BETAPA NIKMATNYA BERKATA KOTOR DAN KASAR

Hampir setiap hari, aku selalu menemukan orang berkata kotor dan kasar. Entah itu secara oral, atau malaui teks. Entah itu kudengar secara langsung, atau di sebuah taks tempur sebuah game. Sampai akhirnya aku berpikir: apa sih yang membuat mereka berkata seperti itu?



Kata-kata kotor dan kasar itu lebih sering datang dari anak-anak dan remaja, apalagi jika mereka sedang bergerembol dengan taman-teman. Seolah kata-kata kotor dan kasar tersebut adalah bumbu dari percakapan mereka yang harus ada. Jika tanpa berkata kotor dan kasar, seperti ada yang hilang dan rasanya hampa.  

Karena penasaran bagaimana rasanya berkata kotor dan kasar yang hampir tiap hari kudengar itu,  aku mencoba untuk berlatih berkata seperti itu, atau setidaknya coba-coba untuk mencari tahu apa sensasinya. Aku mencoba di teks pertempuran game, hasilnya? Aku merasa seperti anak kecil yang masih melihat dunia ini hanya sekadar kembang gula, aku terlihat bodoh, dan seperti tidak punya otak.

Lalu aku mencoba untuk mengucapkannya secara oral, tentu saja tidak di tempat umum. Hasilnya? Itu cukup menyenangkan, malah membuatku merasa lebih dekat dengan orang yang kuajak berkata kasar, kata-kata itu seperti: anjing, bangsat, sialan, kontol, dsb, dsb..

Tentu saja kata-kata itu tidak diambil hati olehnya, juga olehku. Aku hanya sedang mencoba berkata kasar dan mencari sensasi di baliknya. Dan ya, ternyata memang cukup menyenangkan dan nikmat. Seolah segala rasa yang ada di dada bisa diwakilkan oleh kata-kata kasar itu.

Hal itu malah membuatku sadar bahwa aku ternyata mempunyai hati yang cukup kotor. Karena jika memang hati yang bersih, pasti kata-kata yang keluar adalah kata-kata yang baik.

Dan menurutku orang yang doyan berkata kasar sepertinya mereka adalah orang-orang yang bermasalah. Orang yang mempunyai hati yang kotor, berpikir bahwa dunia begitu sempit dan pilihan kata-katanya juga sempit. Jika memang ia sudah dewasa dan berpikir dunia ini lebih luas, maka pilihan kata yang dipilih tentu lebih santun dan enak didengar. Walau tidak semuanya begitu, sih..

Ya, walau di sisi lain, dalam berkomunikasi secara personal di lingkungan, berkata kasar seperti itu cukup membantu dalam hal pertemanan. Terkesan lebih akrab dan saling memahami (mungkin?).

Tapi ya tentu sebagai manusia yang berinteraksi sesama individu setiap harinya, kita seharusnya menghargai lawan bicara kita, lebih dari itu, kita juga harus menghargai orang yang memungkinkan mendengar suara kita. Kita diajari bertahun-tahun tentang sopan santun dan etika. Kita punya norma, punya malu, dan sewajarnya begitu.

Pada akhirnya, berkata kasar hanyalah pilihan bagi mereka yang melihat dunia seolah seperti sebatang sumpit--mereka yang dadanya sempit, sehingga pilihan kata-kata yang keluar adalah kata-kata kasar dan kotor. Yang tidak enak didengar.

Semoga kita terus belajar tentang bagaimana menghargai orang lain, jika sudah, coba kita belajar menghargai perasannya. Begitulah seharusnya manusia. Mungkin.***

MEMBACA 'DAWUK' (MAHFUD IKHWAN)

Pada sebuah pagi di warung kopi, Warto Kemplung terus mengoceh tentang kejadian yang belum lama terjadi. Tentang tentara Jepang yang mengepung Pesantren. Dan kemudian ia bercerita tentang Mat Dawuk, seorang pria buruk rupa yang beristri gadis cantik anak seorang ustad, tapi nakal, ialah Inayah.

Karena terlalu nakal, Inayah memutuskan pergi ke Malaysia untuk merantau, di sana ia bertemu dengan laki-laki yang hanya mau diajaknya kawin, tidak menikah. Hingga akhirnya ia berkekasihkan seorang laki-laki yang posesif, laki-laki itu tidak mau diputuskan oleh Inayah, dan ia sudah terlalu sering menyiksa gadis itu.

Dalam keadaan kabur dari lelaki posesif itu, ia bertemu Mat Dawuk, pemuda yang satu desa dengannya di Rembuk Randu. Ia menyelamatkan Inayah dari lelaki posesif itu dan menampungnya di sebuah gubuk di mana Mat Dawuk tinggal. Di sebuah pinggiran hutan di Malaysia. Mat bekerja sebagai pembunuh bayaran, tapi ia berjanji pada Inayah, jika mereka menikah, ia akan berhenti dari pekerjaannya itu. Dari sini, Mat mulai memikirkan masa depan--yang tak pernah dipikirkan sebelumnya.


Rumbuk Randu adalah sebuah desa fiktif yang dikarang penulis. Ia digambarkan berada di tengah hutan di pulau jawa, jauh dari laut dan pertanian. Orang-orang Rumbuk Randu kebanyakan bergantung pada hasil tani di hutan, sebagaian lagi menjadi TKI di Malaysia.

Novel ini sangat kental dengan budaya Jawa. Karakter-karakter yang muncul dengan segala hal magisnya juga sangat berkaitan dengan budaya Jawa.

Alur menuju konflik dalam novel ini dibawa dengan tidak biasa. Pembaca akan terus bertanya-tanya, apakah Mat Dawuk yang diceritakan oleh Warto Kemplung di kedai kopi benar-benar nyata? Atau sebenarnya Warto Kemplung adalah Mat Dawuk?

Dengan cara bercerita yang tidak biasa itu, sebagai pembaca aku merasa tidak bosan. Aku seperti tokoh ‘aku’ di novel ini yang mendengarkan cerita Warto Kampung di sebuah kedai kopi. Cerita dalam buku ini bergaya 1001 malam. Di mana kita merasa didongengi oleh penulis melalui tokoh Warto. Dan itu cukup mengasyikan. Saking asyiknya, kita sampai hampir lupa bahwa cerita yang sedang kita baca adalah sebuah dongeng dari tokoh fiktif juga.

Warto juga terkadang menghentikan ceritanya dan meminta kepada para pendengarnya untuk memberikan kopi dan rokok agar ia melanjutkan ceritanya. Cerita yang begitu detail dan seperti seolah-olah Warto berada di dalam cerita tersebut, membuat para pendengar ceritanya curiga bahwa itu hanya kisah bualan saja, atau memang Warto adalah Mat Dawuk?

Novel ini berfokus kepada emosi mat Dawuk yang seburuk rupa apapun, ia memiliki cinta dan belas kasih kepada istri dan calon anaknya. Namun orang-orang jahat terus berdatangan dalam hidupnya, dan membuatnya murka. Satu sisi kita akan bersimpati kepada Mat Dawuk, sisi lain kita bisa memaafkannya sebagai tokoh yang penuh dosa di masa lalu, sekarang ia adalah lelaki baik-baik.

