Pramuka Aksi

Pada tahun 1992, pramuka pernah dicantumkan dlm pecahan uang Rp10.000 bersama sri sultan hamengkubuwono IX



 

Angkot (kisah seorang anak sekolah yang terkena dampak Ekonomi Negera) untuk tugas kelas 9 SMP


Pagi ini, seperti biasa, aku terbangunkan oleh jam wekerku yang ku-setting untuk berteriak sekencang mungkin tepat jam 5 pagi. Setahun yang lalu, biasanya yang membangunkan tidurku adalah Ibu, namun.... dia.... sudah tiada, aku hanya hidup bersama Ayah dan seorang pembantu di rumah ini.

Nyawaku sudah terkumpul, lalu kuberjalan keluar rumah untuk menghirup udara segar. Tetapi, ketika sampainya di ruang tamu, aku sudah disuapi dengan berita di TV tentang; Korupsi, BBM naik, dan masih banyak lagi, lalu kuterdiam sejenak. Sepertinya menarik.
"Korupsi? Itu mah biasa, eh, tapi padahal para kuruptor itu adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi, 'kok pada korupsi yah...? Entahlah" gerutuku yang sedang berdiri di perbatasan ruang tamu, agak jauh dari Ayah yang sedang duduk di bangku favoritnya.
 "BBM naik? Ekonomi turun, uang jajan juga akan turun... ahh...! ngapain Aku mikirin ini" jengkelku yang masih dengan baju tidur Spongebob, di ruangan ini hanya ada Ayah yang duduk di bangku favoritnya menyaksikan berita menjijikan itu, ditemai dengan segelas kopi hangat, sehangat emosiku yang tersulut pagi ini!!

Kubatalkan untuk menghirup udara segar di luar rumah, aku sudah enekg' setelah melihat berita seperti itu setiap pagi.

Segera kupersiapkan diri untuk berangkat sekolah; mandi, sholat Subuh, lalu memakai seragam Putih-Biru kebangganku. Terukir di dasi miliku (SMP Negeri 32 Jakarta). Dengan bangganya, kuikat dasi itu di leherku dengan rapih.  Setengah jam kemudian. Semua, siap...!!!

Saat kumulai berangkat sekolah, Ayah yang biasa mengantarkanku dengan motornya, sekarang entah kenapa, tidak!?
"Ocha, hari ini Kamu berangkat sekolah naik Angkot yahh..." kata Ayah, mungkin jika ada Ibu, Ibu akan melarang Ayah yang tega anak perempuannya ini disuruh naik Angkot.
"Hah? Yang benar, yah?" tanyaku, setelah beberapa detik membeku karena tiupan kata Ayah tadi.
"Iya... Sekarang kan BBM naik, Kamu tahu sendiri bagaimana borosnya motor Ayah, kan?" aku hanya menganggukan kepala. "Yasudah!" batinku.
"Begitu dong, Anak Ayah harus belajar mandiri..." lanjut Ayah.


                                       
                                       ****



Setelah sarapan, dan siap tempur, kugendong tas miliku, kuperkuat lagi tali sepatu hitamku,lalu berpamitan dengan Ayah.
"Ayah, aku berangkat...!!"
"Hati-hati yaahh...." aku berpura-pura tidak mendengar apa kata Ayah tadi. Tidak menjawabnya, mungkin karena ada rasa sebal di hati.

Jalan raya tak jauh dari komplek rumahku, dengan cepat, aku sudah berdiri di pinggir jalan menunggu Angkot yang bersedia berlabuh di hadapanku. Ada!! Segera kunaiki dia, begitu aku masuk -belum duduk - angkot pun sudah melaju dengan cepatnya, alhasil aku terjatuh di pangkuan ibu-ibu. "karma!" batinku.
"Hati-hati, Nak" kata Ibu itu, dan membantuku untuk bangkit kembali.
"Terimakasih, Bu" kataku, dan kuberikan senyum pertamaku hari ini kepada Ibu itu. huhh kakiku sakit...

Tas, masih kupangku,  dan tepat di depanku, dua Bapak-bapak, aku tahu mereka adalah pedagang, karena obrolannya yang tanpa sengaja kucerna.
"BBM naik lagi, aduhh, gimana mau naikin harga barang kita!?" gerutunya kepada seseorang di sampingnya. Mungkin dia teman seperjuangannya -pedagang.

Tanpa sengaja kudengar lagi percakapan mereka, begitukah kejam sang BBM? Sehingga Ekonomi mereka bak merosok ke jurang? Terbahas juga oleh mereka tentang menteri ESDM yang korupsi. Hancurkah sudah Negeri kita ini?

