Bagaimana Cara Mengingat Masa Depan?

Setahun terakhir atau lebih, ada seorang wanita yang dekat denganku, dan itu berbeda dari sebelum-sebelumnya. Kami melakukan banyak hal bersama, apa saja, dan mungkin jika kuceritakan di sini, pasti kau akan berkata, “Mustahil, tidak mungkin! Kalian tidak mungkin melakukan itu!”

Tapi selama itu pula, kami tidak mempunyai status yang jelas. Aku sendiri bingung kenapa bisa. Dan puncaknya adalah, ketika kami sudah jarang berhubungan lagi, dia dekat dengan laki-laki lain dan berkata, “Aku nyaman dengannya.”

Semua berjalan begitu saja, namanya juga tanpa status yang jelas, kami tentu saja tidak berhak untuk melarang-larang dekat dengan sesiapa, bukan? Kecuali jika memang kau mempunyai status dan mempunyai komitmen yang jelas.

Dan akhirnya, kami yang dekat setahun terakhir, yang telah menghabiskan banyak waktu bersama, mengukir kenangan-kenangan, berpisah begitu saja. Begitu saja.

Tentu saja, sekali lagi, kami tidak punya hak untuk menolak hal ini. Lagi pula dari awal pertemuan ini juga tak direncakan, dan begitu pula perpisahannya kan?

Ya, tentu saja kenangan itu akan terus menghantuimu, apalagi hal itu adalah hal ‘pertama yang kaulakukan selama hidupmu’. Tapi tidak apa, kenangan hanya lahir untuk dikenang saja. Kehidupan adalah hari ini, detik ini juga, bukan masa depan, bukan masa lalu.

Dan kita semua hidup di detik yang sama, sekali lagi, bukan untuk masa depan maupun masa lalu.
Seorang teman pernah bertanya padaku, “Bagaimana cara mengingat masa depan?”

Aku tidak langsung menjawabnya. Tapi yang kupikirkan ketika mendengar pertanyaan itu adalah begini, “Caranya adalah kau harus pergi ke masa depan.”

Baiklah, kita tidak tau masa depan itu kapan dan masa lalu itu kapan, mereka tidak jelas, absurd, dan tidak perlu untuk dipikirkan. Sekali lagi, kita hidup di detik ini, bukan untuk masa depan maupun masa lalu.

Tapi tetap saja, manusia mempunyai ingatan untuk kebutuhan masa lalunya, dan rencana untuk masa depannya. Tapi kita kadang lupa, hal itu tetaplah sia-sia. Akan lebih baik kau menikmati harimu, detik ini juga, ketimbang terus mengingat dan merencanakan hal-hal yang tidak pasti.

Balik lagi pada wanita setahun lalu. Baiklah, dia sudah mempunyai lelaki yang bisa membuatnya nyaman, kuterima itu, dan dia menghabiskan waktu bersamanya. Mungkin dia akan melakukan hal yang sama ketika dia bersamaku dengan lelaki barunya. Dan membayangkannya, kadang terasa sakit juga di dada. Tapi itu adalah risikonya, kau bukan siapa-siapa, kau tidak punya hubungan apa-apa, apa hakmu?

Dan sialnya, ketika dekat dengannya, aku selalu melihatnya sebagai poros kehidupanku. Di kehidupanku, jujur saja, aku tidak punya banyak teman, dan dia adalah orang satu-satunya yang bisa saling berbagi dan sebagainya tanpa batas, menghabiskan waktu dan sebagainya tanpa batas. Tapi kini sudah tidak lagi, aku kehilangan teman (atau lebih dari itu?).

Dan hari-hariku pasti akan pincang, tapi itu tentu saja hanya sementara, semua akan baik-baik saja ketika kau kembali kepada kehidupanmu sebelum bertemu dengannya. Dan semua pasti akan baik-baik saja, pasti.

***

Kita semua tau bahwa kehilangan itu pasti sangat menyedihkan. Bisa membuatmu despresi dan ingin mengambil kepalamu untuk dibenturkan ke bebatuan. Inilah risiko jika kau terlalu dekat dengan seseorang yang tidak pasti akan terus bersamamu.

Tapi hanya orang bodoh yang tidak belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya. Mari kita membuka bab baru dalam cerita kehidupan ini, tulis namamu saja dulu, jika kau menemukan nama baru di halaman seterusnya, jangan buru-buru kau catat, biarkan saja dia di sana, dan biarkan dia menjadi sesuatu yang fana. Sembuhkan dulu hatimu, jangan buru-buru membuat kisah baru dengan nama baru, jika akhirnya akan sama dengan bab sebelumnya, buat apa? Belajarlah.  

