MEMBACA NOVEL CRAZY RICH ASIANS: SAMA KAYAK DI FILM?

Cerita tentang hubungan yang tak direstui agaknya sudah banyak yang menulis. Tapi bukanlah dunia jika kita tidak bisa menemukan sudut pandang yang baru. Crazy Rich Asians bisa dikata novel yang tebal dan kompleks—dan ya, mengkerucut tentang hubungan yang tak direstui, tentang orang kaya yang mencinta orang biasa.

Adalah Nick dan Rachel, mendapat masalah ketika Nick mengajak pacarnya itu untuk bertemu keluarganya di Singapura. Sebelumnya mereka sudah saling kenal dan tinggal di Amerika. Rachel mendapat banyak kejutan ketika tahu bahwa kekasihnya itu sangat amat amat amat kaya raya. Dan orang yang mengelilingi keluarga tersebut bukanlah orang-orang biasa. Dan Rachel orang biasa!

Memang tidak dijabarkan secara gamblang berapa jumlah kekayaan keluarga Nick, tapi yang pasti mereka bahkan mampu membeli hotel dengan mudahnya ketika mereka tidak boleh menginap di sana; memiliki pesawat pribadi, rumah mewah, dan hidup gelamor. Namun Nick jauh dari sifat-sifat tersebut, ia lebih memilih hidup sederhana dan seadannya.

***

Jika kamu pernah menonton film-nya, mungkin kamu akan kaget ketika membaca buku ini (atau sebaliknya). Ya, ada banyak perbedaan! Dan tentu saja itu tidak akan aku jabarkan di sini, silakan tonton dan baca sendiri, lah.




Tapi yang pasti, di dalam buku ini kamu akan menemukan perincian tiap tokoh dengan porsi yang bisa dikatakan cukup. Memang ada banyak tokoh di Crazy Rich Asians, sehingga kita perlu mengingat nama-nama untuk bisa membuka halaman demi halaman.

Dan masalah ketika menonton filmnya adalah kita tidak mendapat penjelasan yang cukup tiap tokohnya. Di bukunya kamu bisa mengorek-ngorek latar belakang tiap tokoh dengan leluasa.

Pada dasarnya konfilk dalam novel ini adalah bagaimana manusia memandang manusia yang lainnya: menilai sebarapa pantas atau dengan siapa mereka harus berhubungan. Dan Rachel adalah gambaran dari kita yang hidup sederhana atau bahkan bisa dikatakan kurang beruntung. Ia hanya hidup bersama ibunya, sedangkan ayahnya entah di mana.

Sedangkan Nick adalah gambaran dari hidup yang glamor, kaya raya, uang adalah senjata mereka. Tapi kekayaan tidak membuat Nick hidup bahagia. Ia selalu dihalangi orangtuanya untuk berhubungan dengan Rachel: sumber kebahagiannya!

Orang tua Nick beranggap Rachel tidaklah setara dengannya. Apalagi mereka sangat khawatir dengan uang meraka, ditambah ketika mereka tahu Rachel adalah dosen ekonomi. Ekonomi! Sudah pasti wanita ini mata duitan dan menikahi Nick hanya mengincar uangnya!

“Aku tidak tahu siapa orang-orang ini. Tapi aku dapat memberitahumu satu hal—orang-orang ini lebih kaya daripada Tuhan.” (152)

Jujur saja, aku memiliki masalah ketika membaca novel ini. Pertama, ada beberapa diskripsi yang tidak aku pahami, contohnya seperti penyebutan merk baju, desainer, jenis makanan, jenis perhiasan, dan istilah-istilah ‘orang kaya’ lainnya.

Bisa dibilang, novel ini memiliki alur yang lambat dan hati-hati. Jadi pembaca harus sabar untuk bisa mencapai klimaksnya. Bahkan aku merasa bosan ketika sudah membaca separuh lebih, namun ketika menuju akhir, aku menemukan banyak kejutan dan rela begadang untuk membaca bab selanjutnya sampai tamat. Haha..

Ada banyak pelajaran yang kita ambil dari novel ini. Tentang kesetiaan hubungan, tentang kesenjangan, sudut pandang etnis tionghoa, dan tentu saja tentang bagaimana memerlakukan sesama manusia.

MENGENAL SHERLOCK HOLMES MELALUI 'PENELUSURAN BENANG MERAH'

Pada dasarnya ini adalah novel yang tipis dan sederhana. Bercerita tentang sebuah pembunuhan kemudian seorang detektif mengungkapnya. Tapi yang membuat menarik ketika membaca novel ini adalah kau dapat menemukan tokoh yang memorable. Ia akan terus teringat di kepalamu berhari-hari, dan kau mungkin akan bergumam: tokoh ini tidak manusiawi tapi menarik, tapi menyebalkan, tapi ah sudahlah..

Tokoh itu siapa lagi kalau bukan Sherlock Holmes. Dalam Novel Penelusuran Benang Merah, kita bisa mengenal sang detektif secara dekat dan runut. Maksudku, mungkin akan beda rasanya jika kamu ingin mengenal Holmes melalui seri novelnya yang lain. Sebab dari Novel inilah ia digambarkan dari A-Z, setidaknya menurutku.

Novel ini dibuka dengan sudut pandang orang pertama melalui tokoh Dr. Watson. Ia adalah dokter perang vetaran. Tanpa sengaja ia bertemu Sharlock Holmes dan berbagi tempat tinggal dengannya.

Dr. Watson adalah gambaran dari kita. Ia sama seperti kita ketika menemui sikap aneh dari sang detektif. Seperti fakta bahwa Holmes tidak menyadari bahwa bumi mengitari matahari.

Tapi Holmes memiliki alasan kenapa ia tidak tahu hal tersebut. Karena baginya hal kecil seperti bumi mengitari matahari tidaklah penting.

Setelah ia tahu hal tersebut, ia mencoba untuk melupakannya. Karena baginya otak manusia seperti loteng, cukup masukan barang-barang yang penting saja dan tertata rapi. Jika itu tidak penting, hanya memenuhi ruangan dan mengganggu.

Dari sini aku belajar bahwa selama ini jika kita menganggap belajar tentang banyak hal adalah hal yang sangat fantastis, itu keliru, karena otak kita tidak mungkin bisa menerima itu semua.

Otak mempunyai batasan, gunakan semaksimal mungkin dan buang yang tidak penting.

Itu baru salah satu sifat aneh Holmes. Sifat yang membuatku tergelitik adalah deduksi-deduksi yang tampaknya ngawur.

Yakni bahwa dari setetes air sesorang yang mengandalkan logikanya bisa menentukkan apakah air tersebut berasal dari Samudera Atlantik atau Air Terjun Niagra, meskipun ia belum pernah melihat kedua tempat itu. (Hal. 22).

Meskipun terdengar ngawur, hal itu dapat dibuktikan Holmes. Dengan seringnya ia mengamati, ia bahkan bisa tahu apa profesi seseorang hanya melihatnya dari jauh, dan banyak lagi keanehan lainnya.

Menurut Dr. Watson, teman sekamarnya itu adalah mesin pemikir paling hebat se Eropa!

***

Dalam buku ini, kasus yang dihadapi Holmes bukan sekedar pembunuhan biasa. Kendati ia sudah tahu ciri-ciri pelakunya hanya dengan mendatangi TKP.

Ia akan mengamati debu-debu, sisa cerutu, dan bekas tapak sepatu. Hanya dari amatan itu, ia bisa tahu tinggi, umur, hingga berat badan pelaku!

Ketika detektif dari kepolisian membuat spekulasi yang salah, Holmes sudah mengantongi identitas pelaku dan membuat rencana untuk menangkapnya dengan cara yang tidak biasa.

Demikianlah novel berjalan. Aku bisa katakan bahwa pertunjukkan utama dalam novel ini adalah pemikiran dan amatan yang tajam dan tidak biasa dari Holmes, tanpa menyebutkan bahwa kasus yang ditangani tidak terlalu menarik, tentu saja.

Setting waktu dalam novel ini adalah 80-an dan di London. Aku sedikit kesulitan di bagian narasi penggambaran tempat. Tapi di samping itu semua, novel ini sangat menghibur dan menggemaskan!

Membaca Ketika Lampu Berwarna Merah (Hamsad Rangkuti)

“Bagus! Jakarta kota keras. Kota tempat orang berdusta. Bapak tinggal di sekitar para pendusta. Semua orang tinggal di Jakarta akan menjadi orang pendusta. Jakarta tempat semua pendusta!” 

Ketika lampu berwarna merah, semua kendaraan berhenti, kecuali mereka para pengemis yang memanfakatkannya untuk berkeliling kesana dan kemari. Memasang wajah paling iba dan meminta-minta. Pemandangan seperti itu tentu saja sudah tidak asing lagi di kota-kota besar, apalagi Jakarta.

Novel ini berkisah tentang itu, orang-orang yang hidup di pinggir Jakarta, rumah dengan karton, hidup di pinggir rel dan kali, hidup dengan mengemis dan menipu. Terkadang kita berpikir bagaimana kehidupan mereka, bagaimana mereka tidur, makan, mandi, bahkan menikah? Apakah mereka mempunyai masa depan?

***

Diceritakan Kartijo—yang tinggal di sebuah desa yang terancam digusur karena ada proyek waduk—mempunyai anak yang kabur ke Jakarta karena kagum dengan monas yang menjulang tinggi. Nama anak itu Basri, ia masih anak-anak, tapi karena mendengar cerita hebat dan gemerlapnya Jakarta, ia mempunyai tekad untuk pergi ke sana.

Ketika sudah sampai Jakarta dan melihat monas, ia bingung, ia akhirnya bergabung dengan anak-anak jalanan. Hidupnya berubah, kini hari-harinya hanya mengemis dan mengemis.

