Ke Pulau Seribu Bareng Medsos Travel

Minggu kemarin, 18 Maret, aku pergi ke Pulau Seribu, lebih tepatnya ke tiga pulau ini: Kelor, Onrust, dan Cipir. Aku dan yang lainnya, berangkat menggunakan kapal nelayan di dermaga Muara Kamal. Kemudian kami berkeliling ke tiga pulau tersebut, dan pulang malam jam 7 dengan ombak yang lumayan besar, saat itu gelap, dan kami di perahu nelayan yang kecil. Begitulah singkatnya. Jika kutulis lebih detailnya lagi, mungkin akan begini:

Pagi jam 6 aku berangkat dari kosan menuju stasiun Mangga Besar, bertemu seseorang dan melanjutkan ke stasiun Kota, membeli makanan ringan dan dilanjutkan naik angkot ke Jalan Kopi, dan ya, dilanjutkan lagi naik angkot ke Muara Kamal.



Pagi yang cerah dengan sopir angkot yang super bawel. Sudah lama aku tidak menemukan situasi seperti ini, di mana penumpang dan sopir yang tidak saling kenal, akhirnya saling mengobrol, tentang apa saja. Tentu saja itu tidak terjadi jika si sopir tidak genit ke penumpangnya yang meyoritas ibu-ibu.

“Saya belum punya anak lho,” aku si sopir kepada si ibu-ibu sebagai daya tarik, “iya saya tidak punya anak, tapi yang punya anak istri saya.”

Dan ibu-ibu itu hanya menerima kegenitan si sopir, mereka tampaknya juga terhibur, melupakan anak atau suaminya di rumah. Mungkin jika suaminya di rumah tahu tingkahnya di angkot pagi ini, ia bakal cemburu. Pria humoris dan genit memang beda-beda tipis kalau sudah di angkot.

Situasi angkot B06

Baiklah, kami (aku dan seseorang yang kutemui di stasiun), akhirnya sampai di Muara Kamal. Orang-orang di sini begitu paham, bahkan sebelum kami bertanya arah ke Muara Kamal, mereka sudah menunjukan arahnya.

Ohya, harga angkot dari Kota menuju Muara Kamal itu Rp. 10.000 perorang, lumayan mahal pikirku. Dan di perjalanan pulang naik angkot yang sama, harga menjadi lebih mahal: Rp. 15.000 perorang.
Sampai di Muara Kamal, aku menemukan air yang begitu hitam, banyak sampah, perahu dan kapal tertambat di dermaga layaknya parkiran di pinggir mal.

Di Dermaga, aku bertemu dengan orang-orang yang juga mempunyai tujuan yang sama: ke Pulang Seribu bersama Medsos Travel. Mereka ada yang berkelompok 5 sampai 15 orang, ada juga yang berdua saja sepertiku. Kami harus registrasi ulang, dan menunggu dipanggil satu-satu untuk menuju perahu. Untuk ini, agak lama dan menyebalkan memang.


menunggu

perahu dan kapal dan air hitam dan sampah

Sekitar jam 10, aku berangkat, agak deg-degan memang menyebrangi lautan dengan perahu seperti ini. Tapi tidak, tidak seburuk yang kubayangkan, semua berjalan dengan lancar walau sesekali kami dibuat bergoyang ke kanan-kiri karena ombak yang menerjang. Abang yang mengendarai perahu yang tepat di belakangku, bilang: “Hari ini lumayan bagus, nggak kayak kemarin, banyak angin, hujan pula.”

Perjalanan

Semua berjalan normal, perjalanan sekitar 40 menit, dan kami sampai di pulang pertama: Kelor.
Di sini, airnya begitu jernih, sangat kontras dengan air di muara. Tapi tetap saja, ada beberapa sampah plastik. Agak disayangkan memang.

Kami berfoto di sini, tempatnya memang bagus untuk foto, pasir putih, cuaca cerah. Di pulau ini, aku sempat mengobrol dengan penjaga pantai, katanya:
“Kalau kemarin yang kesini banyak, ada sekitar 800 orang. Biasanya juga banyak yang ketinggalan, apalagi di pulau Onrust.”

Wajar saja jika kemarin banyak pengunjung, karena kemarin itu hari libur nasional, dan orang-orang memanfaatkan hari libur di hari Sabtu itu, dan Minggunya bisa beristirahat di rumah.

pulau kelor
Aku tidak bisa membayangkan banyaknya orang di pulau sekecil ini. Bisa dibilang aku cukup beruntung, karena pulau tidak begitu ramai ketika aku sampai di sini. Terkait orang yang ketinggalan rombongan, membuatku was-was.
“Hafalin nama perahunya aja,” lanjut si penjaga.
Dan kupalingkan wajahku ke seseorang yang menamaniku, “Kamu hafal nama perahunya? Pokoknya depannya huruf I.”
“Irithel.”
“Ah itu, nama dari mana coba itu, hahaha.”
Krik.