Masalah dalam novel ini muncul ketika orang-orang tidak setuju dengan pernikahan Mat Dawuk dengan Inayah alias buruk rupa dengan cantik menawan. Keluarga Mat terus terusik dan kita bisa merasakan emosi Mat yang bergejolak. Cerita berhasil dibawa ke tensi yang paling tinggi untuk kemudian turun kembali perlahan. Seru sekali.

Tidak diragukan lagi bagaimana Mahfud Ikhwan menulis, novel pemenang Kasula Sastra Khatulistiwa 2017 ini memang salah satu karya penting dalam perjalanan sastra Indonesia. Setidaknya menurutku.

Saya Mewawancarai 3 Teman Mahasiswa yang Terlibat Demo 24-25 September

Peristiwa turunnya mahasiswa untuk berdemo terkait penolakan RUU KUHP dan revisi UU KPK, tentu akan menjadi suatu peristiwa bersejarah yang akan tercatat. Karena sejak 1998, mahasiswa baru kali ini kembali turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasinya dalam gelombang besar. Tentu, mereka mendapat dukungan dari lingkungan sekitar seperti pedagang, pekerja, dan elemen lainnya. Ini menandakan bahwa masyarakat mempercayai mahasiswa sepenuhnya sebagai wakil mereka untuk menyuarakan aspirasi di depan kantor DPR/MPR. Mahasiswa tentu mempunyai waktu dan tenaga yang membara. Berbeda dengan kami para pekerja dan pedagang, waktu kami terbatas, dan harapan kami adalah mahasiswa yang lantang menyuarakan suara rakyat—ketika perwakilan kita yang duduk di Senayan sudah tidak lagi bisa dipercaya.

Saya adalah pekerja, dan teman-teman saya ada yang mahasiswa dan turun ke jalan untuk mewakili saya dan masyarakat lain yang tidak bisa terjun langsung ke lapangan.

sumber gambar: twitter @piokharisma


Khalif merupakan mahasiswa BSI Serpong, ketika ia berangkat dari kampusnya, ia dan teman-temannya sudah didukung oleh para pedagang yang memberi mereka makanan dan minuman secara cuma-cuma. Perjalanan dari kampusnya ke kantor DPR/MPR bukanlah perjalanan pendek, ia dan teman-temannya harus menempuh perjalanan lumayan panjang untuk sampai di tempat tujuan dan panas-panasan hingga bentrok dengan aparat kepolisian.

Mahasiswa semester 4 ini, sudah diwanti-wanti oleh orangtuanya untuk tidak ikut bentrok dan rusuh. Namun Khalif tidak bisa untuk tinggal diam ketika ia benar-benar terjebak pada situasi yang tidak menguntungkan.

“Bukannya mau ikut (rusuh). Tapi ya kejebak gimana. Lari susah,” katanya.

Menurutnya terkait penolakan RUU KUHP, bahwa di RRU tersebut banyak yang mengindikasikan adanya pelanggaran HAM dan mengurusi privasi masyarakat (terlalu jauh) yang seharusnya tidak perlu diatur pemerintah.

Semua pihak dan semua elemen masyarakat dapat memberikan kritik, tapi isi dalam RUU tersebut malah sebaliknya,” katanya.

Saya juga menanyakan hal yang sama kepada Nandya, salah satu mahasiswi Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang. Sebagai seorang mahasiswi baru yang belum genap sebulan kuliah, ia berani turun ke jalan. Padahal kesehariannya ia akui lebih apatis jika sudah menyinggung tentang politik. Namun untuk kali ini, tidak.

“Soalnya ngerasa muak aja dengan segala janji pemerintah. Pas kemarin ngebaca tentang masalah RUU, entah hati ngerasa aneh, kesel, geram ya pokonnya ngerasa kaya sekarang tuh Indonesia engga baik-baik aja, jadi aku memutuskan untuk turun ke jalan,” kata wanita kelahiran 2001 tersebut.

Pengalamannya ketika berada di peristiwa tersebut memang agak membuatnya goyah. Sebab situasi seketika chaos dan para mahasiswi segera untuk dievakuasi menjauh dari depan gedung DPR/MPR. Walau sempat berpencar, akhirnya ia bisa menyatu lagi dengan kelompoknya.

“Banyak kating yang ikut, tapi maba paling ada 10 orang, mungkin,” katanya.  

Sebagai seorang wanita yang masih terbilang muda, ia sempat tidak diizinkan oleh ibunya untuk turun ke jalan, namun sebaliknya, bapaknya mendorongnya untuk turun ke jalan. “Kalau bukan mahasiswa yang turun, mau siapa lagi?” amanat bapaknya.

Nandya adalah adik dari Khalif. Mereka dibesarkan di keluarga yang sama dan mempunyai pandangan yang sama ketika melihat negara sedang tidak beres. Menurut Nandya, Khalif adalah sosok kakak yang sangat cuek dan tidak pernah menanyakan kabarnya. Namun pada hari itu, kakaknya seolah menjadi orang lain. Khalif terus khawatir tentang keberadaan adiknya di tempat kejadian. Ia terus menanyakan bagaimana keadaannya dan mewanti-wanti jangan melalui jalan tertentu karena sedang bentrok.

“Pas udah mulai chaos abangku memang perhatian sih. Selalu nanyain di mana. Keadaannya gimana.  Disuruh stay di situ aja, bareng-bareng sama anak kampus, jangan misah. Pulangnya nanti aja tunggu udah reda, terus dikasih tau kalau mau pulang lewat mana aja biar ngga ketemu polisi,” ceritanya.

Nandya sempat terjebak di komplek GBK bersama teman yang lain hingga malam tiba. Suaranya hampir habis, dan trauma ketika melihat orang beramai-ramai berlarian. Alhasil ia pulang dan sampai di rumah jam setengah 12 malam.

Irzha merupakan mahasiswa tingkat akhir Universitas Bung Karno Jakarta. Ia membagikan pengalamannya ketika kejadian 24-25 September kemarin.

“Pertama kali juga merasakan kena gas air mata berkali-kali dan itu sangat perih, sampai ada mahasiswa jatuh depan saya karena matanya perih sampai tidak bisa dibuka dan saya bantu suruh cuci mukanya dengan air, waktu itu saya ingat kena gas air mata pas nonton persija,” ceritanya.

Sebagai mahasiwa, ia geram ketika ada pihak yang mengatakan bahwa aksi ini ditunggangi atau dibayar. Irzha mengatakan bahwa untuk aksi ini sendiri pun ia harus mengeluarkan uang dari sakunya sendiri.

“Sampai saya sendiri mengeluarkan uang, habis dalam sehari itu dari jam 9 pagi sampai jam 10 malam di hari selasa itu, sekitar 150 ribu. Demo ini atas dasar hati nurani saya yang resah melihat negara ini dan membela bagaimana indonesia ke depannya. Jadi saya ikhlas menghabiskan uang berapa pun untuk membela negara ini,” pungkasnya.

Salah satu teman saya, Ihsan, yang dekat dengan beberapa tokoh politik, memberikan pandangannya terkait situasi saat ini. Pada suatu waktu ia pernah mendapat kesempatan untuk mewawancarai politisi dan masuk ke gedung DPR/MPR untuk mengikuti beberapa acara.

Ia sangat menyayangkan ketika aksi mahasiswa tersebut dibilang oleh beberapa elit sebagai aksi agar kepala negara mundur/turun. Padahal aksi tersebut murni dari keresahan mahasiswa.

