Ngomongin Anime ReLife





Menjadi pemuda berumur 20-an tapi belum mendapatkan pekerjaan tetap adalah sebuah hal yang sangat menyedihkan. Itulah yang dirasakan oleh Kaizaki Arata, tokoh utama dalam anime ReLife. Setelah ia lulus kuliah, ia mendapatkan pekerjaan, tapi setelah baru 3 bulan, ia keluar dari pekerjaan itu sehingga ia tercap jelek oleh calon perusahaan yang akan merekrutnya. Karena hal itu, ia hanya bisa bekerja paruh waktu di toko dan jika ada pertemuan dengan teman-temannya, ia berbohong bahwa ia sudah mendapat pekerjaan tetap, dan ia akan mengenakan pakaian kantor jika bertemu mereka. Menyedihkan.
          Kaizaki Arata diceritakan sebagai seorang pemuda kampung yang merantau ke kota. Jadi ia hanya hidup sendiri di apartemen. Hingga akhirnya hidupnya berubah setelah bertemu Yoake Ryou dari lab ReLife. Kaizaki ditawari untuk menjadi bahan percobaan tersebut. Tugasnya adalah kembali menjadi anak SMA dan dalam pada itu ia diberi kesempatan agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Dan semuanya diawasi oleh Ryou.


ada kemiripan antara Ryou dengan salah satu anak SMA tempat percobaan Relife tersebut. yang kadang bikin aku bingung~


          Anime ini menyentilku yang baru saja lulus SMK ini. Bahwa di dunia kerja itu sangat keras dan kita harus bertahan. Bahkan faktanya banyak orang tidak bisa tidur di Jepang karena tekanan pekerjaan. Mungkin tidak hanya di Jepang (asal anime ini), tapi di belahan dunia terutama di Indonesia juga tidak jauh beda jika kita bicara tentang dunia kerja.
          Aku sempat beberapa kali interview kerja dan dari kesemuanya itu tidak ada yang lolos. Hal ini tentu saja sempat mematahkan semangatku dan berpikir untuk membuka usaha sendiri. Namun aku tampaknya belum siap untuk itu, dan satu hal lagi, aku belum punya modal. Jika masalah usaha apa yang akan dirintis, itu bukan masalah, karena abangku cukup mempuni dalam hal ini.
          Beberapa orang berkata padaku sudahlah jangan bekerja, usaha saja seperti abangmu. Tapi di sisi lain aku merasa belum siap walau aku juga tertarik untuk usaha seperti abangku.
          Andai aku bisa seperti Kaizaki Arata yang kembali menjadi anak SMA, aku akan berusaha keras agar mendapatkan beasiswa atau cara apa pun itu agar kuliah tanpa biaya. Karena menurutku, dalam usiaku ini, aku masih perlu banyak belajar. Di sisi lain, pekerjaan idamanku memang mengharuskanku seminimalnya lulus S1. Pekerjaan itu jurnalis.
          ***
Ketika Kaizaki menjadi anak SMA, ia bertemu Hishiro, cewek pintar yang susah bergaul. Saking susahnya ia bergaul, senyum saja tidak bisa, bahkan jika ia tersenyum, yang melihatnya akan berpikir bahwa itu senyuman-ejekan, tidak ada ramahnya sema sekali, walau maksud Hiroshi adalah senyuman mari-berteman.



          Senyuman memang sangat bararti dalam bergaul. Orang yang tidak bisa tersenyum sungguh merugi. Karena senyum siapa pun pasti dapat menenangkan hati. Karena itulah, Hishiro belajar tersenyum. Ia bertemu Kaizaki (walau ia anak SMA, tapi ia tetap anak muda umur 27), dan ia nyaman dengan Kaizaki. Dan Kaizaki pun mengajarkan banyak hal kepada Hishiro tentang sebuah pertemanan. Walau akhirnya ketika proyek RiLife ini selesai dan Kaizaki menjadi seperti semula, Kaizaki tidak akan diingat oleh teman-teman SMAnya tersebut.
          Anime ini menurutku sangat menarik. Pengambilan gambarnya pun oke banget. Latar musiknya juga bisa membawaku lebih mencekam dan santai. Ada beberapa pesan baik yang disampaikan lewat anime ini. Jadi, aku sangat menyarankan kamu untuk menonton anime ini dan rasakan warna-warni persahabatan dengan bumbu cinta ala remaja.