Orangtua Basri tentu terus mencari anaknya,  Jakarta luas, dan membutuhkan tenaga untuk menemukannya. Tetangga Kartijo yang pernah ke Jakarta mengaku mengaku pernah melihat Basri di suatu perempatan.




Bertahun-tahun, hingga anaknya kini nyaman dengan hidup dengan mengemis, dan bertemu dengan teman-teman barunya. Sedang Kartijo terus mencari anaknya di setiap perempatan Jakarta. Yang ia tahu: anaknya terlihat di perempatan, yang ia tidak tahu: anaknya hidup dengan hasil mengemis.

“Apa dia yakin kita membeli martabak?”
“Kita membawa uang untuk membelinya.”
“Dia lihat kita sering mengemis di restoran itu. Dia tahu kita pengemis. Bukan pembeli.”
“Apakah pengemis tidak pernah membeli martabak?”
“Aku kira tidak. Pengemis hanya akan memakan martabak dari sisa-sisa orang yang makan di restoran.” (halaman 51)

Novel ini membawa kita untuk mendekati dunia yang terpinggirkan. Melihat mereka yang tidak beruntung hidup di gubuk-gubuk. Melihat mereka hidup hingga mati.

Ia juga mengangkat bagaimana hubungan seorang ayah dengan anaknya, serta arti persahabatan yang tulus yang terjalin antara Basri dan teman-teman barunya.

Hamsad Rangkuti dikenal sebagai penulis yang hyper-realis, ia menggambarkan seolah begitu nyata
dan sangat dekat dengan mata kepala kita. Ia menulis dengan cara yang (sangat) sederhana, namun apa yang ditulisnya mengandung banyak makna. Tak heran jika novel ini merupakan salah satu pemenang sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta (DKJ, 1981).

Membacanya membuatku haru sekaligus bersyukur diberi kehidupan yang layak, karena terpinggirkan tentu saja bukan pilihan tiap manusia.


Membaca 'Cinta Tak Pernah Mati' (Eka Kurniawan)

Mendengar nama Eka Kurniawan, di kepalaku langsung menuju ke sebuah tulisan yang vulgar, cabul,  jenaka, dan kasar. Namun hal itu kemudian menjadi runtuh ketika membaca kumpulan cerpen Cinta Tak Ada Mati pada cerpen pembuka.

 Eka mengutip ayat Alquran di awal cerpen. Pikiranku refleks: apa Eka akan menulis religi? Ditambah lagi ada cerpen yang berjudul Surau ketika kubaca daftar isi buku. Apakah aku akan menemukan ‘Eka’ yang sebelumnya aku kenal dari novel-novelnya? Atau dari buku ini aku akan menemukan sisi lain Eka?

Jawabannya adalah tidak, Eka tidak kehilangan ciri khasnya. Hanya saja aku lebih suka cerpen-cerpennya yang panjang dibanding cerpen yang pendek di buku ini. Entahlah, menurutku Eka mempunyai kodrat-nafas-cerita-yang-panjang ketimbang cerita singkat.

Mungkin ini hanya masalah selera, kamu perlu membacanya langsung untuk membuktikannya.

Cerpen favoritku adalah cerpen yang juga sebagai judul buku ini: Cinta Tak Ada Mati. Bercerita tentang pria tua yang mencintai gadis muda. Bisa dikatakan ini cinta yang aneh, begitu juga fantasi-fantasi si tua.

Pada umur tujuh puluh empat tahun, Mardio masih seorang bujangan yang sama sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Tak seorang perempuan pun di dunia pernah ditidurinya, dan semua itu hanya karena cinta sucinya kepada seorang perempuan yang tampaknya tak perrnah dilahirkan untuk menjadi milikinya. (halaman 19)

Hingga akhirnya si pria tua jatuh cinta dengan salah satu gadis dan bermaksud untuk memperistrinya. Tentu saja ia menolak dan lebih memilih pria yang lebih baik. Namun si tua tetap bersikeras terhadap pendiriannya hingga semua berakhir sia-sia belaka (sebenarnya tak sesederhana itu).



Kemudian cerpen favoritku berjudul Surau. Berkisah tentang pria yang bergelut dengan hatinya sendiri ingin salat atau tidak ketika ia terjebak di Surau ketika di luar hujan deras. Ia merasa harus salat karena segan sudah datang ke tempat itu, namun di sisi lain ia sudah lama tidak menjalankan perintah agama.

Kemudian muncul masa lalu kecilnya, di mana ia selalu disuruh ayahnya untuk rajin salat dan berdoa. Nemun menjelang dewasa, semua itu ia lupakan begitu saja.

Barangkali aku tidak sungguh-sungguh kehilangan iman. Entah dengan cara apa, aku masih percaya kepada Tuhan. Kubayakan Tuhan memandangku dari atas sana, sia-sia masa lalu ketika ayah dan guru mengaji menanamkan-Nya di kepalaku. (halaman 70) 

Cerpen-cerpen di dalam buku ini cukup berwarna, ada cerita yang berbau romantis, horor, religi, hingga pewayangan. Tidak semua cerpen di buku ini melekat di kepalaku, hanya beberapa saja. Nilai plus dari buku adalah ia mempunyai kekuatan ending yang kuat dan menggelitik.
 
Sebelumnya buku ini pernah terbit pada 2005, perbedannya ada 3 cerpen baru di edisi 2018 di antara 13 cerpen lainnya.

Secara keseluruhan aku menyukai buku ini, kendati kuakui ini bukan karya Eka terbaik yang pernah kubaca.

Menyelami dunia jurnalistik yang kelam bersama Cak Rusdi

Sekitar sebulan lalu aku bertemu dengan anggota ekskul jurnalis SMK-ku dulu. Di tiap tahun diadakan sebuah pertemuan untuk memperkenalkan anggota baru kepada dunia jurnalis.

Aku tidak menyiapkan materi untuk berbicara di depan mereka (karena ini mendadak). Untungnya aku belum lama ini sudah menyelesaikan buku karya Rusdi Mathari: ‘Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan’ yang membuatku kagum.



Jadi aku bisa mengutip sedikit-banyak yang Cak Rusdi tulis di buku ini ketika aku di depan anggota jurnalis baru itu. Aku menyampaikan kepada mereka tentang blog salah satu warga Mesir yang  mengambil peran dari arus media utama, aku cerita tentang wartawan yang menulis berita tapi fiksi, tentang wartawan bodoh karena menanyakan saksi yang melihat mayat dan menanyakan hal bodoh, dan banyak lagi.

Artinya sebagian besar yang ada di dalam buku itu menempel di kepalaku, setidaknya begitu menurutku.

Melalui buku ini aku dapat menyelami dunia jurnalistik khususnya di Indonesia. Cak Rusdi dalam buku ini seperti bercerita dengan gaya santai kepada pembaca. Tapi dalam kesantaian itu, sebenarnya ia sedang membawa isu dan kasus yang tidaklah kecil.

Kebanyakan tulisan yang ada di buku ini pernah dimuat di blog Cak Rusdi dan akun Facebooknya. Jadi wajar jika buku ini terbilang ringan karena maksud dari penulisnya adalah menulis di blog dan status Facebook, bukan dimaksudkan untuk menjadi buku.

Dengan tulisan yang terbilang ringan tersebut, pembaca jadi bisa lebih akrab ketika menyelami pikiran-pikiran Cak Rusdi. Poin penting dalam buku ini adalah kritiknya terhadap media hingga profesi jurnalis itu sendiri. Ia secara blak-blakan membicarakan itu, tentu saja dibalut dengan pengalamannya yang terbilang senior di kancah kejurnalistikan nasional.

Ia berbicara tentang profesinya sendiri, di mana kebanyakan jurnalis tidak mau disandingkan dengan pekerjaan buruh lainnya. Seolah pekerjaan jurnalis kebal PHK atau dipecat. Padahal pekerjaan jurnalis sama seperti pekerja buruh lainnya, hanya saja kebanyakan orang yang bekerja di media seperti ini terlalu banyak gengsi dan menggagap dirinya lebih cerdas dari orang yang bekerja lain.

Hal itulah yang membuat pekerja media sedikit untuk membuat serikat pekerja. Padahal dengan membuat serikat pekerja, hak-hak mereka menjadi lebih diperhatikan. Gaji jurnalis juga tidak besar-besar amat, bahkan bisa dibilang miris.

Cak Rusdi juga menyebutkan pekerjaan jurnalis dewasa ini sudah mulai runtuh wibawanya di mata  masyarakat. Ia bersanding dengan politikus yang suka korup dan tebar janji. Wajar saja, karena media dewasa ini memang sudah semrawut. Dosa jurnalis, dosa media.

Jadi, masihkah jurnalis menjadi pekerjaan idaman?

Tidak hanya tulisan kritiknya tentang media, di buku ini juga ada rangkuman dari seminar Cak Rusdi. Seperti bagaimana memerlakukan sumber berita, melakukan wawancara, verifikasi, dan sebagainya. Hal itu bisa menambah wawasan pembaca di dunia jurnalis.

Buku yang mengangkat kritik terhadap media seperti ini sepertinya harus dibaca oleh banyak orang. Karena dengan membacanya kita dapat berpikir ulang tentang bagaimana menerima informasi yang terus kita terima sehari-sehari.

Terbitnya buku ini di ‘tahun panas politik’ agaknya memang tepat. Ia seperti oase di tengah keriuhan media yang tidak karuan. Kita sepertinya perlu berhenti sejenak untuk berkata-kata yang tidak berguna, dan mencoba menundukan kepala sambil membaca buku-buku penuh manfaat seperti buku ini.



Film Peppermint: Dendam Edan-edan Seorang Ibu

Peppermint bercerita tentang dendam seorang Ibu (sekaligus seorang isteri) karena anak dan suaminya terbunuh tepat di depan matanya. Ketika di pengadilan, keadilan sema sekali tidak memihak kepadanya.