Perempuan Seperti Marlina di Film Marlina si Pembunuh dalam 4 Babak adalah Tipe Perempuan Idaman Lelaki Zaman Sekarang

   
sumber gambar: youtube.com
Film ini dibuka dengan aksi perampokan di sebuah rumah yang jauh dari keramaian. Tinggal di rumah itu seorang janda bernama Marlina. Ia sebenarnya hidup berdua dengan suaminya yang sudah berupa mumi yang ditaruhnya di ruangan tengah. Sosok mumi ini di kelanjutan cerita sangat greget, apalagi posisinya yang duduk di sudut ruangan. Mungkin jika mumi itu dihilangkan, cerita Marlina akan hambar.

Markus, si bos perampok itu datang lebih awal daripada 6 anak buahnya yang lain.

“Mau apa kau ke sini?” tanya Marlina tenang (atau ia mencoba untuk tenang?)
“Mau ambil uangmu, jika masih ada waktu, tidur denganku, kita bertujuh.”

Dari sini saja sudah terbayang apa-apa yang akan terjadi selanjutnya pasti menegangkan. Akhirnya 6 anak buah Markus datang tepat di hari mulai gelap. Marlina menyiapkan makanan untuk mereka: sup ayam. Yang kemudian ia beri racun dan membunuh 4 anak buah Markus, Markus sendiri tidak memakan sup ayam itu, ia tidur di ranjang.

Setelah anak buah itu mati, Marlina mencoba memberi sup ayam yang sudah diberinya racun kepada Markus yang sedang tertidur. Namun sialnya sup ayam itu jatuh berantakan. Akhirnya di ranjang tampat Markus tertidur, Marlina dipaksa untuk melayaninya.

Marlina mencoba memberontak, tapi ia terlalu lemah, dengan cerdiknya ketika ia diperkosa, ia mengambil parang milik Markus dan menebas kepalanya.


itu yang di pojokan, si mumi. sumber gambar: youtube.com



Jujur saja, adegan pemerkosaan di sini menurutku cukup ‘berani’. Dan itu malah membuatku yakin film ini sungguh totalitas.

Cerita selanjutnya Marlina mencari keadilan terhadap apa yang telah ia alami sambil membawa kepala Markus yang ia penggal. Dan sialnya, Markus yang sudah mati (tentu saja tanpa kepala), kini berupa hantu, terus menguntit Marlina kemanapun ia pergi sambil memainkan alat musik dengan alunan yang magis. Hal itu semakin membuat penonton merasa ‘hiiii’ ngeri dalam menikmati film.
Perjalanan Marlina dalam mencari keadilan cukup seru, mungkin bisa dikatakan ini adalah satire yang sangat mengena terhadap keadilan di negara ini. Apalagi ketika ia sudah sampai di kantor polisi, di sana ia sama sekali tidak dilayani dengan baik.

Ah pokoknya tonton filmnya biar lebih jelas.

Setelah film ini rilis bertepatan dengan ulang tahunku: 16 November 2017, aku langsung tertarik. Aku membaca di beberapa media online, ternyata film ini sudah sering mengikuti festival internasional.


Film ini menurutku sederhana, tidak muluk-muluk, pengambilan gambarnya pun ‘kalem’, ia lebih mementingkan pergerakan tokoh ketimbang pergerakan kamera. Bahkan lebih sering yang kulihat kamera terus pada satu sudut saja dalam jangka waktu yang cukup lama. Tapi itu tidak membosankan, tokoh-tokoh yang ada di sana terus bergarak dengan apik.

Semua itu ditunjang dengan pemandangan Sumba yang luar biasa. Bahkan aku tidak mengira bahwa ada tempat seperti ini di Indonesia. Dan itu sukses membuatku ingin ke sana, melihat secara langsung. Di samping itu juga tidak kalah menarik: musik pengiring dalam film ini.

Dialog di film ini menggunakan bahasa Sumba dengan logat yang kental. Beberapa membuatku  kesulitan untuk mengartikan, walau ada subtitle Inggris di sana. Kendati demikian, itu bukanlah penghalang menurutku, tapi itu adalah sebuah totalitas sebuah film.

wajib nonton pokoknya. sumber gambar: detak.co

Kisah Novi, teman Marlina yang sedang hamil dan berusaha untuk bertemu suaminya, juga sangat menarik untuk diikuti. Novi digambarkan menjadi perempuan yang sangat cerewet, sangat berbanding terbalik dengan Marlina. Novi menurutku adalah salah satu elemen penting dalam kehidupan alur cerita.



Perempuan seperti Marlina di dalam film ini digambarkan begitu kuat dan tenang dalam mengatasi masalah. Ia terlihat sangat tegar dan tak kenal lelah. Ia pergi jauh untuk mencari keadilan, dan mempunyai tekad yang kuat untuk itu.

