Debora

                                                       Debora


Ia temanku. Seorang wanita yang satu ekskul denganku pula. Saban bertemu dengannya, ada saja tawa yang terbit—entahlah apa yang ditertawakan, yang terpenting, bisa melepas penat dengannya, ketika ada waktu luang ekskul.
Sempat kutanya apa arti dari namanya: DEBORA PUTRI MAHENDRA. Lalu dia menjawab dengan panjang-lebar, di angkot, ketika kita pulang bersama.
“Debora..., apa artinya?” tanyaku.
You Kepo Sokhi, you know? You kepo Sokhi, you know? You kepo..., you kepo Sokhi...!” jawabnya. Aku terperanga mendenger jawaban ini. Dengen penuh ekspresif dia meluapkan kata demi katanya. Kacamatanya naik-turun saking ekspresif-nya. Kutahan tawa. Hanya membatin dalam hati, “Biasa saja Debora..., tidak malu apa, ada orang yang melihat , ini di angkot.”

Aku tahu apa arti dari katanya tadi: “Koe pengen ngerti banget Sokhi, koe ngerti? Koe pengen ngerti banget Sokhi, koe pengen ngerti banget...., koe pengen ngerti banget Sokhi...!” [1]

Angkot terus melaju dengan stabil; motor dan mobil berlarian—kulihat dari kaca angkot (ketika mempalingkan wajah dari Debora).

Lalu, dia kembali bersuara, “Debora itu, artinya Hakim. Sedangkan Mahendra itu... singkatan Meti dan Hendra, ntu nama bokap and nyokap gue, Khi,” paparnya. Kembali kudengar penjelasannya dengan antusias, “jadi, Debora Putri Mahendra itu, Hakim dari Putri Meti dan Hendra,” pungkasnya, setelah jeda 5 detik.

Kutarik napas sejenak, lalu menganggukan kepala sekali, “Oh....”
Tak lama kemudian. Diambilnya uang dari kantong seragamnya. Lalu mengisyaratkan pengemudi angkot untuk melabuhkan mobilnya.
“Jembatan ya, bang...!” angkot mulai memperendah kecepatan. Setelah angkot itu berhenti, ia mulai melangkah turun.
“Duluan ya Sokhi...,” Debora melempar selembar senyum kepadaku, hanya seperdetik.


***


Dia adalah anak rumahan. Dia sendiri pernah bercurah padaku, jika ingin keluar rumah, haruslah ‘berlebel’ izin orangtuanya (Meti & Hendra, heheh....). Tapi, belakangan ini, ketika ia sudah menjadi Pramuka Penegak. Sikap kekanak-kanakannya kian susut. Sekarang ia sudah tidak jijik lagi begitu makan dengan tangannya sendiri. Tangannya sendiri?

Bukan Debora yang dulu. Debora yang waktu itu..., Debora yang sepulang dari kegiatan Pramuka. Lalu, diajaklah kami ke salah satu Warteg. Suasananya..., bisa dikatakan tidak terlalu rapi, kucing pun bisa berlalu –lalang dengan mudahnya di kaki-kaki kami.

Tak pandang bulu. Mau perempuan maupun lelaki, menyantap makanannya di meja yang sama.

Debora. Dia mulai memesan makanan, dibelinya nasi setengah, orek tempe, telor, dan sayur. Ditaruhlan piringnya di meja makan. Tidak memakai sendok. Ya, pakai tangan. Terlukislah wajah geli di mukanya yang agak ke-chaines-an itu.
“Kak, ini nggak ada sendok, apa?” keluhnya pada kak Tony, senior kami.
“Udah,makan tinggal makan,” jawab kak Tony. Sedikit meledek di nada suaranya.

Mulailah Debora makan, juga dengan anggota Pramuka yang lain, termasuk aku, Sokhi.

Dengan tangan. Sedikit demi sedikit muatan di piring Debora habis. Dan akhirnya dia bisa mengkhatamkannya. Laper kali nih orang.
“Kalo mau minum, bayar lagi nggak?” tanya Debora pada Selvi, sohibnya. Lalu, Selvi hanya menggeleng dua kali. Tak berdaya.
“Kak, boleh nambah air nggak? Bayar?” denga lugunya Debora bertanya kepada kak Tony. Kak Tony terkekeh mendengar pertanyaan itu.
“Boleh-boleeeeh...., De-bo-ra, nggak usah bayar...,” jawab ka Tony. Meledek lagi, kali ini kami tertawa semua mendengar pertanyaan Debora tadi. Kwkwkwkkwkw, eh kebalik, wkwkwkwkw.  


