Membaca Alkudus: Membaca Kitab Suci Fiksi




Tuhan terlalu kesepian bila mengurusi hal-hal kecil yang manusia sendiri tahu apa yang baik baginya dan apa yang tidak. (hal. 260)

Diceritakan Alkudus merupakan kitab suci bagi agama Kaib dengan Erelah Sang Utusan sebagai rasul terakhir. Seperti halnya kitab suci, isinya adalah tentang kisah para nabi dan seruan agar belajar dari orang-orang terdahulu. Juga anjuran-anjuran untuk berbuat kebaikan dan meninggalkan keburukan.

Sebelumnya aku tak pernah menyangka ada orang berpikiran untuk menulis novel seperti ini, novel yang ‘mengadopsi’ firman Tuhan di kitab suci kita. Penulis sukses membuat seolah Alkudus merupakan firman Tuhan dengan menggunakan bahasa langit.

Sejauh ini, buku semacam ini yang pernah kubaca adalah Seruan Zahatustra. Bercerita tentang utusan yang menyeru kepada kaumnya. Tapi buku itu tak kunjung usai kubaca, karena (1) berat, (2) berupa ebook. Btw, kubaru sadar bahwa apa yang dimaksud ‘Tuhan sudah mati’ dalam buku itu adalah membunuh gambaran-gambaran Tuhan yang ada di kepala manusia.

Novel ini, Alkudus, dibuka dengan kisah Dama dan Waha, manusia pertama di bumi yang diturunkan dari surga. Kemudian kisah para nabi dengan berbagai macam mukjizat. Namun Erelah, rasul agama Kaib sendiri tidak mempunyai mukjizat, menurut pengikutnya, kehadiran Erelah sendiri sudah sebuah mukjizat.

“Maka Tuhan memilih cerita sebagai jalan bagi firman. Di sisi-sisinya Tuhan sertakan perintah dan larangan sebagai petunjuk agar jalanmu menjadi lurus dan lempang…. Sebaik-baiknya kebahagiaan adalah yang dibagi, termasuk dengan bercerita.” (hal. 16-17)

Erelah sendri merupakan seorang perempuan, dan banyak dari kaumnya yang meragukannya menjadi Rasul.


Membaca novel ini layaknya membaca kitab suci sungguhan, penulis dengan lihainya merangkai cerita para nabi. Di sana dijelaskan ada malaikat, iblis, manusia, dan segela unsur yang juga disebutkan dalam kitab suci kita.

Dan ini membuatku yakin bahwa jika kita melihat ‘kitab suci’ hanya sebatas kisah-kisah masa lalu, sungguhlah amat kerdil. Kitab suci adalah yang bisa membuat diri kita berbuat baik dari waktu ke waktu. Kitab suci tidak hanya dibaca melalui lisan, namun juga diimplementasikan dalam kehidupan.

Terlepas dari itu semua, aku sepertinya yakin bahwa penulis novel ini agaknya terpengaruhi terhadap kisah-kisah di Al-qur’an, sebab ada beberapa kisah yang mirip. Namun bedanya di novel ini penulis menjelaskan dengan gamblang dengan kata-kata yang lebih lugas dan jelas.

Pola dalam setiap bab di novel ini hampir sama satu dengan yang lain, yakni: cerita tentang para nabi dan mukjizatnya kemudian imbauan untuk berbuat baik di akhir babnya.

Ada kisah yang menarik di novel ini yang menurutku agak menggelitik. Yakni kisah tentang Kaum Kawut yang menipu usia. Kaum ini merasa perlu untuk membuat dirinya selalu muda agar bisa terus beribadah kepada Tuhan. Orang yang beruban akan disemir, orang yang sudah keriput kulitnya maka mereka akan berusaha agar mengencangkannya, bagaimanapun mereka akan berusaha agar terlihat muda.