Tepat di tanggal kematian anak dan suaminya--setalah 5 tahun menghilang, ia membunuh orang-orang yang telah 'melukainya' dengan cara paling sadis. Mulai dari orang-orang di badan pemerintahan hingga gembong narkoba.




Tokoh utama di film ini adalah Riley Nort (Jennifer Garner), ia digambarkan secara edan-edanan sebagai seorang perempuan malang yang kehilangan orang tersayang. Ia seperti mempunyai nyawa seribu, pandai menggunakan pisau, senjata api, dan berkelahi.

Film ini mengingatkanku dengan The Foreigner (2017), sama-sama tentang seorang yang mencari keadilan karena aggota keluarganya terbunuh.




Bedanya, The Foreigner diperanutamakan oleh Jackie Chan, adegan aksinya jelas berbeda kelas, latar belakang bagaimana ia bisa mahir berkelahi dan--menggunakan senjata api untuk membunuh orang-orang di balik kematian keluarganya--jelas digambarkan di dalam film. Berbeda dengan Peppermint, tidak jelas bagaimana Riley Nort mendapat keahlian membunuh orang.


Yang aku sukai dari film ini:
Selain aksi, Peppermint juga menyajikan drama. Keluarga memang harta paling berharga, melihat seorang Ibu yang berusaha mencari keadilan di sebuah layar lebar memang menguras emosi. Terkadang ia berada di puncak dendamnya, lain waktu berada di kesedihan paling mengerikan.

Yang tidak aku sukai: 
Tokoh utama yang terlalu sempurna, ia hampir tidak mempunyai cacat sedikit pun, dan bisa melakukan apa aja semaunya. Padahal aku berharap di tengah-tengah cerita si tokoh utama akan bertemu dengan ‘lawan yang sepadan’. Namun nyatanya tidak, dan itu membuatku kecawa. Ia terlalu mudah melakukan aksinya!




Terlepas dari itu semua, film ini masih bisa dinikmati untuk mengisi akhir pekanmu dengan penuh ‘darah’ dan emosi yang teraduk-aduk.***


*gambar dari berbagai sumber

Internet dan Literasi Kita

Baru-baru ini santer kabar tentang mantan finalis suatu pencarian bakat—membobol mobil, ia mempelajari hal itu dari internet. Kita tahu itu merupakan salah satu contoh kasus dari ‘manfaat’ internet yang kurang baik. Internet ibarat pisau tajam bermata dua, dan kitalah yang menentukan sisi mana yang ingin digunakan.

Mungkin di suatu tempat ada orang sedang belajar membobol mobil dari internet, tapi di lain tempat ada seorang yang sedang belajar membuat kue yang nikmat untuk dihidangkan pada saudara-saudaranya yang akan hadir ke rumah di akhir pekan.




Dunia maya bagai sebuah rimba, seseorang yang tidak mempunyai ‘kompas’, maka ia akan dengan mudah tersesat. Internet juga bisa memengaruhi seseorang dengan informasi yang sangat mudah dan cepat didapat oleh siapa saja yang berselancar di sana. Pertanyaannya adalah, sejauh mana kita dipengaruhi internet? Apa itu pengaruh baik atau buruk?
 
Melihat banyaknya konten negatif di internet yang merugikan, pemerintah ambil andil. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika tercatata telah memblokir 850 ribu situs berbau pornografi, perjudian, dan konten negatif serupa. Namun seolah tidak pernah habis, diblokir 1 situs, muncul 10 situs lagi. 

Akhirnya semua kembali ke diri masing-masing, ‘pemblokiran’ terbaik adalah kesadaran diri sendiri. Dan pemerintah sadar akan hal itu, pemerintah mengatakan bahwa literasi adalah kuncinya.

Namun agaknya kita perlu kembali menelaah apa itu sejatinya literasi. Iqbal Aji Daryono menulis di detik.com dengan judul ‘Menggugat Lagi Makna Literasi’, mangatakan bahwa literasi adalah sebuah sikap mental yang membawa diri memiliki daya kritis, refleksi, dan skeptisme, ia tidak dapat dibangun sekadar dengan sekolah, bahkan tidak juga sekadar dengan buku-buku. Literasi adalah tradisi permenungan berjarak yang membantu penelaahan secara sabar, runtut, mendalam, dan reflektif. Dari sanalah akan terbuka menuju masyarakat yang matang dan dewasa.

Kita tahu hampir mustahil untuk mengatur seseorang untuk berselancar di internet, tidak bisa dinafikan lagi bahwa di internet sendiri banyak tutorial untuk membuka situs yang diblokir.

Dan pada akhirnya, semua itu kembali pada diri masing-masing, kita selaku pengguna internet, ingin menggunakannya pada sisi negatif atau postif, ingin menggunakannya untuk mengakses konten seperti pornografi, judi, dan membagikan berita bohong atau menggunakannya untuk mengakses konten postif dan membuat konten kreatif.

Melihat masalah di atas, Telkomsel melalui #InternetBAIK (Bertanggung Jawab, Aman, Inspiratif, dan Kreatif), rajin mempromosikan bagaimana memanfaatkan internet untuk perbaikan, kontribusi positif kepada masyarakat luas dalam rangka meningkatkan kualitas hidup bersama. Dengan cita-cita membuat ekosistem digital yang sehat.

sumber: internetbaik.web.id


Tidak hanya memblokir situs negatif ketika berselancar dengan Telkomsel di internet, Telkomsel juga giat untuk membuat aksi nyata seperti mengadakan seminar. Dalam seminar ini akan lebih membahas peran orang tua, pendidik, pengajar dan guru dalam membimbing dan mendampingi anak dan generasi muda agar dapat memanfaatkan kemajuan teknologi informasi secara bertanggung jawab, aman inspiratif dan kreatif.

Tidak hanya itu, ada juga workshop membuat konten kreatif seperti menulis blog atau membuat film pendek garapan sendiri. Sebuah kegemaran yang harusnya ada di anak muda zaman sekarang.

Dimulai dari tahun 2016, Telkomsel bersama ketiga mitra yaitu Yayasan Kita dan Buah Hati, Kakatu, dan ICT Watch hendak merajut serta meluaskan kampanye edukasi internet yang BAIK (Bertanggung Jawab, Aman, Inspiratif, dan Kreatif) dalam sebuah program dan gerakan yang lebih terpadu, terencana dan melibatkan banyak kalangan sehingga pada akhirnya pemahaman tentang #internetBAIK menjadi kebutuhan semua pihak.


sumber: youtube


Sejauh ini tercatat Telkomsel sudah melakukan edukasi di 27 kota, 84 sekolah, 6795 murid, 5897 orangtua dan komunitas serta 1613 duta #internetBAIK.

Telkomsel sadar bahwa untuk membentuk smart village dan smart country, maka yang perlu diwujudkan adalah smart people.telebih dahulu.***


Sumber bacaan:
https://news.detik.com/kolom/d-4207227/menggugat-lagi-makna-literasi
https://www.liputan6.com/showbiz/read/3648226/belajar-dari-youtube-begini-aksi-dede-richo-saat-mencuri
https://www.idntimes.com/news/indonesia/afrianisusanti/menkominfo-850-ribu-konten-negatif-diblokir
http://internetbaik.web.id/

Film Crazy Rich Asian: Romance-Comedy yang Pas


Film yang kutunggu-tunggu akhirnya tayang. Crazy Rich Asians bercerita tentang hubungan Nick (orang kaya raya) dan Rachel (profesor ekonomi) yang tidak disetujui oleh Eleanor (Ibu Nick) karena beberapa alasan. Keluarga Nick terkenal sebagai keluarga yang kaya raya, namun hal itu Nick sembunyikan kepada kekasihnya selama setahun mereka menjalin kasih.

Walhasil Rachel terkejut ketika mendapati fakta kekasihnya ternyata orang yang kaya sekaligus terkenal dan, tentu saja wanita di luar sana merebutkannya. Hal itu semakin jelas ketika Rachel diajak ke Singapura untuk diperkenalkan kepada keluarga Nick.

Sumber gambar:google


Film ini adalah buah adaptasi dari novel best seller internasional dengan judul yang sama, ditulis oleh Kevin Kwan, orang Singapura keturunan Tionghoa yang tinggal di Amerika. Ini adalah novel pertamanya dan langsung meledak. Salah satu alasan kenapa novel ini bisa laris adalah karena ia menyinggung budaya Tionghoa secara buka-bukaan.

Setting tempat di film ini juga tidak jauh dari dunia penulis, yakni Amerika dan Singapura.

Aku belum membaca novel tersebut sebelumnya, namun agaknya aku bisa menilai tokoh yang 'menempel' di film ini, juga alur cerita, adalah hasil dari novel tersebut. Rachel digambarkan sebagai wanita yang kuat dan pemberani. Kendati ia tidak direstui, namun itu tidak membuatnya gentar. Sedang Nick adalah pria yang dewasa dan cool.

Unsur komedi dalam film ini sangat apik dan begitu orisinil, ia tidak dibuat-buat dan sukses membuat penonton seisi bioskop tertawa. Komedi itu dikemas dengan sederhana baik berupa dialog maupun tingkah laku tokoh—walau hanya dalam beberapa detik saja.

Tentu saja hal itu membuat penonton merasa puas karena film ini mampu menyajikan hal romantis dan komedi sekaligus secara pas dan sempurna, hal yang tidak mudah ditemukan di film-film lain.

Film ini juga mampu menyajikan drama yang membuat penonton (termasuk aku) menangis. Aku tidak bisa menahan perasaan campur aduk di dada dari konflik yang ada di film tersebut. Aku merasa kasihan kepada Rachel, dan haru atas perjuangannya menghancurkan tembok besar.

Film dibuka dengan kegarangan Eleanor, ibu Nick yang membuat dalam berjalannya cerita, sifat itu dengan mudahnya menempel pada diri Eleanor. Peran Eleanor sangat sakral di film ini, ia adalah sosok ibu yang judes dan berpendirian, wajahnya tegas juga kata-katanya.