***


Itu Debora yang dulu: Debora yang baru masuk Pramuka. Sekarang, ia lebih mandiri dari sebelum-sebelumnya (yang kukenal). Terpampang jelas di kesehari-hariannya. Walau aku tak tahu pasti sih ya. Tapi, aku yakin, wanita itu (Debora) bisa lebih mandiri. Dan akhirnya, bisa menjadi Pramuka yang bermental baja. Ya Debora ya?



Lamunanku buyar ketik klakson angkot dibunyikan dengan kencangnya berkali-kali. “Ntet...! ntet...! ntet...!”

Dan, tak kusangka. Angkot yang kunaiki ini telah melewati jauuhhhh dari tempat yang biasa aku turun, kosan. Gila.




[1] Bahasa Ngapak: Kamu ingin tahu banget Sokhi, kamu tahu? Kamu ingin tahu banget Sokhi, kamu ingin tahu banget...., kamu ingin tahu banget, Sokhi...!


Afsokhi Abdullah
Jakarta, 12 Desember 2014

Untuk Debora, yang pernah kujanjikan.

Kado untuk Nawang Wulan


Kado untuk Nawang Wulan
(Cerpen untuk Tantangan nulis @KampusFiksi #FiksiBeruang)


Sedikit demi sedikit, berharap kian banyak uang yang kukumpulan. Aku punya sebab besar kenapa ingin berkorban sedemikian ini. Saban hari, aku tidak menghabiskan uang jajan, kusisihkan untuknya, untuk hari spesialnya.

Ini yang pertama kali dalam hidupku: mengorbankan apa yang kupunya. Semua berawal sejak mengenal wanita itu, Nawang Wulan. Semua yang ada pada dirinya, manarik di mataku; di hatiku dia tumbuh begitu saja, dengan cepatnya. 

Di ulang tahunnya  ke-16, aku harus punya kejutan. Ya entahlah apa yang akan kudapat dari uang yang kukumpulkan ini. Sekarang, yang harus kuperjuangkan adalah untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, agar dia... tahu, bahwa... aku cinta dia. Ya, begitu.

Setiap hari, uang jajan sekolahku selalu kusisihkan tanpa terkecuali. Kumasukan celengan. Terkadang pula, dalam satu hari, aku hanya makan satu kali. Yang terpenting adalah, kado untuknya, hanya itu tekadku untuk kali ini, Nawang.

       ***


Pagi ini sepertinya matahari tidak bersahabat, awan hitam menghalangi langit biru. Pagi yang biasanya cerah, kini murung mengiringi perjalananku menuju sekolah. 

Selama perjalanan, aku selalu membayangkan wajah cantik Nawang. Mungkin aku sudah gila. Ya, cinta itu gila kalau tidak gila, namanya bukan cinta. Padahal, baru beberapa hari aku mengenalnya. Tapi, entah kenapa perhatianku menitikberat kepadanya. Dengan cepatnya. 

Aku tidak suka tatapanya waktu itu, kerena membuatku tak berkutik dibuatnya. Ketika itu, Nawang melewati kelasku (awalnya aku tidak melihatnya). Begitu aku keluar kelas teburu-buru, tak sengaja tanganku mengenai tanganya –yang berada tepat di depan kelas, dia sendirian.
“Huh, hampir saja ketabrak,” batinku kala itu.
 Lalu, tersedialah tatapan tajam di hadapanku. Tapi, dia nampak cantik sekali, sangat cantik. Ya, itu dia, Nawang.

Bergemuruh di hati, seisi dada pun sesak. Tatapanya seperti mempunyai maghnet yang enggan dilepaskan. Kita berpandangan. Bibir tipisnya mulai bergerak, dia berkata, “Hati, hati ya, kak,” anggun sekali ucapan adik kelas ini.
“E, iya, maaf.”

Lalu dia pergi meninggalkanku yang terpaku dan, terperanga.

                                  ***

Sejak itulah, aku tertarik padanya. Dan tak lama kemudian, kudapati ia tinggal tak jauh dari rumahku. Dia adik kelas, dan memang baru di Jakarta, ia melanjutkan SMP dari Jogja ke Jakarta.

Dan kutahu segala tentangnya dengan begitu mudahnya. Kutanya teman-tamanya mengenainya, Nawang Wulan. Asal-asulnya, sebab-sebabnya, segalanya tentangnya sudah kutahu dengan mudahnya (aku) sebagai kakak kelas.

Begitu aku pulang sekolah, kuniatkan untuk membelikan kado untuknya – yang satu hari lagi akan berulangtahun. Kulihat sebuah boneka di sebuah pasar dekat sekolah, nampaknya itu bagus. Lalu kuterawang isi uang sakuku. Hanya ada beberapa lembar uang dan recehan. Sepertinya tidak cukup. Aku harus pulang membongkar celengan, lalu kembali ke sini. 

