Menyerah Saja (Tantangan Nulis #KampusFiksi #KataSebuahNapas)


Hidup ini terlalu singkat untukku. Kata dokter, tiga tahun lagi aku tidak akan hidup. Sekarang aku berumur sepuluh tahun. Aku terlahir dan tumbuh menjadi anak lelaki. Tapi, gigiku busuk, rambutku rontok, hanya beberapa helai rambut yang rela tampil di kepalaku. Bahkan pembuluh darah di bagian kelapaku tampak jelas. Jaringan di bawah kulit berkurang, bahkan menghilang sehingga kulit menjadi keriput. Kuku tak tumbuh sempurna, malah tumbuh melengkung serta rapuh. Dan aku mengalami pengeroposan pada tulang. Ditambah lagi, aku sudah seperti orang yang berumur 60 tahun.

Adakah yang sudi mendekati anak sepertiku? Dan kau bisa bayangkan bagaimana sakit hati ini ketika orang-orang mencibir dengan mulut tak berdosanya--mencibir keadaan fisik-ku.

Keadaan fisik pun mempengaruhi mental-ku. Aku tidak bisa merasakan dicintai oleh lawan jenis. Terlebih lagi menjalin hangatnya persahabatan seperti cerita yang pernah kubaca di dalam buku.

Biarpun begini, hatiku subur, bisa merasakan getaran cinta. Tapi..., apakah cinta hanya bisa dirasakan oleh orang normal saja?

Jujur. Aku telah jatuh cinta pada wanita di salah satu siaran televisi kesukaan. Saban hari aku menontonnya. Wajahanya manis, berlesung pipi dua. Suka sunyum tepat mengarahku. Dan dia sering membuatku tertawa bahagia sendiri. Aku cinta padanya. Sungguh.

***

Bunga mawar menghiasi meja tamu, tepat di tengah. Kini aku merenung sepi duduk di sofa, menunggu kepulangan Ibu seperti biasa jam 7 malam. Mata ini menatap jauh ke depan, terpentok oleh pintu rumah yang kokoh. Tiba-tiba pintu itu diketuk tiga kali. Lalu tampil Ibuku dan, Ibu cepat mendekat ke arahku.

''Kamu akan sembuh,'' kata Ibu menyakinkan yang tak kuyakin.

''Bagaimana bisa, bu?''

''Kamu akan sembuh begitu kamu mati, bukan?''

Kutelan ludah sebagai pelumas agar kata-kata bisa terlontar dari rongga leher sampai ke mulut.

''I-itu tiga tahun lagi, bu,'' sergahku.

''Memang,'' kata Ibu merintih. Kasihan aku melihatnya, terbisat kerja kerasnya untuk anaknya ini. Saban Minggu Ibu harus membawaku ke rumah sakit. Bertemu dokter dan membayar dengan uang yang dikumpulkannya. Kini uang Ibu ludes, dan mengumpulkan kembali untuk Minggu depan sampai tiga tahun lagi; sampai aku mati. Akh, hidupku tiada guna!

***

Masih di sofa yang empuk. Ibu terlihat semakin murung. Tampaknya ia mulai menurunkan tetesan air mata. Secepat kilat Ibu mempalingkan wajah ke arahku. Dan berkata,

''Apa kamu tidak bisa sembuh, yah anakku.''

''Biarkan saja kematian yang akan menyembuhkanku, bu. Bukankah hanya itu obatnya?''

Lalu Ibu mendekap erat tubuhku. Sampai aku mau roboh dibuatnya. Tidak ada obat untuk bisa menyembuhkanku? Apakah hanya kematian yang bisa menyembuhkan?

Sungguh. Pada titik seperti ini aku tak tega melihat Ibu. Aku sudah mulai nalar sebagai anak.

Ibu hanya seorang Janda. Ditinggal suaminya sebab mempunyai anak sepertiku. Aku anak satu-satunya buah pernikahan mereka.

Begitu pagi buta Ibu berangkat kerja dan pulang malam jam 7.

Oleh sebab itu, Ibu Meninggalkan aku sendiri di rumah. Tidak ada yang bisa kulakukan selain diam. Bermain di dalam dan tidak boleh keluar. Sebab, jika aku keluar, banyak yang tertakuti olehku.

Hari-hariku selalu seperti ini.

Heran. Kenapa Ibu masih saja setia mengurusku? Padahal aku anak yang tiada guna baginya.