PERTAMA KALI BIKIN FILM PENDEK



Ini kali pertama bagiku membuat film pendek yang ternyata susahnya minta ampun. Aku ndak membuatnya sendiri tentu saja, ada beberapa orang yang membantuku. Tapi tetap saja, aku aktor utama dalam pembuatan film ini, yang mana aktor utama akan selalu kesusahan dalam menghadapi masalah yang ada. Aktor utama akan mendapatkan masalah yang tak terkira jika dia mendapat masalah, dan ia akan bahagia ndak terkira jika bahagia. Aku kira begitu. Dan biasanya begitu.
          Awal cerita, aku dipanggil guru ke ruangan BK, beliau guru yang pernah mengajakku mengikuti seminar terkait IT. Dan kebetulan, di seminar yang diadakan seminggu itu, aku menjadi 10 siswa yang terpilih, atau dengan kata lain, aku masuk ranking 10 besar dalam seminar itu dilihat dari prestasi dalam seminggu itu. Itu seminar tingkat DKI, pesertanya ada banyak bahkan ada berkelas-kelas. Aku cukup berbangga diri dengan kemampuanku ketika itu. Dan inilah alasan kenapa guru itu memanggilku lagi dan menyuruhkan ikutan lomba film pendek.
          Aku kaget ketika itu, di sisi lain aku merasa tertantang. Beberapa hari kemudian aku membuat tim. Dalam hal ini aku ndak terlalu kesulitan karena aku tinggal menggait anggota jurnalis yang aku rintis. Mereka merespon dengan positif dan aku senang. Hal buruknya, kami harus membayar uang pendaftaran dengan uang kami sendiri, sekolah ndak mendanai. Ini masalah, tapi tim kami bisa mengumpulkan uang pendaftaran itu walau agak lama. Ini awal perjuangannya.

itu aku yang lagi tengkurep :3


          Dan hari-hari selanjutnya kami sering berdiskusi, menentukan cerita apa yang akan dibikin di film dan tempat pangambilan gambar dan pemainnya. Di antara kami ndak ada yang punya pengalaman bikin film pendek, itu sebuah masalah tentu saja, tapi bermodal semangat dan nekat, kami terus maju.
          Terlebih, kami ndak punya peralatan yang memadai. Alhasil kami menggunakan kamera handphone untuk pengambilan gambar, dan hanya sedikit saja menggunakan kamera slr.
          Masalah muncul, pengambilan gambar di berbagai tempat harus dijadwalkan sedemikian rupa. Dan pemain kadang kala ndak bisa sesuai jadwal itu untuk pengambilan gambar (sehingga kami telat sehari mengumpulkan film kami). Terpaksa kami mengikuti kapan pamain bisa syuting.

pusying~


          Selama proses syuting, dengan kepolosan kami, kami mengambil gambar, mengatur pemain akan bagaimana nanti aktingnya. Dan seterusnya dan seterusnya. Dari sini aku berpikir, kami ndak mungkin menang lomba.
          Tapi setidaknya, kami membuat sejarah baru. Karena sebelumnya memang sekolah kami belum pernah membuat film pendek. Tentu saja itu sebuah kebahagian tersendiri bagi kami. Lagi pula hasilnya ndak terlalu buruk.
          Hal selanjutnya setelah proses syuting selesai, adalah editing. Ini menguras banyak tenagaku selama berhari-hari. Aku harus begadang sampai jam 1, dan pusing karena aku ndak pernah ngedit film sebelumnya.
          Ada dua editor film, yang pertama ia hanya menggabung-gabungkan video, dan aku bagian menyatukan semuanya di editing video pro. Itu sangat sulit. Untung saja ada seseorang yang terus menemaniku, dia sangat sabar, dan terus mendukungku. Bahkan aku sampai begadang di rumahnya sampai jam 1 baru pulang, ini sebuah perjuangan.
          Tapi memang segalanya ndak ada yang sia-sia, walau ada banyak kekurangan di sana-sini, film pendek karyaku publish juga di youtube, ada banyak orang yang melihat. Dan tentu saja ini sebuah sejarah bagi sekolah kami seperti yang aku sebutkan tadi.
          Aku berharap nantinya akan ada murid di sekolah kami melihat film pendek ini, dan mereka akan bilang bahwa mereka bisa membuat yang lebih dari ini. Ya semoga saja, ini sebuah langkah untuk generasi selanjutnya. Ah, itu terlalu bermuluk-muluk. Tapi ya, ndak apa, setidaknya aku berkarya, akhirnya begitu. 