Diurapi kulit mereka dengan beragam ramuan agar tiada berkerut dan senantiasa kencang. Tidak perempuan tidak lelaki semuanya rutin mengurapi kulit sekujur tubuh mereka. Menutupinya dari cahaya matahari yang Kami sinarkan. Sungguh mereka itu adalah kaum yang menduskatan nikmat-Ku sebab telah kami beri anugerah di setiap percik cahaya matahari. Bukankah pohon-pohon tumbuh demikian subur karena matahari yang Kami pancarkan? Dan tanah yang darinya manusia Kami ciptakan selalu butuh cahaya matahari. Seperti juga titik kecil seluruh kulit mereka tampak keringat mengucur. (Hal. 130)

Karena kaum ini semakin sesat, maka diutuslah Sikwa untuk menegur dan mengingatkan mereka bahwa apa yang telah mereka perbuat adalah penipuan atas diri sendiri.

Namun mereka menjawab, “Dan sesungguhnya kami menginginkan kemudahan agar senantiasa dapat beribadat kepada Tuhan. Bagaimanakah nasib Tuhan apabila tidak ada lagi manusia yang menyembahnya? Maka kami ingin hidup meskipun Tuhan tidak mengizinkannya.”

***

Setelah membaca seluruh novel ini, aku menemukan satu titik bahwa kisah-kisah dalam Alkudus membicarakan tentang ketentuan Tuhan yang tidak disadari oleh manusia. Dan ketentuan-ketentuan itu akan tampak bagi mereka yang berpikir. Manusia diberi akal untuk melihat kebesaran Tuhan, namun dari sekian banyak kaum yang dikisahkan dalam Alkudus, banyak dari mereka yang bebal. Secara halus penulis seperti menyinggung cara beragama kita belakangan ini.

Mereka yang mengingkari ketentuan itu, masih dalam novel ini, akan diberi azab, sedang mereka yang beriman, akan diberi ujian, demikianlah ketentuan Tuhan.

Tuhan terlalu kesepian bila mengurusi hal-hal kecil yang manusia sendiri tahu apa yang baik baginya dan apa yang tidak. (hal. 260.)

Ada banyak pesan yang bisa kita ambil dari novel ini, penulis juga sangat pandai memasukan kata-kata yang seperti sebuah syair di antara cerita-cerita. Membuat pembaca tidak bosan untuk melanjutkan membaca dari halaman ke halaman.

Sebagai kitab suci agama Kaib, aku mengimani kitab ini dalam artian aku setuju dengan imbauan yang ada dalam kitab ini walau ia hanya fiksi. Aku merupakan orang yang tidak terlalu mudah mengingat ayat-ayat kitab suci, namun di Alkudus ini, masih saja ada firman yang menghantui kepalaku. Bahwa sesungguhnya ujian keimanan paling berat adalah ketika kau dalam keadaan sendirian.

Dalam membaca novel ini, aku hampir lupa bahwa seluruh dalam buku ini adalah fiksi, mungkin bisa jadi maksud dari penulis, Tuhan di buku ini juga fiksi belaka.

Ibu Rumah Tangga dan Literasi Kita

Adalah Mbak Umi—ibu rumah tangga yang memiliki dua anak yang lucu-lucu—lebih memilih membeli buku ketimbang baju baru. Waktu aku pulang kampung, aku main ke rumahnya untuk meminjam buku. Awal pertemuan kami adalah ketika ada event kepenulisan Kampus Fiksi di Jogja. Di akhir acara, aku bertemu Mbak Umi yang ternyata satu kampung denganku. Singkat waktu, kami saling kenal dan akhirnya pada edisi pulang kampung akhir tahun kemarin, aku datang ke rumahnya dan meminjam buku. Begitu.




Beliau mempunyai koleksi buku yang lumayan banyak. Mulai dari Tere Liye hingga Hamsad Rangkuti, dari pop hingga sastra. Selain mengoleksi buku bacaan, Mbak Umi di sisi luang waktunya sebagai ibu rumah tangga juga menyempatkan untuk membuka lapak baca buku gratis di sekolah anaknya.

“Jadi ya yang dibaca di sekolah itu ya buku nonfiksi,” katanya, “orang sini kan tidak suka buku beginian.” Ia mengambil salah satu buku sastra dan menaruhnya kembali. Sebagian besar koleksi buku nonfiksinya didapat dari event Kampus Fiksi.