***

Tiga tahun kemudian. Seharusnya aku sudah mati. Tapi, kenapa sampai saat ini aku masih bisa menatap bulan malam?

Dari sofa ini aku menunggu Ibu pulang. Namun waktu dan kenyataan tak segera menjawab. Tidak ada tanda-tanda Ibu akan pulang. Sampai fajar tiba, Ibu masih saja tak datang. Aku panik. Seharusnya malam jam 7 Ibu sudah pulang--seperti biasa.

Aku baru sadar. Sedari malam sampai fajar menjadi raja siang, aku belum tidur.

Kulempar tubuh ini ke sofa yang empuk dan akhirnya pulas tidur. Lalu beberapa jam kemudian, aku terbangun.

Ibu sudah datang, kini tepat di sampingku. Ibu tampak seperti biasa. Matanya berair, wajahnya keras, dan bertubuh agak gemuk. Kupanggil Ibu,

''Ibu, ke mana saja!'' seruku memelas dan tak mendapatkan jawaban. Ibu acuh terhadapku.

''Ibu, Ibu kenapa?'' kini aku menangis.

Ditambah lagi melihat tubuhku terbujur kaku di sofa tempat aku tertidur tadi. Apakah aku sudah mati?

End~

NB: PENYAKIT LANGKA YANG DIDERITA OLEH TOKOH 'AKU' ADALAH 'Progeria'. Pengidap penyakit ini akan tampak seperti orangtua karena penuaan yang 8-10 kali lebih cepat daripada biasanya. Dengan kondisi fisik, penderita progeria cenderung menjalani kehidupan sangat singkat, umumnya hanya 13 tahun. Namun, ada kasus ketika penderita masih bertahan hidup hingga 20 tahun, bahkan 40 tahun.


Afsokhi Abdullah
Kosan, 25 Januari 2015

Catatan di Balik Launching Buku Kaola Kumal. Gramedia Matraman (Bab 4). GUE BAKAL MENJADI PENULIS SUKSES SEPERTI RADITYA DIKA.

Kami pun menuju pintu keluar. Di sana (pintu keluar) tidak jauh dari penitipan tas kami. Sebelum sampai sana. Tepatnya sampai di kasir lantai tiga deket eskalator turun, gue moto kejadian di mana antrean berjubal banyanknya. Gue bersyukur. Nggak di antara barisan paling belakang itu.







Ketika kami sampai toko buku anak-anak. Kami sempat selfie. Setelah selfie, gue baru sadar.
“Eh. Gue baru sadar. Kita bisa dengan pedenya selfie di tempat umum gini,” kata gue.

“Bodo lah,” jawab Dina. Meyla hanya mengendus.






Kami pun menuju pintu keluar tanpa tersesat. Sempat juga ada hujan turun. Kami mengambil tas kami. Lalu keluar.

“Eh. Tadi gue liat toko buku di sono,” kata gue. Sambil mengacung ke arah loby mobil. Saat itu masih gerimis kecil. Lalu Meyla dan Dina patuh sama gue. Mereka ikut ke toko buku di loby.

Di atasnya ada semacan pemberitahuan gitu. Tulisannya Rp 5.000,.

Lah. Gue langsung tertarik ke sana. Dan mencari buku-buku bagus. Pertama gue cari buku idaman gue: Gadis 360 detik yang lalu. Namun nggak ketemu.

Gue pun binggung. Ini kasirnya di mana. Gue nanya ke cowok yang sedang mengubek-ubek buku sama kayak gue.

“Ini kasirnya di mana, yah?” tanya gue ke cowok itu.

“Nggak tahu,” jawabnya singkat. Gue pun menjauh darinya. Gue berjalan mengarah ke arah agak keluar. Dan di sana. Di sana ada kasir...! gue nggak ngeliat tadi pas masuk.

Gue tanya ke kasir itu, “Kak, ini kasirnya yah?” dia menganggukan kepala. “Harganya lima ribuan semua ini?” tanya gue kembali.

“Harga ada di belakang bukunya, mas, bervariasi. Dan nggak selalu sama.”

Gue menganggukan kepala. Paham. Lalu gue mencari-cari buku yang setidaknya murah, dan berisi lembaran yang banyak dan, best seler kalo bisa.

