PRAMUKA 32..

Gue adalah seorang pramuka dan gue bangga. Seorang pramuka pastinya memiliki gudep (gugus depan) dan pastinya lagi nih ya, ia akan memiliki pangkalan. Pangakalan yang dimaksud di sini adalah tempat aktifnya pramuka tersebut. Kebanyakan itu adalah sekolah-sekolah.

Aktifnya gue di Pramuka berawal di gudep Naga Sasra - Sabuk Intan, SMP N 32 Jakarta. Ada banyak kenangan selama menjadi penggalang di sana. Apalagi sanggarnya.

Yups, sanggar gudep Naga Sasra Sabuk Intan pernah ada sengketa karena ia adalah ruangan satu yang terbagi dengan ruangan PMR. Ditambah lagi, gunjingan dari Paskibra yang tidak mendapat ruangan. Adapun ruangan lain, ruangan itu sempit.

Jadilah perebutan ruangan antar ekskul.

Namun tetap, Pramuka yang menang. Jelas. Sebab kami harus punya tempat untuk menaruh tongkat, tenda, dsb, dst, dbl, ddb, dbd. #abaikan

Nah...

Suatu ketika, gue udah menjadi penegak Bantara yang dilantik di lain gudep. Alias, gue dilantik di pangakalan SMK gue sekarang, bukan pangakalan yang lama. Ada rasa gimana gituh karena pindah ambalan plus pangakalan. Tapi, gue beranggapan, Pramuka adalah satu, walau berbeda Ambalan, kita tetap saling membantu, dan rasa kekeluargaan tetaplah erat.

Walhasil, gue belum lama ini main ke sana, Pramuka yang berpangkalan di SMP 32. Gue masuk, lalu disambut oleh anggota yang lain, ramah. Di antara mereka ada yang sudah kenal, dan ada yang beluman.

Gue memperkenalkan diri ketika itu di kelas. Begini,

''Nama kakak, Afsokhi Abdulloh. Sekolah di SMK N 11 Jakarta, bla bla bla bla...''

''Ada yang nanya?'' tanya gue memancing.

Salah satu anggota angkat tangan.

Dia bertanya, ''Kak, gimana caranya membuat cerita yang seru?''

''Maksudnya?'' gue heran.

''Itu lho, yang ada di blog kakak...''

''Kamu baca juga?'' tanya saya penasaran.

''Baca dong...'' jawabnya.

''Saya juga, kak,'' celetuk yang lain.

''Saya juga baca, kak, seru. Bisa aja bikin ceritanya..''

Gue terharu di situ. Gue diam sejenak, menghela napas. Ndak nyangka...

***

Di situ gue ngajar adik-adik Pramuka kelas 7-9 tentang sandi morse. Lumayan mudah, tapi sulit. Seru juga, dan menantang.

Inilah Pramuka, tidak akan kehabisan materi ajar, ada banyak, tinggal dipelajari..

Yups, setelah mengajar dengan lelah, akhirnya gue istirahat di sanggar. Iya, sanggar yang pernah menjadi sengketa. Tempat duduk kesukaan gue adalah di bangku panjang dekat pajangan nama-nama anggota putra yang ikut LT 3 tahun kapan tau. Di sana ada gue yang dengan nama: OCHI.

Aih.. Di sanggar, kami saling bercengkrama. Berbincang tentang materi selanjutnya, jambore, dan sebagainya seputar itu.

Menjadi Pramuka memang seru.. Sudah seperti punya keluarga sendiri. Bagi gue, sanggar adalah rumah selanjutnya setelah rumah di kampung, kosan, dan rumah masa depan.. #gimanamaksudnya

Ya begitulah pokoknya. Ketika kita sudah lulus dari suatu sekolah yang kita juga anggota Pramuka di sana, mereka akan menyambut dengan hangat kehadiran kita datang kembali. Sekedar bersilaturahim, untung-untung ikutan mengajar..

Bener deh, rasa kekeluargaan tuh ada.

Dan cuma organisasi Pramuka yang punya.***

Akhir Agustus, 2015.

PANIK KEJEBAK DI LIFT

Ketika itu siang hari sehabis makan, gue mau ke lantai 14 gedung Mina Hari III kementerian kelautan dan perikanan Gambir, Jakarta Pusat, tempat PKL. Gue sampai di lantai GF gedung tersebut kebetulan bareng Ucup, teman PKL gue.