Kini beliau dikaruniai dua anak: Isna dan Alif. Isna masih PAUD, dan Alif sekolah dasar. Mbak Umi mengakui bahwa jam untuk membaca buku sangat sulit untuk dibagi dengan pekerjaan sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga. Untuk baca aja susah, apalagi menulis, kurang lebih begitu ungkapnya.

Maka berikutnya kami membahas Pia Devina. Penulis produktif yang superduper sibuk. Ia adalah ibu rumah tangga, juga bekerja. Tapi ia bisa membagi waktu untuk menulis dan hasilnya ia bisa membuat beberapa novel. Salud memang dengan mbak Pia Devina, kadang aku yang punya banyak waktu ini suka minder. (Baca: 30 Questions with Pia Devina; Saya Menulis Setelah Anak Saya Tidur)

“Ya itu kan Pia Devina,” kata Mbak Umi yang tersinggung, “dia mah nggak ada bandingannya. Hahaha.”

Sejauh ini, di kampungku aku mengenal Mbak Umi sebagai penggiat baca di sekitarnya. Tentu saja tujuannya untuk membuat melek baca masyarakat sekitar.

Faktanya, kampungku memang jauh dari toko buku, kita harus pergi jauh ke kota dengan memakan waktu berjam-jam untuk bertemu toko buku.



Aku tidak bisa membayangkan bagaimana jika aku lebih banyak menghabiskan waktu di kampung. Tidak ada toko buku, bioskop, sinyal, ah itu sangat membuatku mati kebosanan.

Dua hal tersebut: toko buku dan bioskop menurutku adalah dua kebutuhan pokok selain makan dan minum. Sebab dengan dua hal tersebut kita bisa mengisi kehidupan ini dengan hal-hal yang baru. Dengan membaca buku kita bisa mendapat hal baru, begitu pula nonton film di bioskop.

Kembali lagi ke Mbak Umi yang kupinjam bukunya beberapa. Aku tidak tahu ada berapa ‘Mbak Umi’ di luar sana, yang pasti ibu rumah tangga seperti Mbak Umi sangat perlu dicontoh oleh ibu rumah tangga lain. (Juga kamu para calon ibu rumah tangga, hehe)

Dengan melek baca, tentu saja ibu rumah tangga akan terbuka pikirannya, menerima banyak ilmu dan jauh dari kesan kuno. Dampaknya adalah bagi anak-anaknya kelak. Jika ibunya saja hobi membaca, pasti kemungkinan besar anaknya tak jauh dari hobi tersebut. Sehingga nantinya akan timbul pemikiran-pemikiran maju tanpa halangan apapun di kepala si anak, didukung dengan ibunya yang melek pengetahuan berkat buku.

Jadi, ada berapa koleksi bukumu di rumah?


dari kiri: Mas Daru, Mbak Umi, Pangeran Bersarung
                        

Risiko Mencintai Gadis yang Dicintai Banyak Orang


Sabarlah sedikit, Sayang. Aku dicintai banyak orang. – Olly Agneta

Masa-masa sekolah, apalagi SMA, adalah masa yang sulit dilupakan. Karena ketika itu kita berada di posisi dalam pencarian jati diri. Di saat itu pula kita berpikir tentang masa depan, sedangkan umur kita masih dibilang remaja—masa depan hanya untuk orang dewasa.

Olly Agneta merupakan gadis yang sulit ditebak, ia malakukan apa saja yang ia suka, dan menjadi pusat perhatian di asrama Cocordia. Ia juga mengedarkan rokok dan minuman fermentasi. Namun, sejauh itu ia tidak pernah tertangkap oleh pihak asrama karena pelanggarannya tersebut, ia sangat cerdik dan lihai.

Begitulah kira-kira gambaran tokoh sentral di novel It’s a Could With Legs, karya Reza Reinaldo. Bercerita tentang kehidupan di asrama sekolah SMA. Penulis menyoroti bagaimana kenakalan remaja dan percintaan yang, tentu saja, semua itu sama-sama kita lakukan ketika di masa SMA.

