Bagaimana Saya Akhirnya Bisa Suka K-pop


Di suatu malam di Jogja, aku pernah ‘terjabak’ di kerumunan yang isinya adalah cewek-cewek penyuka K-pop. Salah satu dari mereka mengenalku, yang lainnya tidak.
“Ini lho, namanya Sokhi, dia suka K-pop juga,” katanya.
Lalu yang lain bertanya, “Ohya, suka denger apa?”
Aku berpikir lama, “Sejauh ini ini sih saya suka denger ost drama korea.”
Kemudian hening.

***

Sebelum aku suka K-pop, aku sudah suka nonton drama korea (drakor). Drakor pertama yang kutonton adalah Pinochio, kemudian ketagihan dan menonton Solomon Pejury, W, Goblin, dan yang teranyar: Radio Romance. Aku pernah menuliskannya kenapa aku bisa suka drama korea di sini:  Kenapa akhirnya saya jadi suka drama korea juga

Sebagai minoritas (baca: cowok yang suka drakor dan kpop) awalnya memang kumerasa ini perlu disembunyikan. Karena (1) Anggapan orang lain terhadap cowok yang suka drakor dan kpop sejauh yang kutahu, agak sedikit miring. (2) Tidak wajar seorang cowok menyukai drakor dan kpop sebab akan terkesan kemayu.

Bahkan, teman dekatku yang seorang cewek, sangat tidak menyukaiku ketika aku menonton Twice, Blackpink di youtube. Ia merasa risih ketika aku menonton mereka. Padahal kan aku merasa senang, musik mereka bagus, pengambilan gambar, dan dancenya juga asik.

“Bisa nggak sih kalau lagi nonton jangan di sampingku,” katanya.

Dan awal kenapa aku suka K-pop adalah ketika kegabutan itu datang, dan nggak sengaja mencet video Blacpink yang As If It’s Your Last. Dan ya aku langsung jatuh cinta dengan Girlband ini, terutama penampilan Lalisa. Kemudian aku menonton video yang lain, seperti Twice, Red Velvet, SNSD, kemudian Gfriend dan seterusnya, dan seterusnya.

Ternyata, video mereka sangat menarik hatiku. Dan saat itulah aku berikrar sebagai fansboy. Jika ditanya siapa biasku, maka aku akan menjawab Jihyoo Twice. Entah kenapa mbak yang satu ini sangat menarik hatiku, dan selalu membuatku bahagia ketika melihat senyumnya.


***

Setelah kutelusuri diriku sendiri kenapa aku bisa menyukai K-pop dan Drakor, adalah ketika aku tidak bisa menemukan hiburan di layar kaca kita. Layar kaca kita menurutku agaknya gagal menjadi media hiburan. Maka dari itu, aku mencari jalan lain yang akhirnya menemukan oasis itu: Drakor dan K-pop.

Sejauh ini, aku memang masih bisa dibilang awam, tidak terlalu meniak, ya sewajarnya saja. Tapi jika salah satu dari mereka datang ke Indonesia, aku merasa perlu untuk bertemu dengannya. Apalagi ada kabar nanti di Agustus, Twice mau ke Jakarta. Hati kecilku berkata bahwa aku harus wajib datang bertemu mereka. Jadi, apakah ini wajar?

Dan ketika kau suka K-pop dan drakor, kau bisa mempunyai bahan obrolan ketika bertemu teman. Dan ini cukup ada baiknya daripada kamu diam saja ketika teman-temanmu asyik ngobrol.

Terkait anggapan orang tentang cowok yang suka K-pop dan Drakor, menurutku terlalu berlebihan. Mereka tidak bisa menganggap sifat seseorang hanya dengan apa yang seseorang tonton.

Dengan menyukai Drakor dan K-pop, aku tidak otomatis menjadi ‘drama’, tidak otomatis jadi kemayu. Jadi ya, biasa-biasa aja, kita hanya sedang mencari pelampiaskan ketika media hiburan kita miskin bahan-bahan untuk membuat kita terhibur.


Ngapain ke Big Bad Wolf (BBW)?

Seorang pegiat buku, aku lupa siapa, pernah bilang begini: saya tidak setuju dengan rendahnya minat baca di Indonesia jika penyebaran buku di negera kita masih bermasalah. Akses untuk membaca buku masih susah, minim perpustakaan, minim buku murah. Kita baru bisa menilai negara kita rendah atau tidak dalam minat membaca buku ketika buku itu sendiri bisa dengan mudah didapat.

Kurang lebih begitu katanya.


Big Bad Wolf (BBW) merupakan pameran buku yang menjual buku-buku murah. Kita bisa mendapatkan buku dengan harga ‘tidak wajar’ di sini. Tapi tunggu dulu, bisa saja buku seleramu tidak ada di sini. Jadi jangan senang dulu.

Ketika aku datang ke BBW pada Jumat (30/03) aku menemukan banyak buku-anak di sana, kemudian nomor selanjutnya ditempati oleh buku-buku import berbahasa Inggris. BBW tahun ini diadakan di ICE BSD City. Walau namanya BBW Jakarta, tapi ia diadakan di Tangerang, ajaib memang. Ohya, acara ini diselenggarakan sampai tanggal 9 April.