Terlepas dari itu semua, di dalam perancangan UU memang tidak mudah, DPR selalu berdebat, untuk menyatukan satu suara memang sulit. Politik itu sendiri memang sulit.

Memang sudah seharusnya politisi muda muncul untuk menetralisir orang-orang tua yang membuat kebijakan dengan tidak mendengarkan rakyat.

“Berpolitik itu bukan hanya menjadi tugas/tanggung jawab orang tua-tua saja, anak muda seperti kita juga harus terlibat di dalamnya,” ungkap Ihsan.
****
Tulisan ini memang tidak sebanding dengan perjuangan para mahasiswa hingga pelajar di lapangan. Jarak tempat tinggal saya menuju kantor DPR/MPR memang tidak terlalu jauh, tapi ada kewajiban yang harus saya kerjakan. Namun saya yakin dan percaya, di pundak-pundak para mahasiswa asa saya berada. Saya bersama kalian, dan suarakan suara kami dengan lantang dan sepenuh hati.

Banggalah kalian menjadi salah satu dari sejarah negeri ini. Karena mendiamkan suatu kesalahan adalah sebuah tindak kejahatan. Begitulah kata pemuda aktivis bernama Soe Hok Gie.***

Membaca 'Riwayat Hidup Sebuah Pistol di Kawasan Mulholland Drive' (Aris Rahman P. Putra)


Pernah aku berpikir, jika suatu saat nanti penulis Indonesia yang namanya sudah besar saat ini,  pada suatu saat nanti meninggal dunia, siapa yang menggantikan posisi mereka? Apakah ada seseorang pada saat ini yang mempunyai kriteria yang setidaknya mendekati bagaimana penulis besar tersebut berkarya? Apakah nama-nama itu akan terus ajeg di sana dan tak tergantikan?

Tentu saja ini masalah karya, karya penulis besar di atas tentu saja tidak akan mati. Namun, pertanyaannya adalah, apakah di masa depan nanti ada karya yang bisa menggeser itu dari karya penulis masa sekarang?  

Belakangan ini aku kenal dan membaca karya-karya teman yang masih berusia muda. Mereka menulis dan berdedikasi tinggi akan itu. Dan aku kembali bertanya, apakah suatu saat nama mereka akan besar dan menggeser nama yang sudah ada?



Aku baru saja membaca sebuah buku kumpulan cerpen seorang teman. Kami satu almamater di Kampus Fiksi walau berbeda angkatan. Namanya Aris. Dilihat dari akun media sosialnya dapat kita simpulkan bahwa orang ini agak nyeleneh. Ia menulis kontol, peju, meracap, dan sebagainya  sebagai sebuah puisi. Tapi di sisi lain, karyanya juga sering dimuat di media online ataupun koran.
Dan beberapa karyanya itu dikumpulkan dalam sebuah buku yang berjudul ‘Riwayat Hidup Sebuah Pistol di Kawasan Mulholland Drive’. Judul tersebut diambil dari salah satu cerpen yang mungkin menjadi kebanggan si penulis.

Tulisan Aris di buku ini tentu saja sangat berbeda dengan tulisannya di akun media sosialnya. Di sini ia tampak serius dan dengan lihai merangkai cerita. Beberapa kali kamu akan menemukan sebuah kota fiksi, raja fiksi, dan segala hal fiksi lainnya. Ia agaknya ogah menulis karya fiksi yang mengambil latar belakang dari tempat yang nyata. Fiksi pokoknya harus fiksi!

Ia menulis tentang Pangeran Airlangga yang bukan Pangeran Airlangga. Ia mengarang sendiri tentang Pangeran tersebut, di mana sebuah Kerajaan Mengkudu Sepet akhirnya disebut, Ratu Sri Bhuwana Tunggal Tangga Mlaku, Pati Gajah Mungkur. Nama-nama itu dibuatnya menjadi sebuah fiksi yang, tentu saja kita tahu diambil dari kisah serius namun di sini ia selewengkan menjadi sebuah lelucon. Mengawinkan dua hal tersebut memang bukan hal mudah.

Cerpen yang menjad favoritku di sini adalah ‘Pada Malam Hari, Hal-Hal Ini Terjadi.’ Ia bercerita tentang pemuda yang bangun dari tidur karena mendangar sebuah alarm. Kata si narator, jika hal itu terjadi (bunyi alarm itu), maka ada dua kemungkinan. Kemudian kedua kemungkinan itu dijabarkan narator sehingga kita lupa bahwa itu hanya ‘kemungkinan’, bukan apa-apa. Padahal pembaca sudah dibawa kepada suasana seakan itu cerita yang berjalan. Dengan entangnya penulis menulis begini di akhir cerpen: Dan memang pada kenyataannya itu hanyalah sebuah alarm dan bukan yang lain-lain. Kurang ajar!

Cara bercerita seperti ini, yang membuat pembaca tersentak merupakan hal yang dicari kenapa kita membaca sebuah buku. Selain untuk menghibur diri, hal-hal yang tidak pernah kita temukan sebelumnya seperti tekhnik bercerita, cerita itu sendiri, dan pengolahan emosi merupakan sisi lain dari alasan kenapa kita mau meluangkan waktu untuk membaca.

Aris melalui buku ini tentu saja bisa dibilang mampu membuat napsu membacaku terpenuhi. Bobot tulisannya juga perlu diperhitungkan dan disejajarkan dengan penulis lain. Karena ketika aku membaca tulisannya, aku seperti belum mengenal orang ini. Benar kata orang, karya dan sosok penulisnya adalah dua hal yang berbeda. Jika kita menyukai karyanya, belum tentu kita menyukasi penulisnya, begitu juga sebaliknya. Dan memang, sebelum membaca sebuah buku, alangkah baiknya kita tak perlu mengenal lebih dekat dengan si penulis. Biarkan karya tersebut berdiri sendiri.***

Pengalaman Beli Buku Murah di Pasar Kenari


Ini kali pertama buatku datang ke Jakbook yang berada di lantai 3 pasar Kenari Jakarta. Setelah peresmian, tempat ini sepi pengunjung. Hingga akhirnya ada seorang yang mengupload bagaimana situasi di Jakbook tersebut yang, ada ruang baca yang bagus, tempat ngopi, dan buku-buku murah—kemudian mulai banyak orang yang berdatangan.

Aku datang pada hari Minggu sekitar jam 3 sore. Ya, ini adalah sebuah pasar, ketika aku masuk, situasi begitu sepi, semua kios tutup. Menaiki eskalator yang mirip seperti di film horor, akhirnya aku sampai di lantai 3 dan mencium aroma-aroma kertas yang khas.

Ruangan ber-ac, ada petugas kebersihan dan keamanan yang terlihat di sana-sini. Tujuanku kemudian tertuju pada ruang baca yang berada di samping (semacam) coffee corner. Di sana tempatnya nyaman dan cocok banget untuk anak-anak muda nongkrong. Setelah melihat-lihat sekitar, aku tidak bisa menahan napsu untuk berkeliling mencari buku, yang siapa tahu cocok.

Selamat datang di lantai 3 pasar kenari..

Baru pertama mampir, aku sudah dikejutkan begitu saja. Aku melihat buku-buku novel dan nonfiksi terjejer meninggi di tembok-tembok. Mataku mencari-cari di bagian sastra dan akhirnya aku menemukan buku yang sudah lama kuidamkan: One Hundred Years of Solitude, Gabriel Garcia Marquez.