Jangan lupakan juga masalah yang diderita Astrid, sepupu Nick yang juga kaya raya. Astrid mempunyai masalah dengan suaminya yang bersumber dari kekayaan. ‘Kaya belum tentu bahagia’ menempel pada sosok Astrid.

Durasi film ini 119 menit, termasuk durasi yang panjang, namun tidak terasa karena membuat siapa saja bakal larut dalam ceritanya.

Film ini disambut positif oleh penikmati film, terlihat di IMDB film ini mendapat skor 7,6 dan dan 93%  di Rottentomatoes.

Pertama kali membaca buku Agatha Christie: The Thirteen Problems

Sebelumnya aku tidak terlalu tertarik dengan novel genre detektif. Namun setelah dipikir lagi dan ada keingininan untuk keluar dari zona nyaman-membaca, maka aku putuskan untuk mencoba membaca novel genre satu ini. Dan buku yang kupilih untuk itu adalah ‘The Thirteen Problems’ karya Agatha Christie.

Nama ini tentu saja sudah tidak asing lagi, namun aku baru menaruh perhatian setelah aku dibuat terpesona tak berdaya dengan film ‘The Murder Orion Express’ yang adalah adaptasi dari salah satu novel Agatha.

Maka aku putuskan untuk membaca bukunya sebagai bentuk untuk mencari sensasi-sensasi film yang mungkin saja bisa aku dapatkan di bukunya yang lain.

Dan, ya, ternyata untuk mencari bukunya tidaklah mudah, butuh beberapa bulan untuk akhirnya bisa membacanya.


 ‘The Thirteen Problems’ bercerita tentang pengalaman misteri-misteri yang sulit dipecahkan, seperti judulnya, misteri tersebut ada 13 kasus. Jadi, pada suatu malam ada beberapa tamu berkumpul di rumah Miss Marple, seorang perawan tua yang hidup di sebuah desa.

Kemudian para tamu menceritakan pengalaman menarik mereka masing-masing. Di antara para tamu tersebut ada yang seorang penulis, model, dokter, bahkan pendeta. Hanya Miss Marple di antara mereka yang terlihat kuno dan tidak meyakinkan untuk memecahkan misteri.

Cerita para tamu di rumah Miss Marple kebanyakan bercerita tentang pembunuhan. Jadi, setiap orang yang bercerita sudah mempunyai jawaban dari kasus tersebut. Setiap tamu yang lain, juga Miss Marple, mendapat kesempatan untuk menganalisis kasus tersebut dan menebak apa motifnya hingga pelaku utama.

Namun, dari sekian analisis, hanya pandangan Miss Marple yang tepat sesuai jawaban. Padahal nenek tua perawan ini tidak terlalu meyakinkan.

Tiap memecahkan kasus, Miss Marple selalu mengaitkan dengan peristiwa yang terjadi padanya. Hanya peristiwa sederhana, namun dari situ ia bisa mengambil kesimpulan.

“Banyak kejadian yang mirip satu sama lain di dunia ini,” ujar Miss Marple, “misalnya Mrs. Green, dia mengubur lima anak dan masing-masing mereka diasuransikan. Yah akhirnya orang mulai curiga.”

Novel ini berhasil membawaku ke dalam perkumpulan di sebuah ruang tamu yang hangat: saling menyimak cerita, menganalisis, dan membuat kesimpulan. Walau pada akhirnya hanya Miss Murple yang tepat menjawabnya.

Kasus-kasus dalam cerita ini sangat menarik, mulai dari pembunuhan hingga pemalsuan identitas. Sebuah kasus yang hanya dilakukan oleh mereka yang sangat detail dan terencana, ribet seperti benang yang kusut.

Namun Miss Marple hadir sebagai tokoh yang selalu bisa meluruskan benang kusut itu melalui analisisnya yang tajam. Yang membuat siapa saja bakal terkagum-kagum dengan si perawan tua ini. Sebagai tokoh utama, ia memiliki karakter yang sangat nempel di kepalaku, dan kuyakin akan terus kuingat bertahun-tahun.



Novel ini tidak terlalu tebal, terjemahannya juga bagus, walau di beberapa ada bagian yang membuatku bingung dan harus membacanya ulang.

Perbedaan sensasi membaca novel detektif dengan novel lainnya adalah ia bisa membawa pembaca berpikir keras, dan selalu ada kejutan di akhir cerita yang bisa membuat geleng-geleng kepala.

Novel ini barangkali adalah jembatanku untuk mulai gemar membaca novel detektif, dan tentu saja sekarang aku sedang memburu buku-buku Agatha.




Film Searching: Bukan Sekadar Mencari Anak Hilang

Film Searching bercerita tentang hilangnya seorang gadis berusia 16 tahun. Setelah mengetahui kabar hilang anaknya tersebut, sang ayah mencoba untuk mencari dengan menelusuri jejak digital anaknya seperti facebook, instagram, twitter, dan sebagainya. Dan ternyata, sang ayah memang benar-benar tidak mengenal putrinya tersebut setelah mengetahui fakta-fakta yang ia temukan melalui jejak digital. Sebuah fenomena yang mungkin saja sering dialami oleh orang tua zaman sekarang.

Film dibuka dengan tumbuh kembang si gadis bernama Margot Kim sejak kecil, alur berjalan cepat, dan berhenti ketika ia sudah masuk SMA. Sang Ayah selalu mengabadikan momen-momen dan meyimpannya di komputer. Hal itu membuat penonton jadi lebih sering disuguhkan dengan sudut pandang kamera smartphone, cctv, bahkan live broadcast.

Sumber gambar: google

Kekhasan kulitas video (seperti kamera smartphone) tersebut benar-benar dipertontonkan begitu saja, tanpa dibuat-buat, walau hasilnya agak buram. Tapi hal itu membuat film menjadi lebih bisa membawa emosi penonton alih-alih mempermasalahkan kualitas gambar. 

Tidak ada dialog yang tak perlu, semuanya membangun cerita. Bahkan hanya sebuah pesan teks, itu pun bisa membuat tegang penonton. Itu menandakan cerita dibangun dengan baik dan kuat, kendati hanya dengan premis sederhana.

Dalam pencarian Margot Kim, ada banyak kemungkinan-kemungkinan kenapa ia hilang, dan ini adalah poin paling seru menurutku. Film seperti mengajak penonton untuk berpikir, menaruh curiga ke banyak tokoh, dan akhirnya dibuat kecewa karena apa yang telah kita pikirkan adalah kesia-sian belaka.

Jangan lupakan juga latar musik dari film, ia mampu membawa emosi penonton terjerumus lebih dalam lagi,

Pokok dari cerita ini adalah hubungan anak dengan orang tua yang dikemas dengan ciamik dan jenius. Tentang masalah yang sangat dekat dengan kita, remaja yang tak pernah lepas dari media sosial. Film ini memang memiliki kesan serius, namun anehnya ia mampu membuat penonton tertawa di sela-sela jalannya cerita.
 
Terlepas dari itu semua, aku putuskan bahwa film ini masuk list film favoritku tahun ini bersanding dengan Loving Pablo!

Membaca Novel Perdana Eko Triono: Para Penjahat dan Kesunyiannya Masing-Masing

Melalui program Columbus, para mantan badit dari tahanan ditempatkan di sebuah daerah bernama Jabelekat untuk membangun kota baru seperti Mexico, Tokyo, Sydney atau New York.

Parta Gamin Gesit merupakan salah satu bandit yang tinggal di Jabelekat bersama istrinya. Tahun-tahun pertama, mereka mendapat jatah beras dan barang pokok lainnya dari pemerintah, namun setelahnya, mereka mandiri. Seperti membuka lahan atau berbisnis. Semuanya dimulai dari nol.

Novel ini ditulis oleh Eko Triono, nama yang lebih dikenal sebagai cerpenis. Itu pula yang kuyakini ketika membaca novel ini, aku masih bisa mencium aroma cerpen.



Setting tempat novel ini adalah sebuah tempat yang bernama Jabelekat, tentu saja ini fiktif. Sebagai orang Cilacap, ketika mendengar Jabelekat, yang tergambar di kepalaku adalah sebuah tempat yang jauh. Diceritakan dearah itu awalnya kosong, kemudian diisi oleh para mantan-mantan bandit untuk membangunan kehidupan yang berarti.

Namun permasalahan mulai berdatangan, mulai dari Beruk maniak yang suka mengintip para wanita mandi, hingga monopoli dagang. 

Tentu saja dalam mengatasi masalah tersebut, kita tidak bisa membayangkan kehidupan normal seperti di sekitar kita. Ini adalah Jabelekat, daerah yang dihuni oleh para mantan bandit, bisa saja naluri bejat mereka keluar kapan saja.

Program ini (Columbus) digagas Presiden Republik. Dijalankan oleh Kementerian Transmigrasi. Tujuannya untuk mengirim bandit-bandit ke tanah baru. Agar mereka, kata Presiden, mengurangi jumlah penjara, konsumsi bubur sumsum, dan biaya cuci baju napi. Dan agar mereka menemukan hikmah kebijaksanaan dalam kebersamaan kembali dengan masyarat. (Hal. 18)

Maka setiap ada masalah, para penghuni Jabelekat akan konsultasi terlebih dahulu dengan orang paling pintar di antara mereka, orang yang diutus pemerintah untuk mengatasi masalah para penghuni Jabelekat.

Ia adalah Yusuf Yasa. Tapi anehnya, solusi yang dibawa oleh Yusuf Yasa terkesan nyeleneh. Ini membuatku berpikir ulang, bagaimana caraku membaca novel ini, haruskah dengan serius atau sedikit bercanda?

Misalnya saja dalam mengusir Beruk Maniak, Yusuf Yasa mengusulkan dengan membuat sayur bening dan sambal.