Perempuan seperti Marlina adalah tipe idaman lelaki zaman sekarang. Ia mampu membela dirinya, mempunyai tekad yang kuat, tenang, dan sangat menawan. Andai memang ada perempuan seperti itu, tolong berikan satu untukku, Tuhan. Jikapun nanti kami menikah dan aku meninggal duluan, pasti arwahku bakal baik-baik saja, karena aku meninggalkan wanita yang kuat, dan aku akan tenang di dunia sana.**

Bagaimana cara mencintai seseorang dengan secukupnya saja?


Anggap saja kamu sekarang sedang jatuh cinta, dan orang yang kamu cintai tidak cinta padamu. Jelas kamu akan sakit hati, dan sakit hati yang hebat sebanding dengan jatuh cinta yang hebat pula. Ketika kamu jatuh cinta, kamu tidak tau apa sebabnya, yang kamu tau adalah kamu mempunyai perasaan itu. Sulit untuk dijelaskan.

Seharusnya memang orang yang jatuh cinta siap dengan risikonya, bahwa jika perasaan itu tidak terbalaskan, ia harus menerima sakit yang ia buat sendiri. Karena itu, ada istilah bahwa kita harus jatuh cinta kepada seseorang secukupnya saja, karena juga belum tentu dia jodoh kita. Kasian jodoh kita nanti, tidak mendapatkan cinta seutuhnya.

Dan pertanyaannya adalah, bagaimana cara jatuh cinta dengan secukupnya saja?

Kalau aku pikir hal itu mustahil, yang namanya cinta itu totalitas, tidak bisa diukur dan diberikan secara satu-satu, bertahap, ia adalah satu kesatuan, jika seseorang sudah jatuh cinta, maka ia telah berperasaan yang benar-benar total. Jika hanya ‘secukupnya’, artinya ia belum jatuh cinta.

Dan, biasanya orang yang jatuh cinta dan tidak mendapatkan balasan, ia akan mencoba untuk membuang rasa itu jauh-jauh. Tentu saja dengan proses yang pedih. Hari-harinya diisi oleh sakit demi sakit. Seperti tersayat-sayat, terluka. Apalagi jika ceritanya begini:

Kau dan dia selalu komunikasi setiap hari, bertemu sesekali, dan menghabiskan waktu bersama. Kemudian kau merasakan rasa itu, cinta, dan dia tidak. Dan telusur punya telusur, hal yang seperti itu: yang ia lakukan berikan padamu selama ini, adalah hal biasa, yang juga ia lakukan dan berikan kepada teman-temannya yang lain. Kau hanya sebatas teman baginya, tapi kau menggapnya lebih. Apa itu tidak sakit?

Tantu saja pertemananmu akan hancur, seharusnya kamu tutup-tutupi saja perasaanmu itu. Tapi dia terus saja memancingmu untuk mengungkapkan perasaanmu yang sebenarnya. Maka kamu tidak bisa menolaknya, kamu ungkapkan perasaanmu dan itu bukannya membuatmu bahagia, malah mendatangkan petaka. PETAKA!

Ia tau perasaanmu sekarang seperti apa, dan ia tidak punya perasaan apa-apa padamu. Ia memerlakukanmu seperti teman-temannya yang lain. Dan kau kecewa, berusaha untuk pergi dan membuang rasamu padanya, tapi itu sulit, kau selalu memikirkannya, ingin tau kabarnya, dan seterusnya dan seterusnya.

Harusnya kamu tau, kamu harus menutupi perasaanmu itu serapat mungkin, agar pertemananmu baik-baik saja. Sebab jika sebuah pertemanan, ada salah satu pihak yang menganggapnya lebih, maka akan datang petaka.

Jadi, jatuh cintalah kepada siapa pun, tapi jangan temanmu.

Eh ini kedengeran kayak curhat gak sih? Gak kan?



Mampukah Kita Melawan Kemecinan dalam Diri Kita?

Kadang aku berpikir bahwa untuk merasakan kehidupan yang hqq maka kita harus mencoba bertingkah konyol, bertingkah semaunya, tanpa ada batasan yang mengikat. Ketika sudah begitu, ada rasa yang entah apa yang menjalar di dadamu, walau kemudian bisa saja kamu menyesal karena sudah melalukan hal tersebut.





Kadang aku kasihan kepada mereka yang hidupnya terlalu serius. Kenapa mereka bisa seperti itu? Aku kadang berpikir, apa hal yang bisa membuatnya tertawa? Sebuah video orang terjatuh dari bangkukah? Wk. Receh!

Baiklah, mari kita melihat mecin dari dua sisi, satu sisi ia adalah bahan penguat rasa (semua tau), di sisi lain dia adalah sebuah simbol (tidak semua tau). Seseorang pernah bilang padaku bahwa setiap orang mempunyai kadar mecin tersendiri. Mereka pasti mempunyainya, semua tergantung kita, mau menerima kadar itu atau tidak. Jika mau, maka kita harus terbuka dengan mecin itu dan rasakan kehidupan yang tak pernah kau rasakan sebelumnya. Mecin membawamu kepada kehidupan baru.

