KEPADA ANGIN, BANTU AKU BISIKAN INI KEPADANYA

Waktu sendiri tak ada yang dikerjakan seperti ini, aku selalu mengingatmu dan semua tentang kita. Iya, kita, kamu dan aku, tidak ada yang lain. Sekali lagi, hanya kamu dan aku.

***

Kepada angin, tolong bisikan kepadanya risalah cintaku. Bisikan dengan jelas di telinganya, jangan lupa terbelih dahulu kau menyibak rambutnya yang panjang menghalangi, bisikan seperti ini: ''Aku mencintaimu, sangat mencintaimu, bukan hanya di dunia, namun sampai surga. Cintaku bukan pasaran. Cintaku bukan murahan, ia hanya pantas diberikan kepada orang yang pantas.''

Lalu jangan buru-buru pergi, angin, usaplah rambutnya yang hitam, usap keningnya yang sering menyembulkan setetes keringat dan, berilah hembusan mesra tepat di matanya. Setelahnya, barulah kau kembali pulang, angin.

Terima kasih angin, kau sudah membisikannya. Semoga dia mendengar dan mengerti bahwa, kali ini aku tidak bisa langsung membisikan itu. Sebab, aku sedang bertapa di dalam goa yang penuh penenang hati, tentu tanpanya dan segala tentangnya. Pun tanpa semakhluk pun yang berjenis wanita.

Aku sedang memantaskan diri. Aku sadar, selama ini aku salah, aku telah jauh dari jalan lurus. Sebenarnya aku tahu jalan yang lurus seperti apa, hanya saja godaan sangat dasyatlah yang menyerangku.

Mereka menggoda dari segala arah. Mulai telingaku, tanganku, kakiku, mataku, hingga hatiku yang sebenarnya tidak bisa mendenger, ikut terbisikan godaan-godaan.

Yang, semua itu membuatku resah dan selalu resah.

Aku ingin kembali ke jalan yang lurus setelah salah memilih jalan menyimpang nun jauh ke sana. Aku ingin menjadi manusia yang seperti halnya hakekat manusia. Yang percaya Tuhan, Ia mengawasimu di mana saja dan, percaya akan siksa dan nikmat yang diberikanNya.

Salah satu jalan menuju kenikmatanNya adalah menjaga diri dari wanita.

Aku percaya, aku sedang diuji. Aku tidak mau karena wanita aku goyah. Tapi, memang, tak dapat kupungkiri, menatap mata senjata lebih mudah ketimbang menatap mata wanita.

***

Apa pun nanti resikonya, yang penting aku percaya pada Tuhan, Ia akan memberikan kenikmatan pada hambaNya yang berbuat baik selama di dunia. Selagi kita masih bisa hidup, kenapa tidak berbuat baik dan memperbaiki diri?

Aku sadar, waktu terus bergulir dan mengalirkan takdir, dan tugasku adalah terus berjalan di jalan yang lurus sembari terus istiqomah.***

Akhir Juli pada hari Jum'at malam

ANTARA NGAMBEK, MARAH, KETIDAK JELASAN DAN KESURUPANNYA ARGI PRAMANA

Saya punya teman, menurut saya dia aneh. Namanya, sebut saja Argi. Ia kalau di kelas, duduk tepat di depan saya, kebetulan dia juga satu kelompok PKL dengan saya selama 3 bulan.

Dia sangat suka mengenakan earphones di tengah keramaian, juga kadang menggambar untuk mengisi waktu luang sambil mendengar musik instrumen metal yang lebih seperti antena rusak terdengarnya.

Suatu waktu, bahkan sering, ia akan diam menyendiri, seperti orang ngambek, kalau ditanya jawabnya seperti orang ngajak ribut.

Penyebabnya-ia-seperti-itu kadang sepele: karena diledekin atau dimasukan foto aibnya ke medsos.

Yang kedua mungkin tidak sepele ya?

Saya tahu, dia tidak bisa marah. Orang sepertinya, tidak bisa dengan mudah mengeluarkan apa yang ia pikirkan dan rasakan ketika itu juga.

Dalam hatinya, pasti berkecamuk, mengejab-ngejab; seperti tersayat jika 'merasa' marah; tidak bisa mengontrol diri dan lebih memilih menyendiri-dalam-diam jika mengalami perasaan seperti itu.

Iya, dia bisa marah, namun hanya disimpan dalam dada, tanpa bisa dikeluarkannya.

Lain waktu, jika ia berbicara dan saya perhatikan, kadang ucapannya terucap seperti orang gagap, susah sekali ia berbicara tampaknya dan, rancu untuk didengar.

Bisa jadi, ia seperti saya, memikirkan apa yang akan diucapkan berkali-kali, sebab sampai akibat, hingga akhirnya terlalu banyak pilihan di kepala dan susah diucapkan dan memilihnya.

Berbeda dengan orang yang berbicara terlebih dahulu baru berpikir. Ia bisa saja lancar berbicara, namun setelahnya ia tak tahu akibat ucapannya itu baik/buruk pada perasaan orang yang mendengar.

***

Suatu hari saya pernah bermain ke museum prasasti yang isinya kebanyakan kuburan Belanda dekat tempat PKL. Suasana museum sangat sepi dan khitmat.

Ketika kami: Ucup, Saya, Ridho, dan Argi menyusuri itu kuburan, tiba-tiba Argi seperti orang kesurupan.

''Huekg!'' begitu bunyi yang bersumber dari Argi tiba-tiba, keras.

Seketika Ucup tertawa geli dan Ridho mendekatkan tangannya yang terbuka kepada Argi dan berbicara seperti paranormal, ''Siapa di dalam? Siapa di dalam...?''

Ucup tertawa semakin menjadi, dan saya ikutan tertawanya Ucup karena tak tahan.

