KERJA DI LUAR NEGERI? EHM..

Ada yang menarik dari pengalaman saya pulang kampung musim lebaran kemarin. Yakni tentang pekerjaan. Di kampung saya, Cilacap Jawa Tengah, banyak sekali yang bekerja sebagai TKI/W. Ada yang kerja di Malaysia, Singapura, Brunai, Arab, Korea, Jepang, dan banyak lagi.

Mereka ndak (perlu) berpendidikan tinggi untuk bisa keluar negeri. Cukup lulusan SMP atau SMA bahkan SD, mereka bisa naik 'motor mabur' ke negeri orang. Jelas bukan untuk berleha-leha, mereka pekerja keras di sana.

Dari berbagai percakapan saya di kampung dengan teman dan saudara, kerja di luar negeri itu rata-rata gajinya 6 juta rupiah sampai 15-an juta. Mereka ada yang bekerja di penyembelihan ayam, pabrik, bengkel, kapal, dan jarang yang jadi pekerja rumah tangga. Jelas itu nilai gaji yang tinggi bagi seorang pekerja jika dibandingkan di Indonesia. Di Indonesia, pekerja Administrasi (yang lulusan SMK, D3) paling rata-rata dapat gaji 3-4 juta-an.

Karena banyaknya TKI/W, maka banyak pula di antara mereka yang rumahnya di kampung bagus-bagus, punya motor dan mobil, punya sawah dan rumah mewah.

Untuk bisa kerja di luar negeri pun sekarang ndak terlalu sulit, sudah ada agennya di sini. Ndak dipungut biaya, hanya nanti jika sudah bekerja bakal kena potongan. Ehm.. Menarik.

Saudara-saudara saya pun banyak yang kerja di luar negeri. Kakak dan Abang saya juga pernah kerja sebagai TKI. Yang satu kerja di pabrik perhisasan, yang lainnya di pabrik triplek. Gaji mereka lumayan, bisa untuk memperbaiki rumah kami menjadi lebih baik dan menebus sawah yang sempat digadaikan bahkan bisa membeli sawah baru. Sungguh menyenangkan kan ya?

Akan tetapi, kakak saya mengakui bahwa kerja di luar negeri itu ndak enak. Selain jauh dari sanak famili, di sana pun jarang keluar pabrik, macam dikurung.

Cerita lain dari saudara saya yang bekerja di Brunai, orang indonesia di sana 'lebih bekerja' dari pekerja Brunai. Pernah suatu waktu ada perkelahian antara pekerja Indonesia dan Brunai. Hal itu karena pekerja Brunai 'memalak' pekerja Indonesia. Karena sudah dianggap melunjak--karena hal ini sudah terjadi berkali-laki--terjadilah tawuran. Tapi polisi setempat sempat datang, bukannya polisi itu melerai tawuran, malah membela pekerja Brunai.

''Jadi harus pikir-pikir dulu kalau mau bikin masalah sama 'tuan rumah','' begitu katanya.

***

Karena hanya lulusan SMP bisa ke luar negeri dan mendapat gaji 6 juta, pendidikan di sini seolah dikesampingkan. ''Buat apa sekolah tinggi-tinggi, yang penting gaji tinggi.'' Mungkin begitu anggapan di sini yang sudah mendaging-darah.

Saya yang baru lulus SMK pun menjadi lebih berpikir dengan permasalahan begini. Saya sedang mencari pekerjaan, sudah ada targetnya. Tapi apakah memilih bekerja di luar negeri itu pilihan bagus ya?

Sebenernya saya tertarik untuk bekerja di luar negeri. Tertarik gajinya, tapi kerjanya di sini saja. #krik

Lapangan pekerjaan memang sudah menjadi PR besar bagi negera kita sejak lama. Entah sampai kapan 'pemerataan' itu bakal terwujud. Sehingga negara ini jauh dari kata miskin dan kesenjangan sosial.

Saya punya cita-cita besar untuk membuka lowongan pekerjaan di kampung. Jadi setelah bekerja di Jakarta, kuliah di Jakarta, dan mendapat banyak ilmu, saya bakal membuka usaha di kampung. Tujuannya simpel: mensejahterakan masyarakat sekitar.

Ya, di kampung saya memang banyak TKI/W, tapi ingat, ndak semuanya. Mereka yang ndak bekerja di luar negeri, hanya bergantung pada sektor tani dan kebun. Di sini panen ndak seberapa untung, modal mengelola sawahnya pun besar. Jadi ketika panen hanya 'balik modal'. Kita ndak bisa berhadap dari situ.