Dan jika tidak, itu pilihanmu, tapi sebaiknya cobalah merelakan tubuhmu sekali-kali ketika kadar kemecinan itu datang. Relakan segala yang kaupunya dan biarkan ia menjalar dari ujung kakimu sampai ujung rambutmu. Mecin mengajarkan kita bahwa sebagai manusia, kita tidak melulu serius, kaku; bahwa hidup ini hanya permainan, hanya sementara, tak seserius yang kaupikirkan.

Aku sendiri mengakui, untuk melawan kemecinan dalam diri sendiri itu sangat sulit, kecuali mereka yang sudah terlatih untuk jaim. Kadang aku berpikir, mereka yang jaim pun ingin bertingkah mecin dan bertanya dalam hati, “Bagaimana rasanya menjadi mecin?” tapi ia tak pernah mencobanya, sungguhlah orang yang seperti ini menyesal di hari tuanya kelak. Wk.

Aku kadang kasihan kepada orang yang memercayai bahwa mengonsumsi mecin itu tidak berbahaya dan standarnya orang mengonsumsi mecin harus segini dan segini. Memang sih benar, tapi kan konteksnya jelas-jelas beda. Orang seperti ini adalah yang hidupnya tidak mudah bahagia, terlalu kaku, dan mari kita doakan semoga orang seperti ini dapat hidayah kemecinan.

Jadi, saranku, mulailah menerima kadar kemecinan di dalam diri kalian ketika ia datang menjalar. Rasakan dan hirup aromanya--bagaimana ia mengambil alih kontrolmu. Rasakan dan belajar merelakan, bagaimana ia membuatmu merasa bahwa hidup ini sesekali perlu ditertawakan sepanjang hari dan tak perlu diseriusi. Dengan begitu, kau akan merasakan kebahagiaan hidup yang tak pernah kaurasakan sebelumnya. Eh tapi, jangan percaya kepadaku begitu saja, aku bukan ommu, wk, sorry aku lagi mecin ini.

Di RPTRA, Kami Belajar Akuntansi

                    

Siang itu aku mendatangi RPTRA Kejora yang berada di jalan Pembangunan 2, Gajah Mada. Sesampainya di sana, aku bertemu dengan ka Rizky, mentor accounting club. Club ini belum lama terbentuk. Awalnya hanya berawal dari mulut ke mulut bahwa ada alumni SMKN 11 Jakarta yang lulus STAN. Kita tahu bahwa untuk masuk STAN saja sulit, dan mereka yang sanggup lulus adalah manusia tertentu dari sekian banyaknya manusia tertentu. *ngomong apa gue.
  
Baiklah, serius, jadi kak Rizky merupakan kakak kelasku, dia yang kumaksud sebagai alumni yang lulus STAN, dia lulus SMK tahun 2013 dan aku 2016, semua orang tahu bahwa dia jago di bidang akuntansi. Suatu hari aku menulis tentangnya dan dimuat di media online dan kemudian dicetak dipajang di mading sekolah. Alhasil adik kelas yang masih sekolah, merasa tertarik dengan sosok yang kutulis di mading itu. Dan dengan cerita yang panjang, kak Rizky bertemu dengan adik-adik kelas ini. Kemudian mereka merencanakan untuk belajar bersama, dan terus berjalan sampai sekarang.
  
“Jadi saya seperti undangan saja, mereka yang menyiapkan tempat,” kata ka Rizky.
  
Club seperti ini menurutku sangat baik dan harusnya didukung oleh pihak sekolah. Karena selain dapat membantu siswa untuk memperdalam materi, ini juga dapat mempererat hubungan antara adik kelas dan alumni yang harusnya terus terjalin.
  
Belajar di tempat yang terbuka seperti RPTRA merupakan keasyikan tersendiri. Menurutut Sonia, salah satu anggota club dari kelas 11 mengaku belajar seperti ini sangat membantunya.
  
“Berbeda seperti di kelas, di sini lebih asyik,” katanya ketika saya wawancarai.
  
Ruang bebas di tengah kota seperti RPTRA harusnya dimanfaatkan sebaik mungkin. Begitulah yang dipikirkan ka Rizky.

    “Sayang, ‘kan, ruangan seperti ini, kita harus memanfaatkannya.”

    Belajar di club ini sangat berbeda dengan belajar di sekolah, di sini sifatnya bebas.

    “Kalau ada yang mau makan, minum ketika saya menjelaskan ya silakan saja, saya tidak keberatan.”

    Selain belajar akuntasi adapun belajar terkait dengan psikologi, motivasi, dan sebagainya. Belajar di sini mengajak para anggota untuk mengubah pola pikir yang tadinya akuntasi itu sulit, menjadi akuntansi itu gampang.  