Hal itu semakin membuatku terkejut ketika penjual berkata: dijual setengah harga aja. Wah, kebetulan dong! Maka tak kusia-siakan untuk mengobrak-ngabrik lapak jual buku ini. Dan kutemukan buku lainnya yang tidak kalah menarik karya kepala suku Mojok: Seorang Pria yang Keluar dari Rumah, Phutut EA.

Yang membuatku agak sedih adalah, di sini juga menjual buku bajakan, buku ini dijual sangat murah. Ketika aku bertanya darimana buku-buku ini ia dapat, si penjual menjawab bahwa ia membeli dari satu orang ke orang lain, jadi tidak  hanya dari 1 distributor, ketika aku tanya apakah orang ini adalah orang dalam di sebuah penerbit, ia jawab tidak tahu. Kok bisa ya buku bagus ini dijual setengah harga saja! Gila emang.



Jadi, di tempat ini ada kios-kios yang menjual buku bekas dan baru. Ketika kulihat sekilas, buku-buku ada yang berbau politik, buku tutorial, panduan membuat apa, dan sebagainya.

Menilik ke bagian lain, aku menemukan toko semacam Gramedia. Di sini buku-buku sangat lengkap, dari agama, hobi, fiksi, dan sebagainya. Ini toko buku mengadopsi Gramedia, tapi bukan Gramedia. Di sini, aku menemukan beberapa buku bagus juga, walau ya.. di bagian novel bisa dibilang tidak terlalu update.

Ketika menuju kasir, aku kembali terkejut, bahwa buku-buku yang kubeli ini ternyata mendapat diskon 20%. Aku tidak tahu dari mana diskon itu, tahu-tahu ada saja. Mau nanya ke kasir, malu.
Di bagian lain, kamu akan menemukan semacam kantin, katika aku lihat mereka sudah pada tutup, jadi kita skip aja. Selain kantin, juga ada semacam mini market. Mereka menjual makanan ringan dan minuman seperti mini market pada umumnya.


Di sampingnya, ada sebuah tempat yang digunakan untuk semacam kursus atau seminar. Tempatnya bagus banget, beneran deh. Sebelahnya lagi ada PAUD.

Menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam di tempat ini, membuatku merasa senang. Senang karena mendapat buku murah, senang karena tempatnya nyaman dan keren.


Melihat bagaimana pemerintah dapat membangun literasi masyarakatnya dengan langkah seperti ini, membuatku optimis bahwa ke depan akan ada terobosan lain. Jika membuat tempat sekeren ini saja bisa, barangkali ke depan akan ada dobrakan baru di sektor litarasi.

Kita semua sadar bahwa literasi begitu penting bagi suatu bangsa, dan aku harap, pemerintah dapat lebih serius lagi melihat ke arah ini. Semoga.***


MEMBACA 'SEPERTI RODA BERPUTAR' (RUSDI MATHARI)

Buku kecil ini aku dapatkan gratis ketika membeli paket buku di penerbit Mojok. Walaupun kecil, isinya begitu menggugah. Salah satu kalimat yang terus teringat di kepalaku: Tidakkah selain kelahiran, salah satu perayaan terbesar manusia adalah kematian?

Pada dasarnya, tulisan ini adalah tentang bagaimana Cak Rusdi, wartawan dan penulis senior Indonesia, melawan kanker dalam tubuhnya. Ketika orang biasa menulis dengan duduk di depan layar laptop atau komputer, Cak Rusdi tidak. Karena dalam keadaan sakit, ia menulis dengan handphone, bahkan mengirimkan tulisannya ke Mojok melalui pesan whatsapp.


Saat itu ia, dia hanya bisa mengandalkan telepon genggam untuk menulis. Tangan kirinya memegang telepon genggam, jempol kanan dia gunakan untuk mengetik.

Walau dalam keadaan di mana nyawa dipertaruhkan, ia tetap ingin terus menulis, menyampaikan gagasan.

Saya belum akan mati dan mudah-mudahan bisa menebus semua kesalahan dan alpa saya kepada Anda semua. Dan memang saya belum akan mati. Saya hanya sedang merayakan pertemanan saya dengan kawan-kawan baru saya, yang rupanya selama ini begitu setia menunggu untuk mejadi kawan saya: tumor-tumor itu.

 Dari beberapa buku yang sudah aku baca, ini salah satu buku yang paling bisa merasuk hati dan membuat nelangsa. Kamu akan merasakan bagaimana seseorang bertahan dengan harapan masih bisa hidup esok dengan keadaan seadanya. Ia berusaha sebisanya, Cak Rusdi menggunakan BPJS dan melalui prosedur yang sangat lama. Bahkan untuk foto rontgen, ia harus menunggu beberapa minggu.
Hingga akhirnya ia terlambat tahu bahwa tumor di dalam tubuhnya sudah stadium akhir. Dalam proses itu, ia bertemu dengan orang-orang yang setia membantunya. Mulai dari perawatan rumah sakit hingga orang-orang yang menunggunya di ranjang.

Phutut Ea, ketua suku Mojok, di Epilog buku ini dalam tajuk ‘Siapakah kita jika suatu saat Sakit dalam waktu yang panjang?’ mengatakan bahwa coba kita pertanyakan kembali tabungan sosial apa yang sudah kita lakukan, sehingga orang-orang akan membantu kita ketika sakit? Mungkin, kita tak seberuntung Rusdi Mathari, yang dengan mudahnya mendapat uluran tangan dari berbagai penjuru.

Melalui buku yang menguras emosi ini—sebuah buku yang ditulis oleh orang yang mau meninggal memang mempunyai ‘aroma’ yang berbeda. Kalimat demi kalimat yang kita baca seakan adalah suara bisikan dari dimensi lain yang membuat kita berpikir ulang: bahwa kita suatu saat juga akan mati. Suatu hal yang sering manusia lupakan.

Semoga Cak Rusdi tenang di sana, karyanya selalu hidup di hati kita.

MEMBACA SENYAP YANG LEBIH NYARING (EKA KURNIAWAN)


Aku mulai mengikuti jurnal Eka Kurniawan di tahun 2016. Saat itu aku jatuh cinta pada salah satu karyanya: Cantik Itu Luka. Novel itu membuatku yang ketika itu kelas 3 SMK, begadang untuk membaca, dan entah bagaimana, sejauh masa itu aku tidak pernah mengalami kenikmatan membaca sebelum bertemu novel itu.

Mulai sejak itu aku membaca jurnal Eka dan kesan pertama yang ada di benakku ketika pertama kali membacanya adalah, Eka menulis tiap jurnalnya dengan 1 paragraf saja! Jadi tulisan yang kurang lebih 500 kata tersebut ia tulis dalam 1 paragraf. Jika dlihat sekilas memang agak menyebalkan, siapa yang mau membaca paragraf sepanjang itu!
Tapi, ketika kita mulai membaca, tulisan itu begitu mengalir dengan jernih. Semua saling sambung-menyambung dengan cantik. Ketika ada salah satu pembaca berkomentar tentang kebiasaan Eka ini, ia mendapat jawaban yang kurang lebih begini: 

“Ya, saya memang sengaja membuat tulisan seperti itu, agar saya belajar menulis dalam 1 tarikan napas.”

DALAM SATU TARIKAN NAPAS!