Belum! Masih ada harapan, jangan pesimis, sebagai pelajar seharusnya kita bisa memilah-milah apa yang harus kita contoh, tidak menelan mentah-mentah yang disuapkan di TV dan sebagainya.


****


Tak lama, Angkot pun berlabuh ke tepi jalan,tapi, masih ada perjalanan yang cukup jauh untuk sampai benar ke sekolahku.
"Biasanya, jam segini aku udah di kelas" gerutuku. Matahari mulai mengeluarkan seluruh cahayanya. Pagi juga sudah memanas. Tanda bahwa hari ini akan segara dimulai. Bukan segara, tapi sudah dimulai.

Teett...!! ~

Bunyi bel sekolah, padahal aku masih di luar gerbang, segera kupacu langkahku dengan seluruh kekuatan yang kupunya, kutembus gerbang  yang masih terbuka sedikit. Guru penjaga gerbang sedang baik hati, alhasil kumemasuki gerbang setelah berneogisasi sebentar dengannya.Akhirnya aku bisa memasuki gerbang itu. Oh akhirnya...

Lalu, kuberlari menuju kelas. Disana sudah berkumpul teman-teman kelasku.
"Aih.... sudah jam segini!!" lalu kuhela nafas panjang, dan mulai duduk di bangkuku.
"Apakah setiap hari akan seperti ini? Aih...!!"

Guru pengajar pertama pun terlihat sedang berjalan menuju kelas ini.



#untuk Serly SMP N 32 Jakarta.

Gubuk Tua


Di gubuk tua ini, aku mulai merasakan rasa yang entah apa namanya. Saat itu – kau masih percaya padaku –kau menatap dalam ke arah mata ini, sampai-sampai aku bisa melihat riak air yang bermuara di mata indahmu itu.

Memang usia kita masih muda, tapi cinta soal hati. Dan, yang kudambakan saat ini adalah, teruslah percaya padaku. Walau, kau kian berubah bersama sang waktu yang selalu baru.

Di gubuk tua ini juga, aku sering beristirahat sepulangnya dari sekolah, tak  seperti biasa, aku sendiri tanpa kau temani. Semilir angin mengajakku untuk pergi ke masa lalu, raja siang pun memberiku semangat agar bisa pergi ke masa-masa itu. Masa dimana kita berdua disini, di gubuk tua ini. Icha...

                                 
                                    ****


Sekarang, aku bisa dengan jelas mengingat bagaimana saat kita saling menatap. Saat itu, di gubuk tua ini, kau duduk manis di sampingku, masih dengan seragam sekolah Putih-Biru. Kayu tua yang dipenuhi dengan jaring laba-laba, adalah saksi akan pengungkapan rasa waktu itu.

Rasa yang entah apa namanya, tapi yang kutahu itu bersumber dari hati. Dan itu yang kuungkapkan kepadamu. Aroma padi yang mulai menguning merangsang masuk melewati hidungku, lalu aroma itu menyegarkan seisi jiwa ini yang membeku saat di sampingmu.
“A-aku, ini... cinta sama kamu. Icha” kataku dengan bergetar, lalu, kau menatapku, dengan jelas aku bisa melihat wajah cantik milikmu.
“Cinta itu apa?” tanyamu. Lalu aku hanya bisa diam seribu kata.

Padi yang mulai menguning itu tetap bergoyang kesana-kemari sepertinya dia sangat menikmati hidupnya. Langit biru mulai terlapisi awan-awan putih yang terus menghitam.
“Sudah mau hujan” katamu, dan mengagetkanku yang sedang bisu.
“Ayo, pulang” ajakku. Dan kau menganggukan kepala, seraya tersipu kepadaku.
Kita berjalan menyusuri pesawahan, menikmati alam...


                                     ****


Aku mengenalmu ketika kita satu kampung, kau pindahan dari salah satu sekolah di kota, dan aku hanya orang kampung yang sedari kecil besar disini. Rumah kita memang berdekatan, tapi jauh dari sekolah SMP.

Setiap hari, kita selalu melewati pesawahan –jika pulang sekolah tiba, di siang hari. Dan benar, apa kata orang Jawa: cinta akan tumbuh jika sering bertemu. Itu terbukti dalam hidupku, bersamamu, Icha.

Tapi, sekarang rasa saling percaya itu sudah punah termakan sang waktu. Karakter terdalam kita sudah menyeruak keluar, dan terlihat jelas. Kau sangat egois seperti halnya orang kota, dan aku terlalu sabar menyikapi itu. Begitulah yang kurasa sekarang. Kurang ajar!!