Tonton videonya di chanel youtubeku.

Dia Mengingat Sesuatu (Sebuah Cerpen)


sumber gambar: pixbay

Daun pohon kelapa yang berada di ketinggian melambai-lambai, begitu seirama, terlihat seperti manusia yang mencoba belajar menari. Cahaya rembulan yang lembut jatuh di dedaunan menari itu. Jatuh begitu magis, begitu mengkilap-kilap seperti sisik ular.
    Di salah satu pohon kelapa itu ada seorang lelaki—sebut saja namanya Disan—sedang mengganti wadah yang biasa ia gunakan untuk mengumpulkan air nira. Ia harus menggantinya, jika tidak, di hari esok wadahnya akan penuh dan bisa saja membuat wadah itu jatuh karena tidak muat menerima air nira yang terus mengalir.
    Air nira ini adalah bahan utama untuk membuat gula jawa. Banyak di kampungnya yang berprofesi seperti dirinya. Walau penghasilannya tidak seberapa, tak ada pilihan lain bagi Disan. Sejak kecil ia sudah diajari oleh ayahnya tentang bagaimana membuat gula jawa yang baik. Bagaimana cara mengaduknya di atas wajan yang besar, dan bagaimana panas api yang pas untuk kematangan gula itu.
    Seperti pada lelaki pencari air nira pada umumnya, mereka akan membawa arit yang tajam di balik pinggannya, dan beberapa wadah yang terbuat dari wadah cat bekas  digelantungkan di sisi-sisi pinggangnya yang lain. Mereka merayap begitu cepat, tapak demi tapak mereka lewati seperti cicak kebelet kawin.
    Tapi sepertinya, hanya Disan yang bekerja hingga larut malam seperti ini. Teman seprofesinya tentu saja sudah di rumah, bertemu anak dan isterinya, dan berkumpul di rumah  sambil mengobrol ringan tentang anaknya yang mendapat nilai bagus di sekolahnya atau tentang isterinya yang mendapat arisan lebih cepat karena menggunakan nama anaknya. Bahagia sungguh sesederhana itu.
    Ini adalah pohon kelapa terakhir sebelum Disan akhirnya pulang. Ia masih di atas, di antara daun-daun kepala yang menari karena angin dan disirami sinar rembulan yang temaram. Susana seperti ini membuat lelaki 40 tahun itu seperti terlena, sementara ia mengganti wadah untuk air nira, matanya mulai tak kuat menahan angin malam ini yang sejuk, dan sinar rembulan yang sungguh sialan, mengingatkannya pada pandangan isterinya yang setemaram bulan, tapi bedanya rembulan tidak suka pakai daster malam-malam.
    Di kejauhan terdengar adzan isya, samar-samar suara itu dibawa angin dan ditangkap telinga Disan. Karena tahu malam sudah akan larut untuk memanjat sebatang pohon, ia mempercepat pekerjaannya itu lalu turun setapak demi setapak. Angin malam ini dan sinar rembulan memang sialan, mereka meninabobokan lelaki itu, maka setapak demi setapak itu menjadi sulit dijamah. Padahal tanah masih jauh di bawah sana.
    Maka dengan tanpa menyalahkan apa pun, lelaki itu terjatuh ketika kakinya salah menampakkan pada tapak yang telah ia buat 3 tahun 8 bulan 354 hari yang lalu. Ia salah langkah, dan membuatnya oleng, dan jatuh, bersama arit yang tajam, dan wadah yang penuh isi air nira.
    Suara adzan isya sudah hampir habis, dan napas lelaki itu sudah satu-satu, tidak ada yang tahu kapan napasnya akan habis.

***

Suara jatuh yang ditimbulkan cukup kencang, seorang kakek tua yang belum pikun yang tinggal tak jauh dari pohon kelapa itu mendengar suara ganjil dan mencari apa gerangan yang jatuh. Walau ia harus membatalkan wudhunya, dan pergi mencari sumber suara. Ah, nakal sekali-kali tidak apa, masak dari dulu jadi orang baik mulu. Pikir kakek itu, shalat tepat waktu sangat penting. Ia adalah tipe manusia yang datang ke masjid 2 jam sebelum shalat Jum’at dimulai, ia ingin mendapat unta nanti akhirat.
    Kakek itu menyeruduk pintu kamarnya—isterinya yang sudah nenek-nenek melihatnya dengan tatapan tanda tanya—kakek itu mencari senter yang ia simpan di antara dinding-dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Dan kemudian berlari ke arah sumber suara yang ia curigai. Intuisinya memang bagus. Ia menyoroti apa saja yang ada, dan sekonyong-konyong mendapati wajah seorang lelaki yang menyedihkan. Wajahnya begitu lelah, darah mengelilingi tubuh itu, darah yang becampur dengan bau air nira. Sungguh momen yang sangat sulit bagi sang kakek. Apa yang harus ia lakukan?
    Maka sang kakek memanggil orang-orang yang ia temui di jalan sepi. Ia hanya menemui 3 orang bocah yang membolos mengaji.
    “Hei, tolong, ada orang jatuh!”
    Dan 3 bocah itu dengan lugunya segera menolong sang kakek. Bocah memang begitu, tidak berpikir panjang ketika ingin menolong. Maka mereka berlari tergopoh-gopoh ke arah di mana lelaki itu terjatuh.
    Salah satu bocah itu seperti mengenal siapa orang yang terjatuh itu. Ia mendakati tubuh malang itu dan melihat wajahnya. Dia ingat sesuatu, dia ingat sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan ketika itu juga.***


