TAK PERLU TAKUT


''Sayang, aku takut kehilanganmu.''

''Kenapa takut?''

''Bagaimanapun aku takut.''

''Tak perlu takut, Sayang, memang apa yang perlu kita takuti?''

''Aku takut...''

''Tidak ada yang menghilang, tidak ada yang berpisah. Kita akan selalu bersama. Kamu percaya itu?''

''Percaya, tapi tetap saja aku takut...''

''Apa lagi?''

''Bahkan aku takut ada seseorang yang berdoa agar kita berpisah.''

''Mereka hanya berdoa, wajar. Mungkin suatu saat mereka sadar mana ada doa yang bakal dikabulkan jika meminta memisahkan seseorang?''

''Bisa saja...''

''Yang bisa, kita berpisah karena kita. Bukan doa mereka. Kitalah tokoh utama di hubungan ini. Jadi apa pun yang terjadi nanti, itu karena kita, bukan mereka.''

''Tapi...''

''Tapi apa?''

''Aku takut sekali jika kamu bakal pergi.''

''Aku sungguh bodoh dan aku akan mengumumkan ke semua mahluk bumi dan langit kalau aku orang paling bodoh di dunia ini, jika aku meninggalkan perempuan sepertimu.''

''Aku ingin memilikimu seutuhnya.''

''Seutuhnya diri ini untukmu, Sayang, sejak pertemuan awal kita.''

''Tapi aku masih takut.''

''Apa lagi?''

''Entahlah. Tolong peluk aku sekarang!''

COBALAH BERMEDITASI


Pernah meditasi? Saya pernah, efeknya bagi saya adalah bisa tenang, bisa mengeluarkan diri ini dari suatu kepenatan, pikiran kusut, kebuntuan memecahkan masalah. Orang zaman dulu banyak yang bermeditasi atau lebih kita kenal dengan bertapa. Mungkin keduanya berbeda, tapi pada praktiknya agak sama sih menurut saya.

Cara bermeditasi tuh gampang. Tinggal cari tempat yang kita anggap cukup nyaman. Jangan lupa mandi dan kenakan baju yang bersih. Meditasi bisa dilakukan di kamar, pojokan rumah, atau di mana saja. Yang penting nyaman dan ndak berbau.

Setelah itu, mulai konsentrasi. Bayangkan ada satu cahaya kecil berjalan dari ujung kaki sampai ujung kepala. Pelan. Berjalan di dalam tubuh. Cahaya putih itu yang bisa mengeluarkan masalah-masalah kita. Cahaya itu yang bisa membuat kita menjadi lebih ringan. Setiap ia melewati bagian tubuh kita, seolah masalah ikut keluar bersamaan dengan cahaya ajaib ini.

Butuh konsentrasi penuh memang. Dan jangan lupa pernapasan yang teratur dan ndak terburu-buru. Bisa dibilang pernapasan mengambil andil penting dalam meditasi. Ditambah cara duduk yang benar. Harus tegak lurus.

Sebenarnya ada banyak cara untuk meditasi dan mencapai klimaksnya. Kalau saya selain menggunakan metode di atas, saya suka metode yang di mana kita seperti di sebuah pegunungan yang sangat tenang.

Caranya cukup dengan konsentrasi dan membayangkan kita sedang ada di sebuah gunung dengan angin yang sepoi, aroma tanah dan rumput yang khas, perlahan kita bisa tenggelam pada situasi ini dan ndak mau keluar.

Langkah-langkahnya mudah. Kamu duduk di tempat yang menurutmu nyaman, jangan lupa duduk yang tegak, atur pernapasanmu keluar-masuk dengan pelan. Dan mulai rasakan angin yang berhembus ke kulitmu itu angin pegunungan, tipu otakmu kalau bau yang masuk ke hidungmu itu bau tanah, apa yang sedang kamu duduki adalah rumput, dan rasakanlah ketenangannya.

Setelah selesai, mungkin 20 menit lamanya, rasakan tubuh kamu menjadi lebih baik.

Bisa dibilang kegiatan ini adalah menipu otak. Dan kita tahu otak kita luar biasa kemampuannya. Bisa menipulasinya adalah cara yang juga luar biasa: kita bisa menaklukan hal luar biasa itu!

Kadang ada yang ketika bermeditasi memejamkan matanya dan juga ada yang terus melek. Ada juga yang sambil mendengarkan lagu-lagu yang bikin tenang. Sebenarnya semuanya mengerucut pada satu hal: cari titik paling nyaman.