Gue liat kebanyakan di toko buku ini semua bukunya terbitan Gramedia, Kompas, Elex Kompotindo, ah, gue tahu, ini buku terbitan grup Kompas semua. Dan pasti bukunya nggak usah diragukan. Sebab, Kompas adalah penerbit mayor. Dan gue yakin, naskah yang lolos bukan main-main.

Setelah bermain-main dengan melihat harga di setiap pantat buku. Gue lupa sama Meyla dan Dina. Gue beri jeda sejenak. Menemukan mereka sedang membaca buku juga. Gue kira mereka bakal ninggalin gue. Huh.

Banyak pilihan. Banyak sekali. Dengan proses yang cukup panjang. Gue jatuhkan pilihan ke buku: Hamba Sebut Paduka Ramadewa. Ya, gue menjatuhkan ke buku ini bersebab gue kira di dalamnya penuh dengan sastra; gaya penulisan yang mengaggumkan.


  
Dan, benar. Ketika gue baca di rumah. Benar. Pokoke gue nggak salah milih.

***

Gue ke arah kasir. Tampaknya ‘abang kasir’ nggak percaya kalau ini buku harganya Lima Belas Ribu. Sebab, bukunya tebal, dan covernya juga menarik menurut gue. ‘Bang Kasir’ mengecek di lembaran kertas yang dia miliki.

Dia pun menanyakan ke tamannya yang sedang sibuk dengan buku yang berantakan. Dijawab oleh tamannya dengan anggukan kepala. Gue nggak maksud dengan anggukan kepalanya.

Namun, beberapa kali bang kasir menanya, dan selalu dijawab dengan anggukan kepala oleh temannya.

“Mana uangnya?” tanya si kasir. Dan gue udah siap dengan uang lima belas ribu. Gocengan semua. Sisa duit goceng di celana gue saat ini.

Bang kasir pun membungkus buku dengan plastik khas Gramedia, dan mensteples bon bersamaan dengan plastik. Nggak bisa. Dia kesusahan. Nggak tahu kenapa.

“Udah gitu aja, bang,” kata gue. Nggak sabar, udah mau ujan deras. Lalu abang kasir pun mengasihkan gue plastik beserta buku yang gue beli.

“Terima kasih...,” katanya, senyumnya mekar.

***

Gue, Meyla, dan Dina pun beranjak keluar. Melewati jembatan busway untuk menuju halte busway. Isi saldo kartu yang gue pegang pas-pasan. Tinggal sekali jalan doang ini.
Dengan diiringi gerimis kecil. Kami sampai di antrean menuju Senen. Singkat cerita, gue kebablasan, sehingga gue turun di Jembatan Merah. Sedang Meyla dan Dina turun di Senen. Mereka nggak bilang-bilang kalo mau turun.

Ketika gue turun di halte Jembatan Merah. Gue ngeliat Kak Ines, kakak kelas gue ketika itu. Sekarang dia udah lulus, dan kuliah. Gue nggak nyapa dia. Sebab gue ngikut arus penumpang menuju keluar. Kalo gue berhenti, gue bakal ditabrak dari belakang. Uh.

***

Singkatnya. Gue sampai di kosan. ASTAGFIRULLAH, WAKTU DUHUR UDAH NGGAK ADA. Jadi, sampainya gue di kosan, gue cuma sholat Ashar. Sehabis Ashar, gue baca buku Koala Kumal, hanya beberapa lembar habis itu udah.

Esoknya, pagi-pagi gue baca lagi tuh buku. Dan, tak terasa, sudah selesai gue baca semuanya dari bab 1 sampai akhir.



Dan gue terus menggebu untuk menjadi penulis. Gue akan belajari ini buku!!!

Begitulah ceritaku. 

LIHAT. SUATU HARI NANTI, GUE BAKAL MENJADI PENULIS SUKSES SEPERTI RADITYA DIKA...!


                                                     TAMAT~

Afsokhi Abdullah, 19 Januari 2015 
Di Kelas yang Tak Ada Guru. 

Catatan di Balik Launching Buku Kaola Kumal. Gramedia Matraman (Bab 3). KALI PERTAMA.

Gue sempetin ngeliat ke belakang. Wah..., semakin membeludak ini antrean. Gila. Udah kayak apa aja. Gue pun buka twitter kembali. Kan akun twitter yang kebanyakan gue follow adalah penerbit, distributor, penulis, editor dan semua yang berbau kepenulisan. Sebab itu. Isi TL gue penuh sama foto-foto ‘Launching buku Koala Kumal’. Malah, akun @GagasMedia twitpic antrean yang ada gue-nya.




