Dia Mengingat Sesuatu (Sebuah Cerpen)


sumber gambar: pixbay

Daun pohon kelapa yang berada di ketinggian melambai-lambai, begitu seirama, terlihat seperti manusia yang mencoba belajar menari. Cahaya rembulan yang lembut jatuh di dedaunan menari itu. Jatuh begitu magis, begitu mengkilap-kilap seperti sisik ular.
    Di salah satu pohon kelapa itu ada seorang lelaki—sebut saja namanya Disan—sedang mengganti wadah yang biasa ia gunakan untuk mengumpulkan air nira. Ia harus menggantinya, jika tidak, di hari esok wadahnya akan penuh dan bisa saja membuat wadah itu jatuh karena tidak muat menerima air nira yang terus mengalir.
    Air nira ini adalah bahan utama untuk membuat gula jawa. Banyak di kampungnya yang berprofesi seperti dirinya. Walau penghasilannya tidak seberapa, tak ada pilihan lain bagi Disan. Sejak kecil ia sudah diajari oleh ayahnya tentang bagaimana membuat gula jawa yang baik. Bagaimana cara mengaduknya di atas wajan yang besar, dan bagaimana panas api yang pas untuk kematangan gula itu.
    Seperti pada lelaki pencari air nira pada umumnya, mereka akan membawa arit yang tajam di balik pinggannya, dan beberapa wadah yang terbuat dari wadah cat bekas  digelantungkan di sisi-sisi pinggangnya yang lain. Mereka merayap begitu cepat, tapak demi tapak mereka lewati seperti cicak kebelet kawin.
    Tapi sepertinya, hanya Disan yang bekerja hingga larut malam seperti ini. Teman seprofesinya tentu saja sudah di rumah, bertemu anak dan isterinya, dan berkumpul di rumah  sambil mengobrol ringan tentang anaknya yang mendapat nilai bagus di sekolahnya atau tentang isterinya yang mendapat arisan lebih cepat karena menggunakan nama anaknya. Bahagia sungguh sesederhana itu.
    Ini adalah pohon kelapa terakhir sebelum Disan akhirnya pulang. Ia masih di atas, di antara daun-daun kepala yang menari karena angin dan disirami sinar rembulan yang temaram. Susana seperti ini membuat lelaki 40 tahun itu seperti terlena, sementara ia mengganti wadah untuk air nira, matanya mulai tak kuat menahan angin malam ini yang sejuk, dan sinar rembulan yang sungguh sialan, mengingatkannya pada pandangan isterinya yang setemaram bulan, tapi bedanya rembulan tidak suka pakai daster malam-malam.
    Di kejauhan terdengar adzan isya, samar-samar suara itu dibawa angin dan ditangkap telinga Disan. Karena tahu malam sudah akan larut untuk memanjat sebatang pohon, ia mempercepat pekerjaannya itu lalu turun setapak demi setapak. Angin malam ini dan sinar rembulan memang sialan, mereka meninabobokan lelaki itu, maka setapak demi setapak itu menjadi sulit dijamah. Padahal tanah masih jauh di bawah sana.
    Maka dengan tanpa menyalahkan apa pun, lelaki itu terjatuh ketika kakinya salah menampakkan pada tapak yang telah ia buat 3 tahun 8 bulan 354 hari yang lalu. Ia salah langkah, dan membuatnya oleng, dan jatuh, bersama arit yang tajam, dan wadah yang penuh isi air nira.
    Suara adzan isya sudah hampir habis, dan napas lelaki itu sudah satu-satu, tidak ada yang tahu kapan napasnya akan habis.