Aku jadi membayangkan bagaimana cara Eka menulis jurnalnya itu, ia tidak berhenti mengetik, terus saja mengalir sampai selesai. Tidak seperti kita yang, ketika 1 paragraf selesai, kita akan sedikit menghela napas dan kembali berpikir: mau nulis apa lagi ya…

Dan, sebagain besar karya Eka Kurniawan sudah aku baca. Ketika mendengar jurnalnya akan diterbitkan, aku adalah salah satu orang yang menanti-nanti. Apalagi itu jurnal dalam periode 2012-2014, periode yang barang tentu banyak aku lewatkan.



Ketika aku ingin membeli buku ini, aku bertanya kepada penjual: “Apakah dalam buku ini, tulisan Eka masih dalam 1 paragraf?” dan penjual itu menjawab, “Iya, mas, tapi tenang saja, sudah melewati tahap edit kok.” “Oke saya mau satu.”

Senyap yang Lebih Nyaring merupakan judul salah satu artikel (atau esai?) Eka di buku ini. Ia berbicara tentang apa tugas penulis? Tugas penulis adalah bersuara melalui tulisannya, namun sejarah mencatat ada penulis yang memilih untuk bisu, bahkan hingga akhir hidupnya: Albert Camus.

Kebisuan Camus dipicu oleh dua hal: perang Alzajair (tempatnya lahir) dan dukungan sahabatnya sendiri: Sarte, terhadap Uni Soviet.
Ada tulisan Sarte yang mengharukan mengena kebisuan Camus, yang ditulisnya sebagai obituary setelah Camus meninggal dalam kecelakaan mobil. “Enam bulan lalu, atau bahkan kemarin, kami bertanya-tanya, ‘Apa yang akan ia laukan?’ tulis Sartre (…..) tapi, itu tidak menghalangi Sartre untuk terus bertanya-tanya, buku apa yang sedang dibaca Camus. Jika ia membaca koran, ia bertanya kepada diri sendiri, apa komentar Camus mengenai topik ini? (Hal.330).

Di bab yang lain, Eka juga tak luput untuk mengkritik tentang budaya literasi di Indonesia. Menurutnya, ada yang salah dalam pendidikan dasar kita. Kita diajarkan menulis dengan mengenal huruf-huruf, merangkai kata-kata, dan seterusnya. Namun itu tidak membuat kita belajar untuk berpikir. Menulis adalah tentang bagaimana belajar berpikir sistematis dan mengemukakan pendapat dalam bentuk tulisan.

Kita diajarkan bagaimana mengenali huruf, mengenal kata, menyusun kata menjadi kalimat. Tapi, itu tak membuat kita bisa menulis. itu hanya membuat kita menjadi tukang menyalin huruf, atau lebih canggih, hanya menjadikan kita tukang ketik. (243)

Sekali lagi, perkara menulis adalah tentang disiplin berpikir, seharusnya pendidikan kita sudah sampai pada titik itu.

Sebenarnya dalam buku ini Eka sedang berbicara tentang banyak hal, namun semuanya pasti mengerucut pada satu hal: Sastra. Namun, dalam bukunya ini dalam bab Apa yang Saya Katakan Ketika Saya Bicara Tentang Sastra ia mengatakan: “Di dunia ini hanya dua jenis karya. Satu, karya yang saya sukai; dua, karya yang tidak saya sukai.”

Sesederhana itu..

Dan tentu saja buku-buku yang Eka ulas dengan gayanya sendiri itu, adalah karya yang ia sukai. Dengan membaca jurnal ini, aku setidaknya bisa tahu selera penulis besar seperti Eka.

Belum lama ini Eka juga berkecimpung dalam dunia penerbitan: ia mempunyai penerbit sendiri! Novel pertama yang diterbitkan berjudul Angsa Liar. Tentu saja buku-buku yang akan terbit mempunyai idealisme yang erat dengan Eka. Dan aku yakin, penerbit ini akan tumbuh dengan memenuhi kebutuhan pembaca di ceruk yang lain. Kita lihat saja.

Membaca 'The Red-Haired Woman' (Orhan Pamuk)

Buku ini bercerita tentang remaja Turki yang dalam hidupnya selalu diawasi oleh ketakutan karena ia meninggalkan majikannya di bawah galian sumur yang dangkal. Itu adalah saat Cem lulus dari SMA dan ingin mencari uang tambahan untuk berkuliah. Ia memutuskan untuk pergi bersama Tuan Mahmut, seorang ahli sumur.

Hubungan Cem dengan tuan Mahmut terbilang sangat dekat, padahal awalnya mereka adalah orang asing, bahkan menurut Cem, tuan Mahmut lebih hangat dari ayahnya yang hilang dijemput aparat karena ‘kekiri’-nya.

Tuan Mahmut sering bercerita tentang kisah yang ada di Al-Qur’an kepada Cem, namun ia tidak pernah melihat orang tua ini shalat. Sedangkan Cem bertukar cerita kepada Tuan Mahmut, ia bercerita tentang mitos Rostam dan Sohrab.



Ini adalah buku Orhan Pamuk pertama yang kubaca. Namanya tentu saja sudah harum di kancah sastra dunia, ia adalah penerima nobel sastra tahun 2006. Tentu saja aku menemukan hal-hal segar melalui karyanya ini.

Singkatnya, semua cerita dari buku ini mempunyai bumbu yang sangat kental akan kisah lagenda Oedipus Rex dan kisah Rostam dan Sohrab. Tentu kedua kisah itu belum pernah aku dengar sebelumnya, dan sangat disarankan untuk membaca setidaknya sekilas terlebih dahulu tentang kisah itu untuk kemudian membaca buku ini.

Oedipus Rex pada intinya bercerita tentang seorang anak yang membunuh bapaknya, sedangkan kisah Rostam dan Sohram bercerita tentang seorang ayah yang membunuh anaknya. Dalam pembunuhan itu keduanya tidak tahu bahwa yang ia hadapi adalah anak atau ayahnya sendiri.

Dan kedua kisah itu seperti menghantui Cem kemana saja ia pergi hingga dewasa, apalagi ketika ia merasa telah membunuh majikannya, tuan Mahmut, yang ia tinggalkan di sebuah galian sumur yang dangkal.

“Kadang kehidupan ini mengikuti sebuah dongeng.” 

Omong-omong, dalam pekerjaannya membuat galian sumur, Cem yang masih berusia 18 tahun jatuh cinta kepada seorang wanita berambut merah yang lebih tua darinya dan tidur dengannya di sebuah apartemen. Yang kemudian hasil bercintanya itu menjadi boomerang terhadapnya, dan mengancam nyawanya pada suatu hari nanti.

Malam itu, aku tidur dengan seorang wanita untuk kali pertama dalam hidup. Itu saat yang sangat penting, dan rasanya seperti mukjizat. (….) wanita berambut merah itu menunjukkan siapa diriku dan apa artinya bahagia. (hlm. 121)

Cara bercerita Orhan Pamuk dalam buku ini sangat tersusun rapi, ia membuat kejutan-kejutan yang menarik dan teka-teki yang sukar untuk dipecahkan. Kualitas terjemahannya juga terbilang baik dan memuaskan. Aku suka bagaimana Pamuk membuat satu bab ke bab lainnya tidak terlalu tebal dan terbilang singkat. Namun tidak mengurangi nilai di dalamnya.

