Saya Mewawancarai 3 Teman Mahasiswa yang Terlibat Demo 24-25 September

Peristiwa turunnya mahasiswa untuk berdemo terkait penolakan RUU KUHP dan revisi UU KPK, tentu akan menjadi suatu peristiwa bersejarah yang akan tercatat. Karena sejak 1998, mahasiswa baru kali ini kembali turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasinya dalam gelombang besar. Tentu, mereka mendapat dukungan dari lingkungan sekitar seperti pedagang, pekerja, dan elemen lainnya. Ini menandakan bahwa masyarakat mempercayai mahasiswa sepenuhnya sebagai wakil mereka untuk menyuarakan aspirasi di depan kantor DPR/MPR. Mahasiswa tentu mempunyai waktu dan tenaga yang membara. Berbeda dengan kami para pekerja dan pedagang, waktu kami terbatas, dan harapan kami adalah mahasiswa yang lantang menyuarakan suara rakyat—ketika perwakilan kita yang duduk di Senayan sudah tidak lagi bisa dipercaya.

Saya adalah pekerja, dan teman-teman saya ada yang mahasiswa dan turun ke jalan untuk mewakili saya dan masyarakat lain yang tidak bisa terjun langsung ke lapangan.

sumber gambar: twitter @piokharisma


Khalif merupakan mahasiswa BSI Serpong, ketika ia berangkat dari kampusnya, ia dan teman-temannya sudah didukung oleh para pedagang yang memberi mereka makanan dan minuman secara cuma-cuma. Perjalanan dari kampusnya ke kantor DPR/MPR bukanlah perjalanan pendek, ia dan teman-temannya harus menempuh perjalanan lumayan panjang untuk sampai di tempat tujuan dan panas-panasan hingga bentrok dengan aparat kepolisian.

Mahasiswa semester 4 ini, sudah diwanti-wanti oleh orangtuanya untuk tidak ikut bentrok dan rusuh. Namun Khalif tidak bisa untuk tinggal diam ketika ia benar-benar terjebak pada situasi yang tidak menguntungkan.

“Bukannya mau ikut (rusuh). Tapi ya kejebak gimana. Lari susah,” katanya.

Menurutnya terkait penolakan RUU KUHP, bahwa di RRU tersebut banyak yang mengindikasikan adanya pelanggaran HAM dan mengurusi privasi masyarakat (terlalu jauh) yang seharusnya tidak perlu diatur pemerintah.

Semua pihak dan semua elemen masyarakat dapat memberikan kritik, tapi isi dalam RUU tersebut malah sebaliknya,” katanya.

Saya juga menanyakan hal yang sama kepada Nandya, salah satu mahasiswi Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang. Sebagai seorang mahasiswi baru yang belum genap sebulan kuliah, ia berani turun ke jalan. Padahal kesehariannya ia akui lebih apatis jika sudah menyinggung tentang politik. Namun untuk kali ini, tidak.

“Soalnya ngerasa muak aja dengan segala janji pemerintah. Pas kemarin ngebaca tentang masalah RUU, entah hati ngerasa aneh, kesel, geram ya pokonnya ngerasa kaya sekarang tuh Indonesia engga baik-baik aja, jadi aku memutuskan untuk turun ke jalan,” kata wanita kelahiran 2001 tersebut.

Pengalamannya ketika berada di peristiwa tersebut memang agak membuatnya goyah. Sebab situasi seketika chaos dan para mahasiswi segera untuk dievakuasi menjauh dari depan gedung DPR/MPR. Walau sempat berpencar, akhirnya ia bisa menyatu lagi dengan kelompoknya.

“Banyak kating yang ikut, tapi maba paling ada 10 orang, mungkin,” katanya.  

Sebagai seorang wanita yang masih terbilang muda, ia sempat tidak diizinkan oleh ibunya untuk turun ke jalan, namun sebaliknya, bapaknya mendorongnya untuk turun ke jalan. “Kalau bukan mahasiswa yang turun, mau siapa lagi?” amanat bapaknya.

