Membaca Ketika Lampu Berwarna Merah (Hamsad Rangkuti)

“Bagus! Jakarta kota keras. Kota tempat orang berdusta. Bapak tinggal di sekitar para pendusta. Semua orang tinggal di Jakarta akan menjadi orang pendusta. Jakarta tempat semua pendusta!” 

Ketika lampu berwarna merah, semua kendaraan berhenti, kecuali mereka para pengemis yang memanfakatkannya untuk berkeliling kesana dan kemari. Memasang wajah paling iba dan meminta-minta. Pemandangan seperti itu tentu saja sudah tidak asing lagi di kota-kota besar, apalagi Jakarta.

Novel ini berkisah tentang itu, orang-orang yang hidup di pinggir Jakarta, rumah dengan karton, hidup di pinggir rel dan kali, hidup dengan mengemis dan menipu. Terkadang kita berpikir bagaimana kehidupan mereka, bagaimana mereka tidur, makan, mandi, bahkan menikah? Apakah mereka mempunyai masa depan?

***

Diceritakan Kartijo—yang tinggal di sebuah desa yang terancam digusur karena ada proyek waduk—mempunyai anak yang kabur ke Jakarta karena kagum dengan monas yang menjulang tinggi. Nama anak itu Basri, ia masih anak-anak, tapi karena mendengar cerita hebat dan gemerlapnya Jakarta, ia mempunyai tekad untuk pergi ke sana.

Ketika sudah sampai Jakarta dan melihat monas, ia bingung, ia akhirnya bergabung dengan anak-anak jalanan. Hidupnya berubah, kini hari-harinya hanya mengemis dan mengemis.

Orangtua Basri tentu terus mencari anaknya,  Jakarta luas, dan membutuhkan tenaga untuk menemukannya. Tetangga Kartijo yang pernah ke Jakarta mengaku mengaku pernah melihat Basri di suatu perempatan.




Bertahun-tahun, hingga anaknya kini nyaman dengan hidup dengan mengemis, dan bertemu dengan teman-teman barunya. Sedang Kartijo terus mencari anaknya di setiap perempatan Jakarta. Yang ia tahu: anaknya terlihat di perempatan, yang ia tidak tahu: anaknya hidup dengan hasil mengemis.

“Apa dia yakin kita membeli martabak?”
“Kita membawa uang untuk membelinya.”
“Dia lihat kita sering mengemis di restoran itu. Dia tahu kita pengemis. Bukan pembeli.”
“Apakah pengemis tidak pernah membeli martabak?”
“Aku kira tidak. Pengemis hanya akan memakan martabak dari sisa-sisa orang yang makan di restoran.” (halaman 51)

Novel ini membawa kita untuk mendekati dunia yang terpinggirkan. Melihat mereka yang tidak beruntung hidup di gubuk-gubuk. Melihat mereka hidup hingga mati.

Ia juga mengangkat bagaimana hubungan seorang ayah dengan anaknya, serta arti persahabatan yang tulus yang terjalin antara Basri dan teman-teman barunya.

Hamsad Rangkuti dikenal sebagai penulis yang hyper-realis, ia menggambarkan seolah begitu nyata
dan sangat dekat dengan mata kepala kita. Ia menulis dengan cara yang (sangat) sederhana, namun apa yang ditulisnya mengandung banyak makna. Tak heran jika novel ini merupakan salah satu pemenang sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, 1981).

Membacanya membuatku haru sekaligus bersyukur diberi kehidupan yang layak, karena terpinggirkan tentu saja bukan pilihan tiap manusia.