang janda beranak satu itu; kenalannya.

          Tidak terlalu jauh jarak rumahnya dengan istrinya yang kini. Kadang ia ke rumah istrinya membawa serta anaknya, dan kadang pula istrinya datang ke rumahnya. Begitulah.

          Kini Arbi pun tak terlantar lagi. Ia telah mempunyai Ibu baru yang perhatian padanya. Ia juga tak kering keronta lagi akan kasih sayang Ibu; ia lebih terurus dari sebelum-sebelumnya.

                                                          ***

          Ayah Arbi tak sembarang memperisitri anak orang. Istrinya kini mempunyai usaha, dan anak dari istrinya itu bekerja di negeri jiran Malaysia. Saban bulan mengirimkan uang. Bekerjanya pun bukan menjadi pembantu rumah tangga, namun bekerja di kantoran. Pernah suatu saat Ayah Arbi ditawari dibelikannya motor. Namun ia menolak, agaknya motor lusang miliknya itu masih bisa menepaki jalan yang tak beraturan dan banyak lubang di sana-sini di kampung ini.

          Senja kini menjadi saksi keluarga baru yang berbahagia. Deru anginnya menyejukan tenggorokan yang kering, awannya memberikan perlindungan, cahanya sepuh, setelah seharian berpijar di angkasa. Pohon bergoyang dengan ikhlas. Lambat laun, malam tiba, pijar matahari sudah berpindah dari tempat ke tempat tak kenal lelah. Dalam kegelapan, pasti ada yang takut, dan ada yang berakhir.***


[1] muyen: kunjungan orang ke rumah orang yang baru saja melahirkan bayi. Biasanya mereka yang datang memberikan peralatan bayi, doa’a serta ucapan selamat.

[2] badeg: adalah getah dari pohon kelapa, adanya di atas pohon, tapat di bunga yang baru merekah.

[3] menderesi: kegiatan untuk mengambil getah itu sendiri. Pekerjaanya disebut dengan penderes.
[4] kiwel: bukan kiwil. Kiwel adalah buah berwarna cokelat. Pohonnya tumbuh di tanah yang berair asin tak terlalu dalam. Tumbuh di tepian sungai, kali.

NB: CERPEN INI TERINSPIRASI DARI KISAH NYATA.

Afsokhi Abdullah
Tengah Malam di Kosan, 02 Februari 2015


Maskur


       

   Daun Kiwel

 Arbi.

 
JALAN YANG BERLUBANG DAN BERLIKA-LIKU.