***

Gue tertantang ketika kak Odie mengadakan lomba di twitter tentang menginformasikan acara ini ke teman-teman twitter gue. Kak Odie pun mengintruksikan kepada seluruh antren....

 “Dimulai dari... sekarang...!”

“Boleh lebih dari satu. Boleh lebih dari satu!” kata kak Odie lewat toa-nya.
Gue pun langsung ngebut. Twit hal yang menarik. Syaratnya hanya twit lalu mentions ke @GagasMedia dengan Hastag #KoalaKumal.

Ada beberapa di dalam barisan yang nggak tau apa itu Gagas Media. Mereka sepertinya asing mendengar kata itu. Yang sebenernya Gagas Media adalah penerbit dari buku Koala Kumal itu sendiri. Dan Gagas Media (setahu gue) masih sekeluarga sama penerbit Bukune.

Sekedar info juga nih. Raditya Dika juga pernah menjadi ketua redaksi Bukune. Maka dari itu. Ia menerbitkan buku pasti di Bukune kalo nggak Gagas Media. Gitu.

Kembali ke perlombaan. Pemenang perlombaan ini nantinya ada dua. Dan mendapatkan hadiah kaus yang dipake seperti panitia, baju Koala Kumal berwarna cokelat.

Gue pun ikut. Apa salahnya. Gue sempatkan ngeliat ke belakang. Antren semakin panjang men. MENGULAR. Dan hampir rata-rata memainkan hapenya. Pasti mereka twit tentang acara ini. Pasti. Dan gue banyak saingan tentunya.

“Eh. Ritweet, Ritweet, TWIT GUE...!” seru gue ke Meyla dan Dina. Mereka pun mengiyakan.

TL GUE PENUH DENGAN ITU.


***

Mau kalah mau menang itu masalah belakangan. Yang penting tunjukan yang terbaik. Itu prinsip gue. Gue pungut dari sebuah seminar mengenai PIK Remaja.

Kini jam setengah dua. Sedikit lagi acara akan dimulai. Tiga puluh orang pun dipersilahkan masuk ke ruangan (termasuk gue ama kedua teman gue men). Di dalam ruangan itu sudah ada pembatas; kursi, meja, buku Koala Kumal, panita, dan ada pula pengliput dari NET TV.

Gue pun masuk. Wah gue masuk. Cukup deg-degan sih, bisa dapet paling depan. Karena itu, gue lupa kalo harus melewati panita dulu untuk dicek. Alhasil gue dipanggil sama panita itu.

“E.e.e.e.e. Ke sini dulu...,” suara panitia itu. Gue pun mendekat perlahan.

“Dicek dulu yah...,” suara kak panita cewek ini (layak) seperti merayu. Gue pun luluh. Duh.

“Di balik ke sini bukunya. Menghadap ke kami,” katanya, lagi.

Setelah itu.Ya. Tak lama kemudian kami pun masuk lebih dalam. Berdiri lagi sampainya di sana. Beberapa orang ada yang masih asyik baca bukunya. Ada pula yang duduk sila, padahal dia pake rok, dan itu ada di depan gue. Gue khilaf, Ya Allah... apa yang telah gue lihat tadi.
   ***
Kalo gue itung-itung. Gue ini berada di nomor urut 19. Di dalam ruangan ini, bisa juga dilihat dari lantai atas (4). Dan di atas pun ramai orang. Dari yang pake seragam sekolah sampai ada yang telanjang dada

INI BARISAN PERTAMA. 


Ada Mc dateng dengan tiba-tiba. Gue nggak tahu siapa dia. Tapi, orangnya asyik. Barangkali udah sering menjadi Mc-an kali yah. Manis.

Beberapa kali kak Mc sok asyik sama kita-kita. Kita yang sekarang berada di ruangan hanya berjumlah 30 orang saja. Dan, asal lu tau, di luar sana banyak yang antre. Entahlah mereka bakal hidup apa kagak.

Nah, kak Mc ini mengulur waktu terus. Dengan ocehannya gue terhipnotis. Gue nggak nyadar kalo sekarang udah jam 2 siang. Jam yang seharusnya acara akan dimulai.

“SIAPA YANG MAU KETEMU RADIT...?” seru kak Mc, “MANA SUARANYA...!” lalu kami pun menjawab dengan suara nggak jelas.