Adapun kebun, orang sini banyak yang menderes nira menjadi gula jawa. Keuntungannya pun ndak seberapa, apalagi dibanding risiko yang ada. Kabar orang jatuh dari pohon kepala eh kelapa pun sering terdengar.

Sungguh pelik permasalahan ini.

Jadi, mari kita ngopi dulu deh.***

MATAMU BIJI KOPI

Matamu biji kopi, yang diberi gula dan diseduh dengan air panas yang pas. Matamu nikmat jika diseruput kapan saja, karena matamu biji kopi.

Bukan sembarang kopi, matamu adalah biji kopi pilihan seperti yang digadang-gadang iklan kopi di televisi. Kau tahu? Aku tidak percaya iklan itu, yang aku percaya cuma kamu, karena biji kopi pilihan ada di matamu, sayang..

Matamu bikin aku tersenyum sendiri di saat sepi dan di saat ramai. Aku gila, sayang, gila karena matamu. Ini benar. Matamu..

Saat itu aku melihat mata biji kopimu secara langsung. Aku kelabakan melihatnya. Bahkan sesak nafas setelahnya. Rasanya aku mati sesaat. Tapi jika saat itu aku mati selamanya juga tak masalah. Aku mati karena matamu..

Oh, sayang, tak ada mata seindah matamu.. Congkel dan berikan padaku, boleh?

Ah, itu baru matamu, belum pipi, belum hidung dan belum bibirmu. Aku tak tahu bagaimana rasanya menyentuhnya. Tapi, bibirmu sudah berhasil menyentuh aku. Bibirmu itu lidah ular berbisa, mematok dadaku dan membikin rindu di dalam sana. Menggebu-gebu tak ada ampun. Bibirmu..

Jika matamu adalah biji kopi, bibirmu adalah cangkir yang indah. Dan aku tak akan bisa menyentuh yang indah itu, karena kamu tak mungkin mau disentuh aku: orang yang menggilaimu dan sudah benar-benar jauh dari waras.

Karena yang mudah disentuh akan mudah rusak, aku lebih suka mengaggumi ketimbang menyentuh, itu lebih bijak, memilih gila juga bijak.

Dan matamu ada di setiap mataku. Dan mataku ada di setiap matamu. Kita satu sejak percumbuan itu, sayang.. Kau ingat?***

*ditulis karena merindukanmu*

N

Malam ini rinduku yang tadinya biasa-biasa saja, berubah bentuk menjadi huruf N. Ia meliak-liuk bercahaya, dari bawah terbang ke atas, ke bawah, ke atas. Hingga menjadi huruf N, aku melihatnya ada di langit, malam ini.

Rinduku memang begitu. Ia bisa mengeja sendiri siapa yang pantas untuk dirindui. Rinduku terlalu pintar, sehingga sulit untuk kuperintahkan. Ia terkadang begitu militan, dan menabrak semua yang ada. Kadang pula rinduku begitu feminim, malu-malu mengeja yang-pantas rindui.

Dan sekarang, malam ini, rinduku berubah bentuk menjadi huruf N. Begitu saja. Dengan cepatnya. Dan aku bertanya pada rinduku itu,

''Hai, apa maksudnya N itu?''
Rindu menjawab bahwa aku harus menemukannya sendiri. Untuk siapa gerangan rindu ini?

Rinduku mempunyai nyawa sendiri. Ia terpisah dari jiwa dan ragaku. Ia punya watak sendiri, dan etika sendiri. Kadang pula rindu baik hati mengajarkanku perihal jatuh cinta.

Pernah suatu waktu, rindu bercerita padaku. Kala itu hujan turun. Rintik. Tidak begitu gerimis. Cuma rintik. Rindu bercerita bahwa aku, pemiliknya, harus mencari cinta sejati.

''Cinta sejati hanya ada satu di dalam hidupmu.'' Begitu kata rindu bijak. Sontak aku terhenyak dan bertanyalah aku, ''Di mana cinta sejatiku?''

''Kau bisa menemukannya di daun-daun, ranting-ranting, pohon, air laut, dan sungai. Di sanalah letak cinta sejati. Di sana tercecer rindu milik cinta sejatimu. Cinta sejatimu malu-malu untuk mengungkapkannya. Maka tercecerlah ia.''