Pas nunggu lift naik ke atas dari GF, mulailah lambat laun banyak orang menumpuk di depan pintu lift. Ada yang bawa plastik berisi rujak, bawa tas, bawa hp ndak kedip-kedip (nahlo) dan sibuk masing-masing, sedang gue ndak sibuk ngapa-ngapain.

Pas bunyi: 'ning nong', tak lama kemudian pintu lift terbuka, kami naik dan memencet tombol angka yang ada di sisi dekat pintu lift tersebut, adanya di sebalah kanan.

Selanjutnya lift naik, 'gujuk, gujuk, gujuk, gujuk' gitu bunyinya. Lift penuh, kebanyakan kaum adam di dalamnya. Seperti biasa, gue dan Ucup yang paling mencolok di sini, sebab almet yang kami kenakan berwarna kuning spongebob gitu..

Pas naik ke lantai 8, tau-tau 'jug' aja bunyi. Lampu lift mati, nyala, mati lagi, dan 'jug' lagi. Gue panik, wah nih lift anjlok, pikir gue.

Seseorang om-om yang dekat dengan tombol angka memencet tombol berlambang telpon warna merah dan lonceng dengan tekanan yang kencang. Gue kira dia panik nih.

'Jug' kembali lift seperti anjlok ke bawah. Gue mulai panik, gue liat Ucup wajahnya berkeringat, dan menampilkan juga kepanikan yang jelas-jelas termaktub di sorot matanya.

Cup, bagaimana ini?

Lama kemudian, ada suara dari speaker yang ada di tombol-tombol itu. Suara Bapak-bapak, katanya, ''Buka pintunya, buka pintunya! Buka aja!''

Om-om yang ada di dekat pintu membuka paksa pintu lift, dia kesulitan lalu dibantu sama yang lain, termasuk gue. Pas kebuka, Alhamdulilah, kami bisa menghirup udara segar setelah sekian lama di dalam lift menyeruput bau jigong-jogong begitu :3

Lantas, kami berebut keluar, lalu berpindah ke lift nomor 4 yang ada di ujung sana.

Ketika naik ke lift nomor 4, sialnya ketika gue masuk, suk, bunyi, 'nyeeet' alias tanda over load. Gue balik lagi ndak jadi masuk dan menunggu lift selanjutnya di nomor 1, sendirian, Ucup udah masuk duluan..

****

Setelah sampai di tujuan, gue sedikit trauma gimana gitu. Gue ndak kebayang itu kalo tadi liftnya turun ke bawah sampe GF pegimana? Terjun bebas begitu dari lantai 8 tempat anjlok tadi?

Beruntung tidak ada luka atau apalah-apalah dari peristiwa di atas.

Hari-hari selanjutnya, ketika gue naik lift, ada saja rasa takut menjalar. Apalagi kalo liftnya kosong. Tapi, berjalannya waktu, gue berani sendiri, lewat tangga darurat kalau mau turun-naik gedung :3

MENJADI ANGGOTA PRAMUKA ITU...

Menjadi anggota pramuka, kita pasti akan mendapat banyak pengalaman dan tentu pelajaran. Hal-hal yang ndak bisa kita dapatkan di kelas, rumah, lingkungan hidup, kita bisa dapatkan di Pramuka. Apa sebab?

Begini, Pramuka adalah sebuah organisasi kepanduan bahkan diatur di UU, anggotanya memiliki tingkatan tersendiri. Setiap ingin naik ke tingkat selanjutnya, kita harus dilantik, dan proses pelantikan harus kita lewatin. Dalam kanaikan tingakatan, di situ kita bisa merasakan perjuangan dan pastinya kebahagiaan kenaikan tingkat. Yang harus diingat, semakin tinggi tingakatan Pramuka, semakin berat juga tanggung jawabnya. Intinya, ia semakin menjadi manusia yang bermanfaat dan mengabdi pada negeri, bak pohon kelapa yang banyak manfaat dari semua organnya.

Selain itu, di Pramuka, kita juga bisa berkemah di alam terbuka, kita bisa ketemu banyak orang baru, dan ketika di perkemahan itu, kita bisa tahu sifat temen sebenernya kayak gimana. Sebab, ketika di perkemahan, kita akan menemukan situasi di mana harus masak, mandi, minum, mendirikan tenda, dan seterusnya yang semua itu butuh kerja sama.