Detik selanjutnya, air muka Argi berubah serius, seperti Koro Sensai kalau lagi membicarakan pribadinya.

Kemudian, dia memisahkan diri dari kami, ia pergi.

''Gila luh Argi kesurupan!'' ledek Ucup, itulah kegemaran Ucup, meledek.

''Huekg!'' suara Ridho meniru Argi. Lalu gelak tawa kami terbit kembali.

***

Argi pergi, bersama langkah-langkah panjangnya menuju kantor, kebetulan waktu itu sedang istirahat siang PKL.

Beberapa jam kemudian, Argi baikan seperti biasa. Bahkan, sampai ke tingkat titik 'ketidakjelasan'-sebagai-menusia terendus oleh saya.

Di sisi lain, Argi adalah teman yang baik, kadang dia rela berkorban demi temannya. Sekedar mengantar ke wc, beli pulsa keluar, minta anter ke kantin, hingga meminjam laptopnya dan lain sebagainya.

***

Ada kemiripan sifat saya bersamaan penjabaran di atas.

Seorang introvet adalah pemikir, ia lebih suka dengan dunianya sendiri yang dibuatnya. Introvet bukan anti sosial, bukan... Jika seorang introvet sudah memiliki alasan untuk berteman denganmu, ia adalah teman terbaik nan paling setia yang kamu miliki.***

Baca twit Argi Pramana: @4261_san

@4261_san Aku tdk peduli dgn ucapan mereka. Yang aku
inginkan hanya ketenangan, jauh dari orang2
aneh yg berstatus 'teman' tersebut.

@ReffindaRYN: @4261_san mending lu tinggal aja di pluto dah.

31 Juli 2015 pada hari Jum'at

KETIKA ANGKOT 08 JURUSAN TANAH ABANG MOGOK DAN DEMO: CERITA TERLANTARNYA PENUMPANG

Gue berangkat PKL biasanya pake jasa angkutan itu, angkutan berbentuk mobil, warna biru laut, sering ngetem, kalau sepi-penumpang jalannya di pinggir, pinggir banget hampir ke trotoar, kalau penumpang-rame ia lari di tengah jalan, cepet, kayak balapan.

Ya itulah mikrolet 08 jurusan Kota-Tanah Abang.

Sialnya, hari ini itu angkot ndak beroperasi. Padahal, gue udah nungguin selama setengah jam lebih di tepi jalan, ada bangku dan para abang-abang ojek.

''Ini kok 08 ndak ada yah, Bang?'' tanya gue ke tukang ojek konversional itu, ketika gue udah gabung ke bangku panjang mereka.

''Mogok,'' kata salah seorang dari mereka dengan memperjelas di akhir kata: gok sambil menampilkan mulutnya yang membuat huruf O besar, beliau tampak paling tua di antara yang lain.

Owalah...

Udah setengah jam gue tungguin e malah ternyata mogok toh, demo...

Pantas deristadi meneliti angkot 08 dari arah Kota kok yang ada cuma mobil pribadi, angkot m12, tukang ojek, pasangan yang naik motor sambil pelukan, dan pasangan naik motor sambil sisiran. *krik*

Mendengar itu, segera gue pamit pulang dan cium tangan satu-persatu tukang ojek. Ndak kok becanda. Segara gue ke halte busway Mangga Besar yang ndak... Ya... Lumayan jauh lah.

Ketika jalan, e owalah ada Si Monyong alias Ridho menepuk pundak gue dan memeluk gue erat dari belakang sambil membisikan: ''Jangan tinggalin aku.''

==''

Kemudian, kami, gue sama Ridho ke halte, naik busway. Ketika itu jam 8 pagi pas. Padahal kami masuk PKL jam 8, telat deh..

Gue masuk busway, busway yang baru, iya yang logonya baru, warna biru mondominasi busway itu.

Pas mau pemberhatian halte selanjutnya, ada pemberitahuan.

Suara cewek diiringi instrumen yang mirip kayak lagu bondan yang gini: tenonet, tenotet, te no... Net. Te.. No.. Net.. Begitu..

***

Sampai di halte Monas, kami turun. Masuk ke gedung kemkominfo dan kerja deh..

Ucup, teman gue yang lain, sampe kantor ndak lama setelah gue dan Ridho sampe jam setengah 9.

Dia curhat, begini:

''Ouh gila, tadi gue telat gara-gara ada demo...'' katanya seru, gue menyimak dan menatap matanya dan memberikan kedipan mata. Ouh, geli!

''Tadi tuh di paspanpres sononya lagi. Kayaknya sopir-sopir nolapan,'' kemudian dia menyibak rambutnya dari depan ke belakang seperti biasa, ''tadi ke sini naik apa lo, Sokh?''

''Naik busway gue.. Sama ridho..''

''Gue juga naik busway...'' tanggap Argi, temen gue yang lain, dia lagi sibuk bikin excel..

***

Kerena penasaran kenapa angkot 08 demo, gue pun seacrhing di internet. Ouh. Gue temukan faktanya, ternyata gegara kenaikan BBM. Eh, pas gue cek itu berita, dipublikasikan tahun 2011, ngohaha..

Gue cari lagi dan lagi sampe ketemu, gue obrak-abrik ini hape. Gue kelupas kesing sampe layar. Batre gue copot, gue banting. Eh, ndak ketemu juga beritanya ==''

Dan ternyata benar, demo, mogok ini karena razia dari dinas perhubungan. Begini, angkot 8 ndak boleh lewat jalan tanah abang 1, padahal bertahun para sopir dan angkotnya sering lewat situ.

Mereka kesal, karena dirazia tanpa pemberitahuan sebelumnya kalau lewat jalan tanah abang 1 tuh ndak boleh.