***

Suara jatuh yang ditimbulkan cukup kencang, seorang kakek tua yang belum pikun yang tinggal tak jauh dari pohon kelapa itu mendengar suara ganjil dan mencari apa gerangan yang jatuh. Walau ia harus membatalkan wudhunya, dan pergi mencari sumber suara. Ah, nakal sekali-kali tidak apa, masak dari dulu jadi orang baik mulu. Pikir kakek itu, shalat tepat waktu sangat penting. Ia adalah tipe manusia yang datang ke masjid 2 jam sebelum shalat Jum’at dimulai, ia ingin mendapat unta nanti akhirat.
    Kakek itu menyeruduk pintu kamarnya—isterinya yang sudah nenek-nenek melihatnya dengan tatapan tanda tanya—kakek itu mencari senter yang ia simpan di antara dinding-dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Dan kemudian berlari ke arah sumber suara yang ia curigai. Intuisinya memang bagus. Ia menyoroti apa saja yang ada, dan sekonyong-konyong mendapati wajah seorang lelaki yang menyedihkan. Wajahnya begitu lelah, darah mengelilingi tubuh itu, darah yang becampur dengan bau air nira. Sungguh momen yang sangat sulit bagi sang kakek. Apa yang harus ia lakukan?
    Maka sang kakek memanggil orang-orang yang ia temui di jalan sepi. Ia hanya menemui 3 orang bocah yang membolos mengaji.
    “Hei, tolong, ada orang jatuh!”
    Dan 3 bocah itu dengan lugunya segera menolong sang kakek. Bocah memang begitu, tidak berpikir panjang ketika ingin menolong. Maka mereka berlari tergopoh-gopoh ke arah di mana lelaki itu terjatuh.
    Salah satu bocah itu seperti mengenal siapa orang yang terjatuh itu. Ia mendakati tubuh malang itu dan melihat wajahnya. Dia ingat sesuatu, dia ingat sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan ketika itu juga.***


tulisan ini terinspirasi dari sebuah kejadian di salah satu desa terpencil di Cilacap Jawa Tengah, yang mana kebanyakan lelaki dewasa di sana berprofesi sebagai penderes air nira. sudah banyak kabar tersiar tentang orang yang terjatuh dari pohon kelapa, beberapa ada yang sakit, beberapa ada yang sakit kemudian meninggal, beberapa ada yang sakit kemudian meninggalkan anak dan isterinya. 


Setelah Membaca Bakat Menggonggong


Ini adalah salah satu buku yang bisa membuatku terguncang. Narasi dalam buku ini kadang membuatku mangguk-mangguk, terdiam tak mengerti, tapi di satu titik membuatku tertawa guling-guling. Walau bahasanya terkesan menceracau tidak jelas. Kadang kita juga perlu konsenstrasi penuh untuk membaca buku ini, meleng sedikit saja, kita bakal kehilangan jalan.

Buku ini dibuka dengan cerpen yang berjudul ‘Kemurkaan Pemuda E’. Penulis seolah tak peduli terhadap pembaca ingin suka atau tidak dengan cerpen ini, sebab cerpen pembuka di kumpulan cerpen sangat penting menurutku. Ketika aku selesai membaca cerpen pembuka ini, aku tahu ke depannya pasti akan banyak cerpen-cerpen yang lebih gila. Dan tebakanku benar.

Sebenarnya tidak jelek juga kalau kita meninggalkan Pemuda E dan mengikuti kucing itu. Mungkin saja berujung pada kejadian-kejadian yang lebih menghibur atau mengharukan ketimbang ini. Bayangkan, coba, apa yang bakal diperbuat seekor induk kucing dan anak-anaknya yang kelaparan terhadap sebungkus muntahan manusia. (hal. 5)

Cerpen-cerpen dalam buku ini sangat berkesan di kepalaku, semuanya mempunyai ‘aroma’ tersendiri, walau tentu saja, dibungkus dengan narasi yang seperti ditulis oleh orang yang sadang mabuk berat. Tapi anehnya, aku menikmati. Saking menikmatinya, aku juga sempat merasa diriku-aneh setelah selesai membaca cerpen-cerpennya. Aku seperti tersihir dan perlu beberapa menit untuk menyadarkan-diri bahwa aku masih di dunia yang normal. Dunia di buku Bakat Menggongong tidak normal.

Sebenarnya, di buku kumpulan cerpen ini, judul yang dipakai bukanlah judul salah satu dari cerpen yang ada. Aku tidak tahu apa di balik judul ini, tapi yang kutahu, ada satu judul di cerpen ini yang berjudul: ‘Anjing Menggonggong, Kafilah Berlalu’. Ah setidaknya masih ada menggonggong-nya. Abaikan.