Akan terlihat sifat temen kamu yang egois, dia, misalnya, ketika makan, ambil paling banyak, ndak mikirin teman yang lain. Dia ndak mikir itu makanan cukup apa ndak. Pokoknya perut gue kenyang, pikirnya.

Di alam terbuka kita belajar, bagaimana sulitnya mencari, mengolah, menerima makanan dan keadaan. Kalau kita milih-milih makanan, bisa-bisa laper di perkemahan, kita harus prihatin, dan nerima apa yang ada. Jangan manja.

Perkemahan mengajarkan kita untuk bersosialilasi. Di mana kita saling bertegur sapa antar tenda, saling berbagi, dan seterusnya. Perkemahan tidak hanya jambore saja, ada banyak, misalnya macam Lomba tingkat, giat prestasi, raimuna dan, mungkin yang tidak asing di kepalamu, persami.

Di pramuka, kita pasti banyak pengalaman. Asal kita aktif, pasti ada saja dan bisa mengikuti kegiatan Pramuka yang seru itu.

Yang jelas, Pramuka tidak hanya berkaitan dengan tali-temali dan jarang mandi, Pramuka kini di bawah kementerian juga lho. Contohnya, di tingkatan Penegak ada yang namanya Satuan Karya atau Saka. Dalam sebuah Saka, ada yang menaunginya, contoh saka pariwisata, di bawah kementerian pariwisata. Dan seterusnya. Ada banyak Saka di Pramuka. Pilih yang kamu minati.

***

Di Pramuka kita bisa belajar apa saja, mulai dari kepemimpinan hingga kemandirian. Seorang Pramuka seyogianya sadar bahwa ia harus bermanfaat bagi banyak orang, bergerak dalam ketidakpastian, memimpin dalam keraguan. Satyaku Kudarmakan, darmaku ku baktikan: setiap janji yang
telah diucapkan menjadi ketetapan yang
harus ditepati dan dilaksanakan.***

Kosan, 15 Agustus 2015

CUKUR KUMIS PERTAMA DALAM HIDUP GUE

Awalnya, gue takut banget buat cukur kumis. Sebab, gue pernah liat temen gue SD, ketika itu dia punya kumis lebat banget, gue tanya kenapa bisa begitu, dia jawab karena dicukur.

Bayangin, itu anak masih SD, seinget gue waktu itu kelas 6. Gue ndak harus sebut namanya siapa, pokoknya gara-gara dia, gue takut cukur kumis.

Sampai gue terdoktrin: ''jangan cukur kumis, nanti tambah lebat.'' doktrin itu terus gue bawa bertahun-tahun.

Sekarang umur gue 16 tahun, belakangan pas gue ngaca, omegot, kumis gue menjalar di sela-sela hidung dan mulut gue #yaiyalah

Semakin hari semakin lebat saja itu kumis, hingga akhirnya ada beberapa orang komen:

''Kumis lu keren, kayak tukul. Hahha...''

''Kumis lele.''

Bla bla bla bla...

Mendenger komentar itu, gue jadi sering ngaca. Padahal, gue orang yang jarang ngaca walau di kosan ada kaca. Karena jarang ngaca, gue jadi merasa lebih ganteng. Begitu. Tsaaaah... #gajemodeon

Oke, lanjut, siang itu, gue memutuskan untuk mencukur kumis gue ini. Sebelumnya, gue tanya-tanya ke temen, merk cukur kumis apa yang bagus. Gue tanya ke Argi, dan dia jawab.

''Yang biasa aja, dijual kok di warung-warung. Kisaran goceng ke atas...'' jawabnya, lalu pada hari itu, ia jadi sering mengucapkan kata 'kisaran'.

Gue bergegas ke 'warung Bugis'. Membawa recehan uang dan niat mencukur kumis.

''Beli, Bu...'' ucap gue ketika sampai di warung.. Si Ibu mengangguk.

''Ada cukuran kumis?''

''Cukuran?''

''Iya.''

''Ada, ada...''

Tanpa babibu, langsung gue sabet itu cukuran, gue kasih uangnya dan sesegera mungkin gue masukin cukuran ke kantong. Gue merasa cukuran ini adalah benda paling rahasia dalam hidup ketika itu.

Sampai kosan di depan kaca, gue mulai pegang-pegang kumis, menarik-nariknya, dan tanpa sengaja gue bergumam,

''Udah tua aja ya gue..''