Karena itu, beberapa sopir demo di kantor wali kota jakarta pusat. Merek mananyakan langsung kepada wali kota, apa benar razia itu perintah langsung dari beliau, seperti dikatakan yang merazia mereka. Begitu.

Alhasil, angkot 8 pun 'mogok-narik'.

Ouh, kasihan jadinya para penumpang 08 yang biasa naik itu angkot. Mereka pasti setia menunggu dan menunggu di tepi jalan, atau bahkan ada yang cinlok tuh gara-gara penungguan angkot 08, mungkin aja...

***

Kemarin, 29 Juli gue pulang PKL, pun angkot 08 jarang melintas. Cuma ada beberapa biji. Pas gue naik, e kebetulan sama anak-anak IPI, cewek semua, sialnya, temen gue lagi pada ndak naik angkot, cuma gue sendirian ketika itu pake almet kuning, sedangkan yang lain merah darah.

Gue kikuk, istilah kerennya moment awkward. Yeah, ini moment awkward. Anehnya anak IPI ini, kebanyakan mereka bayar angkot cuma cenggoh (baca: seribu lima ratus rupiah) dan ndak diprotes sama sopirnya.

Kayaknya udah biasa kali yah. Begitulah, yang biasa memang ndak usah dipertanyakan lagi..

***

Ehm.. Gegara angkot 08 mogok, gue jadi naik busway dan merasa lebih nyaman walau beda selisih gope.

Gue jadi berpikir, ''Kenapa ndak dari kemaren-kemaren naik busway yah... Ke sini.''

Padahal tinggal besok hari terakhir gue PKL di sini, hiks.


***

Gue berharap, ndak lama-lama ah mogoknya. Jangan demo. Jangan ngambek begitu kali 08...

Kan kasiahan penumpangmu terlantar.

Ya untuk larangan melintas di jalan tanah abang 1 dan tanpa ada pemberitahuan, nyok coba di evaluasi lagi, apakah itu tindakan sudah benar atau belum. Jangan lama-lama lah masalah ini berlarut..

Sekali lagi, rakyat banyak yang dirugikan.

Yukz kita do'akan bersama, semoga mogoknya 08 ndak lama lagi :')

Jakarta, 30 Juli 2015 pada hari Kamis

Sumber referensi:

www.rmoljakarta.com/read/2015/07/29/10806/Ditilang-Tanpa-Alasan-Jelas,-Puluhan-Sopir-Angkot-Demo-Walikota-Jakpus-

https://lewatmana.com/kondisi/laporan/883808/2015/07/29/

RINDU YANG KEJAM (TAK ADA RINDU SEPERTI INI DI DUNIAMU)

Kamu datang, membawa semua yang sudah pernah kukenal. Mulai dari ujung atas sampai ujung bawah lekuk tubuhmu, tak ada yang kulupakan. Selalu sama dan akan tetap sama, cantik.

Aku melihatmu mendekat, hatiku mulai berdebar. Dari kejauhan, kira-kira hanya selemparan batu di depan sana, kamu terlihat. Aku jatuh hati kembali, sudah tak terhitung banyaknya aku mengulang rasa ini, padamu.

Senyum yang sangat kukenal kau-lambungkan. Aku semakin bergetar, dan dadaku yang lebih dominan ingin mengeluarkan isinya.

Kamu semakin mendekat, meraih mataku yang terpaku dengan tatapan tajam khas milikmu yang agak nakal.

''Ke mana saja?'' tanyamu.

''Aku baru saja bangun dari kematian,'' kataku, ''duduklah.'' Lalu kamu menarik kursimu, selanjutnya kita bisa mengobrol satu meja malam ini.

''Apa maksudmu kematian?'' kau bertanya, nada suara yang agak tinggi.

''Aku sangat mencintaimu. Rindu telah membunuhku. Sekian detik yang lalu ketika mata ini menangkapmu, ketika itulah aku terbangun dari kematian. Apa kita bisa menahan rindu tanpa bertemu? Tentu tidak, tentu sulit, dan bisa membuatmu mati dalam keadaan hidup. Boleh kamu cari kerinduan laki-laki mana yang bisa menanandingiku. Aku siap diadu.''

''Aku mengerti.''

Kau mengangguk, lalu angkat bicara, ''Demikian pun diriku. Hariku terisi oleh jarum-jarum. Mereka menusuk tiap celah yang ada. Napasku akan sesak. Sering tersengal. Semua karena kamu.''

Mata kita bertemu. Malam yang syahdu.

''Boleh aku menusuk matamu untuk oleh-oleh?'' aku meminta.

''Boleh saja, asal jangan kamu jadikan apa-apa selain pengobat rindu.''

Aku mengangguk.

***

Kuambil garpu di depan mata, kuraih secepatnya, perlahan tangan ini mendekat ke wajah si pemilik mata. Segera kutusuk matanya itu. Tidak ada darah. Hanya ada jeritan merobek suasana sekitar yang sepi, hanya bangku, meja, angin, dan hanya itu yang tersedia di restoran tutup.

Kuambil bola matanya, dan kutaruh di saku.

