Film Searching: Bukan Sekadar Mencari Anak Hilang

Film Searching bercerita tentang hilangnya seorang gadis berusia 16 tahun. Setelah mengetahui kabar hilang anaknya tersebut, sang ayah mencoba untuk mencari dengan menelusuri jejak digital anaknya seperti facebook, instagram, twitter, dan sebagainya. Dan ternyata, sang ayah memang benar-benar tidak mengenal putrinya tersebut setelah mengetahui fakta-fakta yang ia temukan melalui jejak digital. Sebuah fenomena yang mungkin saja sering dialami oleh orang tua zaman sekarang.

Film dibuka dengan tumbuh kembang si gadis bernama Margot Kim sejak kecil, alur berjalan cepat, dan berhenti ketika ia sudah masuk SMA. Sang Ayah selalu mengabadikan momen-momen dan meyimpannya di komputer. Hal itu membuat penonton jadi lebih sering disuguhkan dengan sudut pandang kamera smartphone, cctv, bahkan live broadcast.

Sumber gambar: google

Kekhasan kulitas video (seperti kamera smartphone) tersebut benar-benar dipertontonkan begitu saja, tanpa dibuat-buat, walau hasilnya agak buram. Tapi hal itu membuat film menjadi lebih bisa membawa emosi penonton alih-alih mempermasalahkan kualitas gambar. 

Tidak ada dialog yang tak perlu, semuanya membangun cerita. Bahkan hanya sebuah pesan teks, itu pun bisa membuat tegang penonton. Itu menandakan cerita dibangun dengan baik dan kuat, kendati hanya dengan premis sederhana.

Dalam pencarian Margot Kim, ada banyak kemungkinan-kemungkinan kenapa ia hilang, dan ini adalah poin paling seru menurutku. Film seperti mengajak penonton untuk berpikir, menaruh curiga ke banyak tokoh, dan akhirnya dibuat kecewa karena apa yang telah kita pikirkan adalah kesia-sian belaka.

Jangan lupakan juga latar musik dari film, ia mampu membawa emosi penonton terjerumus lebih dalam lagi,

Pokok dari cerita ini adalah hubungan anak dengan orang tua yang dikemas dengan ciamik dan jenius. Tentang masalah yang sangat dekat dengan kita, remaja yang tak pernah lepas dari media sosial. Film ini memang memiliki kesan serius, namun anehnya ia mampu membuat penonton tertawa di sela-sela jalannya cerita.
 
Terlepas dari itu semua, aku putuskan bahwa film ini masuk list film favoritku tahun ini bersanding dengan Loving Pablo!

Membaca Novel Perdana Eko Triono: Para Penjahat dan Kesunyiannya Masing-Masing

Melalui program Columbus, para mantan badit dari tahanan ditempatkan di sebuah daerah bernama Jabelekat untuk membangun kota baru seperti Mexico, Tokyo, Sydney atau New York.

Parta Gamin Gesit merupakan salah satu bandit yang tinggal di Jabelekat bersama istrinya. Tahun-tahun pertama, mereka mendapat jatah beras dan barang pokok lainnya dari pemerintah, namun setelahnya, mereka mandiri. Seperti membuka lahan atau berbisnis. Semuanya dimulai dari nol.

Novel ini ditulis oleh Eko Triono, nama yang lebih dikenal sebagai cerpenis. Itu pula yang kuyakini ketika membaca novel ini, aku masih bisa mencium aroma cerpen.



Setting tempat novel ini adalah sebuah tempat yang bernama Jabelekat, tentu saja ini fiktif. Sebagai orang Cilacap, ketika mendengar Jabelekat, yang tergambar di kepalaku adalah sebuah tempat yang jauh. Diceritakan dearah itu awalnya kosong, kemudian diisi oleh para mantan-mantan bandit untuk membangunan kehidupan yang berarti.

Namun permasalahan mulai berdatangan, mulai dari Beruk maniak yang suka mengintip para wanita mandi, hingga monopoli dagang. 

Tentu saja dalam mengatasi masalah tersebut, kita tidak bisa membayangkan kehidupan normal seperti di sekitar kita. Ini adalah Jabelekat, daerah yang dihuni oleh para mantan bandit, bisa saja naluri bejat mereka keluar kapan saja.

Program ini (Columbus) digagas Presiden Republik. Dijalankan oleh Kementerian Transmigrasi. Tujuannya untuk mengirim bandit-bandit ke tanah baru. Agar mereka, kata Presiden, mengurangi jumlah penjara, konsumsi bubur sumsum, dan biaya cuci baju napi. Dan agar mereka menemukan hikmah kebijaksanaan dalam kebersamaan kembali dengan masyarat. (Hal. 18)

Maka setiap ada masalah, para penghuni Jabelekat akan konsultasi terlebih dahulu dengan orang paling pintar di antara mereka, orang yang diutus pemerintah untuk mengatasi masalah para penghuni Jabelekat.

Ia adalah Yusuf Yasa. Tapi anehnya, solusi yang dibawa oleh Yusuf Yasa terkesan nyeleneh. Ini membuatku berpikir ulang, bagaimana caraku membaca novel ini, haruskah dengan serius atau sedikit bercanda?

Misalnya saja dalam mengusir Beruk Maniak, Yusuf Yasa mengusulkan dengan membuat sayur bening dan sambal.

***

Novel diawali dengan akhir cerita. Jadi lembar-lembar selanjutnya kita akan membaca masa lalu bagaimana daerah itu sebelum adanya pemberontakan yang membuat Jabelekat ‘punah’ dari peradaban.
 



Dengan alur tersebut, pembaca agak sedikit kebingungan kalau tidak konsentrasi, karena bisa saja pembaca akan ling-ling: kemana arah cerita ini?

Seperti yang aku katakana di muka bahwa novel ini seperti mempunyai aroma cerpen. Itu karena menurutku apa yang ditulis oleh penulis begitu padat, rapat, tidak seperti novel yang biasa kita baca: lambat, runut, dan telling.

Ini adalah novel pertama penulis, dan tentu saja aku sangat mengapreasiasi usahanya untuk keluar dari zona nyamannya selama ini. 

Ending novel ini tidak terduga—walau akhir cerita sudah dibeberkan di awal novel—bahkan sukses membuatku berkata: bajingan!