***

Novel diawali dengan akhir cerita. Jadi lembar-lembar selanjutnya kita akan membaca masa lalu bagaimana daerah itu sebelum adanya pemberontakan yang membuat Jabelekat ‘punah’ dari peradaban.
 



Dengan alur tersebut, pembaca agak sedikit kebingungan kalau tidak konsentrasi, karena bisa saja pembaca akan ling-ling: kemana arah cerita ini?

Seperti yang aku katakana di muka bahwa novel ini seperti mempunyai aroma cerpen. Itu karena menurutku apa yang ditulis oleh penulis begitu padat, rapat, tidak seperti novel yang biasa kita baca: lambat, runut, dan telling.

Ini adalah novel pertama penulis, dan tentu saja aku sangat mengapreasiasi usahanya untuk keluar dari zona nyamannya selama ini. 

Ending novel ini tidak terduga—walau akhir cerita sudah dibeberkan di awal novel—bahkan sukses membuatku berkata: bajingan!

Buat Apa Ikut Bukber?



Belakangan ini di media sosial dipenuhi dengan buka bersama (bukber). Seolah semua orang berlomba untuk membagikan momen tersebut. Entah bukber bersama teman sekolah atau teman kerja, yang penting judulnya adalah bukber, titik.



Aku masih ingat buka bersamaku pertama dulu adalah ketika SD kelas 5. Kami para murid dan guru mengadakan buka bersama di KFC, kami duduk di bangku panjang dengan tertib sambil menunggu maghrib.

Saat itu aku punya teman yang nonmuslim, namanya Kristin, waktu itu ia adalah bocah kecil lagi gesit. Entah apa yang ia lakukan di acara bukber seperti ini, dan yang anehnya lagi, ia juga menunggu adzan maghrib untuk menyantap makanannya.

Bertahun-tahun berlalu, dan belum lama ini aku buka bersama dengan teman-teman satu kerjaan. Bos kami adalah nonmuslim, dan ia memfasilitasi buka bersama bagi karwayannya yang muslim di sebuah hotel, bahkan mereka karyawan yang nonmuslim pun ikut hadir di acara ini. Dan mereka sama seperti Kristin, menyantap makanan ketika adzan maghrib berkumandang.

Hei, kenapa mereka tidak makan saja duluan? Kami yang sedang berpuasa juga menghargai mereka yang tidak berpuasa, bukan?

Pada akhirnya bukber bisa menyatukan kita, tidak memandang apa agamamu, intinya jika makan bersama setelah adzan maghrib itu adalah apa yang dinamakan bukber.

Aku rasa toleransi kita sedang sehat-sehat saja, hanya barangkali ada satu-dua orang yang masih berpikir pendek jika mereka sedang bermusuhan dengan agama lain, darah yang tidak sepaham dengannya adalah halal, jangan berteman dengan yang tak sepaham, dan seterusnya dan seterusnya.

***

Selain itu, bukber juga bisa sebagai ajang silaturahim yang manjur. Di mana teman sekolah dulu bisa bertemu kembali melalui momen ini. Bukber adalah media yang pas bagi semua untuk bertemu kembali untuk sekadar berbagi kabar atau cerita. Bahwa dulu kita pernah bersama di satu kelas, dan mensyukuri hari ini kita sudah bisa menghasilkan uang sendiri, sehat, dan bisa berbagi.

Sungguhlah rugi jika bukber digunakan untuk makan dan minum saja, esensi dari bukber adalah setelahnya. Kita bisa bertukar pikiran dengan teman lama, bercerita masa-masa tragis di sekolah, dan semua mungkin akan diawali dengan yang klise: “kerja di mana sekarang?” “sambil kuliah?”

Terkadang setelah bukber, kita lupa ibadah setelah itu, shalat Maghrib. Biasanya di tempat tertentu tempat ibadah tidak disediakan, jadi harus siap-siap cari alternatif lain. Alangkah baiknya ketika ingin memilih tempat untuk bukber, pastikan yang ada tempat ibadahnya.

Jangan sampai terlalu asyik bertemu teman lama, akhirnya sampai lupa ibadah shalat, jangan.

Jadi, buat apa bukber? Ya tentu saja ia memiliki fungsi yang banyak seperti silaturahim, mengenang masa sekolah, menyatukan perbedaan, dan sebagai bentuk syukur kita kepada tuhan bahwa kita masih mempunyai teman yang sehat dan mempunyai kabar yang baik. Semoga saja hal baik ini terus terbawa setelah bulan puasa meninggalkan kita. 

Kisah Cinta Pertama Rahwana yang Njelimet (Buku Cinta Mati Dasamuka)

Seorang anak kecil yang dibawa oleh kedua orang tuanya menghindar dari pengejaran. Melewati hutan, berpindah-pindah, penuh ketakutan. Selama itu pula ia harus menjaga ibu dan adiknya. Dalam pada itu, ia juga mendengarkan rahasia-rahasia kehidupan yang seharusnya tidak ia dengar: Sastrajendra.


 
“Sastrajendra mungkin mudah diucap, tapi tanpa kedalaman dan kelapangan seseorang dalam memahami hakikat hidupnya, ilmu itu akan dengan mudah menjadi racun yang menguasai kepala dan menebar kematian di mana-mana.” (Hal. 51)

Adalah Rahwana yang kemudian menjelma manjadi remaja raksasa. Ia memang keturunan Bangsa Raksasa yang di kemudian hari memimpin negeri bangsanya yang bernama Alengka penuh keserakahan.

Melalui buku ini, Cinta Mati Dasamuka (Rahwana), kita akan dibawa untuk menyusuri kehidupan Rahwana sejak kecil. Di mana ia adalah hasil dari perkawinan yang tidak semestinya. Bapaknyaknya adalah Wisrawa, yang harusnya melamar Sukesi untuk anaknya, malah ia sendiri yang menikahi calon isteri anaknya.

Itu karena Wisrawa menjabarkan tentang Sastrajendra kepada Sukesi sebagai syarat pernikahan, Sukesi adalah putri raja yang selalu haus akan ilmu. Sastrajendra sendiri adalah rahasia Tuhan yang menyingkap rahasia-rahasia kehidupan. Di mana ia tidak sembarangan untuk dituturkan dan diajarkan. Dan barangsiapa yang menjabarkan, maka ia akan kena hukuman dari Dewa.

Dalam menjabarkan Sastrajendra, Wisrawa meminta untuk ditempatkan di tempat tertutup, tidak ada siapapun selain dia dan Sukesi. Karena keadaan tersebut, ia tergoda oleh bisikan-bisikan yang kemudian membuat mereka berdua bercinta sepanjang malam, alih-alih menjabarkan Sastrajendra.


Tak ada guru dan murid. Itu semua runtuh. Menjadi sekadar seorang laki-laki dan perempuan. Yang tergoda oleh kebetuhan paling dasar. Terbius berahi. (hal. 57)
***
Di dunia wayang, setidaknya ada 3 bangsa yang selalu masuk ke cerita: Bangsa Manusia, Bangsa Dewa, Bangsa Raksasa. Berbeda dari Bangsa Manusia dan Raksasa, Bangsa Dewa memiliki keistimewaan layaknya malaikat. Mereka bahkan bisa membaca pikiran satu sama lain hingga akhirnya tidak ada salah paham sedikit pun.

Berbeda dengan Bangsa Dewa—Bangsa Raksasa dan Bangsa Manusia memiliki kekurangan dan hawa napsu. Dan dunia wayang, setidaknya menurutku, adalah sedang bercerita tentang sifat-sifat manusia itu sendiri.

Di mana kita terkadang bisa sebaik Dewa, sejahat Raksasa, atau seperti Manusia yang tidak pernah cukup. Ia sedang membicarakan kita. Dan untuk kali ini, lewat buku ini, Rahwana adalah aktor utamanya.

Rahwana diceritakan tumbuh dan memiliki ajian di mana ia bisa terbang dan jika bagian tubuhnya terpotong (termasuk kepalanya) itu akan tumbuh lagi. Manjadikan Rahwana seorang Raksasa yang sombong, tak terkalahkan.

Kendati ia sombong dan kasar, ia juga menginginkan wanita sebagai pendamping hidupnya. Pertama kali ia jatuh cinta adalah ketika ia bertemu dengan Widyawati di sebuah hutan. Tentu saja gadis ini ketakutan melihat Rahwana. Dan Rahwana berencana meminang gadis ini. Maka Rahwana meminta agar dibawa ke kedua orangtua si gadis.

“Siapa namamu, Nduk..? Bicaralah. Aku tak bermaksud jahat, justru aku ingin membawamu ke tempat yang lebih beradab. Hutan dan gunung bukan tempatmu, Cah Ayu. Istanalah tempatmu, duduk di indahnya singgasana.” (Hal. 113) 


Segala kesombongan, kepongkahan, dan segala sifat buruk Rahwana seakan rontok ketika duduk di depan bapak si gadis. Tapi wajahnya masih wajah raksasa, mengerikan, bertaring, rambut acak-acakan.

Si bapak gadis tidak setuju jika anaknya dipersunting raksasa, maka ia, walau sudah tua renta,  masih berani melawan Rahwana yang tinggi besar. Namun naas, ia malah dibunuh oleh Rahwana, juga ibu dari si gadis karena keduanya melawan untuk melindung anak satu-satunya itu.

Melihat kejadian itu, si gadis malah membakar dirinya sendiri. Rahwana berteriak kencang, dan itu adalah patah hati terhebatnya yang di kemudian hari menjadi petaka terhadap hidupnya dan negerinya.

Setelah patah hati terhebatnya tersebut, itu malah membuatnya semakin semangat untuk mencaplok negeri tetangga yang semua adalah Bangsa Manusia hingga menyebrang benua dan samudera.