''Akan selalu kujaga.'' Aku tersenyum.***

Jakarta 22 Juli 2015

SULITNYA JADI REMAJA YANG BAIK-BAIK

Bulan suci Ramadhan, bulan yang di dalamnya tersurat jelas dengan sangat bahwa adalah saat yang ‘pas’ untuk memperbaiki diri. Dengan memperbanyak tadarusan, beribadah, dan hal positif lainnya, dengan ‘iming-iming’ pahala yang berlipat ganda.
            Karena itu, kita para remaja akan berlomba-lomba mencari keberkahan Ramadhan, terutama pahalanya. Awal Ramadhan, remaja akan terlihat memenuhi masjid dan mushola dekat rumah. Mereka bersemangat, dengan alasan disuruh orangtua sampai ikut-ikutan teman, di antara mereka, pasti ada niat murni karenaNya.
            Jika memang niat murni kerenaNya, lalu kenapa hari selanjutnya Ramadhan kian sepi saja itu masjid dan mushola yang awalnya diramaikan oleh mereka para remaja?
            Seperti di daerah kosan saya, awal Ramadhan, banyak sekali yang berbondong-bondong ke mushola sampai ke jalan-jalan itu shaf. Namun, berjalannya hari, mereka kembali nongkrong dan ngobrol ngalor-ngidul dengan sebatang rokok yang berasap di tangannya, terlihat magis di malam hari.
                                                                       

Menjadi remaja memang susah, remaja dikaruniai dengan hormon-hormon yang luar biasa, rasa ingin tahu yang sangat, dan merasa ingin bebas dari aturan. Itulah remaja. Bahkan, pada sebuah seminar yang pernah saya ikuti, sang pembicara bersabda bahwa masa depanmu tergantung pengontrolan masa remajamu.
            Iyah, remaja adalah mereka yang berumur 10-25 tahun. Semakin tua usia seseorang, tidak menjamin semakin matang pemikirannya. Begitulah remaja, mereka bisa saja memilih untuk berpikir dewasa, namun ada pula yang seperti anak-anak, ingin dilayani saja.
            Remaja adalah pertengahan dari masa anak-anak dan masa dewasa. Ia tidak ingin dikatakan anak-anak atau seorang yang sudah dewasa. Masa remaja, adalah masa pencarian jati dirinya sendiri, dengan caranya sendiri.
            Berada di masa remaja, bagaikan meluncur di atar kereta yang relnya berlika-liku. Jika kita memegang pegangan dengan kuat, niscaya tidak akan terjatuh. Dan jika sebaliknya, tidak kuat dalam berpegangan, bisa-bisa terjatuh dan terjerumus ke dangkal sana. Penuh dengan kegelapan, dan hitam.
            Macam-macam penyakit remaja sampai sekarang masih saja ada. Sebut saja itu namanya kenakalan remaja. Mungkin kini bukan kenakalan lagi, namun kejahatan remaja. Mulai dari pencurian, pemerkosaan, ah banyak lagi macamnya, saban hari ada di berita dan media massa bukan?
                                                ***
Iyah, jadi remaja memang sangat sulit. Harus mampu mengontrol diri sedemikian rupa. Kita bisa saja memilih untuk menjadi remaja yang lebih baik, berpegangan pada agama, dan patuh pada orangtua. Namun yang sulit adalah untuk konsisten, beristiqomah.
            Tidak lain, yang sangat mempengaruhi seorang remaja adalah orangtua. Kedua orangtua adalah madrasah pertama untuk remaja. Orang yang hebat, adalah lahir dari orangtua yang hebat.
            Begitulah pemandangan saya tentang remaja. Sulit bukan? Maka dari itu, mari kita sadar wahai para remaja, untuk apa kita hidup di dunia yang fana ini, bukan untuk hanya bersenang-senang, namun untuk mempersiapkan bekal kehidupan yang kekal, yang bernama akhirat, surga atau neraka kau pilih dari sekarang.***

Jakarta, 19 Juli 2015


KEPADA KAMPUNG, MAAF TAHUN INI KITA TIDAK BERTEMU

Tahun ini, gue ndak pulang kampung karena ada PKL. Tahulah, kalau kantor cuti bersamanya ndak terlalu lama, ndak seperti anak sekolah yang sebulan bisa libur.

Karena itu, gue sedih, ndak bisa bertemu dengan Mamake (Ibu), Bapake (Bapak), Adik dan saudara-saudara.

Gue kangen suasana kampung yang khas, suara bising malamnya, sinar paginya, angin sorenya, dan senyum tulus penduduknya.

Cilacap, memang terkenal dengan Nusakambangan, teroris, dan semacamnya yang mengerikan. Namun, asal situ tahu saja, Cilacap adalah kabupaten dengan wilayah terbesar di Jawa Tengah.

Sumber Alamnya berlimpah, maka dari itu Pertamina membangun 'obor'nya di sini. Eh, ngomong-ngomong, obor itu kelihatan lho dari belakang rumah gue.

Balik ke kenangan kampung, yang selanjutnya gue kangenin adalah langgar (mushola) Mbah Kakung (Kakek) yang belakangan ini semakin ramai. Di sana, bisa kita temukan canda tawa anak-anak kecil sehabis mengaji, orang tua pada ngobrol, dan saudar-saudara gue yang sering bermain ke rumah Mbah Kakung.

Kalau bulan Ramadhan, mushola Mbah Kakung bakal ramai pengunjung. Sehabis tarawih, pasti akan banyak makanan berlimpah, mulai nasi sampai jajanan anak-anak.

Kami makan bersama, saling berbagi, dan bercerita yang didominasi tentang sawah dan hasilnya..

Gue kalau di antara mereka, hanya bisa diam, dan lebig memilih bermain dengan anak-anak kecil lainnya. Teman sepantaran gue, banyak yang sudah bekerja, dan tampak lebih tua ketimbang semestinya. Jadi gue bingung, apa yang harus diperbincangkan antara kami..

Kalau malam dan menjelang tengah malam, lantunan ayat suci Al-Qur'an akan terdengar menjadi pengantar tidurmu. Sumbernya dari beberapa langgar yang tersebar di desa gue dan desa sebelah.

Malam yang sunyi, hening, maka dari itu bisa dengan mudah telinga menangkap sumber suara itu. Menenangkan hati.

***

Gue kangen masakan Mamake, masakan yang khas, rasanya pas, ada pedas, asam, ah, macam-macamlah. Mamake memang pintar memasak, terkenal juga di desa.