Cerpen favoritku di buku ini adalah ‘Kisah Kontemporer (IX)’. Cerpen ini hanya berisi percakapan seorang penyair yang SMS mantan pacarnya namun tidak dibalas-balas. Setelah lama menunggu balasan sang mantan, si penyair terus mengirim puisi-puisi. Hingga akhirnya sang mantan menjawab SMS dan, yang paling menohok adalah ketika sang mantan meminta vote untuk bayinya yang mengikuti kontes.






Sebelum sampai ke sana, ada percakapan SMS antara penyair dan sang mantan yang membuatku ngakak, begini:

Kemarin aku cuma tiba-tiba ingat omonganmu
Yang mana
Titit bule biasa aja
Hahahahaha. Dengar dari siapa aku ngomong begitu? Yakin punyamu cukup untuk disebut ‘biasa aja’? :P
Menurut yang barusan sih mantap. Kaget dia. “Lho, Mas, kok bisa muter di dalem?” katanya. Hahaha…



Begitulah.

Omong-omong, ini adalah Buku Dea Anugrah pertama yang kubaca, kulebih sering membaca tulisannya di Tirto.id. Caranya bercerita di cerpen tentu sangat berbeda ketika dia menulis untuk Tirto.id.

Secara keseluruhan, aku sangat menyukai buku ini, bukunnya juga tidak tebal-tebal amat, bahkan bisa dikatakan tipis karena hanya 109 halaman, tapi isinya sangat berisi, dan, kuyakin,  tidak membuat siapa saja kecewa untuk membacanya. Tidak heran buku ini masuk 10 besar Kasula Sastra Khatulistiwa tahun ini.


KOMUNITAS LITERASI DI SEKOLAH



Tanggal 10 September kemarin, aku datang ke IIBF di JCC Senayan. Tentu saja ada banyak buku-buku dan diskusi-diskusi. Bahkan tidak hanya dari Indonesia, luar negeri pun turut memeriahkan. Namun tahun ini, bukan itu yang membuatku takjub. Yang membuatku takjub adalah dari sekian banyak both komunitas ada satu komunitas yang di plangnya tertulis jelas: komunitas literasi SMP Kristen 1 Penabur Jakarta.

 
both komunitas literasi SMPK 1 Penabur
 
Di sana dipajang karya-karya anak SMPK 1 Penabur dan guru-guru yang berupa buku. Yang menjaga both itu juga (tampaknya) guru, mereka berdua sangat antusias ketika ada pengunjung yang datang untuk sekadar bertanya-tanya tentang apa gerangan komunitas literasi ini? Sayang aku tidak sempat bertanya-tanya di both itu, sebab ketika aku datang, both itu sedang ramai pengunjung.
Aku selalu merasa’wow’ jika ada sekolah yang mementingkan literasi. Sebab aku tahu betul untuk ukuran sekolah, menyebar virus-virus literasi itu sangat sulit. Sebab di benak mereka, literasi itu adalah buku, membaca, menulis, membosankan, tidak ada guna, masih banyak hal yang harus diselesaikan daripada memikirkan literasi.

bermain di both KPK di IIBF 2017
Tapi SMPK 1 Penabur ini tidak, dilihat dari yang dipajang di both mereka, ada banyak buku karya siswa dan guru yang ‘tampaknya’ dibuat dengan mudahnya. Sebab di sana tidak hanya ada satu buku tentu saja, di sana ada beberapa buku dengan sampul yang menarik. Itu artinya mereka sangat konsisten dalam berkarya.
Apa formula mereka sehingga bisa melakukan hal sehebat itu?
Tentu saja hanya mereka yang bisa menjawab, tapi kalau aku boleh berbicara, SMPK 1 Penabur merupakan sekolah unggulan, dan di setiap jadwal pelajarannya ada jam khusus untuk renungan dan literasi. Aku tidak tahu apa yang dilakukan siswa ketika jam ini.
Tapi aku bisa simpulkan, untuk menyebar virus literasi adalah: memasukannnya ke dalam jadwal materi sekolah. Kalau sudah begini, maka akan besar kemungkinan siswa untuk mulai berpikir: oh ini literasi, asyik juga. PR awalnya adalah, bagaimana cara mengenalkan literasi kepada siswa dengan sesuatu yang mengasyikan dan buat mereka tertarik.
Oh tentu saja bisa dengan memberikan bacaan yang menarik dan bagus, karena mustahil kita akan suka membaca tanpa bacaan yang menarik dan bagus, kata AS Laksana.