Karena perbuatannya itu, Rahwana beserta adik-adiknya dihukum dan diasingkan. Dalam pengasingan tersebut, mereka dituntut untuk merenung dan mencari apa keinginan mereka yang sebenarnya.

Rahwana ingin menguasi dunia, Kumbakarna adiknya yang pertama ingin bisa makan dan tidur sepuasnya, Wabisana ingin tahu segala ilmu, dan Shurpanaka tidak jelas apa keinginannya karena selama ini ia berbuat semaunya, kebutuhan batinnya tak pernah cukup.

Bahwa hidup sejati hanyalah upaya menelisik membawa diri sehingga mampu merasakan nikmatnya makan dan minum. (Hal. 287) - Kumbakarna
*
Cerita tentang Rahwana menculik Sinta sepertinya sudah begitu tenar. Tapi motivasi Rahwana menculik Sinta barangkali masih sedikit orang yang tahu. Dan melalui buku ini, akhirnya aku bisa tahu kenapa Rahwana menculik Sinta.

Bahwa Sinta sangat mirip dengan isterinya ketika muda, dan ia menggap bahwa Sinta adalah anaknya yang hilang. Isteri Rahwana merupakan Bangsa Dewa. Bangsa Dewa mengutus Dewi Tari untuk menjadi isteri Rahwana untuk menyeimbangkan kehidupan karena Rahwana yang sudah meresahkan bahkan sampai kahyangan.

Sebelumnya, Rahwana terus mencari gadis yang mirip seperti cinta pertamanya. Mulai dari isteri raja hingga puteri kerajaan, ia ingin mendapatkan gadis itu dengan cara apapun. Awalnya Rahwana datang baik-baik. Namun akhirnya ia akan memberontak ketika tahu gadisnya disembunyikan darinya. Banyak orang mati karena pencarian cinta Rahwana.

Begitulah, namun sudah sifat Rahwana tidak pernah cukup, ia menculik Sinta dan mengakibatkan kekacauan. Rama dan para kera akhirnya menyerang istana Alengka untuk membebaskan Sinta. Pasukan Rama membuat daratan antar-benua berbulan-bulan, tentara mereka adalah kera yang tak kenal takut.



Akhirnya negeri Alengka hancur setelah peperangan berhari-hari, berdarah, dan penuh emosi.


**

Secara keseluruhan, aku sangat menikmati buku ini, ia begitu menghibur dengan ciri khas dongeng. Membaca kisah wayang tentu saja berbeda dengan membaca novel. Yang mencolok menurutku adalah dari penuturan antartokoh dan gaya bercerita.

Antartokoh di dalam buku ini begitu sopan dan menghargai, dan gaya bercerita penulis seolah sedang membacakan dongeng yang penuh keseruan dan kita tidak ingin segera tamat.

Bagaimana Saya Akhirnya Bisa Suka K-pop


Di suatu malam di Jogja, aku pernah ‘terjabak’ di kerumunan yang isinya adalah cewek-cewek penyuka K-pop. Salah satu dari mereka mengenalku, yang lainnya tidak.
“Ini lho, namanya Sokhi, dia suka K-pop juga,” katanya.
Lalu yang lain bertanya, “Ohya, suka denger apa?”
Aku berpikir lama, “Sejauh ini ini sih saya suka denger ost drama korea.”
Kemudian hening.

***

Sebelum aku suka K-pop, aku sudah suka nonton drama korea (drakor). Drakor pertama yang kutonton adalah Pinochio, kemudian ketagihan dan menonton Solomon Pejury, W, Goblin, dan yang teranyar: Radio Romance. Aku pernah menuliskannya kenapa aku bisa suka drama korea di sini:  Kenapa akhirnya saya jadi suka drama korea juga

Sebagai minoritas (baca: cowok yang suka drakor dan kpop) awalnya memang kumerasa ini perlu disembunyikan. Karena (1) Anggapan orang lain terhadap cowok yang suka drakor dan kpop sejauh yang kutahu, agak sedikit miring. (2) Tidak wajar seorang cowok menyukai drakor dan kpop sebab akan terkesan kemayu.

Bahkan, teman dekatku yang seorang cewek, sangat tidak menyukaiku ketika aku menonton Twice, Blackpink di youtube. Ia merasa risih ketika aku menonton mereka. Padahal kan aku merasa senang, musik mereka bagus, pengambilan gambar, dan dancenya juga asik.

“Bisa nggak sih kalau lagi nonton jangan di sampingku,” katanya.

Dan awal kenapa aku suka K-pop adalah ketika kegabutan itu datang, dan nggak sengaja mencet video Blacpink yang As If It’s Your Last. Dan ya aku langsung jatuh cinta dengan Girlband ini, terutama penampilan Lalisa. Kemudian aku menonton video yang lain, seperti Twice, Red Velvet, SNSD, kemudian Gfriend dan seterusnya, dan seterusnya.

Ternyata, video mereka sangat menarik hatiku. Dan saat itulah aku berikrar sebagai fansboy. Jika ditanya siapa biasku, maka aku akan menjawab Jihyoo Twice. Entah kenapa mbak yang satu ini sangat menarik hatiku, dan selalu membuatku bahagia ketika melihat senyumnya.


***

Setelah kutelusuri diriku sendiri kenapa aku bisa menyukai K-pop dan Drakor, adalah ketika aku tidak bisa menemukan hiburan di layar kaca kita. Layar kaca kita menurutku agaknya gagal menjadi media hiburan. Maka dari itu, aku mencari jalan lain yang akhirnya menemukan oasis itu: Drakor dan K-pop.

Sejauh ini, aku memang masih bisa dibilang awam, tidak terlalu meniak, ya sewajarnya saja. Tapi jika salah satu dari mereka datang ke Indonesia, aku merasa perlu untuk bertemu dengannya. Apalagi ada kabar nanti di Agustus, Twice mau ke Jakarta. Hati kecilku berkata bahwa aku harus wajib datang bertemu mereka. Jadi, apakah ini wajar?

Dan ketika kau suka K-pop dan drakor, kau bisa mempunyai bahan obrolan ketika bertemu teman. Dan ini cukup ada baiknya daripada kamu diam saja ketika teman-temanmu asyik ngobrol.

Terkait anggapan orang tentang cowok yang suka K-pop dan Drakor, menurutku terlalu berlebihan. Mereka tidak bisa menganggap sifat seseorang hanya dengan apa yang seseorang tonton.

Dengan menyukai Drakor dan K-pop, aku tidak otomatis menjadi ‘drama’, tidak otomatis jadi kemayu. Jadi ya, biasa-biasa aja, kita hanya sedang mencari pelampiaskan ketika media hiburan kita miskin bahan-bahan untuk membuat kita terhibur.


Ngapain ke Big Bad Wolf (BBW)?

Seorang pegiat buku, aku lupa siapa, pernah bilang begini: saya tidak setuju dengan rendahnya minat baca di Indonesia jika penyebaran buku di negera kita masih bermasalah. Akses untuk membaca buku masih susah, minim perpustakaan, minim buku murah. Kita baru bisa menilai negara kita rendah atau tidak dalam minat membaca buku ketika buku itu sendiri bisa dengan mudah didapat.

Kurang lebih begitu katanya.


Big Bad Wolf (BBW) merupakan pameran buku yang menjual buku-buku murah. Kita bisa mendapatkan buku dengan harga ‘tidak wajar’ di sini. Tapi tunggu dulu, bisa saja buku seleramu tidak ada di sini. Jadi jangan senang dulu.

Ketika aku datang ke BBW pada Jumat (30/03) aku menemukan banyak buku-anak di sana, kemudian nomor selanjutnya ditempati oleh buku-buku import berbahasa Inggris. BBW tahun ini diadakan di ICE BSD City. Walau namanya BBW Jakarta, tapi ia diadakan di Tangerang, ajaib memang. Ohya, acara ini diselenggarakan sampai tanggal 9 April.

Untuk mencapai ke tempat tersebut, dari tempatku, Mangga besar untuk sampai ke sana memerlukan banyak waktu dan ongkos. Aku belum pernah kesana sebelumnya, maka aku cari-cari informasi tentang bagaimana bisa mencapai ke tempat itu.

Maka aku naik shuttle bus dari ITC Mangga Dua, biaya perorangnya Rp. 20.000. Bus ini membawamu ke terminal BSD, kemudian transit 2 kali untuk akhirnya sampai di lobi ICE. Kamu tidak perlu membayar lagi, cukup Rp. 20.000 kamu sudah diantar hingga lobi ICE.

berasa pulang kampung

Masuk ke dalam gedung, aku menemukan orang berlalu-lalang dengan membawa plastik berisi penuh buku. Seketika darahku mengalir begitu deras, napasku satu-satu, begitu napsu. Itu semakin menjadi-jadi ketika aku masuk ke ruangan yang begitu besar, berisi banyak buku dan orang-orang. Belum sembuh dari pusing perjalanan, aku sudah dibuat pusing di tempat ini.

Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah mencari keranjang. Dan sialnya ketika aku datang, keranjang sudah habis. Sedangkan buku belanjaanku sudah tidak mungkin untuk ditenteng tangan. Maka aku menemukan keranjang di sebuah pojokan yang ada tulisan: Buku yang tidak jadi dibeli.
Aku bereskan buku-buku itu dan mengambil keranjangnya. Keranjang adalah elemen penting dalam BBW, percayalah.

buku tidak jadi dibeli

Sangat disayangkan banyak sekali buku berserakan di sana-sini, terutama di bagian ‘buku yang tidak jadi dibeli’. Entahlah apa yang mereka pikirkan ketika tidak membeli buku sebanyak itu.

Di ruangan sebesar ini, ada 1 tempat yang memusatkanku yaitu bagian: Buku Indonesia. Di sinilah buku-buku terbitan penerbit mainstream diobral abis-abisan. Ada penerbit Gagas Media, Divapress, Mizan, dan sebagainya.