Di kampung halaman, kadang bertemu kawan lama MI dulu. Kebanyakan mereka melanjutkan di pesantren. Oh iya, di kampung gue, ada dua pilihan setelah lulusan SD dan SMP: mau pesantren atau bekerja?

Teman gue yang mas-mas kebanyakan ambil opsi kedua, dan opsi pertama untuk mereka teman mbak-mbak gue. Mereka menjadi wanita-wanita sholeha, dan siap menjadi istri yang baik, menurut gue sih gitu...

Yang gue kangenin lagi adalah bercanda dengan Adik-adik gue. Namanya Khavizah, dan Maming (Fahmi Nur Syabani), dia anaknya gampang diledekin, kadang ngeselin kadang nyenengin juga sih. Paling jago meliara ayam, burung, pohon, dan semacamnya.

Kami sering berantem, pernah Maming sampe cidera sama gue, wuhaha...

***

Ndak ada habisnya kalau ngomongin kampung... Yang pasti, gue bangga punya kampung di Cilacap, bahasa Ngapaknya pun tak pernah gue lupakan :)

Lebaran tahun ini, gue hanya bisa menelepon kampung, minta maaf, dan bercerita tentang keadaan, nelangsa memang, tapi lebih berkesan. Ah ndak, lebih berkesan kalau bertemu langsung.

Februari udah UN aja. Jadi, gue ndak bisa pulang kampung abis lebaran ini, PKL berakhir September. Uhuhuh... Harusnya gue fokus belajar, dan pulang kampung dengan bangga, dengan nilai UN yang kece dan akan masuk PTN. Semoga saja yah, aamiin...

Huh, sudah sampai sini dulu saja ya. Gue udah mulai sedih nih. See you ngesuk maning ^_^

23.38 Sevel Olimo, 18 Juli 2015

SAMPAI KAPAN BISA SEPI MENYENDIRI?

Sampai sekarang, gue ndak tahu apa yang gue perbuat benar atau salah.

Setiap hari, gue ditemani sepi. Setiap hari, hanya angin dan semacamnya yang magis setia menemani hari-hari gue.

Awalnya, gue merasa nyaman dalam kesendirian. Tapi, jika dirasakan lebih dalam lagi, sepi dan kesendirian adalah bentuk jalan akhir bagi seseorang yang tidak bisa mengerti dirinya sendiri bahwa ia adalah makhluk yang butuh orang lain, butuh sosialisasi, dan butuh dikuburkan mayatnya oleh orang lain.

Ia adalah orang yang tidak bisa memantaskan diri di suatu tempat, atau kelompok yang berisi orang-orang beragam pastinya.

Kadang gue berpikir, apa yang seharusnya gue lakukan? Apa harus keluar dari situasi ini dengan bergaul dengan (setidaknya) orang sepantar dekat kosan, atau jalan-jalan sendiri di tempat keramain bertemu orang-orang dan hal baru yang tidak disangka.

***

Jika membicarakan pegaulan di sekitar kosan, agak miris memang. Daerah kosan gue, bisa dibilang kurang moralnya. Itu terbukti banyaknya kasus-kasus narkoba di sini, pencurian, sampai tempat PSK.

Jujur, gue adalah orang yang gampang terpengaruhi. Sulit membedakan mana yang harus diserap dan mana yang harus di-takacuhkan.

Begitulah, kalau gue boleh memilih, mending gue tinggal di kampung. Bersama udara bersih, saudara banyak, dan orangtua yang perhatian. Tapi tidak, gue tidak bisa mengubah takdir..

Dalam hati gue yang paling dalam, ingin rasanya menyudahi orang kuper seperti demikian. Sebenarnya hal ini hanya terjadi di tempat gue tinggal saja. Di sekolah, tidaklah gue seperti itu, malah bisa dibilang siswa aktif, aktivis.

Tapi tetap saja, sikap tertutup dan pasif tetap terbawa oleh tubuh ceking ini ke mana saja. Kadang, jika bertemu tempat baru, gue merasa jadi orang asing. Gue tidak seperti kebanyakan orang. Bisa bertukar canda sedemikian rupa dan akrab dengan cepatnya.

***

Merasa kesepian dalam kesendirian, gue rasakan ketika merenung dan ndak ada kerjaan. Kalau hari-hari biasa, gue merasa nyaman saja. Tapi lain kalau tiba saat seperti ini, gue merasa butuh teman, keluarga, sahabat, orang yang bisa menghibur.

Dalam bentuk nyata, bukan yang biasa dihubungi lewat perangkat handphone.

Iya, gue butuh itu. Rasanya, kalau dipikir-pikir, sampai kapan gue seperti ini, ndak punya banyak teman, sahabat, apalagi keluarga dan saudara yang tidak (sempat) gue kanal.

Apa jadinya kalau gue tua nanti. Hidup dalam kesepian, sendiri. Ehm. Oke, pasti itu akan menyedihkan.

Maka dari itu semua, gue sadar, harus keluar dari situasi ini, mulai dari bergaul dan menyapa orang di sekitar kos. Atau opsi kedua, berjalan-jalan di tempat ramai sendiri, pun bisa membuat gue bahagia, seperti sekarang ^_^


18 Juli, Sevel Olimo 2015

RASANYA JADI ANAK PKL-AN...