Omong-omong tentang nilai, menurutku ini adalah buku yang kaya nilai. Mulai dari hubungan anak dan ayah hinggga negara dan kebebasan individu. Banyak hal baru yang kupelajari melalui buku ini.

Bukui inijuga mengulas tentang potret Turki lintas zaman, hingga bagaimana negera itu kini menjadi sangat terkenal akan sekurelnya.

Orang-orang Turki yang kebarat-baratan ini terlalu jemawa untuk percaya kepada Tuhan. Mereka hanya peduli pada individualitas. Banyak yang memilih tiak percaya kepada Tuhan hanya untuk membuktikan bahwa mereka berbeda, meskipun tidak akan mengakui itulah alasannya. Tetapi, keyakinan itu sebetulnya seperti orang lainnya. Agama adalah tempat berlindung dan pelipur bagi orang yang lembek. (Hlm. 294)

Orang-orang kiri hanya peduli prinsip, bukan penampilan (Hlm. 219)

Pada akhirnya, pengalaman membaca buku ini sangat menyenangkan dan mempunyai nilai-nilai yang bisa kita ambil di dalamnya. Ia adalah sebuah karya dari  penulis kelas dunia yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.***

Membaca 'Persengkongkolan Ahli Makrifat' (Kuntowijoyo)

Akhir-akhir ini kita sedang diuji tentang bagaimana ‘memandang’ agama. Tentu saja ada banyak ahli agama yang menyiarkan ajaran-ajaran baik. Namun, dalam penyampaian itu, tidak semuanya dengan cara yang sama. Ada yang menyampaikan seolah marah-marah, ada juga yang halus.

Kuntowijoyo adalah nama besar dalam kesusastraan Indonesia. Beliau besar dalam keluarga yang religius dan mendapat pendidikan yang tinggi (terakhir ia menjadi guru besar di UGM). Jujur saja, aku belum lama mengenal nama ini. Dan begitulah sebuah karya, membuat penulisnya tetap hidup. Dan ya, melalui buku kumpulan cerpen ini, aku merasakan denyut kehidupan beliau.

Di pengantar buku ini sempat ada singgungagan tentang apa itu sastra profetik. Dan menurut Kuntowijoyo, itu adalah adalah sastra yang sebagai ibadah dan sastra yang murni. “’Sastra ibadah’ saya adalah ekspresi dari penghayatan nilai-nilai agama saya, dan sastra murni adalah ekspresi dari tangkapan saya atas realitas.”


Penghayatan nilai agama yang dimaksud di atas, dalam buku ini adalah agama Islam. Dan terasa betul dalam membaca cerpen-cerpen di buku ini, aku merasakan penghayatan yang tidak biasa tentang realitas-agama. Tentu saja dibawa dengan cerita yang menarik; bahasa sederhana khas penulis tahun 60-an.

Buku ini dibuka dengan cerpen berjudul ‘Hati yang Damai Kembalilah kepada Tuhan’. Dari judulnya saja kita bisa mencium aroma-aroma religius di sana, dan memang begitu. Sebenarnya cerita ini simpel saja, tentang seorang lelaki yang tergeletak tak jauh dari sebuah masjid dan mencoba untuk masuk ke masjid dengan susah payah.

Orang-orang sekitar tidak suka dengan orang (bajingan) itu, kehadirannya bagi mereka bisa mengotori masjid. Karena si lelaki memang terkenal tidak baik, judi, mabuk, dan maksiat lainnya. Namun Kiai yang mereka hormati di desa itu datang dan membantu si bajingan untuk berdiri, orang-orang takjub melihat kejadian itu.

“Untuk apa kalian berusaha mengangkat orang ini keluar?”
Tak seorangpun menjawab.
“Untuk apa, anak-anak muda?”
“Masjid ini kotor, Kiai.”
“Masya Allah. Kautahu kalu masjid ini jadi kotor?”
Mereka semua terdiam.

Dialog di atas tentu saja mempunyai nilai sendiri secara penghayatan agama dan realitas kita. Yang mana banyak dari kita terlalu mudah men-cap setiap orang yang salah akan selalu salah. Padahal bisa saja dia hari ini salah, besoknya bertaubat. Bisa saja pagi ini kita muslim, sorenya kita kafir. Tidak ada yang tahu tentang keimanan seseorang kecuali urusannya paling sakral  dengan Tuhan.

Kebanyakan cerpen-cerpen dalam buku ini berangkat dari sebuah desa, dari sebuah lingkungan yang jauh dari keriuhan kota, di mana orang-orangnya masih ‘primitif’, masih kolot. Sebuah desa itu juga bisa berarti adalah kita, kita yang tidak terbuka tentang bagaimana memandang agama, kita yang memandang agama hanya dalam satu sisi, yang akhirnya yang muncul hanya kebencian dan kebencian.

Narasi-narasi yang ditawarkan buku ini menurutku dapat membuka mata kita tentang bagaimana menghayati realitas yang terlihat di depan mata dengan anjuran agama. Bahwa tujuan dari agama adalah kebaikan di muka bumi, tanpa ada kesan menceramahi dan di sisi lain menikmati kisah yang dibaca. Bukankah Al-Qur’an juga demikian? Berisi tentang ‘kisah’ masa lalu, agar kita tidak terjeremus di lubang yang sama?


Membaca Novel 'Vegetarian' (Han Kang): Tragedi Manusia Modern



Semua berawaldari mimpi yang menakutkan dan membuat Kim Yeong Hye, perempuan biasa, memilih menjadi vegetarian. Tentu saja keputusan itu berpengaruh besar terhadap keluarganya hingga kerabatnya yang lain. Orang yang terdampak paling pertama dari keputusan itu adalah suaminya: yang membuka cerita novel ini dengan sudut pandangnya.

Suaminya menikahinya karena perempuan itu yang biasa-biasa saja, tidak ada hal istimewa. Itulah kenapa ia jatuh cinta. Dan selama pernikahannya, semua juga berjalan biasa-biasa, hingga akhirnya satu masalah muncul karena si istri memilih menjadi vegetarian. Perlu dicatat, di pernikahannya yang dibilang cukup ‘tua’ itu, mereka juga belum memiliki anak satu pun.

Kadang aku berpikir tidak ada ruginya hidup bersama wanita yang agak aneh jika begini. Seakan-akan ia orang asing. Bukan, lebih tepat adik yang memasak dan membersihkan rumah untukku. Atau setidaknya keberadaannya yang mirip dengan asisten rumah tangga. (hlm. 37)

Si istri selanjutnya digambarkan seperti orang yang kehilangan jiwa warasnya, mungkin karena masa lalunya yang kelam, dan ia buat semuanya itu adalah hal yang biasa saja, sampai akhirnya semua itu meledak dan menghancurkan jiwanya. Memang, terkadang menyepelekan sesuatu hal adalah sebuah perkara lain.

Cerita berjalan begitu lancar dari sudut sang suami (namun pada bagian tertentu ada yang menggunakan sudut pandang orang ketiga). Bagaimana ia hanya makan makanan sayuran di rumahnya, bagaimana ketika ia diundang ke pesta direkturnya dan istrinya menolak hidangan daging yang disediakan dan menjadi bahan olok-olokan orang lain.