Kegiatan ini bisa kamu lakukan seminggu sekali, sebulan sekali, atau dua minggu sekali. Terserah. Dan menurut saya hal ini cukup membantu ketika kamu mengalami masalah atau sehabis pulang dari kerja/sekolah/kuliah yang menjemukan. Jadilah meditasi pelarianmu, selain tidak mengeluarkan biaya banyak, ini juga baik buat otak. Daripada melampiaskannya dengan menghambur-hamburkan uang? Terlepas dari itu semua, keputusan ada di tangan kamu.***

KARENA KAMI BUKAN TERE LIYE, MAKA KAMI SALING 'MENELANJANGI'

Saya punya teman yang bisa diajak berdiskusi tentang buku, penulis dan seputar sastra. Namanya Indra Kurniawan, dia adik kelas saya di SMK. Sekarang dia kelas 3 dan saya sudah lulus. Sebab pertemuan kami karena ekskul jurnalis di sekolah.

Suatu malam dia whatsapp saya. Dia bilang, ''Boleh minta tolong ndak? Telanjangin cerpen gue.'' Dan saya diberi link tulisannya. Ya tentu saja, saya baca berulang kali dan kasih kritik dan saran.

Setelah selesai dengan kritik dan saran tadi, dia merasa ndak puas. Maka dia mengajak saya bertemu dan berdiskusi langsung. Dua hari kemudian kami bertemu di Lawson dekat kosan saya. Dia begitu berniat dan antusias.

''Sebelumnya gue belum pernah begini bikin cerpen. Rasanya berat. Pas mulai nulis, dapet beberapa paragraf langsung gue hapus,'' katanya ketika kami sudah berdiskusi panjang lebar sambil ditemani kopi dan beberapa makanan ringan, termasuk tahu bulat dadakan yang kebetulan lewat di depan Lawson, dan itu adalah pertama kali saya makan tahu bulat hits ini.

''Gue juga pernah ngalamin kayak lu gitu. Makin ke sini nulis makin susah,'' kata saya berempati kepada Indra yang pernah suatu hari ada cewek suka sama dia, dan cewek ini minta ke saya buat menulis kisah dia dan Indra. Waktu nulis kisah itu, saya belum kenal cowok bermata sipit ini.

Indra sangat suka membaca karya Tere Liye, sempat beberapa kali dia mengeluh-ngeluhkan penulis ini. Dia sangat mengidolakannya.

''Kalo Tere Liye bikin buku tentang upil, juga laku!'' kata saya pada Indra dengan penuh gurauan. Dan kami sadar, kami bukan Tere Liye. Kami harus berusaha keras untuk bisa menulis bagus. Kami dibanding Tere Liye? Seujung kukunya pun ndak ada apa-apanya. Kami sadar, untuk menulis bagus perlu perjuangan.

Ketika Indra sibuk menceritakan Tere Liye, saya menyambutnya dengan bercerita SGA, penulis favorit saya. ''Tulisan SGA tuh faksi. Fakta fiksi, menuliskan kisah nyata dicampur bumbu fiksi,'' kata saya di WA setelah pertemuan itu berakhir, kami masih lanjut berdiskusi di WA. Ndak ada habisnya emang.

Omong-omong, saya juga pernah ngalamin kayak Indra ini, sulit banget buat nulis, terbebani oleh entah apa. Pokoknya nulis tuh susah banget. Susah mengeksekusi ide. Hal ini saya alami ketika mencoba mengirim tulisan ke @kampusfiksi buat ikutan lomba mingguan di sana. Dan sumpah demi apa pun, tulisan saya kena semprot oleh admin @kampusfiksi, dan kamu tau rasanya? Beeeh.. Sakit, itu media sosial, orang pasti melihat akun saya dan bergumam, ''Dasar bocah belum bisa nulis!''. EYD tulisan saya waktu itu berantakan, proposisi, diksi, dan lain sebagainya ndak karuan, ibarat makanan, itu makanan yang menjijikan. Saya galau, dan pada titik ini, apa pun yang akan saya mulai tulis, saya yakin itu pasti jelek! Pasti jelek!

Tapi dipikir-pikir, kalau terus begitu, saya ndak maju-maju dong? Harusnya dengan semprotan admin @kampusfiksi itu membuat mata saya melek lebih lebar lagi, bahwa saya BELUM BISA MENULIS dan harus terus belajar dan belajar!

Beberapa hari kemudian setelah kejadian semprot itu, saya beli buku EYD yang saya masih ingat betul, belinya hasil dari ngajar pramuka. Dan mencoba membaca novel dengan kacamata penulis. Dan itu benar, ketika kita membaca buku dengan kacamata penulis, itu akan lebih terasa apa-apa yang ditulis oleh si penulis buku, dan jika sudah begitu, kita bisa belajar lewat buku tersebut. Begitulah.