Dan entah kebetulan atau bagaimana, buku yang aku beli semua dari penerbit Divapress, sebuah penerbit di Jogja yang pada masanya pernah konsesten menerbitkan kembali buku-buku sastra dari penulis-penulis senior seperti Danarto, Hamsad Rangkuti, Umar Kayam dan sebagainya. Dan selanjutnya penerbit ini membuka lini baru bernama Basabasi.


Tak terasa siang sudah datang, perutku sudah memberontak. Di sini memang disediakan foodcourt. Agak ribet memang untuk jajan di sini, kamu harus top up di kartu khusus minimal 100 ribu, dan dari kartu itu kamu bisa menukarkan saldonya dengan makanan. Jadi, tidak ada uang cash di antara kita. Hal ini juga berlaku di kasir pembayaran buku, untung aku ada E-Money dan temanku mempunyai debit Mandiri.
harus punya kartu ini buat bisa makan di foodcourt

Memang acara ini ada banyak spanduk Mandiri, mungkin ia sponsor utama acara ini dan mengimplementasikan nontunai dengan caranya. Cukup efektif sih, dan terkesan modern.

Aku sempat membagikan momen ketika di BBW ke instastory. Beberapa ada yang nanya itu dimana, nitip dong, gue mau kesana sebenernya, dan lain-lain.

Dan jika memang mereka ingin ke sini, mereka mau ngapain?

Paling mereka bakal bingung, banyak buku di sini, dan mereka mencari buku incaran mereka dan tidak ketemu. Memang di BBW ada banyak buku murah, tapi jangan salah, itu tidak memastikan bahwa di sini juga banyak buku seleramu.

Jadi, dari fakta di BBW, banyaknya orang yang mencari buku untuk dibaca, kita masih percaya bahwa minat baca kita rendah? Kalau aku sih tidak, aku lebih percaya bahwa pemerataan buku di negara kita belum baik dan perlu diperhatikan lagi.

Pada awalnya, pendiri BBW memang resah terhadap minat baca orang Melayu. Adalah Andrey Yap dan istrinya Jacqueline Ng. Dan mereka untuk pertama kalinya membuka BBW di Malaysia yang 50% pengunjungnya adalah orang Melayu. Mereka mendapat ide ini karena ketika pergi ke luar negeri, ada banyak toko buku menjual sisa yang tidak terjual. Buku sisa itu bisa juga kelebihan produksi lalu dijual dengan potongan harga supaya memikat pembeli.

Jadi, bisa dikatakan bahwa faktor kenapa orang jarang membeli buku karena buku itu mahal. Dan ketika ada buku murah, mereka akan berbondong-bondong membeli. Dari sini, masih percaya bahwa minat baca kita rendah?

Semoga ke depan pameran seperti BBW akan bermunculan, dan menarik mereka yang tadinya merasa membaca itu tidak perlu, mulai berpikir ulang bahwa membaca itu adalah sebuah keperluan sama seperti makan dan minum. Semoga saja.***

Referensi bacaan: https://gaya.tempo.co/read/769193/ini-sejarah-dan-rahasia-big-bad-wolf-menjual-buku-murah

Ke Pulau Seribu Bareng Medsos Travel

Minggu kemarin, 18 Maret, aku pergi ke Pulau Seribu, lebih tepatnya ke tiga pulau ini: Kelor, Onrust, dan Cipir. Aku dan yang lainnya, berangkat menggunakan kapal nelayan di dermaga Muara Kamal. Kemudian kami berkeliling ke tiga pulau tersebut, dan pulang malam jam 7 dengan ombak yang lumayan besar, saat itu gelap, dan kami di perahu nelayan yang kecil. Begitulah singkatnya. Jika kutulis lebih detailnya lagi, mungkin akan begini:

Pagi jam 6 aku berangkat dari kosan menuju stasiun Mangga Besar, bertemu seseorang dan melanjutkan ke stasiun Kota, membeli makanan ringan dan dilanjutkan naik angkot ke Jalan Kopi, dan ya, dilanjutkan lagi naik angkot ke Muara Kamal.



Pagi yang cerah dengan sopir angkot yang super bawel. Sudah lama aku tidak menemukan situasi seperti ini, di mana penumpang dan sopir yang tidak saling kenal, akhirnya saling mengobrol, tentang apa saja. Tentu saja itu tidak terjadi jika si sopir tidak genit ke penumpangnya yang meyoritas ibu-ibu.

“Saya belum punya anak lho,” aku si sopir kepada si ibu-ibu sebagai daya tarik, “iya saya tidak punya anak, tapi yang punya anak istri saya.”

Dan ibu-ibu itu hanya menerima kegenitan si sopir, mereka tampaknya juga terhibur, melupakan anak atau suaminya di rumah. Mungkin jika suaminya di rumah tahu tingkahnya di angkot pagi ini, ia bakal cemburu. Pria humoris dan genit memang beda-beda tipis kalau sudah di angkot.

Situasi angkot B06

Baiklah, kami (aku dan seseorang yang kutemui di stasiun), akhirnya sampai di Muara Kamal. Orang-orang di sini begitu paham, bahkan sebelum kami bertanya arah ke Muara Kamal, mereka sudah menunjukan arahnya.

Ohya, harga angkot dari Kota menuju Muara Kamal itu Rp. 10.000 perorang, lumayan mahal pikirku. Dan di perjalanan pulang naik angkot yang sama, harga menjadi lebih mahal: Rp. 15.000 perorang.
Sampai di Muara Kamal, aku menemukan air yang begitu hitam, banyak sampah, perahu dan kapal tertambat di dermaga layaknya parkiran di pinggir mal.

Di Dermaga, aku bertemu dengan orang-orang yang juga mempunyai tujuan yang sama: ke Pulang Seribu bersama Medsos Travel. Mereka ada yang berkelompok 5 sampai 15 orang, ada juga yang berdua saja sepertiku. Kami harus registrasi ulang, dan menunggu dipanggil satu-satu untuk menuju perahu. Untuk ini, agak lama dan menyebalkan memang.


menunggu

perahu dan kapal dan air hitam dan sampah

Sekitar jam 10, aku berangkat, agak deg-degan memang menyebrangi lautan dengan perahu seperti ini. Tapi tidak, tidak seburuk yang kubayangkan, semua berjalan dengan lancar walau sesekali kami dibuat bergoyang ke kanan-kiri karena ombak yang menerjang. Abang yang mengendarai perahu yang tepat di belakangku, bilang: “Hari ini lumayan bagus, nggak kayak kemarin, banyak angin, hujan pula.”

Perjalanan

Semua berjalan normal, perjalanan sekitar 40 menit, dan kami sampai di pulang pertama: Kelor.
Di sini, airnya begitu jernih, sangat kontras dengan air di muara. Tapi tetap saja, ada beberapa sampah plastik. Agak disayangkan memang.

Kami berfoto di sini, tempatnya memang bagus untuk foto, pasir putih, cuaca cerah. Di pulau ini, aku sempat mengobrol dengan penjaga pantai, katanya:
“Kalau kemarin yang kesini banyak, ada sekitar 800 orang. Biasanya juga banyak yang ketinggalan, apalagi di pulau Onrust.”

Wajar saja jika kemarin banyak pengunjung, karena kemarin itu hari libur nasional, dan orang-orang memanfaatkan hari libur di hari Sabtu itu, dan Minggunya bisa beristirahat di rumah.

pulau kelor
Aku tidak bisa membayangkan banyaknya orang di pulau sekecil ini. Bisa dibilang aku cukup beruntung, karena pulau tidak begitu ramai ketika aku sampai di sini. Terkait orang yang ketinggalan rombongan, membuatku was-was.
“Hafalin nama perahunya aja,” lanjut si penjaga.
Dan kupalingkan wajahku ke seseorang yang menamaniku, “Kamu hafal nama perahunya? Pokoknya depannya huruf I.”
“Irithel.”
“Ah itu, nama dari mana coba itu, hahaha.”
Krik.

Kami sempat membeli popmie, satunya dibandrol Rp. 10.000 dan sukro di sini dijual dengan harga Rp. 5000. Jadi ketika aku memutuskan untuk membeli 2 popmie dan 1 sukro, aku harus merogoh kocek sebesar Rp. 25.000. Cukup mahal dan wajar.

***

Tidak banyak pohon, gersang, tapi indah. Begitulah yang kurasakan di pulau Kelor ini. 1 setengah jam kami di sini, dan melanjutkan perjalanan ke pulau Onrust.

Tidak memerlukan banyak waktu untuk menuju ke pulau Onrust. Di sana, banyak pepohonan dan situs bersejarah. Sampai di pulau tersebut, kami dikumpulkan di suatu tempat dan mendapatkan makan siang.
ngantre ambil makan
lauknya

Dilihat dari lauknya, kalau beli ini bisa Rp. 15.000, dan kami mendapatkannya gratis, lebih tepatnya ini sudah termasuk ke dalam paket wisata Rp. 95.000,- yang kami bayar di awal.

Selepas itu, kami diajak berjalan-jalan mengenal pulau ini. Dari penjelasan sang pemandu, pulau ini mempunyai peran penting dari zaman ke zaman. Pulau ini pernah menjadi pertistirahatan Pangeran Jayakarta, karantina haji, penjara, pengasingan orang dengan penyakit menular, dan entah apa lagi aku lupa.