Tentu saja rumah tangga mereka tidak sehat karena itu. Dan yang membuatku tertawa geli adalah ketika si istri menolak berhubungan badan dengan suaminya karena suaminya bau daging, ketika ditanya darimana bau daging itu padahal aku sudah mandi, sang istri menjawab: dari pori-porimu!

Membaca buku ini adalah menikmati tragedi-tragedi yang begitu menyeramkan, mencekam, gelap, sepi, hitam, dan tak terkatakan.

Tragedi itu semakin menjadi ketika sang istri ditinggalkan suaminya, lalu kemudian suami dari kakak Kim Yeong Hye tertarik dengannya.

Keduanya memiliki hasrat yang gila tentang hidup, di mana sang suami kakaknya ingin menggambar bunga di tubuh sang adik istrinya, tentu saja tubuh yang telanjang bulat. Entah ketertarikan darimana, ia merasa tubuh adik istrinya itu adalah yang ia cari selama ini.

Sedangkan ia sendiri mempunyai masalah dengan istrinya (kakak Kim Yeong Hye), masalah yang tidak pernah ia dan istrinya katakan. Bahkan selama ini mereka memang jarang  berkomunikasi jika ada sebuah masalah. Satu-satunya hal yang membuat pernikahan mereka bertahan adalah karena satu anak mereka yang masih kecil. Anggaplah itu profesionalitas dalam pernikahan.

Aku tertarik dengan konflik pernikahan mereka. Di mana komunikasi adalah kunci dari pernikahan tapi mereka tidak pernah melakukan itu. Yang miris adalah istrinya yang tidak pernah marah, ia selalu menyimpan amarahnya ketika: suaminya yang tidak bekerja, yang tidak pernah memerhatikannya, dan seribu masalah lainnya. Sang istri tidak pernah mengekspresikan itu. Hal itu membuat suaminya salah paham bahwa selama ini ia tidak pernah dianggap menjadi suami atau kepala rumah tangga.

Hingga akhirnya suaminya tertarik dengan adiknya sendiri dan pada suatu hari menemukan mereka (Kim Yeong Hye dan suaminya) dalam keadaan telanjang bulat yang penuh dengan cat bergambar bunga di sekujur tubuh di suatu kamar. Hal yang membuatnya yakin bahwa dua orang yang ia lihat adalah orang sinting dengan obsesi yang gila.

Novel ini merupakan pemenang Man Booker International Prize, di mana penulis Indonesia, Eka Kurniawan masuk dalam short list. Dan Eka juga mengakui bahwa novel ini adalah salah satu novel terbaik yang ia baca.

Dan pengalaman membacanya buatku, novel ini cukup menggelitik, dan membuka mataku tentang hubungan pernikahan. Membaca novel ini hanya 4x duduk, karena ceritanya yang begitu mengalir dan membuat penasaran untuk menyelesaikan sampai akhir. Terkait visual, itu sangat jelas karena bersetting di Korea, sedangkan pada suatu waktu aku sering menonton drama Korea, jadi tidak ada kesulitan.

Dan hei, novel ini membuktikan bahwa Korea Selatan tidak selalu tentang Kpop dan Drakor, karya sastranya juga patut diperhitungkan!

Pada akhirnya, Vegetarian adalah novel gelap yang dibalut dengan permasalahan pernikahan orang-orang modern yang mungkin sudah kehilangan sisi kemanusiannya. Sangat direkomendasikan untuk dibaca.*** 

Mengenal Absurditas Melalui Novel 'Orang Aneh' (Albert Camus)


Kehidupan adalah detik ini juga, tidak ada masa lalu, tidak ada yang perlu dikenang. Segala hal yang terjadi, semuanya memang harus terjadi. Setidaknya begitulah hal yang dipegang oleh Marsault, tokoh utama di novel ini.

Nama Albert Camus seringkali aku temukan di blog Eka Kurniawan, dan akun-akun media sosial penjual buku di mana kata-kata Camus dikutip untuk dijadikan quotes. Ia merupakan filsuf yang memiliki pandangan absurditas —di mana pandangannya itu sangat kental di novel ini.

Ada banyak teori yang menjelaskan pandangan absurditas Camus, namun melalui novel ini, pandangan itu setidaknya menjadi lebih mudah untuk dipahami.

Dibuka dengan kematian ibunya, Marsault datang ke tampat di mana ibunya tinggal: sebuah panti jompo. Di sana ia bertemu dengan perawat dan penjaga. Ia tidak benar-benar sedih atas kematian ibunya, dan ia sendiri bahkan tidak tahu persis umur ibunya ketika meninggal.

Karena baginya memang tidak perlu ada yang ditangisi, yang sudah terjadi ya terjadilah. Ia bahkan heran kepada teman-teman ibunya yang sedih dan menangisi ibunya. Esoknya ia bertemu kekasihnya dan seolah kematian ibunya tidak pernah terjadi. Hidup berjalan begitu saja.

Sebuah konflik muncul ketika ia dan Raymond bersama teman-temannya berlibur di sebuah pantai dan menginap di sana. Raymond mempunyai masalah dengan orang Arab dan membuntuti liburan mereka.

Hingga akhirnya terjadi pertikaian antara rombongan Raymond dengan orang Arab tersebut. dan Marsault menembak salah satu dari mereka dan membuatnya dibui. Marsault mengaku kenapa ia melalukan itu karena hal sepele: ketika itu hari begitu panas baginya.

Dalam menjalani sidang, ia dipojokkan tentang sikapnya yang menurut orang lain dianggap aneh setelah kematian ibunya. Yang kemudian dianggap mempunyai kaitan dengan pembunuhannya terhadap orang Arab. Tapi sebenarnya tidak ada kaitannya.

Di pengadilan, karena alasan-alasan yang tidak masuk akal tentang bagaimana Marsault tidak merasa sedih karena ibunya meninggal, ia mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan ia akhirnya mendapatkan hukuman mati.

“Keadilan seseorang  merupakan sesuatu yang tak ada artinya dan cuma keadilan dari tuhan yang berarti.” hlm. 162

Itulah kenapa orang-orang melihat Marsault sebagai ‘orang aneh’, orang yang tidak mempunyai perasaan, yang tidak bertuhan, tidak mempunyai hati nurani, dan tidak merasa bersalah. Yang menurut Jaksa, orang sepertinya tidak memilikit tempat di masyarakat!

Jika kita lihat di zaman sekarang, kadang kita bertemu dengan orang yang tidak umum dan kita melihatnya sebagai orang aneh. Tapi bisa jadi kita yang terlalu munafik untuk mengakui bahwa apa yang ia lakukan adalah sebuah kebenaran.

Kita gampang sekali melabeli orang sebagai ‘orang aneh’, padahal sebenarnya label itu hanya tentang mayoritas dan minoritas. Yang minoritas selalu dianggap aneh, yang dominan selalu di atas segalanya.

Sedangkan sifat individualisme, atheisme, keterasingan, tidak peduli terhadap hal yang tidak dianggapnya penting—sifat itu sering kita temui di teman kita, sahabat, bahkan keluarga. Dan sebenarnya itu baik-baik saja.

Dalam membaca novel ini (yang kubaca adalah versi penerbit narasi). Aku menemukan kendala dalam membaca buku ini: seperti lembaran yang terlalu tipis sehingga cetakan halaman selanjutnya tembus, dan terjamahan yang menurutku agak kurang tepat di beberapa bagian.