Setelah itu, gue buka itu bungkus cukuran. Gue cek siletnya, aw, tajam. Pelan-pelan dan ada rasa takut, gue dekatkan itu cukuran ke ketek, eh, ke kumis. Pelan, pelan, pelan... Dan, gajadi.

Gue ragu, takutnya salah dan melukai kulit. Karena itu, gue buka hape dan searching, sekejap, gue menemukan tutorial mencukur kumis.

Ribet juga ternyata, di artikel itu dijelaskan, harus pake krim dulu lah, abis mandi lah, bla bla bla bla... Padahal, selama ini gue belum pernah ngeliat secara langsung orang cukur kumis pake es krim, eh, krim maksudnya.

Karena itu, gue beranikan diri, mendekatkan si cukuran ke kumis. Pelan, cukuran itu gue gerakan dari atas ke bawah.

Ceta.

Ceta.

Ceta.

Bunyi kumis dengan si silet beradu, iya bunyinya gitu :3

Satu persatu bulu kumis terpotong. Gue lega.

Gue mencoba lebih gesit lagi, dan yei. Gue bisa mencukur dengan cepat, tanpa takut terkena siletnya. Alhasil, kumis gue sudah rapi...

***

Esoknya, gue PKL dan ketemu temen-temen sekelompok gue. Si Argi berkomentar.

''Nggak rapi tuh, masih ada sisa rambutnya somplak!'' katanya dengan mata beler.

Gue sih biasa aja mendengar komentar itu, sampai kosan, gue benahi lagi kumis ini. Hem... Lama-lama gue udah biasa, dan hap, kumis ini selalu bersih jadinya. Gue merasa lebih muda dan lebih berenergi. Tsaaah...

Yap, begitulah cerita cukur kumis pertama gue. Menakutkan bukan?

Kosan, 13 Agustus 2015

KETIKA MAS KOKI PERGI

Mas Koki adalah nama lainku. Nama itu lahir ketika dua anak kecil menggemaskan bernama Alvin dan Ival menanyakan siapa gerangan laki-laki yang bermain ke rumahnya.

''Namanya Afsokhi,'' kata Fitria menjelaskan kepada mereka. Fitria kala itu adalah temanku.

''Mas Koki?'' tanya Alvin membenarkan.

''Afsokhi...'' timpal Fitria, detik selanjutnya aku dan Fitria terkekeh.

Maklum, Alvin dan Ival masih anak-anak. Alvin sendiri baru akan memasuki usia 4 tahun 13 Agustus nanti dan, Ival, ia sudah masuk TK.

Semanjak perbincangan itu, aku menjadi sering dipanggil Mas Koki oleh mereka dan, aku merasa senang. Nama yang indah, batinku.

Hari-hari selanjutnya, aku menjadi sering bertemu dengan Alvin dan Ival. Urusan utamaku bukan bertemu dengan mereka berdua, namun aku ingin bertemu Fitria.
Tapi bagiku, jika tak bertemu dua anak itu, ada yang kurang kurasakan.

Lambat laun, hubungan kami (aku dan Fitria) berubah, bukan berstatus teman lagi.

Alvin dan Ival adalah keponakan Fitria, wanita berkacamata itu. Dengan kata lain, Alvin dan Ival adalah anak dari Kakak Fitria. Mereka menggemaskan walau tak ayal membuatku ikut sters dan larut dalam emosi.

Apalagi jika mereka berebut I-Pad untuk bermain game, ouh, suasana akan riuh. Ival yang lebih tua ketimbang Alvin tidak mau mengalah, sedangkan Alvin ingin menang sendiri.

Dalam situasi seperti ini, Fitria akan turun tangan dan memarahi mereka. Kadang jika terlalu kasar, aku akan menegur,

''Mereka masih kecil, jangan kasar-kasar...''

***

Di lain waktu, kadang aku terlibat permaian dengan Alvin dan Ival. Macam 'berantem-beranteman'. Jadi nanti-mereka akan berkelahi, lalu aku menjadi wasitnya. Hahaha... Tidak sampai adu jotos, mereka berantem dengan berpeluk-pelukan.

Aku yang melihatnya ikut larut dalam suasana. Perasaanku lain, ada rasa yang telah lama hilang, kini terisi kembali *bukan lagu*. Aku rindu adik-adikku..