Nandya adalah adik dari Khalif. Mereka dibesarkan di keluarga yang sama dan mempunyai pandangan yang sama ketika melihat negara sedang tidak beres. Menurut Nandya, Khalif adalah sosok kakak yang sangat cuek dan tidak pernah menanyakan kabarnya. Namun pada hari itu, kakaknya seolah menjadi orang lain. Khalif terus khawatir tentang keberadaan adiknya di tempat kejadian. Ia terus menanyakan bagaimana keadaannya dan mewanti-wanti jangan melalui jalan tertentu karena sedang bentrok.

“Pas udah mulai chaos abangku memang perhatian sih. Selalu nanyain di mana. Keadaannya gimana.  Disuruh stay di situ aja, bareng-bareng sama anak kampus, jangan misah. Pulangnya nanti aja tunggu udah reda, terus dikasih tau kalau mau pulang lewat mana aja biar ngga ketemu polisi,” ceritanya.

Nandya sempat terjebak di komplek GBK bersama teman yang lain hingga malam tiba. Suaranya hampir habis, dan trauma ketika melihat orang beramai-ramai berlarian. Alhasil ia pulang dan sampai di rumah jam setengah 12 malam.

Irzha merupakan mahasiswa tingkat akhir Universitas Bung Karno Jakarta. Ia membagikan pengalamannya ketika kejadian 24-25 September kemarin.

“Pertama kali juga merasakan kena gas air mata berkali-kali dan itu sangat perih, sampai ada mahasiswa jatuh depan saya karena matanya perih sampai tidak bisa dibuka dan saya bantu suruh cuci mukanya dengan air, waktu itu saya ingat kena gas air mata pas nonton persija,” ceritanya.

Sebagai mahasiwa, ia geram ketika ada pihak yang mengatakan bahwa aksi ini ditunggangi atau dibayar. Irzha mengatakan bahwa untuk aksi ini sendiri pun ia harus mengeluarkan uang dari sakunya sendiri.

“Sampai saya sendiri mengeluarkan uang, habis dalam sehari itu dari jam 9 pagi sampai jam 10 malam di hari selasa itu, sekitar 150 ribu. Demo ini atas dasar hati nurani saya yang resah melihat negara ini dan membela bagaimana indonesia ke depannya. Jadi saya ikhlas menghabiskan uang berapa pun untuk membela negara ini,” pungkasnya.

Salah satu teman saya, Ihsan, yang dekat dengan beberapa tokoh politik, memberikan pandangannya terkait situasi saat ini. Pada suatu waktu ia pernah mendapat kesempatan untuk mewawancarai politisi dan masuk ke gedung DPR/MPR untuk mengikuti beberapa acara.

Ia sangat menyayangkan ketika aksi mahasiswa tersebut dibilang oleh beberapa elit sebagai aksi agar kepala negara mundur/turun. Padahal aksi tersebut murni dari keresahan mahasiswa.

Terlepas dari itu semua, di dalam perancangan UU memang tidak mudah, DPR selalu berdebat, untuk menyatukan satu suara memang sulit. Politik itu sendiri memang sulit.

Memang sudah seharusnya politisi muda muncul untuk menetralisir orang-orang tua yang membuat kebijakan dengan tidak mendengarkan rakyat.

“Berpolitik itu bukan hanya menjadi tugas/tanggung jawab orang tua-tua saja, anak muda seperti kita juga harus terlibat di dalamnya,” ungkap Ihsan.
****
Tulisan ini memang tidak sebanding dengan perjuangan para mahasiswa hingga pelajar di lapangan. Jarak tempat tinggal saya menuju kantor DPR/MPR memang tidak terlalu jauh, tapi ada kewajiban yang harus saya kerjakan. Namun saya yakin dan percaya, di pundak-pundak para mahasiswa asa saya berada. Saya bersama kalian, dan suarakan suara kami dengan lantang dan sepenuh hati.