Belakangan ini, aku pulang sekolah sendiri, dan selalu mampir ke gubuk tua ini, sekedar melepas lelah yang mendera. Tapi, sang padi kali ini sudah tidak kuning lagi, ia sudah  rata dengan tanah, seperti perasaanku padamu.

Sekarang, yang namanya cinta itu sudah tiada, benar apa kata orang-orang akan difinisi cinta monyet. Tapi, ini bukan, ini adalah rasa yang bersumber dari hati yang entah apa namanya. Mungkin, hanya aku yang merasakan, berbeda denganmu. Icha...

ENDAS




Malam tiba membawa gelapnya, hujan mulai rintik, rerumputan menghalangi jalan pemuda itu, bajunya sudah tidak lagi memberikan perlindungan dari dingin, celananya compang-camping, dia menggigil. Sendirian.

Dilewatinya  persawahan, jalanan setapak dipaksa mengantarkan ke sebuah perkampungan yang dilihatnya dari kejauhan. Sekarang dia mempunyai tujuan.
Sampainya di komplek perkampungan, ia melihat satu rumah yang di terangi damar[1] di sudut depan rumah, hanya rumah itu yang masih terlihat berpenghuni dari beberapa rumah gubuk lainya.

Di dekatinya rumah itu, sandal sempat terjebak di lumpur masih digunakannya walau penuh dengan tanah yang mengering.
 ‘tok, tok, tok‘
“Permisi... ada orang??“  ‘kreeaaak’ pintu itu terbuka.
“Iyah? Siapa?“
“Nanti saja saya jelaskan, sekarang ijinkan saya untuk masuk, saya mohon“

Hening tiba, “siapa pemuda ini, pakaianya tak pantas, wajahnya, tapi... seperti orang kota, hmmm... kasihan, mungkin dia tersesat“ batin Nenek tua pemilik rumah gubuk itu.
“Nek, saya mohon, untuk malam ini... saja “
“Baiklah Nak, masuklah, masuk “
“Terimakasih, Nek“

Pemuda itu memasuki rumah gubuk nenek tua. ‘tap, tap, tap’
“Duduklah Nak, tunggu, Nenek akan ambilkan air “
“Iyah Nek, terimakasih“

Pemuda itu duduk di bangku tua yang leot, berdebu, terbuat dari bambu yang sudah kering coklat. Setelah Nenek tua itu datang dengan membawa segelas air hangat, dia duduk lebih dekat dengan pemuda itu.
“Sekarang, ceritakan darimana asalmu?“ tanya Nenek itu.
“Begini Nek, saya datang dari kota, saya kabur dari kejaran polisi“
“Hah!? Apa yang telah kamu perbuat?“ Nenek tua itu kaget dan penasaran. Wajahnya semakin sangar.
“S-sa-saya membunuh Istri saya, Nek “
“Apahh!?“ keget Nenek keriput itu.

Semilir angin menumbus dinding rumah yang terbuat dari bilik bambu, pepohonan riuh bersuara, menambah suasana mencekam diantara mereka.
“Lalu, tujuanmu apa ke kampung ini?“ tanya Nenek tua yang sudah kriput dan bongkok.
“Saya ingin mencari kehidupan baru yang bahagia, jauh dari masa lalu yang kelam“ pemuda itu memelas, suranya seperti merintih.
“Hm... “
“Ngomong-ngomong, Nenek tinggal sendirian disini?“ pemuda itu memecah suasana agar segera mencair.
“Tidak, tapi berdua dengan Kakek “
“Lalu, dimana Kakek?“
“Tepat di sampingmu“ Nenek tua itu menunjuk tepat ke bangku sebelah pemuda yang kebingungan itu.

“apa Nenek ini hidup bersama suaminya yang sudah tak bernyawa? Atau... dia itu gila? Ah...“


                                                    ****


Semilir angin terus menumbus dinding rumah, pepohonan juga tak henti bergemuruh.
“Sekarang, pergilah“ usir Nenek itu.
“Tidak bisa Nek, saya juga tidak tau dimana saya sekarang, saya mohon, ijinkan saya bermalam disini“
“Baiklah, tapi... ada syaratnya“
“Apa syaratnya? Pasti akan saya penuhi“ pemuda itu merengkuh tangan Nenek tua dengan penuh harapan bisa bermalam di gubuknya.
“Begini, sudah setangah tahun desa ini tidak turun hujan, biasanya ada ritual yang dilakukan dengan memberikan sesajen, tanpa itu, hujan tidak akan turun“
“lalu, Nek ? “
“Sesajen itu adalah kepala kerbau, tapi, semua kerbau disini sudah mati kekeringan“
“Lalu, Nek?“ pemuda itu mulai gentar.
“Maukah kamu dijadikan sesajen itu, pasti hidupmu akan damai disana, kamu akan selalu dikenang di desa ini“
Pemuda itu sontak kaget bukan kepalang, heningpun kembali mendominasi, angin-angin dingin masih bergelud dengan pemuda itu, perutnya juga lapar.
“Hmm... baiklah Nek, tapi, beri aku makanan dulu“ kata pemuda itu.
“Terimakasih Nak“
“Iya, sama-sama Nek, inilah tujuanku, aku ingin mendapatkan hidup baru yang jauh dari masa lalu yang kelam“ pemuda itu meyakinkan Nenek tua yang mudah saja mempercayainya.
“Baiklah, tunggu, akan Nenek ambilkan makanan “
“Iya, Nek “

