Zara [Cerpen]

Apa yang lebih menyedihkan dari kedatanganku padamu, Zara? Aku jatuh cinta dan memikirkan bagaimana cara melepasmu—di detik yang sama.

Aku menyukai semua yang melekat padamu, dan semua yang pernah melekat padamu.

Namun, bagaimana caraku untuk pulang, Zara? Aku tersesat di matamu yang lautan bunga, dan senyummu yang candu. Saat pertama kali melihatmu, aku adalah orang yang ingin menjadikanmu tempat ibadahku. Darimu aku mendapatkan surga, dan hanya padamu aku menyembah.

Zara, kuingin kamu tahu ketika mata kita bertemu, aku ingin menjadi angin yang bisa leluasa memelukmu. Namun, sama seperti angin, ia mudah berlalu.

Jika kamu dengar deru ombak, itu adalah jantungku saat bibirku mencium bibirmu. Sepotong bibir yang manis, dan katamu ini terbuat dari tebu yang kamu tanam di halaman rumahmu di dataran tinggi.

Saat jemariku bermain di antara helai rambutmu, Zara, aku adalah ikan yang tersesat sampai ke samudera, mencari ujung dunia namun yang kutemukan hanyalah kamu. Rambutmu adalah malam yang pekat, dan aku memujamu dari surau paling sepi di ujung jalan desa.

Tapi, aku ingin kamu tahu bahwa aku memikirkan bagaimana caraku untuk pulang, bagaimana caraku melepasmu. Kembali ke rumah yang telah kupupuk dari serakan patah hati yang tak pernah kamu bayangkan.

Saat sebelum bertemu denganmu, aku adalah manusia paling rapuh yang pernah berpikir menjadi abu adalah cara lain menjadi hidup.

Lalu kamu, Zara, katakan satu napas saja agar aku bisa paham kenapa dunia begitu menakutkan bahkan untuk orang dewasa seperti kita. Kamulah yang aku imani saat ini, kata-katamu adalah sabda, ciumanmu adalah obat lara.

Kumohon, Zara, jika kamu tak ingin aku di sini, buat aku menyesal karena pernah menatap matamu. Di sana setengah nyawaku terenggut, dan kamu permainkan, tak pernah kenal kata cukup.

Saat kamu memelukku, Zara, aku seperti menyentuh bulan di malam paling sepi dan dingin. Aku ingin memelukmu ketika kepalaku lebih ramai dari perang, lebih tajam dari parang. Aku hanya ingin pelukanmu dan wangi tubuhmu ketika aku tak percaya siapa-siapa.

Tapi, Zara, akhirnya kamu berkata bahwa wanita sepertimu tak pernah percaya segala hal yang mengikat. Kamu dan aku datang dari trauma yang sama, dengan awal dan akhir yang sama.

Aku tahu sejak awal kamu pun memikirkan hal yang sama ketika mata kita bertemu. Bahwa orang ini hanya singgah, dan suatu saat akan pergi seperti yang sudah-sudah.***


Comments
0 Comments

Posting Komentar