Sampainya di kamar, kucongkel isi celengen milikku; kuhitung isinya. 
“Hmm..., sepertinya cukup.”
Sore itu juga aku datang kembali ke pasar dekat sekolah. Akh, ternyata sudah tutup, sedangkan ulang tahun Nawang... adalah esok. Kucari-cari lagi tempat yang menjual barang untuk dijadikan kado.

Segara aku bertolak ke mal, tak lama kemudian, kutemukan deratan boneka. 
“Em..., ini, ini, ini, semuanya bagus,” kataku sambil menunjuk boneka-boneka itu. Kudekati jejeran boneka itu, terlihat ada bandrol harga di bawahnya. 
“Hah?! Gila, mahal, mana cukup uangku untuk membeli ini, sialan!” murkaku kepada diriku sendiri. 

Tak habis akal, kubuat sendiri boneka dari kain. Ibuku bisa membuatnya, malam ini juga aku belajar membuat boneka itu. Semalaman suntuk kuhabiskan untuk membuat kado untuk nawang. Uang yang tadinya kubelikan boneka, sekarang sudah menjadi serenceng bungkus kopi untuk menemani malam. Ya, hanya cukup untuk membeli serenceng bungkus kopi.

                                       ***

Hingga pada akhirnya, kutemui Nawang untuk memberikan kado ini. Tapi, tapi, tapi..., sampai sekarang ini aku tak berani memberikannya. Melihatnya dari kejauhan saja, seluruh tubuhku bergetaran, apalagi..., akh, sudahlah. Biarkan ini menjadi cerita yang terlupakan.



Afsokhi Abdullah
Jakarta, 07 Desember 2014. 

Aku sayang kamu, cinta


 Cinta Pertama, Cinta Sejatiku

Pada awalnya, aku tidak mengerti akan cinta, kasih, sayang atau pun pacaran dan sejenisnya. Tapi semua berubah, waktu dia datang ke dalam kehidupanku. Awalnya memang teman, tetapi dia semakin dalam menyelam dan, tau seluk-beluk tentangku, begitu pun denganku yang tahu bahwa dia adalah wanita yang sering ada dalam hidupku, setelah ibu.

Seiringnya waktu, aku dan ‘dia’ selalu bertemu di sekolah juga di tempat tinggal: bermain bersama, canda, tawa, saling berbagi cerita suka, duka, juga saling membantu di saat susah. Dia sangat ber-empati dengan ku.
 
Dan pada suatu hari, kita duduk  bersampingan di satu bangku yang panjang di taman yang hijau, di sana juga ada pohon yang terukir nama kita tanda setia sebagai teman. Namun, aku terkaget ketika dia mengeluarkan suara dari bibir tipisnya.
“Aku sayang kamu cinta...,“ dia manatap mataku dalam-dalam; aku merasa: masa lalu, masa depan, saat itu semua sirna oleh teduh matanya yang dipayungi alis tebal. Yang sekarang kulihat dalam-dalam.
       
Lalu aku dibuat terpaku olehnya. ‘glek’ kutelan ludah spontan untuk sejenak menenangkan diri, tapi itu tidak manjur.
“A-ak-u juga,“ jawabku terbata-bata. 

                                    ***

Aku ingin memilikinya sepenuh hati, seutuhnya, dan hanya aku yang dicinta; kasih dan sayang olehnya. Aku tak sanggup melihatnya didekati pria yang suka padanya, aku cemburu, jelas aku cemburu.  Walaupun aku tahu, ini adalah cinta pertamaku.

Tapi, semua itu tidak berlangsung lama, aku terpisah dengannya 10 hari setelah kejadian itu. Aku pindah sekolah ke Jakarta, kita tak pernah bertemu lagi selama itu. Kejamnya waktu mulai mengaliri setiap kesedihanku ketika mengingatnya, tapi, aku bisa melupakannya. Bersebab sakit jika mengingat-ingatnya lagi, lagi dan lagi. Aku bisa gila

                                    ***

Begitulah, semua kejadian ini  sudah 10 tahun berlalu. Sekarang aku sudah pulang dari Jakarta dan menetap di kampungku ini.
“Ochi...! keluar...!“ Teriak ibu, membangunkan lamunku 
“Cepat, cepat di luar sudah ramai.“
“Iya, bu,“ jawabku singkat.

Cepat-cepat, kurapihkan jas hitamku dengan kemeja putih polos dan celana hitam; bersepatu pantopel, aku berkaca sejenak.
“Bersiaplah kawan.“ 
 
Cepat kumenuju ke tempat ijab kabul. Pendamping hidupku yang akan menemani sisa hidupku adalah cinta pertamaku. Setelah beberapa lama, aku mencari cinta sajati, setelah aku tersakiti karena cinta, menyakiti karena kasih, dan kecewa karena sayang. Kini aku mendapatkan wanita yang bisa menerimaku apa adanya, dia cinta sejatiku juga cinta pertamaku. Jika memang jodoh, pasti akan bertemu. Itu.