Nenek tua bongkok itu menuju dapurnya, diambilnya buah-buahan untuk pemuda kelaparan yang akan bermalam di gubuknya.

                                                           
                                                       ****

Setelah makan, mereka masih duduk di tempat yang sama tadi.
“Nak, kamu sudah mengentuk?“ tanya Nenek tua itu.
“Iya, Nek, dimana saya bisa tidur?“
“Kamu bisa tidur disini nak “ Nenek itu menunjuk amben[2] yang tak jauh dari bangku yang meraka duduki.
“Baiklah, Nek “

Nenek bongkok itu pun menuju kamarnya, diambilkannya sehelai selimut untuk pemuda itu.

Malam yang sunyi mengantarkan kecemasan bagi si pemuda, hatinya tak tenang, tapi, ia sudah menyiasati akan semua ini.
Mana mungkin aku mau begitu saja kepalaku di jadikan sesajen, aku hanya ingin bermalam di gubuk ini, bukan untuk mati. Untung saja pemilik gubuk ini adalah Nenek tua. Hm... Baiklah, pagi buta aku akan pergi dari sini, sekarang, nikmati saja semuanya “ batin pemuda itu.
`
Terlelaplah ia dalam tidur pulas, ia nampak nyaman di amben, nafasnya satu-satu berdesakan keluar dari lubang hidungnya, dengan sepi ia bermalam di gubuk Nenek tua, dan ia tak tau apa yang akan terjadi esoknya.

.
                                                                         ****

Malam terlewatkan sangat singkat, pemuda itu masih pulas bersama tidurnya, sampai fajar tiba ia masih tidur, pagi buta sudah meninggalkannya.
Nenek tua itu sudah terbangun dari tidurnya, ia nampak sudah siap dengan parang di tangan kriputnya, ia akan mengiringi nasib pemuda itu yang hidup tanpa arah dan beberapa detik lagi akan bercerai dari jiwa dan raga kepunyaanya. ‘clek!!’

Putuslah kepala dan badan dari pemuda itu, tapi, ia masih bisa bangun dari tidurnya tanpa kepala dan lalu diambilnya parang dari tangan Nenek tua itu yang ternyata adalah Penyihir. Lalu, di tebasnya oleh si Pemuda tepat di leher penyihir itu. Gubuk tua menjadi saksi pertikaian mereka yang mengakibatkan banjir darah yang terus bercucuran disana-sini....



[1] sejenis lentera/lilin.
[2] sejenis kasur yang terbuat dari bilik bambu.

Visi, Misi dan Kegiatan Mading SMK N 11 Jakarta

Visi:
Meningkatkan ‘minat baca’ Siswa/i SMK N 11 Jakarta, sehingga berwawasan luas.

Misi:
1.     Menjadikan membaca sebagai budaya.
2.     Membandingkan ‘diri sendiri’ dengan dunia luar yang dinamis.
3.     Ajang kreativitas Siswa/i SMK N 11 Jakarta.
4.     Menyalurkan bakat.
5.     Memberi informasi yang konkret dan dapat dipertanggung jawabkan juga menarik.
6.     Saling berbagi ilmu (Seminar).
7.     Lebih mengenal SMK N 11 Jakarta (guru, staf TU, murid, maupun pedagang kantin).

Kegiatan:
1.     Siapa saja (siswa/i SMK N 11 Jakarta) boleh ikutserta mengisi Mading SMK N 11 Jakarta, dengan ketentuan dan syarat berlaku.

2.     Mengadakan kuis mingguan: menulis Artikel, Cerpen, Puisi/Prosa, ataupun Diary (berhadiah) bagi seluruh siswa/i SMK N 11 Jakarta.







Kritik dan saran silahkan mention/DM ke @Madingnya11__
Jangan lupa diFolow dulu yah ... ^_^

KETUA REDAKSI: AFSOKHI ABDLLOH