 
ini hasilnya



ini trailernya~

KE UBUD SENDIRIAN: MAIN KE MONKEY FOREST #4




Sebelum berangkat ke Bali, aku mempersiapkan semuanya dengan alakadarnya. Bahkan aku membawa uang pas-pasan karena lagi ndak megang uang. Aku hampir saja ndak bisa pulang karena bensin motor sudah hampir habis, apalagi itu saat di mana aku berada di tol, saat pulang menuju bandara. Astaga, aku hampir nangis saat itu.
          Sebelum aku berangkat ke Bali, aku bertemu dengan N, membahas hal ini dan dia terus mendukungku. Aku hampir menyerah ndak jadi pergi ke Bali, tapi N terus menyemangatiku.
          “Ini kesempatan,” katanya.
          Dan aku selalu suka bagaimana N berbicara.
          FYI, aku mendapatkan tiket gratis UWRF karena mengikuti giveaway di fane page resmi UWRF. Ketika aku ikutan, aku ndak berharap bisa menang, tapi ternyata aku menang. Ketika aku tahu bahwa aku menang, aku senang bukan kepalang. Tapi kemudian galau karena tiket itu ndak plus tiket pesawat dan penginapan.

ini saat aku membayangkan bagaimana rasanya UWRF, waktu itu Agustus. Dan beberapa minggu kemudian, aku dikasih tahu dapet tiket gratis. Woooh..


          Aku bisa mendapatkan tiket pesawat uang dari Kakak perempuanku yang sudah bekerja, sebelumnya aku dikasih tau ada promo pesawat, sehingga uang itu cukup.
          Jadi, selama di Bali aku ndak terlalu bisa berfoya-foya, tapi aku sempat jalan-jalan sih. Waktu itu aku main ke Monkey Forest, harga tiketnya 40 ribu.
          Pas aku masuk ke monkey forest lewat pintu 1, aku langsung disambut dengan monyet-monyet yang berkeliaran, tanpa dikandang, dibiarkan saja berkeliaran, bahkan monyet-monyet itu bisa keluar dari sini dan ramai-ramai ke jalan.

tingkah mereka lucu banget~


          Aku menelusuri dengan seksama. Dari banyaknya pengunjung, semuanya kebanyakan bule, orang lokal sepertiku hanya bisa dihitung dengan jari. Bahkan orang lokal di sini bisa menggunakan bahasa inggris dengan faseh, terlihat mereka saling mengobrol.
          Aku melihat orang Jepang, Rusia, dan entahlah dari mana. Aku sempat melihat anak kecil dan mengingat Marsha. Anak kecil ini menggunakan pakaian sangat lucu, kulitnya putih, dan ngomong pakai bahasa Rusia, pokoknya lucu banget.

Lihat, bule semua~


          Setelah lelah menelusuri tempat ini, aku menuju tempat semacam sevel eleven untuk minum dan ngecas hp yang lowbet. Tapi ternyata di sini ndak ada sevel, jadi aku mampir ke mini market yang semacam sevel gitu. Aku menepikan si metic dan masuk ke mini market dan duduk di tempat duduk yang ada di luar. Aku duduk di samping bule, bule lagi bule lagi.
          Aku menyapanya dan meminta untuk bisa duduk di dekatnya, karena ndak ada tempat lagi. Ia tahu maksudku dan berkata,
          “Apa kabar?” dengan logat aneh.
          “Oh? Iya. Baik-baik,” jawabku. Dan seperti yang kamu tebak, percakapan kami hanya sampa situ saja, hahahaha..


Foto-foto



          Video

         

KE UBUD SENDIRIAN: BERTEMU EKA KURNIAWAN #3




         Sebelum aku berangkat ke Museum Neka, aku membeli makanan, ya tentu saja aku lapar. Ini sudah jam 10 lewat. Sebelumnya aku sudah makan roti yang kubawa dari Jakarta, roti itu ternyata hanya mampu bertahan sampai jam 9 di perutku. Huh, perjalanan tadi memakan banyak energiku.
          Keluar dari kerumunan acara, aku menuju jalan, dan kebetulan sekali di ujung jalan ada yang jualan dengan gerobaknya. Aku ndak tahu apa yang ia jual, di gerobaknya hanya tertulis: Es Kelapa dan Tahu. Aku penasaran dan memesan tahu yang ia jual.
          Setelah siap, aku memakan tahu itu dengan lahap. Aku ndak tahu nama makanan ini apa, ia mirip dengan ketoprak dan semacamnya. Tapi ini tahu, aku lupa tahu apa namanya, mungkin ini hanya ada di Bali. Bedanya makanan ini dengan makanan tahu yang biasa kumakan, jika makanan yang biasa kumakan menggunakan sambel sebagai pelengkapnya, makanan ini menggunakan cabai hijau. Aku sempat meragukan rasanya, tepi ternyata cukup enak dan bikin kenyang. Harganya? Cuma tuju ribu rupiah saja~