Menjadi siswa yang sedang PKL, menggunakan almet jurusan, rasanya masih belum menyangka. Padahal, baru kemarin gue membincangkan Power Ranger, Spongebob, Tom and Jery, Doraemon. Eh, sekarang perbincangan itu, yang pada zamannya sangat menyenangkan sekali, kini berubah menjadi perbincangan pekerjaan dan gaji.
            Pertama kali mendengar PKL, yang gue pikirkan adalah bekerja di tempat yang asing, ditatap oleh mata pemburu, disuruh-suruh, dikesampingkan, tidak terlalu dipandang, dan segala hal negatif lainnya. Namun, ternyata tidak. Hal itu terbukti ketika gue masuk gedung Kemkominfo.
            Pagi itu, 1 Juli, awal gue masuk PKL, gue sekelompok dengan Argi, Ridho, Fadly dan Ucup. Yap, cowok semua. Kami janji jam 7 udah di depan gedung, sialnya gue kesiangan. Di angkot jam 7 kurang 10 menit, nahas, sang sopir tidak lewat jalan yang biasa dilalui dan melewati gedung yang gue tuju. Alhasil, gue berhenti agak jauh dari gedung, berlari, dan terlihatlah almet kuning-kuning ngambang dari sebrang.
            Gue langsung lari, melambaikan tangan.
            Tanpa babibu, kami masuk gedung, gue memimpin. Ndak ada yang nanya kenapa gue telat. Huh, syukur deh. Karena itu, ndak juga gue tulis kenapa gue telat di sini. Hihihi..
            Di gerbang, ada satpam dengan seragam hitam-hitam, kami menyapanya lalu dibalas dengan hangat. Lanjut masuk gedung yang ditunggu-tunggu. Lapor di resepsionis dan lalu naik lift ke lantai 7. Di lantai paling atas itu, kami bertemu sekeretariat, dikasih surat, lalu menuju lantai 4.
nungguin name tag :V 


            Di lantai 4, kami dikasih name tag, name tag ini digunakan selama PKL.
            Tepat jam 8 pagi, kami diarahkan ke Balitbang (Badan Penelitian dan Pengambangan) SDM di lantai 5. Kami bertemu dengan Mas Rizal, lalu diarahkan apa-apa yang harus kami patuhi.
            “Di sini, bukan memaksa, tapi kalian harus disiplin, berbaur, fleksibel, kalau lagi nggak ada kerjaan, kalian harus menawarkan diri, apa yang bisa saya bantu ketika melihat ada yang lagi sibuk,” pungkas Mas Rizal dengan nada Jawa namun tagas.
            Setelah itu, kami diberi pilihan untuk memilih bagian-bagian mana yang kami inginkin. Ada bagian laporan kantor, kepegawaian, bagian umum dan keuangan.
            Dan akhirnya, gue dapet di bagian keuangan.
            Kami diantar ke bagian kami masing-masing.
            “Ini anak-anak PKL, tolong dimanfaatkan sebaik mungkin. Mohon bimbingannya,” kata Pak Teguh, instrukur kami yang lain setelah Mas Rizal.
            Kami mendapat tempat masing-masing. Di sini ruangan di skat-skat sedemikian rupa, suasana nyaman, dingin, dan orang-orangya ramah-tamah. Tidak ada yang judes.
            Pekerjaan gue pertama adalah memfotocopy dan belajar mesin TIK. Hari berjalan, pekerjaan gue selanjutnya lebih kepada mengarsip dan mendata. Kadang pula mengantarkan surat dan menghancurkan berkas.


tiap hari karpet lift ganti berdasarkan hari...

            Dari PKL, gue belajar untuk lebih bergaul, lebih berbaur, dan tidak hanya memikirkan diri sendiri. Kalau kita tidak berbaur siapa yang akan peduli pada kita? Kalau kita tidak punya tetangga, saudara, siapa yang memandikan mayat kita?
            Maka dari itu, gaitlah sebanyak-banyaknya teman, dan jauhi lawan.
                                                ***

Di gedung kekominfo ada perpustakaannya, kadang kalau ada waktu luang gue datang ke sana untuk membaca-baca buku. Banyak buku yang bagus-bagus di sini. Bikin betah deh.
BACA BUKU....

            Kemudian, kalau jam istirahat, kami sholat duhur berjamaah, setelahnya, kami bisa mendengarkan ceramah, atau tidur di lantai dua masjid. Sampai jam 1 baru kami kembali ke kantor.
            Omong-omong tentang kantor, kami tidak bisa masuk dengan mudah, harus pencet mesin penditekasi (yang hanya dipunyai oleh karyawan) baru bisa masuk. Cet, cekrek. Begitu bunyinya, mesin itu pun bisa memfoto sendiri.
            Kami harus menunggu dulu yang keluar atau tidak yang masuk untuk membuka pintunya…
            Pas mau keluar, kita harus, apa yah istilahnya, memberikan bayangan ke sebuah tombol yang bertuliskan: no touch baru bisa kebuka itu pintu. Keren deh, jadi kepikiran sama markas Power Ranger jadinya kan nih :3

kadang kami tadarusan...


            Belum lama PKL, gue udah punya jelukan, yaitu Organ Tunggal oleh salah satu instruktur kami. Itu disebabkan karena gue lagi itu mainin keyboad yang udah rusak layaknya meaen organ tunggal, alhasil, kadang gue diledekin dengan sebutan itu. Huhuhu…
            Selama ini gue kenal sama orang yang bernama, Ibu Dewi, Asri; Pak Waluyo, Ganturi, Durnata, Kunto, Amin, Teguh; Mas Dimas, Rizal, Mbak Nina. Yeah, baru itu. Mungkin ke depannya akan banyak lagi yang gue kenal.
            Sekedar info, bebarengan dengan kami anak PKL, ada pula dari anak Magang. Kalau kata Ucup, mereka adala MACAN (baca: mahasiswa cantik), yeah, semua mereka adalah cewek. Tapi kalau kata Ridho, my honey-nya tetap Mbak Runi (kalau ndak salah) penjaga perpus itu. Cie cie…
            Fadly kami sebut pangeran karena sering tidur di mejanya, dan Argi adalah bahan ceng-cengan. Lengkap deh :3
            PKL-an sama mereka ndak ada bosennya. Ada saja gelak tawa ketika kami istirahat, pulang, bahkan ketika kerja ^_^

nunggu angkot 08..