Afsokhi Abdullah
Jakarta, 29 Juli 2014

Cerpen: Ayah?

 Ayah?

Tugas sekolahku sudah lama menumpuk, salah satunya adalah tugas print. Aku sudah tak mau lagi diperbudak tugas, biasanya jika tidak disegerakan, dia akan melunjak dan, memakan banyak waktu; menyita sisa hidupku. Aku belajar dari yang kemarin-kemarin. Huh.

Maka dari itu, siang ini aku bertolak ke sebuah toko fotocopy, di sana juga ada jasa untuk cetak print, tempat itu sudah kuhafal betul, cukup jauh dari kosanku.
Begitu sampai di toko potocopy, di sini penuh dengan antrian, ya walau sudah biasa kalau diselak Engko-engko. Dipaksa untuk sabar, sabar dan, menunggu giliran di kursi plastik ini.

Kulihat mesin-mesin itu bekerja, mungkin di antaranya ada yang sudah sepuh. Ya, mungkin saja, buktinya bunyi mesinya sangat berisik sampai hinggap di telinga ini Pada akhirnya, giliranku untuk mengeprint.
“Mbak, 20 lembar ya,” kataku.
“Bisa sendiri, kan?”
“Oh, bisa.”

Kalau memang print-an ini boleh digunakan dengan sendirinya oleh pembeli, kenapa tidak sedari tadi aku print. Huh. Karena semua yang datang ke sini kebanyakan mereka fotocopy.

Lalu kumulai memasukan flashdisk itu, dan keluarlah selembar demi selembar dari mesin print. Kuambil itu dan, membayarnya.
“25 Ribu,” katanya, setelah menghitung semua print-anku, ada yang bergambar ada juga yang tidak.

                                       ***

Aku sempat sebal dengan pegawai fotocopy ini, dia tidak melayani, egois, dan mukanya datar. Jelas bukan orang ini lenggananku ketika aku print. Orang ini berupa kasar, tersirat di wajahnya yang garang, walau dia seorang perempuan.
Begitu aku berjalan untuk kembali ke kosan, ternyata uang sisa print-ku masih cukup banyak. Setelah ingat dengan yang segar-segar di siang hari seperti ini; aku jadi menginginkan hal yang segar, buah dingin, rujak, wow.

Tak jauh dari toko tadi, aku menemukan bapak tua penjual buah, dia sepertinya biasa saja. Aku berjalan mendekatinya, dari jauh, penjual itu ‘agak’mirip dengan ayahku: kurus, pendek, pakaian gombrang.

Begitu aku sampai di gerobaknya, lalu ia melayaniku dengan ramah, sama seperti ayahku, yang dulu adalah pedegang. Aku sering membantu ayah waktu itu.
Tapi, tangan pedagang itu sepertinya ada yang aneh, jarinya dibungkus dengan plastik, aku hanya bisa melihatnya tanpa bertanya sebabnya.
“Ini tadi kepotong, mumet mikirin isteri yang di kampung minta kirimin uang mulu,” kata bapak tua penjual buah itu, tanpa kutanya sepatah kata pun. Lalu aku hanya menganggukan kepala.

Dia memberiku rujak buah yang kupesan tadi. Rujak yang sudah siap untuk diberikan kepada penjual, dan pasti itu adalah rujak butan bapak ini ketika jarinya terkena pisau. Pasti.

Aku melihatnya agak merinding, bapak ini hanya menggunakan plastik transparan, bukan perban (setidaknya), dan di plastik itu diperkuat dengan karet, hanya itu. Wajah bapak tukang buah terus meringis dan, pada akhirnya kuberikan uang untuk satu bungkus rujak ini. Aku meninggalkannya. Ketika agak lama berjalan dari gerobaknya, aku menengok lagi ke arah bapak itu, dia kembali memotong buah-buahannya menjadi rujak.

Bapak itu kembali memainkan pisau tajamnya, dengan lihai dicabik-cabiknya dengan rapih sebangsa nanas, mentimun, jambu, mangga dan buah-buahan lainnya. Lama-lama langkahku semakin menjauh, jauh, jauuh.
Aku jadi, mengingat ayahku di kampung sana yang sudah sepuh. Terakhir aku melihatnya adalah ketika lebaran waktu itu, sudah lama sekali. Ayah, sedang apa engkau, dan apakah ayah terluka...?


Afsokhi Abdullah
Jakarta, 05 Nopember 2014