“Huuu...huihuh, huhihiuh... hihuhi,” ya, gitu, nggak jelas pokoknya.

Beberapa menit kemudian. Ini baru yang beneran keluar adalah Radit (kira gue). Sebelumnya si Radit udah keliatan di lift. Dan pertama gue ngeliat langsung... adalah betisnye. Ya, ini awal yang nggak enak banget. Ngeliat betisnye untuk pertama kalinya secara langsung.

Anak SMA dan teman-temannya histeris. Mereka yang paling heboh pokoke.

“Kita sambut... Ra... d... it...!” teriak Mc. Lalu kita yang duduk di lantai pun agak histeris. E. Pas keluar ternyata engko-engko. Awalnya gue percaya kalau dia itu Radit. Dia berubah jadi engko-engko ternyata. :3

Nah. Kali ini gue mau ceritain yang beneran Raditnya keluar nih. Kak Mc berkordinasi dengan teman-temannya. Lalu. Dia mengangguk ke arah dalam yang entah ruangan apa.
“Oke. Kita sambut.... RA.... DIT... YA.  DI. KA....!”

Wah. Kali ini beneran dia keluar. Ternyata bener, dia itu pendek.
Lalu dia duduk di bangkunya.

“Tenang, tenang. Jangan diliatin gitu. Gue bukan Ceribel,” katusnya. Lalu tawa terbit di segala banyak mulut.

“Hhahahah...”

Termasuk gue yang hanya menahan tawa saja.

Tanpa menunggu waktu lama. Proses tandatangan dan foto bersama pun dimulai. Berawal dari barisan paling depan. Cewek berjilbab biru tua, lagaknya dia anak SMA-an (adalah orang pertama). Ya orang pertama. 

***

Beberapa orang telah terlewati. Mereka sudah dapet tandatangan dan foto bersama Radit.

Tiba-tiba cewek di depan gue yang gendut itu membuka pembicaraan.
“Dari daerah mana?” tanyaya. Gue mencerna kata-katanya agak lambat. Sebab berbaur dengan musik one direction yang diputar dalam ruangan; lagu itu pun sukses membuat suasana lebih ‘hidup’.

“Jakarta Barat. Mangga besar,” jawab gue. Lalu dia kembali tanya, “Sekolah atau kuliah?”

Ya lu tau lah, gue ini orang jujur, gue jawab, “Sekolah. SMK, SMK 11.”

“Oh. Kalo gue. SMA 80. Jakarta Pusat.”


Lalu gue hanya mengukir mulut ini berbentuk ‘O’ tanpa bersuara.

“Nanti gue titip buku gue yang ini yah,” pintanya. Menunjukan buku yang cukup tebal. Tampaknya buku sejarah.

“Oh. Iya, boleh,” jawab gue.

Tak terasa, dua orang lagi tinggal giliran gue maju; salim sama Raditya Dika, dan foto sama dia. OMEGA. Gue agak deg-degan men.

“Nih,” kata cewek gendut itu. Sekarang giliran dia. Dan gue terima bukunya.
Setelah dia foto. Bukunya pun masih gue pegang. Sedang kini giliran gue. Dan gue pun menaruh bukunya di meja. Lalu diraih oleh Meyla.

Gue berjalan mengarah Radit.

“Bang,” sapa gue datar. Lalu dia membuka ‘bukunya yang gue beli’. Ada nama gue di halaman pertama dan mulai menulis.

“Afsokhi..., mantab Afsokhi...,” kata Radit, kayak akrab banget sama gue.

“Yoi bang...,” gue nggak mau kalah gaul. Dia pun mendatatangani ‘buku boleh dibeli ditalangi dulu ini’.

Gue pun foto sama dia. Dua kali. Lalu gue pun berjalan mengarah pintu yang sudah disediakan untuk keluar.







“Makasih, bang,” kata terakhir gue. Tanda berakhirnya pertemuan kala itu. Dia pun mengangguk. Dengan kepala botak; tumbuh sedikit rambut. Mirip kayak teletabis buka helm.

Setelah gue sampai di pintu keluar. Gue menunggu Meyla dan Dina. Tadi gue potonya sama hp-nya Dina. Dan ketika dia sampai di hadapan gue....

“Coba, gue liat, gue liat,” paksa gue. Dia pun ngasih tahu ke gue.

“Eh. Gue ganteng juga, yah,” kata gue.