Dalam novel ini, penulis membuat tokoh yang edan-edanan bernama Olly Agneta. Olly digambarkan sangat berantakan namun ia selalu dinaungi nasib beruntung. Olly merupakan gadis yang mempesona dan membuat siapa saja jatuh cinta, termasuk Enzi Fadel si anak baru nan lugu.

Olly suka menulis dan bermain gitar, kebiasaannya yang lain adalah bermain di dalam kardus, masuk ke sana dan berkhayal.

“Kita akan menembus atmosfer tanpa pakaian astronot dan tabung oksigen. Joseph memiliki penis yang lebih panjang daripada kesabarannya, maksudku, jangan sampai dia menyabotasi pakaian astronotmu dan membuatmu mati konyol di luar bumi. Oh, ampun, mati di dalam bumi saja perlu perjuangan. Nah, sekarang, planet mana yang akan kita datangi?” ( hal. 92)

Begitulah kata Olly ketika mengajak Enzi si anak baru nan lugu itu bermain di dalam kardus. Adegan seperti ini mengingatkanku pada kartun sepongebob, haha..



Novel ini merupakan salah satu novel populer di storial.co, beberapa kali menjadi buku pilihan editor dan sudah dibaca oleh ribuan pembaca. Aku mengenal penulisnya, Reza Reinaldo, dan kutahu dia mempunyai jelajah baca yang tinggi. Bahkan aku pernah mendengarnya langsung bercerita tentang novel ini.

Di novel ini, kita akan menemukan percakapan-percakapan yang tidak biasa. Apalagi ketika membaca dialog Olly, dia sangat cerdas dan banyak bicara. Itu mungkin dilatarbelakangi karena ia penulis dan membaca banyak buku. Dan Enzi, si anak baru dan lugu itu, bisa beradaptasi dengan cepat cara berpikir Olly hingga akhirnya kedekatan mereka terjadi, dan pada akhirnya Enzi jatuh cinta kepada Olly.

Namun, jatuh cinta kepada Olly bukanlah hal mudah. Enzi seperti dipermainkan dan dia bahkan tidak mempunyai alasan untuk marah kepadanya ketika Olly melakukan hal yang tidak seharusnya. Mereka tidak mempunyai ikatan apa-apa, walau mereka sudah pernah berciuman.

Jika kau menganggap hubungan istemewa itu seperti halnya bersentuhan dan berciuman. Itu sama halnya seperti kulit yang menua. (aku lupa halaman berapa, tapi aku ingat kata-kata ini)

Olly dicintai banyak orang, dan sudah membuat banyak lelaki patah hati karena ditolaknya. Dia melakukan hal yang ia suka, bebas sebebas-bebasnya, tanpa ikatan apa-apa.

Awan dengan Kaki

Novel ini bercerita tentang Olly yang ingin menulis novel ketiganya berjudul Awan dengan Kaki (masih di asrama Cocordia)  namun ia tidak tahu arti dari metamorfisis tersebut. Maka ia meminta bantuan kepada Enzi untuk membantu mencari arti tersebut. Karena itu, kadang mereka berdua saling memandang langit bersama, meneliti, ketika siang maupun malam. Dari sinilah kedakatan mereka dimulai.

Namun, hingga akhirnya Olly menghilang, Enzi belum memberitahu arti dari Awan dengan Kaki yang telah ia temukan. Ia menulis arti metamorfisis itu ketika Olly sudah tidak ada di sampingnya.
Novel ini sangat menarik dan membuat pembaca terus tertarik untuk membuka dari bab satu ke bab selanjutnya. Tokoh sentral di sini adalah Olly, dia digambarkan sangat gila namun di sisi lain ia sangat menarik. Apa yang dilakukan tokoh ini selalu membuat penasaran pembaca.

Akhir dari novel ini cukup menohok, dan sukses membuatku membanting novel ini keras-keras ke lantai (ini benar terjadi). Kurangajar! Aku seperti dipermainkan oleh Olly Agneta!

Pada akhirnya, kukatakan ini adalah novel yang emosional.
Good job, Ka Reza! Ditunggu karya-karya selanjutnya!