Banggalah kalian menjadi salah satu dari sejarah negeri ini. Karena mendiamkan suatu kesalahan adalah sebuah tindak kejahatan. Begitulah kata pemuda aktivis bernama Soe Hok Gie.***

Membaca 'Riwayat Hidup Sebuah Pistol di Kawasan Mulholland Drive' (Aris Rahman P. Putra)


Pernah aku berpikir, jika suatu saat nanti penulis Indonesia yang namanya sudah besar saat ini,  pada suatu saat nanti meninggal dunia, siapa yang menggantikan posisi mereka? Apakah ada seseorang pada saat ini yang mempunyai kriteria yang setidaknya mendekati bagaimana penulis besar tersebut berkarya? Apakah nama-nama itu akan terus ajeg di sana dan tak tergantikan?

Tentu saja ini masalah karya, karya penulis besar di atas tentu saja tidak akan mati. Namun, pertanyaannya adalah, apakah di masa depan nanti ada karya yang bisa menggeser itu dari karya penulis masa sekarang?  

Belakangan ini aku kenal dan membaca karya-karya teman yang masih berusia muda. Mereka menulis dan berdedikasi tinggi akan itu. Dan aku kembali bertanya, apakah suatu saat nama mereka akan besar dan menggeser nama yang sudah ada?



Aku baru saja membaca sebuah buku kumpulan cerpen seorang teman. Kami satu almamater di Kampus Fiksi walau berbeda angkatan. Namanya Aris. Dilihat dari akun media sosialnya dapat kita simpulkan bahwa orang ini agak nyeleneh. Ia menulis kontol, peju, meracap, dan sebagainya  sebagai sebuah puisi. Tapi di sisi lain, karyanya juga sering dimuat di media online ataupun koran.
Dan beberapa karyanya itu dikumpulkan dalam sebuah buku yang berjudul ‘Riwayat Hidup Sebuah Pistol di Kawasan Mulholland Drive’. Judul tersebut diambil dari salah satu cerpen yang mungkin menjadi kebanggan si penulis.

Tulisan Aris di buku ini tentu saja sangat berbeda dengan tulisannya di akun media sosialnya. Di sini ia tampak serius dan dengan lihai merangkai cerita. Beberapa kali kamu akan menemukan sebuah kota fiksi, raja fiksi, dan segala hal fiksi lainnya. Ia agaknya ogah menulis karya fiksi yang mengambil latar belakang dari tempat yang nyata. Fiksi pokoknya harus fiksi!

Ia menulis tentang Pangeran Airlangga yang bukan Pangeran Airlangga. Ia mengarang sendiri tentang Pangeran tersebut, di mana sebuah Kerajaan Mengkudu Sepet akhirnya disebut, Ratu Sri Bhuwana Tunggal Tangga Mlaku, Pati Gajah Mungkur. Nama-nama itu dibuatnya menjadi sebuah fiksi yang, tentu saja kita tahu diambil dari kisah serius namun di sini ia selewengkan menjadi sebuah lelucon. Mengawinkan dua hal tersebut memang bukan hal mudah.

Cerpen yang menjad favoritku di sini adalah ‘Pada Malam Hari, Hal-Hal Ini Terjadi.’ Ia bercerita tentang pemuda yang bangun dari tidur karena mendangar sebuah alarm. Kata si narator, jika hal itu terjadi (bunyi alarm itu), maka ada dua kemungkinan. Kemudian kedua kemungkinan itu dijabarkan narator sehingga kita lupa bahwa itu hanya ‘kemungkinan’, bukan apa-apa. Padahal pembaca sudah dibawa kepada suasana seakan itu cerita yang berjalan. Dengan entangnya penulis menulis begini di akhir cerpen: Dan memang pada kenyataannya itu hanyalah sebuah alarm dan bukan yang lain-lain. Kurang ajar!

Cara bercerita seperti ini, yang membuat pembaca tersentak merupakan hal yang dicari kenapa kita membaca sebuah buku. Selain untuk menghibur diri, hal-hal yang tidak pernah kita temukan sebelumnya seperti tekhnik bercerita, cerita itu sendiri, dan pengolahan emosi merupakan sisi lain dari alasan kenapa kita mau meluangkan waktu untuk membaca.