“Ye... pede banget luh!” katanya. Dan gue bungkam.***


                                                Bersambung ~

Afsokhi Abdullah, 19 Januari 2015 
Di Kelas yang Tak Ada Guru. 

Catatan di Balik Launching Buku Kaola Kumal. Gramedia Matraman (Bab 2). KOALA KUMAL BOLEH DITALANGIN.

Kami pun masuk lebih dalam. Naik eskalator mencari jejak yang tepat. Gue tak habisnya kagum dengan toko buku ini. Maklum, gue biasanya ke toko buku biasa, kecil, banyak kecoa dan terkadang cuma baca buku di perpus yang sempit.

Gue ngeliat banyak buku berjejeran. Tak hanya buku. Ada pula tas, handphone, Al-qur’an yang gede gitu. Dan pokoke banyak lagi....

“SUATU SAAT, GUE BAKAL PUNYA BUKU. DAN MEJENG DI SINI,” kata gue ke kedua teman gue ini. Tapi mereka acuh, dan sibuk dengan jejak langkahnya sendiri, mencari komodo raksasa yang tak kunjung ketemu.

Kami naik ke lantai paling atas. Di sana, kami hilang arah. Lalu memutuskan untuk mendirikan tenda.

“Di mana sih, Khi?” tanya Dina. Lalu gue buka Hape Nokia E63 milik gue. Langsung gue buka Opera Mini dan masuk ke Twitter. Gue liat TL-nya Radit, TL Gramed Matraman, dan TL Gagas Media.

“Nah, di sono, di kasir lantai tiga!” saru gue. Dan kami pun mempunyai arah. Kami turun lewat tangga jalan, lebih kerennya eskalator gitu-lah. Menuju kasir lantai tiga. Di kasir ini, banyak banget yang antre, sebab buku Koala Kumal emang dijual tapatnya di tempat ini!


Sampainya di sana. Kami saling celingukkan. Melihat ada yang antre tak jauh dari kasir, kami pun ke sana. Ada banyak yang memakai baju Koala Kumal. Dan gue yakin itu adalah tempat di mana akan diadakannya Met & Gret-nya Radit.

Benar. Ya. Katika kami masuk barisan paling belakang. Ada kak Odie, ya, gue kenal sama kakak ini. Dia adalah editor Bukune. Gue pernah ketemu dia di Festival Pembaca Buku Indonesia. Dan gue masih terngiang kata-kata dia.

“SEMOGA BUKUNYA AFSOKHI MEJENG DI SINI.” Katanya, ketika gue ngikut tantangan menulis di bot Gagas Media kala Festival itu.

Kak Odie dengan toanya (yang biasa buat demo gitu lho) menerikkan bahwa: bagi yang pre-oder di sebelah kiri. Dan bagi yang baru beli bukunya di sebelah kanan.
Di bagian pre-oder sepertinya sedikit dibanding yang beru beli buku Koala Kumal hari ini.

TERUS YANG BELUM BELI KE MANA...?

Di sini gue kaget, terperanga. Gue paham, ternyata harus beli buku Koala Kumal dulu baru boleh antre. Padahal, gue nggak bawa duit lebih waktu itu. Pas-pasan banget pokoknya. Masak gue harus jual kolor dulu?

Lalu Meyla dan Dina menuju kasir di mana tempat buku Koala Kumal berada.

“Eh. Gue nggak bawa duit lebih,” panik gue. Keringat bercucuran hebat, dan membanjiri seisi gedung Gramed Martraman.

“Mau minjem dulu?” tawar Dina.

Sempat ada hening di antara kita. Dina tampaknya membawa dompet. Em... gue ngomong nggak jelas dalam hati....

“Udah, ngga papa daripada udah sampe sini balik lagi?” kata Dina.

“Tapi gue nggak tau kapan gantinya....!”

“Udah. Ngga papa.”

Gue pun mengangguk tak berdaya. Saat itu pula gue berkomitmen: harus puasa seminggu untuk bayar uang Dina kembali. Harga bukunya Rp 59.500,. dan itu pulalah yang akan gue bayar ke Dina. Apa seminggu cukup yah gue ngumpulin duit segitu. Em... akan gue coba!