Hujan reda. Dan rindu kembali berubah bentuk menjadi huruf N waktu itu. Ya, belakangan ini rinduku gemar bertingkah seperti itu.

''Apa maksudnya huruf N itu?'' tanyaku pada rindu akhirnya.

''Ini hanya petunjuk. Sebenarnya kau yang memiliki rindu, kau yang memiliki aku. Ini hanya petunjuk,'' jawab rindu.

Petunjuk? Apa? Apa hanya dengan satu huruf bisa dijadikan petunjuk?

Aku gusar. Jauh dari letak nyaman. Dan sekarang, lagi-lagi rindu berubah menjadi huruf N. Kutanya lagi kenapa? Apa maksudnya? Dan rindu menjawab,

''Ini hanya petunjuk. Kau yang memiliki rindu, kau yang memiliki aku.'' ***

LEBARAN

jadi, pas momen begini, gue pasti jadi tukang fotonya..


Sudah jadi tradisi di sini kalo lebaran orang-orangnya pada keliling desa saling maaf-maafan, sungkuman dari yang muda ke yang tua. Begitu terus dari rumah ke rumah. Sedikit aneh bagi saya, bikin dosa di Jakarta, maaf-maafannya di kampung, ah gffh..

Sedangkan di setiap rumah, kita akan disajikan banyak makanan. Mulai dari nastar, tape, semangka, kriyik, dan banyak lagi hingga makanan besar pun disediakan. Tinggal milih, pemilik rumah pun bisa lima detik sekali bilang begini, ''Ayo dimakan.'' Ndak bosan-bosan.

Dan saya semakin yakin, gegara itu, perut saya mulai goyah, karena di setiap rumah, pasti saya makan makanan yang disajikan. Seperti ndak ada kenyangnya. 

demi bersilaturahim kami melewati medan sulit begini..



Di hari selanjutnya, akan ada perkumpulan keluarga. Kami silaturahim, dan saling kenal-mengenal, karena sebelumnya belum pernah bertemu. Dalam pada itu, ada pula membacakan do'a untuk mbah-mbah kami yang sudah berpulang. Dan diakhiri dengan makan-makan. Yeah, makan lagih! Sambil melirik sodara yang cakep sambil ngomong dalem ati, ''Cakep sih, tapi sayang sodara.'' ckckkc.. #canda

Sebelumnya pada malam lebaran, jalanan desa menjadi sangat ramai. Yang tadinya sepi banget, pada malam itu kita bisa temukan orang-orang berjalan kaki, naik motor, sambil membawa beras untuk zakat.

Anak-anak kecil pada main petasan, yang dewasa motor-motoran. Inilah hari kemenangan.

Ah, ndak terasa, ramadhan sudah meninggalkan kita. Namanya juga bulan pembakaran ya, jadi ada yang gosong, ada yang mateng. Moga kita termasuk hasil pembakaran yang mateng yah, gais..

Semoga, untuk tahun ke depan, ramadhan kita bisa naik level. Bukan lagi cuma menahan haus dan lapar. Sehingga ndak sia-sia ramadhan kita, dan menemukan hakikatnya: ramadhan terus-menerus.

Jadi, selamat hari raya, mohon maaf lahir batin, afsokhi & calon istri keluarga

foto-foto deh:







 

BIBIR

Ada orang sembunyi di balik bibir. Padahal ia tahu, bibirnya tak lebih besar dari sebuah tembok rumah orang miskin. Tapi ia yakin, bisa bersembunyi di balik bibir.

Ia berkata-kata dengan manis, jadi banyak semut yang mengerumuninya. Semut-semut itu dibuat mabuk olehnya, kemudian diludahinya. Begitu saja. Ludah yang bau tai ayam.

Sebentar, perhatikan bibir cangkirmu pagi ini, siapa tahu ada goresan di sana. Kau akan merasakan sakitnya goresan kecil itu ketika bersentuhan dengan bibirmu. Setiap hari kira berciuman, dengan bibir cangkir, bibir gelas, atau bibir botol. Ciuman adalah idaman bagi banyak orang.

Pepatah mengatakan: jika kau meyakinkan seseorang dengan berbicara, mungkin ia bisa ragu. Tapi jika kau meyakinkannya dengan tingkah laku, dia tak akan ragu.

Bibir bukan segalanya. Bibir bukan koentji, tapi banyak orang menyukai bibir.