Aris melalui buku ini tentu saja bisa dibilang mampu membuat napsu membacaku terpenuhi. Bobot tulisannya juga perlu diperhitungkan dan disejajarkan dengan penulis lain. Karena ketika aku membaca tulisannya, aku seperti belum mengenal orang ini. Benar kata orang, karya dan sosok penulisnya adalah dua hal yang berbeda. Jika kita menyukai karyanya, belum tentu kita menyukasi penulisnya, begitu juga sebaliknya. Dan memang, sebelum membaca sebuah buku, alangkah baiknya kita tak perlu mengenal lebih dekat dengan si penulis. Biarkan karya tersebut berdiri sendiri.***

Pengalaman Beli Buku Murah di Pasar Kenari


Ini kali pertama buatku datang ke Jakbook yang berada di lantai 3 pasar Kenari Jakarta. Setelah peresmian, tempat ini sepi pengunjung. Hingga akhirnya ada seorang yang mengupload bagaimana situasi di Jakbook tersebut yang, ada ruang baca yang bagus, tempat ngopi, dan buku-buku murah—kemudian mulai banyak orang yang berdatangan.

Aku datang pada hari Minggu sekitar jam 3 sore. Ya, ini adalah sebuah pasar, ketika aku masuk, situasi begitu sepi, semua kios tutup. Menaiki eskalator yang mirip seperti di film horor, akhirnya aku sampai di lantai 3 dan mencium aroma-aroma kertas yang khas.

Ruangan ber-ac, ada petugas kebersihan dan keamanan yang terlihat di sana-sini. Tujuanku kemudian tertuju pada ruang baca yang berada di samping (semacam) coffee corner. Di sana tempatnya nyaman dan cocok banget untuk anak-anak muda nongkrong. Setelah melihat-lihat sekitar, aku tidak bisa menahan napsu untuk berkeliling mencari buku, yang siapa tahu cocok.

Selamat datang di lantai 3 pasar kenari..

Baru pertama mampir, aku sudah dikejutkan begitu saja. Aku melihat buku-buku novel dan nonfiksi terjejer meninggi di tembok-tembok. Mataku mencari-cari di bagian sastra dan akhirnya aku menemukan buku yang sudah lama kuidamkan: One Hundred Years of Solitude, Gabriel Garcia Marquez.

Hal itu semakin membuatku terkejut ketika penjual berkata: dijual setengah harga aja. Wah, kebetulan dong! Maka tak kusia-siakan untuk mengobrak-ngabrik lapak jual buku ini. Dan kutemukan buku lainnya yang tidak kalah menarik karya kepala suku Mojok: Seorang Pria yang Keluar dari Rumah, Phutut EA.

Yang membuatku agak sedih adalah, di sini juga menjual buku bajakan, buku ini dijual sangat murah. Ketika aku bertanya darimana buku-buku ini ia dapat, si penjual menjawab bahwa ia membeli dari satu orang ke orang lain, jadi tidak  hanya dari 1 distributor, ketika aku tanya apakah orang ini adalah orang dalam di sebuah penerbit, ia jawab tidak tahu. Kok bisa ya buku bagus ini dijual setengah harga saja! Gila emang.



Jadi, di tempat ini ada kios-kios yang menjual buku bekas dan baru. Ketika kulihat sekilas, buku-buku ada yang berbau politik, buku tutorial, panduan membuat apa, dan sebagainya.

Menilik ke bagian lain, aku menemukan toko semacam Gramedia. Di sini buku-buku sangat lengkap, dari agama, hobi, fiksi, dan sebagainya. Ini toko buku mengadopsi Gramedia, tapi bukan Gramedia. Di sini, aku menemukan beberapa buku bagus juga, walau ya.. di bagian novel bisa dibilang tidak terlalu update.

Ketika menuju kasir, aku kembali terkejut, bahwa buku-buku yang kubeli ini ternyata mendapat diskon 20%. Aku tidak tahu dari mana diskon itu, tahu-tahu ada saja. Mau nanya ke kasir, malu.
Di bagian lain, kamu akan menemukan semacam kantin, katika aku lihat mereka sudah pada tutup, jadi kita skip aja. Selain kantin, juga ada semacam mini market. Mereka menjual makanan ringan dan minuman seperti mini market pada umumnya.