Tak lama, Meyla dan Dina pun keluar dari antrean kasir. Membawa satu bungkus plastik yang berisi tiga buku Koala Kumal. Kami lalu kembali ke antrean yang tadi. Di antrean kami disuruh kak Odie untuk menampakan buku Koala Kumal masing-masing. Dina pun membagikan buku yang masih di plastik.

Gue buka plastik yang masih menempel erat di buku Koala Kumal yang masih baru ini.

“Jangan lupa kasih nama di halaman pertama...!” parintah kak Odie. Kami pun mencari-cari pulpen untuk menulis. Nggak tau dari mana: si Dina dapet pulpen. Setelah giliran Meyla menulis, gue pun mendapat giliran untuk menuliskan nama gue di buku ‘Koala Kumal yang ditalangi dulu’ ini.

***

Masih jam setengah satu siang. Padahal acara dimulai jam 2. Antrean belum terlalu panjang jam segini.

Gue antre diampit oleh beberapa cewek-cewek. Di belakang gue ada Meyla dan Dina. Di depan ada cewek gendut yang awalnya gue kira cowok. Di samping gue ada cewek anak SMA yang gue taksir baru kelas satu.

Anak SMA ini seru sendiri. Ngomongin tentang Raditnya Dika dengan penuh semangatnya. Dalam hati gue bergerutu. “Biasa aja kali...,”

Cukup pegel gue ngantre. Karena bosen, gue baca aja bukunya. Gue buka. Dan gue baca. Ya, gue baca sambil berdiri. Halaman awal membuat gue lebih kenal sama Radit. Di mana ia bercerita bahwa ini bukunya yang ke-7. Memang, jika ia menerbitkan buku. Ia ibaratkan dengan anaknya sendiri. Dan sekedar info. Radit menulis buku Koala Kumal selama 3 tahun.

Asyik gue baca buku ini. Yang ngeselin di bukunya Raditya Dika adalah suka bikin gue ketawa tiba-tiba.

Dan ketika gue baca di bagian yang ‘bikin gue ketawa tiba-tiba’ gue pun menahan tawa sekuat tenaga. Malu gila. Ini kan di tempat umum. Masak gue ketawa sendiri. Dikira nanti gue orang gila dan, diusir dari barisan.

Masih asyik gue baca buku. Lalu anak SMA di samping gue manyapa.
“Kak,” katanya. Wajahnya..., gue taksir dia itu keturuan China. Taulah anak kayak gitu tampangnya kayak gimana.

Gue memincingnkan mata dan bertanya, “Iya?”

Lalu dia pun menunjuk ke arah tepat depan gue. Apa yang dia maksud gue pun nggak tahu. Apa gue nyelak dia yah? Batin gue.

“Itu pembatesnya, jatoh,” katanya.

“Aduh, iya...,” gue pun langsung memungut pembatas itu. Dan berterimakasih kepada anak SMA ini. Dia lalu tersenyum.***


                                                              Bersambung ~

Afsokhi Abdullah, 19 Januari 2015 
Di Kelas yang Tak Ada Guru. 

Catatan di Balik Launching Buku Kaola Kumal. Gramedia Matraman (Bab 1). KAGUM.

‘Koala Kumal’ terbitan Gagas Media. Semua orang tahu, bahwa penulis buku ini adalah Raditya Dika, orangnya terkenal. Folowers twitter-nya aja sampai 9 juta. Bayangin, 9 juta. 9 juta kalo duit itu bakal banyak banget...!

Cerita berawal dari seringnya gue buka twitter dan, gue sering mampir keTL-nya @radityadika. Di sana ada banyak hal yang unik. Ketika itu ada yang menyedot perhatian lebih gue. Di mana ada Jadwal Launching buku barunya, Koala Kumal.

Gue liat jadwal itu. Di baris pertama: bertempat di Gramedia Matraman Jakarta. Gue nggak tau di mana Gramed Matraman tapatnya. Namun, teman gue, Dina, mengetahuinya.  

Sebenernya nggak cuma gue sama Dina doang yang ke launching bukunya Radit. Ada Argi dan Meyla.

17 Januari, 2015. Pagi itu gue bangun pagi, sholat subuh dan kembali bermalas-malasan di kasur kos. Mengulur waktu. Gue membuka twitter kembali, memantau perkembangan di gramed matraman. Apakah sudah penuh atau sudah penuh. Cuma satu yang gue khawatirin, yaitu, sudah penuh. (Semoga lu maksud).