            Ehm… okelah kalau begitu, cukup sampai sini saja. Semoga yang masih pada PKL dipelancar ya… dan semoga mendapat banyak ilmu dari situ. Amanat gue sih, dahulukan pembelajaran ketimbang perhatian dari karyawan, jangan caper lah istilahanya. Kan niat kita PKL buat belajar kan, bukan buat cari perhatian dan uang biar dapet nilai apalah-apalah begitu? Okeh? Siph ^_^  

REUNIAN BARENG TEMAN-TEMAN SD N MABES 05 PAGI YANG SERU!


Foto bareng anak-anak SD N Mangga Besar 05 Pagi. Gede-gede yah :3


Pas pulan PKL dari Kementrian Komunikasi dan Informatika, langsung gue ke KFC Gajah Mada. Naik angkot 08, agak macet, duduk di samping sopir, tak lama, sampailah gue di tempat yang sudah dijanjikan.
            Gue masih pake almet kuning jurusan, gue udah di depan KFC kayak orang cengo, waktu itu jam 5 sore sesuai janji gue kepada kordinator acara, Eva. Di depan KFC, masih saja gue bengong liatin kendaraan berlalu-lalang di muka. Lama, akhirnya ada seorang cewek menepuk pundak gue.
            “Sopi?” kata dia menatap. Gue menoleh.
            “I-i-iyah,” jawab gue kaget. Otak gue campur aduk saat itu juga, siapa ini cewek?
            “Kristin!” ah iya gue inget, dia adalah Kristin, cewek yang dulu sekelas sama gue dari SD 04 Mabes dan lalu pindah ke SD 05. Dia masih saja seperti dulu, kecil dan gesit.


Ini penampakan sekolah SD kami... 


            Sempat ada perbincangan ringan, kemudian kami ke lantai dua. Gue seperti orang asing ketika itu, pake almet sendiri, paling mencolok lagi, dan itulah kelebihan almet sekolah gue, wuhahah…
            Di lantai dua KFC, gue ketemu Dini dan Pipit. Mereka tidak terlalu berubah, masih seperti SD dulu, gue masih bisa mengenali setidaknya.
            Lama, teman gue yang bernama Rian dateng membawa badannya yang terlihat lemot, dan wajahnya yang kian putih. Sekedar info, dulu ketika SD, ini orang punya pulau, yap, punya pulau di pipi, hidung, keningnya, paham kan? Wuahaha…
            Gue dan Rian lalu turun, tepat di parkiran menunggu siapa nanti yang datang. Jam setengah enam menjelang berbuka, Dony, Hengky, Reza, Dimar, Maulid, Juan, Bima beserta teman, datang silih berganti, datang.
            Gue bener-bener pangling sama mereka orang, ada yang udah kerjalah, ada yang masih sekolahlah, ada yang habis gajian juga…, dan satu lagi, ada yang katanya mau menikah bulan depan. Wih…            Kami semua lalu masuk, naik ke lantai dua, mengumpulkan uang, dan lalu memesan makanan. Beruntung, ada yang membawa permen, lumayan bisa buat batalin puasa sambil menunggu pesanan…
                                                                                    ***
Kami menyantap ayam goreng, nasi, saus dan minuman Pepsi dengan ditemani gelak tawa. Biasa, kami saling ceng-cengan…


Pulang dari PKL :3

            Tak terasa makanan kandas, cuci tangan, dan lalu foto-foto. Usul dari Maulid, kami akan menjemput teman-teman yang belum datang, kami akan berkumpul lagi di Sevel dekat sekolah Santo Leo.
            Gue sendiri dianter Reza dan Dimar ke kosan, gue ganti baju. Pake celana pendek sobek-sobek, baju putih dan switer item. Selepas itu kami ke rumah Reza menjemput Dian.
                                                                                    ***
Kami kumpul lagi di Sevel. Silih berganti teman-teman datang,  seperti biasa, mereka sungguh bebeda. Sapudin, yang dulunya kurus, kini gemuk banget, seperti barter dengan Bima yang dulu gemuk, aneh.
            Lalu Syahrul, masih sama seperti dulu. Kecil, ceking, jalannya males-malessan gitu, kalo ngomong kayak orang mabok, dan masih Dayat menjadi Bapaknya, piss :D
             Di Sevel semakin marak saja gelak tawa, apalagi si Sapudin, dengan caranya dia cengin beberapa antara kami. Dan target yang paling empuk ada si Fajar, yup, ketika masih SD, dia orang pendiam, tidak banyak bicara, mukannya kayak orang Cina, ceking, dan kalo ketewa ngeselin!
            Gue terharu, sungguh terharu, dengan mereka gue merasa nyaman, dan bisa melepas tawa selepas-lepasnya, seperti keluarga sendiri, mereka memanusiakan gue sebagai manusia.
            Ndak nyangka banyak yang dateng sampe segini banyak.
            Masih di Sevel lantai dua, kami membuat bangku membundar dan satu meja disisakan di tengah. Beberapa pengunjung juga sibuk dengan urusannya, tapi yang jelas, kamilah yang paling ramai. Walau hanya sekedar beli 3 ciki dan aqua botol gede, ngohahah… maklum masih sekolah :3
                                                                        ***
Selanjutnya, jam 8 malam, kami menuju rumah Pak Sofian guru wali kelas kami dulu. Beliau kini sudah tidak lagi menjadi guru, bekerja di bank kabarnya.
            Kami bertolak ke rumah beliau, bergerombolan, banyak! Sampai di tempat, ternyata Pak Sofian ndak lagi tinggal di Gang Ibrahim itu.
            “Sama istrinya di Serepong,” kata Ibu yang kami tanya di depan pintu rumahnya.
            Deg
            Kecewa.
            Padahal gue udah berpikir bagaimana harunya nanti Pak Sofian melihat kami. Tapi salah, Pak Sofian tidak ada di tempat.
            “Kasih aja nih?” tanya Dian ke gue.
            “Iyah kasih aja…”
            Kemudian bingkisan hasil patungan kami berikan kepada Ibu itu. Beliau berterima kasih.
            “Salam yah, Bu, dari anak didik Pak Sofian, SD MABES 05 PAGI, angkatan 2013,” kata Eva.            
            “Yang ada Sohinya gitu, Bu...,” gue berceletuk.
            Lalu tak lama terdengar, “Hu....” dengan kompak -_-“
            Gang sempit ini penuh dengan rombongan kami, sampai gang ndak muat. Kami kembali ke sekolah Cahaya Mulia tempat parkir motor dan lalu bertolak ke rumah Sapudin menunggu dia mencuci baju gawe buat besok kerja dan lalu ke Waduk Pluit! Ye….
            Sudah malam kira-kira jam 10, kami ke Waduk Pluit dipimpin oleh Maulid. Perjalanan seru, seperti iring-iringan presiden, reme :V
            Sampai di Waduk, kami foto-foto, dan kembali mengenang….
            Seperti Dimar yang pernah jadian sama Pipit, Dian yang pernah deket sama Syahrul, Maulid sama Dewi, Ayu anak pindahan, tempat duduk, Andre berak di celana, martabak Bang Maman (Bapak gue) dan lain sebagainya…
            Malam itu bulan tersenyum, di bawahnya kami bahagia, melepas semua beban, seperti kembali ke masa kecil, hanya memikirkan kesenangan.


