Film Peppermint: Dendam Edan-edan Seorang Ibu

Peppermint bercerita tentang dendam seorang Ibu (sekaligus seorang isteri) karena anak dan suaminya terbunuh tepat di depan matanya. Ketika di pengadilan, keadilan sema sekali tidak memihak kepadanya.

Tepat di tanggal kematian anak dan suaminya--setalah 5 tahun menghilang, ia membunuh orang-orang yang telah 'melukainya' dengan cara paling sadis. Mulai dari orang-orang di badan pemerintahan hingga gembong narkoba.




Tokoh utama di film ini adalah Riley Nort (Jennifer Garner), ia digambarkan secara edan-edanan sebagai seorang perempuan malang yang kehilangan orang tersayang. Ia seperti mempunyai nyawa seribu, pandai menggunakan pisau, senjata api, dan berkelahi.

Film ini mengingatkanku dengan The Foreigner (2017), sama-sama tentang seorang yang mencari keadilan karena aggota keluarganya terbunuh.




Bedanya, The Foreigner diperanutamakan oleh Jackie Chan, adegan aksinya jelas berbeda kelas, latar belakang bagaimana ia bisa mahir berkelahi dan--menggunakan senjata api untuk membunuh orang-orang di balik kematian keluarganya--jelas digambarkan di dalam film. Berbeda dengan Peppermint, tidak jelas bagaimana Riley Nort mendapat keahlian membunuh orang.


Yang aku sukai dari film ini:
Selain aksi, Peppermint juga menyajikan drama. Keluarga memang harta paling berharga, melihat seorang Ibu yang berusaha mencari keadilan di sebuah layar lebar memang menguras emosi. Terkadang ia berada di puncak dendamnya, lain waktu berada di kesedihan paling mengerikan.

Yang tidak aku sukai: 
Tokoh utama yang terlalu sempurna, ia hampir tidak mempunyai cacat sedikit pun, dan bisa melakukan apa aja semaunya. Padahal aku berharap di tengah-tengah cerita si tokoh utama akan bertemu dengan ‘lawan yang sepadan’. Namun nyatanya tidak, dan itu membuatku kecawa. Ia terlalu mudah melakukan aksinya!




Terlepas dari itu semua, film ini masih bisa dinikmati untuk mengisi akhir pekanmu dengan penuh ‘darah’ dan emosi yang teraduk-aduk.***


*gambar dari berbagai sumber

Internet dan Literasi Kita

Baru-baru ini santer kabar tentang mantan finalis suatu pencarian bakat—membobol mobil, ia mempelajari hal itu dari internet. Kita tahu itu merupakan salah satu contoh kasus dari ‘manfaat’ internet yang kurang baik. Internet ibarat pisau tajam bermata dua, dan kitalah yang menentukan sisi mana yang ingin digunakan.

Mungkin di suatu tempat ada orang sedang belajar membobol mobil dari internet, tapi di lain tempat ada seorang yang sedang belajar membuat kue yang nikmat untuk dihidangkan pada saudara-saudaranya yang akan hadir ke rumah di akhir pekan.




Dunia maya bagai sebuah rimba, seseorang yang tidak mempunyai ‘kompas’, maka ia akan dengan mudah tersesat. Internet juga bisa memengaruhi seseorang dengan informasi yang sangat mudah dan cepat didapat oleh siapa saja yang berselancar di sana. Pertanyaannya adalah, sejauh mana kita dipengaruhi internet? Apa itu pengaruh baik atau buruk?
 
Melihat banyaknya konten negatif di internet yang merugikan, pemerintah ambil andil. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika tercatata telah memblokir 850 ribu situs berbau pornografi, perjudian, dan konten negatif serupa. Namun seolah tidak pernah habis, diblokir 1 situs, muncul 10 situs lagi. 

Akhirnya semua kembali ke diri masing-masing, ‘pemblokiran’ terbaik adalah kesadaran diri sendiri. Dan pemerintah sadar akan hal itu, pemerintah mengatakan bahwa literasi adalah kuncinya.

Namun agaknya kita perlu kembali menelaah apa itu sejatinya literasi. Iqbal Aji Daryono menulis di detik.com dengan judul ‘Menggugat Lagi Makna Literasi’, mangatakan bahwa literasi adalah sebuah sikap mental yang membawa diri memiliki daya kritis, refleksi, dan skeptisme, ia tidak dapat dibangun sekadar dengan sekolah, bahkan tidak juga sekadar dengan buku-buku. Literasi adalah tradisi permenungan berjarak yang membantu penelaahan secara sabar, runtut, mendalam, dan reflektif. Dari sanalah akan terbuka menuju masyarakat yang matang dan dewasa.

Kita tahu hampir mustahil untuk mengatur seseorang untuk berselancar di internet, tidak bisa dinafikan lagi bahwa di internet sendiri banyak tutorial untuk membuka situs yang diblokir.