          Di museum Neka aku bertemu Eka Kurniawan sedang berbicara. Ia menjelaskan panjang lebar tentang bukunya Cantik itu Luka yang fenomenal, yang diterjemahkan dalam banyak bahasa.
          Karena aku datang terlambat, aku hanya bisa melihatnya dari belakang, dari paling belakang. Tempat ini ramai, dan kebanyakan bule-bule dengan pakaiannya yang begitu-begitu, yang kadang membuatku salah fokus. 

dari paling belakang~


          Melihat Eka Kurniawan secara langsung membuatku ndak percaya bahwa ini kenyataan. Aku sangat mengidolakannya, sangat, sangat, sangaaaat mengidolakannya. Aku suka bagaimana ia menulis dan hal-hal yang ia angkat dalam tulisannya. Dan aku ingin seperti dia, itu adalah sebab kenapa karya-karyaku (bolehlah aku menyebut karya-karyaku untuk cerpen yang pernah kutulis) sangat terpengarui olehnya.
          Tapi nyatanya ini bukan mimpi. Aku melihatnya langsung, ia berbicara, menjawab pertanyaan dan tarus seperti itu.
          Ndak terlalu lama, acara selesai, mungkin karena aku telat datang. Ketika acara selesai, banyak orang mengurumuni Eka dan berebut ingin foto dengannya, termasuk aku. Karena banyaknya orang yang ingin berfoto dengannya, akhirnya panitia mengalihkan kami ke ruang pertemuan yang ada di bawah lantai sana.
          Di sana, aku mengantre. Semua orang membawa buku Eka Kurniawan untuk ditandatangani nantinya, sedang aku ndak membawa bukunya, aku hanya membawa buku mamoar Edgar Keret The Seven Good Years. Aku sempat ragu untuk ikut mengantre, tapi aku berpikir kapan lagi bisa bertemu dengannya lebih dekat, atau berfoto dengannya, atau sekadar berjabat jangan dengannya.
          Akhirnya aku ikut mengantre, di depanku ada seorang perempuan yang sepertinya sepantar denganku dengan membawa buku Cantik itu Luka. Ia memintaku membantu mengambil gambarnya bersama Eka dan aku setuju. Ia bersanding dengan Eka setelah buku itu ditandatangani dan aku mengambil gambarnya berkali-kali, aku juga mengambil gambarnya ketika ia menunggu buku miliknya ditandatangani oleh Eka, aku pikir ia akan suka dengan hasil jepretanku.
          Dan ia selesai, menghampiriku dan aku berkata,
          “Boleh gantian?” sambil menjulurkan hpku dan ia mau, ia tersenyum.
          Dan aku mendekati Eka sambil mengeluarkan buku Edgar Keret.
          “Maaf, saya nggak membawa buku anda. Tapi saya membawa buku ini yang kata pengantarnya anda yang menulis,” kataku, kata-kata ini sudah kurangkai beberapa menit lalu ketika mengantre.
          Dan Eka hanya tersenyum sambil tertawa, “Hihihihihi.”
          Astaga, aku membuatnya tertawa. Hahahaha.. Sungguh ini seperti mimpi!
          Ia mendatangani bukuku sabil tersenyum, sedang aku menunggunya di sampingnya. Aku ndak tahu adegan ini akan diambil atau ndak sama si perempuan di depanku tadi. Setelah adegan tadi, aku bersanding di samping Eka dan foto. Cekrek. Cekrek. Sudah. Lalu aku dan Eka berjabat tangan. Tangannya hangat, dan wow, aku berjabat tangan dengannya! Sungguh ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan, sebuah mimpi semacam ingin mencium perempuan di bawah hujan. Ya, mungkin semacam itu :3

dari dekat, eka kurniawan terlihat banyak ubannya, hehehe :D

          Setelah itu aku keluar ruangan, dan kembali melaju si metik ke arah Taman Baca tadi.***

video