Ini kalo waduk pluit pas siangnya...



            Malam menuju jam 11, kami pulang. Udara dingin. Dan gue sampai kosan tepat jam 12 malam.
            Hari yang menyenangkan bukan? Heheh… semoga kita dipertemukan lagi yah, Kawan, nanti gue akan membawa buku-buku terbitan gue deh, ckckck… ya kalo terbit sih…
            Thanks udah baca ^_^

BERBAGI PANDANGAN TENTANG HUBUNGAN

Dalam suatu hubungan’ antar seseorang lawan jenis, pasti mengalami beberapa fase. Mulai dari fase cie-cie sampe bangke-bangke. Mungkin begitu. Seperti biasa, semua pasti berawal dengan bunga-bunga, sejalan dengan waktu ada kerikil mengganjal, lalu kemudian batu, dan karang….
            Jika mereka yang menjalin hubungan tidak kuat dan tidak kompak, bisa-bisa akan putus di tengah jalan.
            Iyah, dalam suatu hubungan, jangan bayangkan yang indah-indah saja, bayangkan pula hal yang bisa membuatmu menangis, sakit hati, cemburu, kecewa, dan seterusnya. Yang semua adalah bisa membuatmu tidak semangat menjalani hidup dan seterusnya.
            Kadang orang akan menjudge pasangannya berubah tidak seperti awal mereka bertemu. Barang tentu, semua orang bisa berubah bukan? Jika memang dia ‘murni’ dari awal bertemu kamu: tidak sikapnya diada-ada, tidak tingkahnya dibuat-buat, maka kemungkinan besar kata berubah itu tidak akan terlontar.



            Namun tetap saja, setiap orang berubah. Layaknya bumi itu bulat, bulan hadir di malam hari dan matahari hadir di siang hari, orang pasti berubah.
            Apalagi dalam suatu hubungan, yang terpenting adalah menyatukan dua kepala, dan jika berlanjut ke ranah pernikahan, maka dua keluarga yang harus disatukan. Jika (lagi) dalam penyatuan itu ada yang tidak jujur, sampai kapan pun mereka tidak akan satu. Singkatnya begitu.
            Masalah pasanganmu yang berubah, mungkin saja ia sudah mulai bosan denganmu, atau apalah-apalah yang lainnya. Namun jika ada cinta di antara kalian, rasa bosan itu akan dengan cepatnya terganti dengan rasa semakin sayang.
            Ya, namanya juga manusia, mau dengan teori apa-pun, pasti ia bisa bosan, apalagi tentang pasangannya. Jujur saja.
            Nah, sampailah kita di fase ini. Fase di mana saling mempertahankan hubungan setelah mengalami perubahan dan kebosanan. Jika memang karena hanya rasa kagum, suka karena tampilan, pasti pada fase ini kamu akan putus.
            Berbeda dengan mereka yang mendasarkan, mempondasikan hubunganya dengan rasa cinta, saling kasih dan sayang, saling mengerti dan berkorban, pasti mereka akan dengan mudah melewati ini.
            Memang, ini adalah fase yang paling rawan dalam suatu hubungan, apalagi yang menjalani masih labil seperti kalian.
Ada kalanya kita harus menahan parasaan terhadap lawan jenis selain pasanganmu, karena kita harus menjaga hatinya.     
Sebab itu, haruslah ada kedewasaan di sini, saling mengerti satu-sama lain, percaya dan dengarlah keluhannya, maunnya. Dengan itu, pasti hubunganmu akan baik-baik saja.
            Seperti nyamuk yang menggit pasti gatal bukan? Kamu akan menggaruknya atau tidak? *abaikan* *belakangan lagi banyak nyamuk nih*

            Seperti halnya bintang di malam hari, jika sudah kamu setia dengan cahaya yang satu di antara banyaknya cahaya yang lain, matamu akan hanya bisa melihat keterangan cahaya yang kamu setiakan. Cahaya yang lain tidaklah lebih dari sekedar cahaya. Berbeda dengan cahaya yang kamu pilih, dia akan bersinar lebih tarang, berbeda dengan yang lain, jika sudah begitu ia siap menuntunmu menuju sesuatu yang bernama bahagia.***

Jakarta 8 Juli