Dan pada akhirnya, semua itu kembali pada diri masing-masing, kita selaku pengguna internet, ingin menggunakannya pada sisi negatif atau postif, ingin menggunakannya untuk mengakses konten seperti pornografi, judi, dan membagikan berita bohong atau menggunakannya untuk mengakses konten postif dan membuat konten kreatif.

Melihat masalah di atas, Telkomsel melalui #InternetBAIK (Bertanggung Jawab, Aman, Inspiratif, dan Kreatif), rajin mempromosikan bagaimana memanfaatkan internet untuk perbaikan, kontribusi positif kepada masyarakat luas dalam rangka meningkatkan kualitas hidup bersama. Dengan cita-cita membuat ekosistem digital yang sehat.

sumber: internetbaik.web.id


Tidak hanya memblokir situs negatif ketika berselancar dengan Telkomsel di internet, Telkomsel juga giat untuk membuat aksi nyata seperti mengadakan seminar. Dalam seminar ini akan lebih membahas peran orang tua, pendidik, pengajar dan guru dalam membimbing dan mendampingi anak dan generasi muda agar dapat memanfaatkan kemajuan teknologi informasi secara bertanggung jawab, aman inspiratif dan kreatif.

Tidak hanya itu, ada juga workshop membuat konten kreatif seperti menulis blog atau membuat film pendek garapan sendiri. Sebuah kegemaran yang harusnya ada di anak muda zaman sekarang.

Dimulai dari tahun 2016, Telkomsel bersama ketiga mitra yaitu Yayasan Kita dan Buah Hati, Kakatu, dan ICT Watch hendak merajut serta meluaskan kampanye edukasi internet yang BAIK (Bertanggung Jawab, Aman, Inspiratif, dan Kreatif) dalam sebuah program dan gerakan yang lebih terpadu, terencana dan melibatkan banyak kalangan sehingga pada akhirnya pemahaman tentang #internetBAIK menjadi kebutuhan semua pihak.


sumber: youtube


Sejauh ini tercatat Telkomsel sudah melakukan edukasi di 27 kota, 84 sekolah, 6795 murid, 5897 orangtua dan komunitas serta 1613 duta #internetBAIK.

Telkomsel sadar bahwa untuk membentuk smart village dan smart country, maka yang perlu diwujudkan adalah smart people.telebih dahulu.***


Sumber bacaan:
https://news.detik.com/kolom/d-4207227/menggugat-lagi-makna-literasi
https://www.liputan6.com/showbiz/read/3648226/belajar-dari-youtube-begini-aksi-dede-richo-saat-mencuri
https://www.idntimes.com/news/indonesia/afrianisusanti/menkominfo-850-ribu-konten-negatif-diblokir
http://internetbaik.web.id/

Film Crazy Rich Asian: Romance-Comedy yang Pas


Film yang kutunggu-tunggu akhirnya tayang. Crazy Rich Asians bercerita tentang hubungan Nick (orang kaya raya) dan Rachel (profesor ekonomi) yang tidak disetujui oleh Eleanor (Ibu Nick) karena beberapa alasan. Keluarga Nick terkenal sebagai keluarga yang kaya raya, namun hal itu Nick sembunyikan kepada kekasihnya selama setahun mereka menjalin kasih.

Walhasil Rachel terkejut ketika mendapati fakta kekasihnya ternyata orang yang kaya sekaligus terkenal dan, tentu saja wanita di luar sana merebutkannya. Hal itu semakin jelas ketika Rachel diajak ke Singapura untuk diperkenalkan kepada keluarga Nick.

Sumber gambar:google


Film ini adalah buah adaptasi dari novel best seller internasional dengan judul yang sama, ditulis oleh Kevin Kwan, orang Singapura keturunan Tionghoa yang tinggal di Amerika. Ini adalah novel pertamanya dan langsung meledak. Salah satu alasan kenapa novel ini bisa laris adalah karena ia menyinggung budaya Tionghoa secara buka-bukaan.

Setting tempat di film ini juga tidak jauh dari dunia penulis, yakni Amerika dan Singapura.

Aku belum membaca novel tersebut sebelumnya, namun agaknya aku bisa menilai tokoh yang 'menempel' di film ini, juga alur cerita, adalah hasil dari novel tersebut. Rachel digambarkan sebagai wanita yang kuat dan pemberani. Kendati ia tidak direstui, namun itu tidak membuatnya gentar. Sedang Nick adalah pria yang dewasa dan cool.

Unsur komedi dalam film ini sangat apik dan begitu orisinil, ia tidak dibuat-buat dan sukses membuat penonton seisi bioskop tertawa. Komedi itu dikemas dengan sederhana baik berupa dialog maupun tingkah laku tokoh—walau hanya dalam beberapa detik saja.

Tentu saja hal itu membuat penonton merasa puas karena film ini mampu menyajikan hal romantis dan komedi sekaligus secara pas dan sempurna, hal yang tidak mudah ditemukan di film-film lain.

Film ini juga mampu menyajikan drama yang membuat penonton (termasuk aku) menangis. Aku tidak bisa menahan perasaan campur aduk di dada dari konflik yang ada di film tersebut. Aku merasa kasihan kepada Rachel, dan haru atas perjuangannya menghancurkan tembok besar.