Dan, berapa bulan kemudian, saya ikutan lomba mingguan lagi di @kampusfiksi, dan saya menang. Itulah jawaban dari semprotan si admin judes itu. Ya, saya senang sekaligus berterima kasih kepada admin @kampusfiksi.

Kembali ke diskusi saya dengan Indra di Lawson. Diskusi itu berakhir jam 12an malam. Dan saya selalu merasakan senang ketika berbicara sastra dan seputarnya. Entahlah kenapa, mungkin karena saya sudah terlanjur jatuh cinta pada sastra deh.

Kami mengobrol tentang apa saja, yang pasti seputar sastra, dan ketika mengobrol begini, ilmu-ilmu yang pernah saya terima tentang kepenulisan bisa muncul kembali. Sebenarnya hal itu pernah saya lupakan, karena diskusi, maka ia muncul ke permukaan. Itulah gunanya diskusi, menggali ilmu yang mengendap di kepala.

Setelah saya menelanjangi cerpen Indra, saya juga minta dia menelanjangi cerpen saya. Kami saling menelanjangi satu sama lain. Dan itu hal langka. Punya teman yang bisa diajak begini, sungguh amat sulit. Jadi saya bersyukur bisa bertemu dia. Dan suatu saat kami akan diskusi lagi, menurut saya diskusi macam begini penting. Sangat penting, tanpanya, kita seperti memakai kacamata kuda. Merasa sudah bisa menulis tapi nyatanya menjijikan ketika dibaca.***

[CERPEN] AKU ANJING

Sebelum menjadi anjing, aku ini juga manusia seperti kalian. Ternyata, aku cukup berbakat menjadi anjing. Dan beginilah cerita awal mula kenapa aku bisa jadi anjing.

Saat itu kekasihku marah besar kepadaku. Dan dia begitu sangat marah. Padahal masalahnya hanya sepele. Tapi mungkin karena masalah itu terlalu sering terjadi, ia jadi marah sebegitu hebatnya. Ia seperti menyimpan kemarahannya jauh-jauh hari, dan sekarang adalah puncaknya. Gunung telah meletus.

''Anjing! Bajingan! Keparat!'' Ia mengumpat sejadi-jadinya kepadaku. Wajahnya yang tadinya sangat cantik, berubah begitu saja seperti setan. Dan sebenarnya aku mau balik marah padanya, tapi aku tak bisa marah. Jadi mataku hanya jadi merah seketika itu juga. Mulutku kelu, dan tubuhku menjadi dingin merinding.

''Aku bukan anjing! Aku bukan anjing..,'' kataku dalam hati sambil menggeleng.

Sebenarnya aku ingin bercerita kepadamu kenapa kami bisa bertengkar, apa sebab dan kenapa hal ini bisa terjadi. Tapi sayang, ini hanya kami yang tahu, bagaimanapun aku harus menjaga rahasia, aku sudah berjanji. Walaupun aku seekor anjing, aku bisa jaga rahasia..

''Anjing! Anjing tetap anjing!'' Suaranya menggelegar. Seperti ada gemuruh dan ombak ganas memenuhi batok kepalaku. Aku tak habis pikir ia bisa semarah ini. Jari telunjuknya yang lentik itu menunjuk-nunjukku penuh amarah. Sesekali mengenai pelipisku yang mulai berkeringat.

Taman tempat kami berpijak sudah sepi, hari mulai senja, matahari akan pulang ke peraduan. Dan angin menjadi begitu magis, menyentuh tubuh dan hatiku dan rambut panjang kekasihku. Langit mendung. Suasana berubah menjadi mencekam.

''Anjing! Keparat!'' Ia masih mengumpatku, dan aku hanya diam. Karena aku hanya diam, dia lelah dan kalah tanpa perlawananku. Dia pergi. Aku melihatnya berlalu begitu kesal. Punggungnya naik turun, dan berjalan begitu cepat. Pergi.

Aku masih diam, tak bergerak sedikit pun. Tubuhku menjadi begitu kaku. Dan kemudian turun hujan, aku tak bisa beranjak, seperti ada yang menancapkanku ke tanah. Detik selanjutnya, seperti yang kautebak, pelan-pelan aku punya bulu hitam, mulutku jadi mocong, terus hingga aku jadi anjing, seekor anjing sempurna. Begitu saja.

Aku merasakan darahku mendidih, seperti dimasak di atas wajan paling panas, dadaku terus bergemuruh, ada angin ribut di sana, aku merasa aku ini sangat ganas. Aku merasa sakit, begitu sangat sakit. Terutama di dadaku. Maka aku berteriak sekencang-kencangnya. Tapi bukan suaraku teriakan manusia terdengar, yang terdengar gong-gongan anjing.