Janjian kami adalah jam 11 pagi di halte Harmoni. Tapi gue harus ke halte kota dulu: jemput Argi yang nggak punya kartu buat masuk halte. Sampainya di halte kota jam 11 kurang. Gue telpon dia berkali-kali, gue sms, dan lain sebagainya. Gue kira dia masih tidur. Dan benar. Dasar kampret tuh orang.

Di lain tampat. Ada Dina yang SMS gue bertubi-tubi tanpa ampun. Sesekali dia menelepon gue. Nggak gue angkat, kasian, takut pulsa dia habis.

Karena Argi tak kunjung datang. Gue putuskan untuk meninggalkannya. Gue naik busway menuju Harmoni. Sampainya di Harmoni sudah ada cewek berjilbab dengan tasnya masing-masing dan celana levis menunggu gue di antrean menuju PGC.

“Lama amat lu Khi,” keluh Dina. Gue cuma melengos, dan menikmati lagu yang mengalir lewat headset yang gue pasang rapat-rapat di kuping. Dengan ini, gue merasa nggak bersalah. Gue merasa menikmati dunia. Sebab, lagu yang gue denger bagaikan backsong. Dan hal-hal yang terjadi di hadapan mata gue menjadi seperti video klip gitu, gitu.

Busway berlabuh di antren PGC. Semua orang berebut masuk.
“Khi, yang belakang aja, masih ada,” kata Dina, dan Meyla hanya mengiyakan dengan tampang alakadarnya itu. Gue menganggukan kepala, pelan.

Datanglah busway yang Dina maksud. Gue langsung masuk. Meyla dan Dina pun masuk. Mereka di bagian wanita. Dan gue di bagian belakang busway. Belum sempurna gue duduk di bangku, busway sudah saja mengebut. Gue tersungkur, menahan jatuh dengan satu tangan menahan ke lantai busway.

Ada dua (atau lebih) cewek cantik di hadapan gue. Mereka ada yang berjilbab dan juga ada yang membiarkan rambut hitam berkilaunya bergelayutan. Kayak di iklan shampo, gitu.

Sedikti malu tentunnya. Cowok ganteng dengan celana levis, baju hitam, tas hitam, serta mengenakan headset hitam ini tersungkur di hadapan mereka.
Ya, itu gue serba hitam. Kayak orang mau ngelayat.

Di perjalanan, mata gue melihati kaca yang tak bersih lagi milik busway ini. Ada pemandangan gedung-gedung gagah. Segagah gue saat ini. Gue merasa dilihati oleh beberapa cewek cantik di hadapan gue. Mereka seumuran dengan gue. Gue taksir, dia masih kelas 1 SMA-an atau kelas 3 SMP.

Gue SMS Dina, “Kao udah mau turun, kasih tau gue via SMS yah!” lalu dia membalas cepat, “Iya, kita turun sehabis halte Matraman1.”
“Baiklah.”

***

Beberapa menit kemudian.

“Masih lama nggak, Din. Ini gue udah mual.” Sms gue yang ini nggak dibales. Sialan. Bener, gue mual. Udah nggak kuat lagi.

Tak lama, gue lihat plang halte Matraman1. Patanda habis ini gue akan turun.
Dan benar, Dina dan Meyla tampak mempersiapkan diri di depan pintu. Dekat dengan penjaga pintu Busway dan merayu penjaga pintu tersebut. Mereka menganggukan kepala ke gue. Ya, gue ngerti, itu petanda habis ini turun.

Tap.

Langkah gue menuju halte Tegalan. Ah.. sudah terlihat Gramedia Martaman yang megah. Gue sempat memotonya.





Masuklah kami ke dalamnya. Di dalam, sangat besar... sudah seperti mal.

“Ini toko buku. Gede banget yah...,” kata gue kagum.

“Ya, iyalah, ini kan pusatnya,” sambar Dina.
Beberapa langkah dari pintu masuk yang ajaib (bisa buka sendiri). Ada sepasang satpam memanggil kami.

“Heh! Heh!” gitu.
Kami pun menoleh ke arah satpam itu. Dan satpam pun memberi kode agar kita mendekatinya. Kode?

“Titipkan tas di sini,” kata satpam.


Kami pun menyatukan tas. Menjadi satu di sebuah tempat penitipan. Dan gue dakasih nomor kartu 015.*** 

                                                     Bersambung~ 



Afsokhi Abdullah, 19 Januari 2015 
Di Kelas yang Tak Ada Guru