Bibir yang baik bukan terlihat dari bentuknya, tapi apa-apa yang keluar dari sana. Ada orang tak banyak berpikir punya bibir, sehingga apa yang keluar dari bibirnya hanyalah bibir. Hanya bibir. Bahkan kau bisa menemukan kotoran dari sana. Bibir.

Bibir anugrah yang paling besar yang pernah ada. Juga lidah, juga gigi, tersebutlah mulut, bisa bicara. Tapi bibir yang paling mondominasi dari itu semua.

Senyum di bibir kadang menipu, tak sesuai apa kata hati si empunya. Bibir bisa mengubah bentuk wajah dari sedih ke senang, dari senang ke sedih dan seterusnya. Banyak lagi.

Punya bibir sungguh nikmat. Orang pun bisa terluka hatinya karena kata-kata yang keluar dari bibir. Orang yang sudah luka hatinya ada dua kemungkinan yang ia perbuat: sakit hati atau senang. Jadilah orang senang, karena paham, bibir hanya bibir, dan bibir cukuplah bibir. ''Hatiku lebih tajam dari bibir!'' teriak pejuang kebenaran itu.

Orang yang bersembunyi di balik bibir sungguh orang merugi. Karena bibir tak cukup jadi tempat sembunyi untuk susuatu sekecil apa pun. Sehebatnya sembunyi di balik bibir, pasti akan ketahuan juga, ketahuan lewat hatinya. Karena hati memancarkan, bibir tidak. Apa yang terpancar mudah terbaca.

Yang hebat adalah orang yang tidak bersembunyi. Ia menghadapi kemungkinan apa saja yang ada. Hatinya kuat, hatinya putih sehingga memancarkan cahaya. Karena warna hitam menyerap cahaya. Sungguh berbahagia orang yang membersihkan hatinya.

Salah satu kunci kebahagian hidup adalah ketika hati, otak, dan bibir itu sesuai. Apa yang hati bilang A, semua bilang A. B ya B. C ya C. Bahagianya jika sudah begini. Tapi untuk mencapainya sungguh sulit. Harus ada pedoman, tak boleh berdasarkan nafsu, karena pada dasarnya kepala, tangan, kaki, bibir, mata dan sebagainya adalah ternak. Kita harus menernaknya dengan baik. Beri ia makanan yang baik, beri kandang yang baik. Supaya jadi ternak yang sehat.

Jika manusia tak bisa menernak 'ternaknya', jadilah ia lebih rendah dari ternak. Karena manusia punya akal, makhluk paling sempurna di muka bumi. Di alam semesta. Tapi, jika terus-menerus mencari bahkan merebut kebahagiaan di bumi, ia bagaikan anjing yang merebutkan tulang-belulang. Jadi manusia itu sulit.***

ILMU AYAM

Suatu pagi seorang bapak membeli ayam jago di pasar. Kemudian dibawanya ayam itu ke rumah yang tentu saja menjadi tempat asing bagi si jago. Dengan pedenya, bapak ini malah membiarkan ayam jagonya itu dilepas di halaman rumah. Menjelang sore, bapak ini mencari ayamnya, ternyata ayam itu ndak balik lagi. Hilang.

Sebab halaman rumah bapak ini adalah tempat yang asing bagi si jago, maka si jago pun belum tahu pasti bahwa ini tempatnya dipeliahara. Lha wong hewan kok. Seharusnya bapak ini terlebih dahulu mengurung si jago di sebuah kandang selama 3 atau 4 hari ke depan agar si jago menyesuaikan diri, kenal dengan lingkungan barunya.

Bapak ini menyesal.

Begitupun ilmu, gais, ketika kita mencari ilmu dan mendapat pencerahan setelah bertemu dengan orang yang menyampaikan ilmu itu kepada kita, dan kita malah sombong bahwa ilmu itu ndak perlu dikaji lagi, ndak perlu dihayati, ndak perlu dikandangkan di 'dada'. Jadilah ilmu itu 'blas' begitu saja. Hilang. Saya pun pernah merasakan begitu.

Percuma ilmu hanya ditaruh di kepala, dan dengan pedenya marasa bahwa saya berilmu. Taruhlah ilmu di dada, jadikan ia cahaya bagi hati. Jika hati sudah terang, tindak-tanduk kita pun memancarkan ilmu yang kita 'kandangkan' tadi.

Jangan sampai kita menyesal seperti bapak pembeli ayam jago tadi ya, gais.***