Aku merasa gong-gonganku begitu keras dan panjang, mungkin manusia yang mendengar akan berpikir itu suara anjing yang sangat menderita. Dan aku menderita. Aku jadi anjing, kau pasti menderita jika jadi anjing. Menjadi anjing itu sendiri pun sudah menderita, apalagi manusia yang menjadi anjing.

Aku masih mencium bau kekasihku yang khas. Setelah menjadi anjing, ternyata indra penciumanku begitu ganas. Aku mencari bebauan itu, aku berlari dan berlari hingga bau itu mulai terasa dekat dan begitu dekat. Aku melihat kakinya yang jenjang. Aku merasa darahku makin mendidih. Tanpa banyak pikir, aku gigit yang jenjang itu. Dia menjerit kesakitan, sempat menendang perutku sangat keras sambil berteriak anjing! Anjing! dan, aku bahagia. Darah kekasihku mengalir deras, baunya amis menyengat.

Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu, kekasihku meninggal. Ia dikuburkan dan aku setia menjaga kuburannya. Walaupun aku anjing, aku setia.

Bagaimanapun aku tetap anjing, hingga suatu hari seekor betina lewat di depanku. Ia begitu menggoda, aku dekati dan dia malah memamerkan duburnya. Aku berahi, kurasa ia juga. Maka kami bercinta, di sebalah kuburan kekasihku yang sedang dicumbui cacing.***

PENGALAMAN SERU DI #BLUEROOM TWITTER INDONESIA



Ketika membaca berita peluncuran Blue Room, aku ndak berpikir aku bisa ada di sana. Tapi ternyata, Rabu 31 Agustus, aku diberi kesempatan untuk merasakan dinginnya Blue Room. Hal ini terkait komunitas @fiksimini yang sebagai konten kreator di twitter diberi kesempatan untuk menggunakan ruangan yang diluncurkan 4 Agustus lalu ini.

Aku berangkat dari stasiun Mangga Besar bersama seorang teman, Ninda, waktu itu menunjukan jam 4 sore lewat. Kami naik grabcar, karena waktu itu memang lagi promo. Dan ini juga pengalaman pertama kali bagiku menggunakan taksi online. Ternyata seru, kita harus mencari mobil taksi online di banyaknya kendaraan yang ada. Harus hafal plat nomornya dan memberi tahu posisi dengan akurat.

Setelah menemukan mobil taksi online, si sopir agak panik. ''Ini kita ke Senopati ya? Wah lewat jalan ganjil-genap nih. Hari ini ganjil apa genap ya? Plat nomor saya ganjil lagi.''

Setelah beberapa lama, dan aku juga baru saja bernapas karena tadi sempat muter-muter cari mobilnya, akhirnya aku nyeletuk. ''Ganjil, Pak.'' Setelah itu si bapak mulai mengendarai mobilnya, dan saya lemas di kursi belakang bersama Ninda. Huuuufttt.. Melelahkan..

Sampai di Jl. Senopati 79 yang ternyata kantor qubicl center, aku berjalan masuk. Ada bapak-bapak penjaga di depan pintu.

''Dari fiksimini,'' kataku.
''Nggak ada acara fiksimini,'' kata si bapak yang pakai baju hitam-hitam, ''adanya acara twitter.''
''Iya, pak, acara twitter.''

Si bapak ngelawak ==''


Akhirnya kami dipersilakan masuk, bertemu dengan Kak Oddie (presiden fiksimini), kak Nugi dan kak Teguh. Sekarang jam 5 lewat.

Sampai waktu maghrib dan setelah aku shalat, dimulailah acaranya. Yang lain sudah siap di tempat duduk khas itu dan aku baru saja datang. ''Sokhi sokhi sokhi.. Sini sini sini cepat.'' Aku langsung beringsut ke kerumunan, dan live pariscope pun dimulai..

Yehh.. aku ketutupan gitar xD


Selama live periscope aku ndak terlalu banyak bicara. Hanya saja ketika ditanya ya harus dijawab. Semacam pertanyaan ''Bagaimana caramu mengasah keahlian menulis.'' ''Kenapa kamu manulis.'' dan sebagainya. Jadi tuh skemanya seperti talk show, tapi ini lebih tampak santai..