Ya namanya juga membaca terjemahan, pada dasarnya kita sedang membaca suatu ‘kesalahan’, bukan novel yang asli. Tapi kita menikmati kesalahan demi kesalahan itu.

Menurutku novel ini terasa seperti buku harian, narasi dengan POV 1 sangat dominan. Mungkin saja Marsault itu adalah Camus sendiri?

Dari buku ini aku belajar banyak tentang individualisme, keterasingan, dan tentu saja teori absurditas. Tentu saja kita tidak serta merta memahami apa itu  absurditas, tapi setidaknya ketika kita selesai membaca novel ini, kita akan merasa ingin tahu lebih jauh tentang apa itu absurditas, sebuah teori yang bisa mengubah sudut pandangmu tentang dunia ini.***

Pertama kali ngalamin Lucid Dreaming: seru dan menakutkan


Ada banyak alasan yang membuat kita untuk melakukan hal baru. Seperti... perkataan orang lain, hasil membaca buku, menonton film, dan apapun itu yang membuat kita terdorong untuk melakukan hal tersebut. Aku menonton film Inception kira-kira 1 bulan yang lalu. Film itu bercerita tentang agen rahasia yang muncuri data penting melalui ‘mimpi’.

Leonardo DiCaprio menjadi tokoh penting dalam film tersebut. Di mana ia juga membangun dimensi lain di mimpinya yang terbuat dari kenangan dan pengalaman. Di mimpi itu ia bisa bertemu dengan istrinya yang sudah meninggal. Yang kemudian hal emosional itu menjadi bumbu yang membuat air mata menjadi lebih cengeng, di samping aksi laga yang seru. Hei kamu harus tahu, ketika kamu mengalami Lucid Dreaming, hal-hal yang ada di mimpi terasa begitu nyata!

film yang wajib kamu tonton!

Pada intinya, Lucid Dream adalah keadaan di mana kamu sadar bahwa kamu sedang dalam mimpi dan kamu mengendalikan mimpi tersebut. Seperti yang kita tahu, mimpi adalah hasil dari otak bawah sadar kita, dan otak bawah sadar mempunyai potensi yang sangat besar dibanding otak sadar kita yang katanya hanya digunakan beberapa persen saja.

Karena tertarik dengan fenomena itu, aku mencoba untuk menonton video tutorial bagaimana cara melakukan Lucid Dream hingga membaca beberapa artikel. Inti dari semua video yang kutonton dan tulisan yang kubaca adalah: terus latih dirimu untuk sadar ketika sedang bermimpi dan relaks.

Dan hal itu terus aku latih hingga menjadi kebiasaan. Percobaan pertama dan seterusnya, aku hampir sampai pada fase Lucid Dream. Tapi ketika aku baru saja sadar bahwa aku sedang bermimpi, ketika itu juga aku terbangun. Misi gagal!

Hinga akhirnya pada satu mimpi (tadi pagi banget) dan aku sadar bahwa itu mimpi dan aku tidak terbangun dari tidur. Rasanya sangat menakutkan dan mirip-mirip seperti ketindihan, dan setelah terbangun, kamu merasa begitu lelah.

Dalam mimpi ‘Lucid Dream’ yang kualami itu aku sedang di dalam kereta, dan bertemu orang-orang di gerbong, terasa begitu nyata! Detik selanjutnya aku sadar bahwa ini mampi, jadi aku lanjutkan ‘cerita’ mimpi itu sebisaku (sampai di sini aku tidak bisa mengontrol mimpiku). Sampai akhirnya entah adegan apa di gerbong tersebut membuatku terbangun dan, sialnya dalam keadaan masih bermimpi! Pada fase ini aku mencoba untuk tenang dan mencoba untuk mempraktikan tutorial yang pernah aku tahu.

Maka aku mencoba untuk terbang dan itu benar-benar terjadi! Aku terbang tapi aku tidak bisa mengendalikan diriku ketika di atas sana. Akhirnya aku merasa ketakutan dan jatuh. Ketika jatuh, aku terbangun dari mimpi dan ternyata masih di dalam mimpi!

Aku terbangun di sebuah kamar di kampung, aku bertemu ibuku dan beberapa anggota keluarga (yang selalu kurindukan dan itu terasa begitu nyata). Aku juga mengingat kenapa aku tidur di kamar itu, dan ketika bangun aku segera untuk pergi ke masjid untuk shalat Jumat, tapi ternyata sampai di sana, shalat Jumat sudah usai.

Hingga akhirnya aku benar-benar terbangun setelah sebelumnya kesulitan untuk membuka mata walau pada keadaan sadar. Tahu akan itu, aku mencoba untuk relaks dan membuka mata perlahan dan ya, aku sudah terbangun sekarang. Dan segera aku menuliskan mimpi itu di notebook-ku yang kebetulan masih menyala.

Karena mimpi gampang sekali untuk dilupakan, maka kita harus menuliskannya! Itu salah satu tips untuk memasuki Lucid Dream: menulis mimpi.

Dan ya, pada akhirnya ini adalah pengalaman yang seru dan menakutkan. Aku tidak menganjurkan untuk dilakukan olehmu dan aku hanya berbagai pengalaman saja. Karena mimpi yang sangat nyata itu seperti dunia yang lain yang benar-benar ada, setidaknya menurutku.***

Film Aladdin (2019): Nostalgia yang menyenangkan



sebenarnya kita semua sudah tahu jalan cerita a-z kisah aladdin. namun manusia memang sangat suka bernostalgia. aku sendiri kenal kisah ini ketika aku masih sd dan belum benar-benar mengerti apa arti dari cerita tersebut sebenarnya.
.
tentu saja aladin versi modern yang sedang tayang di bioskop ini adalah tontonan yang sama di satu sisi, tapi kita bisa menontonnya dengan pemahaman yang berbeda di sisi lain.
.
seperti bagaimana princes jasmine yang mempunyai sifat melawan petriaki, bagaimana ia begitu teguh terhadap pendiriannya. tapi bagaimanapun wanita mempunyai titik lemah. juga bagaimana aladdin yang bergelud dengan pendiriannya: ingin menjadi orang lain atau dirinya sendiri--yang membuatnya takut tidak dicintai princes jasmine.


sumber gambar: IMDB


aku menonton film aladdin (2019) lebih seperti drama musikal, yang  mengingatkanku pada beauty and the beast dan atau the greatest showman. drama musikal menurutku mempunyai resiko besar dalam membangun cerita: bagaimana cara menyisipkan musikal itu namun cerita masih bisa dinikmati seolah tidak ada 'jeda iklan'?
.
the greatest showman menurutku masih yang terbaik dalam hal itu. dan film aladdin, masih belum bisa mengalahkan dari segi vital tersebut, ia terlihat seperti masih ada ruang kosong yang seharusnya masih bisa dikembangkan.
.
namun film aladdin mempunyai keunggulan dalam dapertemen efect CGI yang lebih canggih dan menyenangkan untuk ditonton. tentu saja untuk menghilangkan kesan monoton, ada beberapa set komedi yang diselipkan dan cukup berhasil membuat gelak tawa seisi bioskop.
.
pada akhirnya, film aladdin adalah media nostalgia bagi kita untuk mengenang masa-masa kecil yang menyenangkan. aku bisa saja menilai lebih dari ini, jika saja kemistri antara aladdin dan jasmine yang telihat tidak terbangun dengan baik dan terkesan canggung itu tidak terjadi.***