tulisan ini terinspirasi dari sebuah kejadian di salah satu desa terpencil di Cilacap Jawa Tengah, yang mana kebanyakan lelaki dewasa di sana berprofesi sebagai penderes air nira. sudah banyak kabar tersiar tentang orang yang terjatuh dari pohon kelapa, beberapa ada yang sakit, beberapa ada yang sakit kemudian meninggal, beberapa ada yang sakit kemudian meninggalkan anak dan isterinya. 


Setelah Membaca Bakat Menggonggong


Ini adalah salah satu buku yang bisa membuatku terguncang. Narasi dalam buku ini kadang membuatku mangguk-mangguk, terdiam tak mengerti, tapi di satu titik membuatku tertawa guling-guling. Walau bahasanya terkesan menceracau tidak jelas. Kadang kita juga perlu konsenstrasi penuh untuk membaca buku ini, meleng sedikit saja, kita bakal kehilangan jalan.

Buku ini dibuka dengan cerpen yang berjudul ‘Kemurkaan Pemuda E’. Penulis seolah tak peduli terhadap pembaca ingin suka atau tidak dengan cerpen ini, sebab cerpen pembuka di kumpulan cerpen sangat penting menurutku. Ketika aku selesai membaca cerpen pembuka ini, aku tahu ke depannya pasti akan banyak cerpen-cerpen yang lebih gila. Dan tebakanku benar.

Sebenarnya tidak jelek juga kalau kita meninggalkan Pemuda E dan mengikuti kucing itu. Mungkin saja berujung pada kejadian-kejadian yang lebih menghibur atau mengharukan ketimbang ini. Bayangkan, coba, apa yang bakal diperbuat seekor induk kucing dan anak-anaknya yang kelaparan terhadap sebungkus muntahan manusia. (hal. 5)

Cerpen-cerpen dalam buku ini sangat berkesan di kepalaku, semuanya mempunyai ‘aroma’ tersendiri, walau tentu saja, dibungkus dengan narasi yang seperti ditulis oleh orang yang sadang mabuk berat. Tapi anehnya, aku menikmati. Saking menikmatinya, aku juga sempat merasa diriku-aneh setelah selesai membaca cerpen-cerpennya. Aku seperti tersihir dan perlu beberapa menit untuk menyadarkan-diri bahwa aku masih di dunia yang normal. Dunia di buku Bakat Menggongong tidak normal.

Sebenarnya, di buku kumpulan cerpen ini, judul yang dipakai bukanlah judul salah satu dari cerpen yang ada. Aku tidak tahu apa di balik judul ini, tapi yang kutahu, ada satu judul di cerpen ini yang berjudul: ‘Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu’. Ah setidaknya masih ada menggonggong-nya. Abaikan.

Cerpen favoritku di buku ini adalah ‘Kisah Kontemporer (IX)’. Cerpen ini hanya berisi percakapan seorang penyair yang SMS mantan pacarnya namun tidak dibalas-balas. Setelah lama menunggu balasan sang mantan, si penyair terus mengirim puisi-puisi. Hingga akhirnya sang mantan menjawab SMS dan, yang paling menohok adalah ketika sang mantan meminta vote untuk bayinya yang mengikuti kontes.






Sebelum sampai ke sana, ada percakapan SMS antara penyair dan sang mantan yang membuatku ngakak, begini:

Kemarin aku cuma tiba-tiba ingat omonganmu
Yang mana
Titit bule biasa aja
Hahahahaha. Dengar dari siapa aku ngomong begitu? Yakin punyamu cukup untuk disebut ‘biasa aja’? :P
Menurut yang barusan sih mantap. Kaget dia. “Lho, Mas, kok bisa muter di dalem?” katanya. Hahaha…



Begitulah.

Omong-omong, ini adalah Buku Dea Anugrah pertama yang kubaca, kulebih sering membaca tulisannya di Tirto.id. Caranya bercerita di cerpen tentu sangat berbeda ketika dia menulis untuk Tirto.id.