Yang menonton kami secara live pun banyak. Bahkan ada yang komen ''i from turkey'' dan beberapa ada yang ngasih love-love gitu. Aku membawa bukuku yang 'Celoteh Pelajar Pelanggan Remedial'. Buku ini pun sempat dibahas. Ketika ditanya tentang buku ini, aku jawab saja isinya curhatan, coleteh, pemikiran seorang anak SMK. Karena pas sekolah aku ndak cuman sekolah. Ada banyak pengalaman, maka aku tuliskan saja menjadi buku. Daripada curhat, mending nulis jadi buku. Curhat secara elegan. Begitulah..

Selain bincang-bincang ringan, ada juga penampilan dari kak nugi yang menyanyikan lagu dari fiksimini. Jadi tuh fiksimini bisa jadi apa saja. Jadi film, buku, lagu, lukisan, apa saja. Padahal fiksimini berawal tak lebih dari tulisan 140 karakter, hebatnya bisa jadi sesuatu yang besar. Keren abissss...

Aku juga mendapat kesempatan membaca fiksimini. Yang lain ada yang membaca puisi. Ya begitulah, saat itu sangat seru dan sangat menyenangkan.

Selesai jam 8 lewat, kami ngobrol-ngobrol dulu. Ada beberapa orang yang baru pertama kali aku temui. Jadi kami kenalan, dan berbasa-basi. Setelahnya, akun twitter kami saling follow. Menambah teman deh.. Itu asyiknya berkomunitas..

Dan, kami pulang, aku naik mobilnya kak nugi sampai cikini tentu saja bareng Ninda. Sampai di TIM kami turun, aku dan ninda melanjutkan naik kereta, dan kak nugi dkk nongkrong dulu di TIM.

Karena lapar dan aku yang lowbet, kami makan sate di pinggir jalan, berdua. Setelahnya kami berjalan ke stasiun, dan tertidurlah di kereta.

Sampai di stasiun Mangga Besar, aku antar Ninda--yang udah baik hati nemenin dan harus izin pulang cepat dari kantornya--sampai rumah. Waktu menunjukan jam 11 lebih. Setelah bersalaman perpisahan, aku pulang ke kosan. Oh, hari yang indah dan ndak akan aku lupakan :)

foto-foto:







AKU GILA PADAMU

''Aku gila padamu, Nai...,'' kataku pada seorang perempuan bernama Nai. Perempuan yang manis, yang pertama kali bisa membuatku merinding jika merindukannya. Aku gila padanya.

''Aku gila padamu. Aku sudah tak cinta, tak sayang, tak kasih, aku gila padamu. Hanya itu. Cinta, sayang dan kasihku sudah terlalu luas jika dibanding manusia biasa. Dunia tak mampu menampungnya. Jadi, aku gila padamu...''

Nai diam. Entah apa yang ada di batok kepalanya. Apa barangkali ia berpikir bahwa aku benar-benar gila, tak lagi punya waras.

''Cintai itu gila, Nai, bila tak gila berarti tak cinta. Aku berani bertaruh, jika hanya sekadar cinta, setiap orang punya. Tapi gila, tak semua orang punya. Orang cenderung menghindari kegilaan terhadap orang yang ia cintai. Mereka hanya bermain di batas aman. Dan aku? Aku sudah tidak aman, Nai, cintaku sudah tak tertib, sayangku terlalu gemetar tak mau tenang, rinduku bermucratan, dan kasihku meluber-luber. Tak ada tempat di dunia ini untuk menampung rasaku padamu, Nai..

''Dan, Nai, aku tak berharap kau mau jadi kekasihku. Dan aku juga tak berharap bisa memilikimu. Aku hanya ingin bisa dekat denganmu. Dan hidup sehabis mati juga bersamamu. Bisa dekat denganmu juga sudah bikin jiwaku hidup kembali, dari sebelumnya yang sempat mati suri. Kau menyiram madu penuh cinta ke relung jiwaku. Aku kehausan sayang. Dan kau datang ketika dahagaku ada di puncaknya.

''Jika orang pulang bertemu dengan keluarga, teman, sahabat dan musuhnya, mereka berinteransi. Aku tak punya itu. Aku terkurung di kamar di tengah kota. Aku tak punya kawan bahkan musuh di sini. Aku mau punya kawan. Dan jadilah kawanku, Nai.. Jadilah kawanku yang manis. Lakukan apa yang kaumau, aku tak mengurungmu.

''Aku gila padamu dengan sebenar-benarnya gila. Jika kau tak percaya, cek kewarasanku dengan pelukan, dan rasakan deru napasku di tengkukmu. Kau pasti temui aku sudah gila. Hilang waras. Dan aku tak main-main. Menikahlah denganku..''

Nai diam. Entah apa yang ada di batok kepalanya. Apa barangkali ia berpikir bahwa aku benar-benar gila, tak lagi punya waras.