Film dibuka dengan kegarangan Eleanor, ibu Nick yang membuat dalam berjalannya cerita, sifat itu dengan mudahnya menempel pada diri Eleanor. Peran Eleanor sangat sakral di film ini, ia adalah sosok ibu yang judes dan berpendirian, wajahnya tegas juga kata-katanya.

Jangan lupakan juga masalah yang diderita Astrid, sepupu Nick yang juga kaya raya. Astrid mempunyai masalah dengan suaminya yang bersumber dari kekayaan. ‘Kaya belum tentu bahagia’ menempel pada sosok Astrid.

Durasi film ini 119 menit, termasuk durasi yang panjang, namun tidak terasa karena membuat siapa saja bakal larut dalam ceritanya.

Film ini disambut positif oleh penikmati film, terlihat di IMDB film ini mendapat skor 7,6 dan dan 93%  di Rottentomatoes.

Pertama kali membaca buku Agatha Christie: The Thirteen Problems

Sebelumnya aku tidak terlalu tertarik dengan novel genre detektif. Namun setelah dipikir lagi dan ada keingininan untuk keluar dari zona nyaman-membaca, maka aku putuskan untuk mencoba membaca novel genre satu ini. Dan buku yang kupilih untuk itu adalah ‘The Thirteen Problems’ karya Agatha Christie.

Nama ini tentu saja sudah tidak asing lagi, namun aku baru menaruh perhatian setelah aku dibuat terpesona tak berdaya dengan film ‘The Murder Orion Express’ yang adalah adaptasi dari salah satu novel Agatha.

Maka aku putuskan untuk membaca bukunya sebagai bentuk untuk mencari sensasi-sensasi film yang mungkin saja bisa aku dapatkan di bukunya yang lain.

Dan, ya, ternyata untuk mencari bukunya tidaklah mudah, butuh beberapa bulan untuk akhirnya bisa membacanya.


 ‘The Thirteen Problems’ bercerita tentang pengalaman misteri-misteri yang sulit dipecahkan, seperti judulnya, misteri tersebut ada 13 kasus. Jadi, pada suatu malam ada beberapa tamu berkumpul di rumah Miss Marple, seorang perawan tua yang hidup di sebuah desa.

Kemudian para tamu menceritakan pengalaman menarik mereka masing-masing. Di antara para tamu tersebut ada yang seorang penulis, model, dokter, bahkan pendeta. Hanya Miss Marple di antara mereka yang terlihat kuno dan tidak meyakinkan untuk memecahkan misteri.

Cerita para tamu di rumah Miss Marple kebanyakan bercerita tentang pembunuhan. Jadi, setiap orang yang bercerita sudah mempunyai jawaban dari kasus tersebut. Setiap tamu yang lain, juga Miss Marple, mendapat kesempatan untuk menganalisis kasus tersebut dan menebak apa motifnya hingga pelaku utama.

Namun, dari sekian analisis, hanya pandangan Miss Marple yang tepat sesuai jawaban. Padahal nenek tua perawan ini tidak terlalu meyakinkan.

Tiap memecahkan kasus, Miss Marple selalu mengaitkan dengan peristiwa yang terjadi padanya. Hanya peristiwa sederhana, namun dari situ ia bisa mengambil kesimpulan.

“Banyak kejadian yang mirip satu sama lain di dunia ini,” ujar Miss Marple, “misalnya Mrs. Green, dia mengubur lima anak dan masing-masing mereka diasuransikan. Yah akhirnya orang mulai curiga.”

Novel ini berhasil membawaku ke dalam perkumpulan di sebuah ruang tamu yang hangat: saling menyimak cerita, menganalisis, dan membuat kesimpulan. Walau pada akhirnya hanya Miss Murple yang tepat menjawabnya.

Kasus-kasus dalam cerita ini sangat menarik, mulai dari pembunuhan hingga pemalsuan identitas. Sebuah kasus yang hanya dilakukan oleh mereka yang sangat detail dan terencana, ribet seperti benang yang kusut.

Namun Miss Marple hadir sebagai tokoh yang selalu bisa meluruskan benang kusut itu melalui analisisnya yang tajam. Yang membuat siapa saja bakal terkagum-kagum dengan si perawan tua ini. Sebagai tokoh utama, ia memiliki karakter yang sangat nempel di kepalaku, dan kuyakin akan terus kuingat bertahun-tahun.



Novel ini tidak terlalu tebal, terjemahannya juga bagus, walau di beberapa ada bagian yang membuatku bingung dan harus membacanya ulang.

Perbedaan sensasi membaca novel detektif dengan novel lainnya adalah ia bisa membawa pembaca berpikir keras, dan selalu ada kejutan di akhir cerita yang bisa membuat geleng-geleng kepala.

Novel ini barangkali adalah jembatanku untuk mulai gemar membaca novel detektif, dan tentu saja sekarang aku sedang memburu buku-buku Agatha.