Secara keseluruhan, aku sangat menyukai buku ini, bukunnya juga tidak tebal-tebal amat, bahkan bisa dikatakan tipis karena hanya 109 halaman, tapi isinya sangat berisi, dan, kuyakin,  tidak membuat siapa saja kecewa untuk membacanya. Tidak heran buku ini masuk 10 besar Kasula Sastra Khatulistiwa tahun ini.


KOMUNITAS LITERASI DI SEKOLAH



Tanggal 10 September kemarin, aku datang ke IIBF di JCC Senayan. Tentu saja ada banyak buku-buku dan diskusi-diskusi. Bahkan tidak hanya dari Indonesia, luar negeri pun turut memeriahkan. Namun tahun ini, bukan itu yang membuatku takjub. Yang membuatku takjub adalah dari sekian banyak both komunitas ada satu komunitas yang di plangnya tertulis jelas: komunitas literasi SMP Kristen 1 Penabur Jakarta.

 
both komunitas literasi SMPK 1 Penabur
 
Di sana dipajang karya-karya anak SMPK 1 Penabur dan guru-guru yang berupa buku. Yang menjaga both itu juga (tampaknya) guru, mereka berdua sangat antusias ketika ada pengunjung yang datang untuk sekadar bertanya-tanya tentang apa gerangan komunitas literasi ini? Sayang aku tidak sempat bertanya-tanya di both itu, sebab ketika aku datang, both itu sedang ramai pengunjung.
Aku selalu merasa’wow’ jika ada sekolah yang mementingkan literasi. Sebab aku tahu betul untuk ukuran sekolah, menyebar virus-virus literasi itu sangat sulit. Sebab di benak mereka, literasi itu adalah buku, membaca, menulis, membosankan, tidak ada guna, masih banyak hal yang harus diselesaikan daripada memikirkan literasi.

bermain di both KPK di IIBF 2017
Tapi SMPK 1 Penabur ini tidak, dilihat dari yang dipajang di both mereka, ada banyak buku karya siswa dan guru yang ‘tampaknya’ dibuat dengan mudahnya. Sebab di sana tidak hanya ada satu buku tentu saja, di sana ada beberapa buku dengan sampul yang menarik. Itu artinya mereka sangat konsisten dalam berkarya.
Apa formula mereka sehingga bisa melakukan hal sehebat itu?
Tentu saja hanya mereka yang bisa menjawab, tapi kalau aku boleh berbicara, SMPK 1 Penabur merupakan sekolah unggulan, dan di setiap jadwal pelajarannya ada jam khusus untuk renungan dan literasi. Aku tidak tahu apa yang dilakukan siswa ketika jam ini.
Tapi aku bisa simpulkan, untuk menyebar virus literasi adalah: memasukannnya ke dalam jadwal materi sekolah. Kalau sudah begini, maka akan besar kemungkinan siswa untuk mulai berpikir: oh ini literasi, asyik juga. PR awalnya adalah, bagaimana cara mengenalkan literasi kepada siswa dengan sesuatu yang mengasyikan dan buat mereka tertarik.
Oh tentu saja bisa dengan memberikan bacaan yang menarik dan bagus, karena mustahil kita akan suka membaca tanpa bacaan yang menarik dan bagus, kata AS Laksana.



BALADA PKL PARA DEDEK GEMEZ



Belakangan ini anak SMK lagi gencar cari tempat PKL. Termasuk juga SMK-ku dulu. Beberapa adik kelas ada yang nanya kepadaku terkait tempat PKL. Jujur saja, mencari tempat PKL bukanlah hal mudah, apalagi sekolah hanya menyediakan daftar-daftar tempat PKL dan mempersiapkan surat. Kita sendiri yang mendatangi tempat itu.
Belum lagi berebut teman kelompok. Sialnya, waktu aku PKL dulu, aku sekelompok dengan cowok semua. Di kelasku ya hanya aku yang kelompok PKL-nya cowok semua. Menyadari hal ini, aku semakin pesimis untuk mendapatkan tempat PKL, soalnya sudah hukumnya bahwa kalau cowok di sekolah itu ndak serajin cewek. Padahal gue sempat ngarep bisa sekelompok seenggaknya sama satu cewek, kan bisa diandelin tuh. Waks.

potret anak PKL yang lagi tiduran

Tapi akhirnya aku mendapatkan tempat PKL juga. 1 bulan di Kementerian Komunikasi dan Informatika dan 2 bulan di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Iya, aku PKL di kementerian. Tentu saja budaya kerja di kementerian sangat berbeda dengan swasta tempat kerjaku sekarang.
Aku masih ingat masa-masa ketika aku mencari tempat PKL. Waktu itu siang hari, dari 5 anggota kelompok, hanya aku dan (sebut saja) Uus yang mencari tempat PKL. Pada saat itu kakiku sedang keseleo, aku berjalan terpincang-pincang langkah demi langkah. Sangat nyeri, kau pasti tahu bagaimana rasanya. 

potret anak kelas 11 sekarang yang lagi nyari PKL, naik grabcar.