Untuk mencapai ke tempat tersebut, dari tempatku, Mangga besar untuk sampai ke sana memerlukan banyak waktu dan ongkos. Aku belum pernah kesana sebelumnya, maka aku cari-cari informasi tentang bagaimana bisa mencapai ke tempat itu.

Maka aku naik shuttle bus dari ITC Mangga Dua, biaya perorangnya Rp. 20.000. Bus ini membawamu ke terminal BSD, kemudian transit 2 kali untuk akhirnya sampai di lobi ICE. Kamu tidak perlu membayar lagi, cukup Rp. 20.000 kamu sudah diantar hingga lobi ICE.

berasa pulang kampung

Masuk ke dalam gedung, aku menemukan orang berlalu-lalang dengan membawa plastik berisi penuh buku. Seketika darahku mengalir begitu deras, napasku satu-satu, begitu napsu. Itu semakin menjadi-jadi ketika aku masuk ke ruangan yang begitu besar, berisi banyak buku dan orang-orang. Belum sembuh dari pusing perjalanan, aku sudah dibuat pusing di tempat ini.

Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah mencari keranjang. Dan sialnya ketika aku datang, keranjang sudah habis. Sedangkan buku belanjaanku sudah tidak mungkin untuk ditenteng tangan. Maka aku menemukan keranjang di sebuah pojokan yang ada tulisan: Buku yang tidak jadi dibeli.
Aku bereskan buku-buku itu dan mengambil keranjangnya. Keranjang adalah elemen penting dalam BBW, percayalah.

buku tidak jadi dibeli

Sangat disayangkan banyak sekali buku berserakan di sana-sini, terutama di bagian ‘buku yang tidak jadi dibeli’. Entahlah apa yang mereka pikirkan ketika tidak membeli buku sebanyak itu.

Di ruangan sebesar ini, ada 1 tempat yang memusatkanku yaitu bagian: Buku Indonesia. Di sinilah buku-buku terbitan penerbit mainstream diobral abis-abisan. Ada penerbit Gagas Media, Divapress, Mizan, dan sebagainya.

Dan entah kebetulan atau bagaimana, buku yang aku beli semua dari penerbit Divapress, sebuah penerbit di Jogja yang pada masanya pernah konsesten menerbitkan kembali buku-buku sastra dari penulis-penulis senior seperti Danarto, Hamsad Rangkuti, Umar Kayam dan sebagainya. Dan selanjutnya penerbit ini membuka lini baru bernama Basabasi.


Tak terasa siang sudah datang, perutku sudah memberontak. Di sini memang disediakan foodcourt. Agak ribet memang untuk jajan di sini, kamu harus top up di kartu khusus minimal 100 ribu, dan dari kartu itu kamu bisa menukarkan saldonya dengan makanan. Jadi, tidak ada uang cash di antara kita. Hal ini juga berlaku di kasir pembayaran buku, untung aku ada E-Money dan temanku mempunyai debit Mandiri.
harus punya kartu ini buat bisa makan di foodcourt

Memang acara ini ada banyak spanduk Mandiri, mungkin ia sponsor utama acara ini dan mengimplementasikan nontunai dengan caranya. Cukup efektif sih, dan terkesan modern.

Aku sempat membagikan momen ketika di BBW ke instastory. Beberapa ada yang nanya itu dimana, nitip dong, gue mau kesana sebenernya, dan lain-lain.

Dan jika memang mereka ingin ke sini, mereka mau ngapain?

Paling mereka bakal bingung, banyak buku di sini, dan mereka mencari buku incaran mereka dan tidak ketemu. Memang di BBW ada banyak buku murah, tapi jangan salah, itu tidak memastikan bahwa di sini juga banyak buku seleramu.

Jadi, dari fakta di BBW, banyaknya orang yang mencari buku untuk dibaca, kita masih percaya bahwa minat baca kita rendah? Kalau aku sih tidak, aku lebih percaya bahwa pemerataan buku di negara kita belum baik dan perlu diperhatikan lagi.

Pada awalnya, pendiri BBW memang resah terhadap minat baca orang Melayu. Adalah Andrey Yap dan istrinya Jacqueline Ng. Dan mereka untuk pertama kalinya membuka BBW di Malaysia yang 50% pengunjungnya adalah orang Melayu. Mereka mendapat ide ini karena ketika pergi ke luar negeri, ada banyak toko buku menjual sisa yang tidak terjual. Buku sisa itu bisa juga kelebihan produksi lalu dijual dengan potongan harga supaya memikat pembeli.

Jadi, bisa dikatakan bahwa faktor kenapa orang jarang membeli buku karena buku itu mahal. Dan ketika ada buku murah, mereka akan berbondong-bondong membeli. Dari sini, masih percaya bahwa minat baca kita rendah?

Semoga ke depan pameran seperti BBW akan bermunculan, dan menarik mereka yang tadinya merasa membaca itu tidak perlu, mulai berpikir ulang bahwa membaca itu adalah sebuah keperluan sama seperti makan dan minum. Semoga saja.***

Referensi bacaan: https://gaya.tempo.co/read/769193/ini-sejarah-dan-rahasia-big-bad-wolf-menjual-buku-murah