Aku dan Fitria kadang mengajak Alvin atau Ival ikut jalan-jalan. Kami harus memilih, Alvin atau Ival yang akan diajak, tidak bisa keduanya, sebab akan merepotkan. Seringnya, kami akan mengajak Alvin, sebab ia tidak banyak bicara, protes seperti Ival, ckckck...

Bukan berarti Alvin atau Ival kendala, bersama Alvin atau Ival ketika jalan-jalan, menambah suasana baru dan rasa 'waspada' jika dalam keramaian. Jalan-jalan yang menyenangkan selalu bersama mereka.

***

Sekarang Mas Koki sudah pergi, namun tidak untuk selamanya. Mas Koki pergi karena ada suatu urusan. Mas Koki rindu kalian, Alvin dan Ival.
Semoga kita dipertemukan lagi dalam keadaan sehat ya, semoga tidak ada Mas Koki lain yang menggantikan Mas Kokimu saat ini.***

3 Agustus 2015 pada hari Senin



KEPADA BULAN, BANTU AKU BERIKAN PELUKAN TERAKHIR PEDANYA



Waktu senggang begini bagiku sangat membunuh. Sebab kala itu, adalah saat di mana kepala ini mengingat tanpa dikomando. Mengingat tentang segala hal. Mulai yang buruk hingga yang baik. Semua seperti diputar kembali tanpa jeda barang sedetik.

***

Kepada bulan, bantu-aku untuk kali ini berikan pelukan kepada seseorang. Pelukan yang hangat. Sengaja aku memilihmu, bulan, sebab matahari, aku tahu sendiri, ia garang dan amat panas untuk dijadikan pelukan. Ia tidak layak.

Bintang? Ia terlalu banyak, aku bingung berkomunikasi dengan mereka.

Angin? Ah, sudah kemarin kusuruh ia membisikan kata-kata padanya. Sampai sekarang pun ia belum pulang ke peraduannya.

Meteor? Jangan bercanda kamu, bulan, hahaha...

Sebab itu, bulan, tolong bantu aku. Sekarang dengarkan ya, jangan hanya tersenyum di atas langit saja.

Begini, nanti kamu, bulan, akan menyelinap masuk ke rumahnya. Lalu jangan sampai cahayamu terlihat oleh penghuni rumah dan siapa pun itu. Diam-diam saja, jaga napasmu.

Barang tentu kamu harus hati-hati, pelan, pasti, dan jika sudah sampai dekat dengan seseorang yang tadi kuberikan fotonya padamu, segara peluklah ia.

Aku tahu, kamu, bulan, adalah yang paling setia dari benda-benda langit lainnya. Aku tahu itu dan jangan tanya kenapa.

Jadi, aku percaya padamu, kamu akan membantuku memberikan pelukan padanya.

***

Bulan, kuharap kamu bersahabat denganku malam ini, jadi jangan pura-pura tidak mendengar yah di atas sana...

Setelah kau peluk ia, tolong katakan sesuatu dekat telinganya sambil berbisik, ''Aku merindukanmu.''

Ya, ingat yah kata-katanya, ''Aku merindukanmu.''

Kamu hati-hati, bulan, jangan sampai membuatnya terbangun dari tidurnya. Jika itu terjadi, bisa gawat. Ia mungkin akan memukulmu, karena yang memeluknya bukan aku; yang mengatakan rindu bukan aku.

Jika kau terpukul, bagaimana? Bisa gawat malam-malam ke depan tanpa hadirmu!

Pasti ia nanti tak tahu, yang memeluknya adalah bulan, hahaha...

Aku kasih tahu ya, bulan, dia wanita yang setia, jadi jangan dekat-dekat dengan dia setalah ini, ingat, tugasmu hanya itu. Jangan jatuh cinta padanya!

Kuberitahu lagi ya, ia wanita yang bersamaku tidak di kala senang saja, saat sengsara pun ia di sampingku. Tanpa mengeluh.

Ehm...

Bulan, kamu kok masih saja tersenyum-senyum mesem begitu di atas sana. Kamu mendengarkanku kan? Kamu tahu tugasmu kan?!

Bulan, kamu kemana?!

Jangan tinggalkan aku, aku belum selesai meberitahumu satu hal akan tugasmu. Aku hanya ingin menambahkan, katakan padanya, ''Ini pelukan terakhir dariku. Dari seseorang di atas awan. Penikmati senja.''***

Jakarta, 1 Agustus 2015 pada Malam Minggu.