Sempat heboh di grup whatsapp yang isinya kelas 11, mereka heboh dengan yang namanya PKL. Ada beberapa yang chat aku dan aku hanya bisa menjawab: semangat. Mereka seolah sangat ketakutan tidak mendapat tempat PKL dan, PKL bagi mereka adalah momok yang besar.
Padahal PKL ya PKL aja, biasa aja gitu, ketemu sama orang-orang yang kerja, masuk kantor, keluar kantor, bikin laporan, udah. Ndak ada yang istimewa.
Tapi setelah PKL, aku bisa bilang bahwa apa-apa yang diajarkan di sekolah tidak terlalu penting. Belajar bagi anak SMK adalah di tempat PKL. Karena di tempat ini kita langsung praktik dan merasakan bagaimana atmosfir tempat kerja yang sesungguhnya.
Kalau di kelas kan cuman teori, presentasi satu-satu dan setelah itu ndak ngerti. SMK harusnya banyak praktik, sehingga ketika lulus dan terjun ke tempat kerja yang sesungguhnya akan menjadi tenaga kerja yang siap pakai.
Jadi saranku buat ddgmz yang bakal PKL, jaga nama baik almamatermu, karena jika kamu sudah dicap jelek, kasihan adik kelasmu nanti, stock tempat PKL bakal berkurang. 

bonus:
potret anak PKL yang terlalu lelah sehingga tertidur di angkot ketika pulang kerja.
  

 
sebuah kisah.

MENULIS UNTUK DIMUSNAHKAN?



Belum lama ini aku datang ke SMK untuk mengurus beberapa hal. Guru-guru yang kujumpai masih kenal denganku layaknya aku masih sekolah di sana. Aku bisa datang ke sini pun karena ada salah satu guru yang mengingat bahwa aku adalah alumni yang (anggapnya) bisa menulis. Jadi kasusnya adalah, kepala sekolah ingin mengaktifkan web sekolah, dan guru ini menyarankan kepada beliau bahwa ada salah satu alumni yang barangkali bisa membantu.
            Tentu saja aku bertemu dengan kepsek berbincang banyak hal. Kebetulan ketika kami sudah di ruangan kepsek, ada satu guru yang mengingatku juga.
             “Ini lho, Pak, dulu dia punya blog mau ditutup karena menulis tentang sekolah.”
            Benar, waktu aku masih sekolah, kepseknya bukan yang sekarang, aku menulis banyak hal. Dan salah satunya menulis tentang sekolah itu sendiri. Aku hanya mencoba menjadi siswa keren yang dapat mengkritisi keadaan pada waktu itu. Sebab kala itu teman-temanku hanya berbicara di belakang saja, tak mau bersuara.

aku pas SMK, gini amat :3

            Alhasil, tulisan yang baru kupost semalam, besoknya terbaca oleh salah satu guru. Aku sempat ditelpon oleh salah satu guru karena postingan itu. Dan guru itu langsung memintaku untuk menghapus postingan itu atau jika tidak, blogku akan ditutup.
            Kejadian ini tidak hanya terjadi sekali. Dan pihak sekolah tampak semacam ketakutan jika tulisanku dibaca oleh banyak orang.
            Padalah tulisanku waktu itu tidak mengandung unsur SARA dan sebagainya. Aku hanya menulis fakta, bahkan aku sempat mewawancarai salah satu guru untuk keperluan tulisanku ini. Tapi guru yang memintaku menghapus postingan itu memiliki alasan tersendiri.
            Karena aku tidak mau pusing dengan urusan seperti itu, maka kuhapus saja postingan itu dan kembali mengkritisi sekolah dengan cara yang lain: menulis cerpen.
            Cerpen, bagaimanapun ia adalah fiksi, tapi cerpen yang kubuat waktu itu berbeda. Cerpen yang kubuat mirip dengan keadaan sekolah pada waktu itu. Dan jika aku disuruh untuk kelmbali menghapus postingan itu, aku bilang saja: “Itu kan fiksi, Pak, tidak nyata, masa Bapak tidak tahu bedanya fiksi dan nonfiksi.”
            Tapi beruntungnya tak ada lagi teguran setelah aku mengkritisi sekolah dengan membuat cerpen. Lagi pula ini lebih mengasyikan, dan membuatku tidak pusing lagi berurusan dengan sekolah.
            Dari sini aku belajar betapa kuatnya sebuah tulisan. Karena hal itu, aku menjadi lebih semangat lagi untuk menulis, bukannya malah down karena tekanan. Dan setelah lulus, akhirnya aku dipanggil lagi ke sekolah, tentu saja bukan untuk urusan postingan yang harus dihapus, tetapi  tentang urusan memposting tulisan untuk sekolah.

aku dan adik2 kelas calon pengisi web sekolah.