Di sampingnya, ada sebuah tempat yang digunakan untuk semacam kursus atau seminar. Tempatnya bagus banget, beneran deh. Sebelahnya lagi ada PAUD.

Menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam di tempat ini, membuatku merasa senang. Senang karena mendapat buku murah, senang karena tempatnya nyaman dan keren.


Melihat bagaimana pemerintah dapat membangun literasi masyarakatnya dengan langkah seperti ini, membuatku optimis bahwa ke depan akan ada terobosan lain. Jika membuat tempat sekeren ini saja bisa, barangkali ke depan akan ada dobrakan baru di sektor litarasi.

Kita semua sadar bahwa literasi begitu penting bagi suatu bangsa, dan aku harap, pemerintah dapat lebih serius lagi melihat ke arah ini. Semoga.***


MEMBACA 'SEPERTI RODA BERPUTAR' (RUSDI MATHARI)

Buku kecil ini aku dapatkan gratis ketika membeli paket buku di penerbit Mojok. Walaupun kecil, isinya begitu menggugah. Salah satu kalimat yang terus teringat di kepalaku: Tidakkah selain kelahiran, salah satu perayaan terbesar manusia adalah kematian?

Pada dasarnya, tulisan ini adalah tentang bagaimana Cak Rusdi, wartawan dan penulis senior Indonesia, melawan kanker dalam tubuhnya. Ketika orang biasa menulis dengan duduk di depan layar laptop atau komputer, Cak Rusdi tidak. Karena dalam keadaan sakit, ia menulis dengan handphone, bahkan mengirimkan tulisannya ke Mojok melalui pesan whatsapp.


Saat itu ia, dia hanya bisa mengandalkan telepon genggam untuk menulis. Tangan kirinya memegang telepon genggam, jempol kanan dia gunakan untuk mengetik.

Walau dalam keadaan di mana nyawa dipertaruhkan, ia tetap ingin terus menulis, menyampaikan gagasan.

Saya belum akan mati dan mudah-mudahan bisa menebus semua kesalahan dan alpa saya kepada Anda semua. Dan memang saya belum akan mati. Saya hanya sedang merayakan pertemanan saya dengan kawan-kawan baru saya, yang rupanya selama ini begitu setia menunggu untuk mejadi kawan saya: tumor-tumor itu.

 Dari beberapa buku yang sudah aku baca, ini salah satu buku yang paling bisa merasuk hati dan membuat nelangsa. Kamu akan merasakan bagaimana seseorang bertahan dengan harapan masih bisa hidup esok dengan keadaan seadanya. Ia berusaha sebisanya, Cak Rusdi menggunakan BPJS dan melalui prosedur yang sangat lama. Bahkan untuk foto rontgen, ia harus menunggu beberapa minggu.
Hingga akhirnya ia terlambat tahu bahwa tumor di dalam tubuhnya sudah stadium akhir. Dalam proses itu, ia bertemu dengan orang-orang yang setia membantunya. Mulai dari perawatan rumah sakit hingga orang-orang yang menunggunya di ranjang.

Phutut Ea, ketua suku Mojok, di Epilog buku ini dalam tajuk ‘Siapakah kita jika suatu saat Sakit dalam waktu yang panjang?’ mengatakan bahwa coba kita pertanyakan kembali tabungan sosial apa yang sudah kita lakukan, sehingga orang-orang akan membantu kita ketika sakit? Mungkin, kita tak seberuntung Rusdi Mathari, yang dengan mudahnya mendapat uluran tangan dari berbagai penjuru.

Melalui buku yang menguras emosi ini—sebuah buku yang ditulis oleh orang yang mau meninggal memang mempunyai ‘aroma’ yang berbeda. Kalimat demi kalimat yang kita baca seakan adalah suara bisikan dari dimensi lain yang membuat kita berpikir ulang: bahwa kita suatu saat juga akan mati. Suatu hal yang sering manusia lupakan.

Semoga Cak Rusdi tenang di sana, karyanya selalu hidup di hati kita.