Yang menarik di kepalaku adalah ketika pulau ini menjadi salah satu saksi sejarah perang dunia kedua. Di mana tentara Nazi pernah ditahan di sini. Dan tempat yang paling berkesan adalah suatu yang berbentuk mirip dengan sumur, di sana difungsikan untuk mengurangi tehanan dengan gladiator.
Ada juga mitos tentang lubang yang bisa digunakan untuk berpindah pulau satu dengan yang lainnya. Ternyata pemandu ini tidak hanya menjelaskan arkeologi, tetapi juga mitos-mitos yang ada di tempat ini, dan sialnya, aku malah tertarik dengan mitos itu ketimbang yang lain. Hahaha…

dipandu untuk mengenal pulau onrust lebih jauh

Cukup lama menghabiskan waktu di pulau ini sebelum ke pulau terakhir: Cipir. Di pulau Cipir kami habiskan waktu untuk berenang, dan bermain air seperti bananaboath dan semacamnya. Aku sempat mencoba bananaboath, harganya Rp. 40.000 per orang. Awalnya agak ragu untuk melakukannya, karena (1) jika ada kesalahan, aku tidak bisa berenang, (2) pahalaku sepertinya belum terlalu banyak untuk mengantarkanku ke surga.

Tapi akhirnya aku memutuskan juga untuk melakukannya, bananaboath yang harusnya diisi oleh 6 orang, akhirnya hanya diisi 2 orang saja karena tidak ada lagi yang mau naik. Kami dibawa dengan kecepatan penuh ke tengah laut, dan menceburkannya di sana. Sialnya, abang yang ditugaskan untuk merekam momen ini yang ada di perahu, tidak terlalu pandai mengabadikan momen ini, beberapa kali ia merakam namun kehalangan abang yang mengontrol speed both.

Cukup dapat sensasinya bermain bananaboath di sini, dan mungkin jika aku tidak mencobanya, liburan kali ini kurang lengkap.

sesaat sebelum bananaboath

Menunggu senja, aku menyewa karpet untuk beristirahat karena lelah berkeliling di pulau Onrust. Harga sewa karpet Rp. 20.000. Tentu saja pergi ke pantai tidak lengkap rasanya untuk meminum air kelapa, di sini harganya Rp. 15.000.

Kami juga mendapatkan sesi foto di floating, semacam pelampung dengan beground pelangi. Secara harfiahnya aku tidak tahu bagaimana menjelaskan benda ini. Yang pasti kami hanya naik ke sana, dan difoto, dan sudah.




Senja pun tiba, kali ini kami kurang beruntung karena senja tertutup awan tebal. Tapi cuaca di pulau begitu sempurna, duduk di pantai dan merasai senja di sini, cukup membuat hari-hari kerjamu ke depan seolah berubah menjadi buih-buih ombak yang mengenai kakimu di tepi pantai saat ini: receh!
Sekitar jam setengah 7 kami ke dermaga, dibagikan oleh ‘orang medsos travel’ itu lampion. Omong-omong tentang 'orang medsos travel', mereka itu masih muda, semangat, dan ramah.

senja dan sepotong bayangan
Dan ya, sekarang saatnya menerbangkan lampion bersama! Tidak yang kubayangkan sebelumnya, ternyata pekerjaan yang satu ini cukup sulit, hampir saja lampionku terbakar sebelum akhirnya benar-benar terbang.


Beberapa kali banyak lampion yang nyasar dan sangat berbahaya, bisa saja mengenai kepala orang dan terbakar.

Dan inilah bagian paling mengesankan dari perjalanan ini:

Belum lama ini aku menonton film Dunkrik, bercerita tentang penyelamatan sekutu Inggris di tengah perang melawan NAZI Jerman. Tentara harus dievakuasi karena mereka semakin terdesak. Perahu dikerahkan untuk misi ini, tapi beberapa kali gagal karena bom dari tentara Jerman dari pesawat.
Dan ya, aku mendapatkan situasi yang hampir sama dengan film tersebut. Kami naik perahu nelayan malam hari, gelap, ombok yang tidak terlalu tenang, dan di atas kami ada pesawat yang berlalu-lalang, cukup dekat.

Aku tidak bisa untuk tidak tenang, apalagi ketika ombak menabrak perahu kami dan kami hampir terguling.

“Ini lebih menyeramkan dari bananaboath,” bisiku ke seseorang di sampingku yang memegang tanganku erat, atau aku yang memegang tangannya erat? Namun ia begitu tenang, seolah siap mati kapan pun, malah menyandarkan kepalanya ke bahuku, “Aku ngantuk,” katanya. Sial!

Akhirnya kami sampai juga di muara, hatiku mulai tenang. Tak jauh dari dermaga, sudah ada angkot yang siap membawa kami ke daerah Kota. Kami menaikinya, perjalanan pulang terasa melelahkan, namun kenangan seharian di pulau itu, tak bisa kami lupakan.***

Follow medsos travel di sini
Ingin tau lebih lanjut tenang pulau Onrust, klik di sini


Setelah Membaca ‘Pacarku Memintaku Jadi Matahari’

Seperti lahir dari kepala yang rumit, penuh tanda tanya, dan semrawut, cerita di buku Pacarku Memintaku Jadi Matahari memang perlu dibaca oleh mereka yang sedang kesepian, depresi, tak ada tujuan, bingung, dan semacamnya.

Reza Nufa, dalam menulis buku ini, setidaknya menurutku, menargetkan pembaca yang suka galau, bermasalah dengan kekasih, keluarga, dan masalah-masalah khas remaja umur 19-an. Dan, sialnya, itu sangat dekat denganku.




Tulisan Reza Nufa memang tidak terlalu banyak kita temukan di media massa. Namun, ia aktif di media sosial dan mungkin dari sana, ia memupuk pembacanya. Dan buku ini, adalah buku yang sudah ia persiapkan untuk itu.

Penggunakan ‘pacar’ pada judul menurutku sudah ketara mau ke arah mana buku ini. Mungkin akan lain jika ‘pacar’ di sini diubah menjadi ‘kekasih’ atau semacamnya.

Sebagai cerpen pembuka, ‘Cara Terbaik Menjadi Anjing’, menurutku agak terlalu berat. Tapi selanjutnya, pembaca seolah dibuat lega karena cerpen-cerpen selanjutnya tarasa lebih ringan dan bersahabat, dalam artian cerpen tersebut tidak terlalu njelimet dan tidak membutuhkan konsentrasi penuh.

Cerpen ‘Suropati Menuju Sore’, terasa sangat dekat dengaku, sebab aku sendiri sering main ke taman yang satu ini. Pemandangan umum yang terjadi di taman suropati: merpati, anak kecil, orang tua, pasangan kekasih, ia gambarkan begini:

Merpati pintar bertingkah seola-olah mereka hampir takluk, bisa digenggam, tapi di saat-saat terakhir mereka dengan licik melompat, bahkan menghilang di rumbun daun-daun(…). Dulu dia pernah ada cinta dengan seekor merpati. Sampai saat ini masih membuatnya sakit meski sama sekali tidak disesali. ( 25-26)

Ternyata tidak hanya masalah pacar dan keluarga yang diangkat di buku ini. Agama pun turut menjadi cerita yang menggelitik. Sebut saja di cerpen ‘Dua Pemabuk Mengazani Mayat’. Diawali dengan dua laki-laki yang menemukan mayat, dan mereka merasa perlu untuk mengurusi mayat tersebut walau mereka sedang mabuk. Ada pertimbangan-pertimbangan yang lucu sekaligus menyedihkan yang dipikirkan dua laki-laki ini.

“Tetep aja nggak ada untungnya nolongin orang mati(…)”
“Tapi siapa tahu dia itu orang alim yang dibunuh. Nanti gantian, di akhirat kita ditolong sama dia, Yud. Bisa aja ‘kan?”
“Pede banget bakal masuk neraka.”
“Firasatku bilang begitu.” (hal. 31)

Tidak hanya itu, bahkan di buku ini, ia dengan entengnya menghujat tuhan, walau aku tidak tahu pasti tuhan mana yang ia maksud. Eh sebentar, emang ada tuhan selain tuhan?

Apa besaran dosa dan bagaimana cara menghitungnya? Hanya tuhan yang tahu. Dan kalaupun tuhan curang, kita tidak akan pernah tahu. Lama-lama tuhan ini tai juga, jelas kau setuju. 

Banyak narasi-narasi nyeleneh tentang tuhan di buku ini dan, itu lucu buatku. Mungkin bagi mereka yang berurat tegang, pasti akan melempar buku ini sesegera mungkin. Tapi di sinilah titik  keseruannya, ia membuat dunianya sendiri dan membuat tokoh yang menyedihkan, kesepian, tak tahu apa-apa, merasa bersalah, putus asa, seolah tidak ada yang bisa menolongnya dari semua itu, tuhan sekalipun.

Cerpen-cerpen di buku ini memang tidak terlalu panjang, sehingga aku menemukan cerita begitu singkat dan kurang kokoh. Beberapa kali ada kalimat ‘jangan tanya aku begini/begitu….” untuk alternatif membangun sebuah sebab-akibat-cerita.



Memang banyak cerita yang tidak panjang di buku ini, namun aku tidak katakan bahwa tidak ada cerita yang panjang. Bacalah ‘Sani Belum Kembali’, di sana tokoh ‘aku’ tampak begitu bawel dan seperti orang linglung. Ia membahas banyak orang, mulai dari yang tidak penting hingga yang tidak penting amat, mulai dari gereja hingga susu perempuan.

Penulis muda seperti Reza Nufa, Asef Saiful Anwar, Eko Triono, Dea Anugrah, Sabda Armandio, menurutku adalah penulis dengan generasi yang ogah mematuhi aturan. Mereka jengah dengan hal yang sudah ada sejak dulu dan mencoba membuat hal baru. Dan sepertinya kita sedang menuju dunia itu: menulis tanpa aturan yang mengikat.

Secara keseluruhan, aku menikmati buku ini, covernya pun keren, suka. Kisah hidup penulis yang berliku tampaknya menjadi tabungan rasa dalam mengeksekusi tiap cerpen. Melalui buku ini, setidaknya menurutku, penulis sedang menunjukan bahwa ia serius dalam menulis sastra, ini baru permulaan, ke depannya kuyakin ia menulis lebih banyak dan lebih baik dari ini.