Kami sempat membeli popmie, satunya dibandrol Rp. 10.000 dan sukro di sini dijual dengan harga Rp. 5000. Jadi ketika aku memutuskan untuk membeli 2 popmie dan 1 sukro, aku harus merogoh kocek sebesar Rp. 25.000. Cukup mahal dan wajar.

***

Tidak banyak pohon, gersang, tapi indah. Begitulah yang kurasakan di pulau Kelor ini. 1 setengah jam kami di sini, dan melanjutkan perjalanan ke pulau Onrust.

Tidak memerlukan banyak waktu untuk menuju ke pulau Onrust. Di sana, banyak pepohonan dan situs bersejarah. Sampai di pulau tersebut, kami dikumpulkan di suatu tempat dan mendapatkan makan siang.
ngantre ambil makan
lauknya

Dilihat dari lauknya, kalau beli ini bisa Rp. 15.000, dan kami mendapatkannya gratis, lebih tepatnya ini sudah termasuk ke dalam paket wisata Rp. 95.000,- yang kami bayar di awal.

Selepas itu, kami diajak berjalan-jalan mengenal pulau ini. Dari penjelasan sang pemandu, pulau ini mempunyai peran penting dari zaman ke zaman. Pulau ini pernah menjadi pertistirahatan Pangeran Jayakarta, karantina haji, penjara, pengasingan orang dengan penyakit menular, dan entah apa lagi aku lupa.

Yang menarik di kepalaku adalah ketika pulau ini menjadi salah satu saksi sejarah perang dunia kedua. Di mana tentara Nazi pernah ditahan di sini. Dan tempat yang paling berkesan adalah suatu yang berbentuk mirip dengan sumur, di sana difungsikan untuk mengurangi tehanan dengan gladiator.
Ada juga mitos tentang lubang yang bisa digunakan untuk berpindah pulau satu dengan yang lainnya. Ternyata pemandu ini tidak hanya menjelaskan arkeologi, tetapi juga mitos-mitos yang ada di tempat ini, dan sialnya, aku malah tertarik dengan mitos itu ketimbang yang lain. Hahaha…

dipandu untuk mengenal pulau onrust lebih jauh

Cukup lama menghabiskan waktu di pulau ini sebelum ke pulau terakhir: Cipir. Di pulau Cipir kami habiskan waktu untuk berenang, dan bermain air seperti bananaboath dan semacamnya. Aku sempat mencoba bananaboath, harganya Rp. 40.000 per orang. Awalnya agak ragu untuk melakukannya, karena (1) jika ada kesalahan, aku tidak bisa berenang, (2) pahalaku sepertinya belum terlalu banyak untuk mengantarkanku ke surga.

Tapi akhirnya aku memutuskan juga untuk melakukannya, bananaboath yang harusnya diisi oleh 6 orang, akhirnya hanya diisi 2 orang saja karena tidak ada lagi yang mau naik. Kami dibawa dengan kecepatan penuh ke tengah laut, dan menceburkannya di sana. Sialnya, abang yang ditugaskan untuk merekam momen ini yang ada di perahu, tidak terlalu pandai mengabadikan momen ini, beberapa kali ia merakam namun kehalangan abang yang mengontrol speed both.

Cukup dapat sensasinya bermain bananaboath di sini, dan mungkin jika aku tidak mencobanya, liburan kali ini kurang lengkap.

sesaat sebelum bananaboath

Menunggu senja, aku menyewa karpet untuk beristirahat karena lelah berkeliling di pulau Onrust. Harga sewa karpet Rp. 20.000. Tentu saja pergi ke pantai tidak lengkap rasanya untuk meminum air kelapa, di sini harganya Rp. 15.000.

Kami juga mendapatkan sesi foto di floating, semacam pelampung dengan beground pelangi. Secara harfiahnya aku tidak tahu bagaimana menjelaskan benda ini. Yang pasti kami hanya naik ke sana, dan difoto, dan sudah.




Senja pun tiba, kali ini kami kurang beruntung karena senja tertutup awan tebal. Tapi cuaca di pulau begitu sempurna, duduk di pantai dan merasai senja di sini, cukup membuat hari-hari kerjamu ke depan seolah berubah menjadi buih-buih ombak yang mengenai kakimu di tepi pantai saat ini: receh!
Sekitar jam setengah 7 kami ke dermaga, dibagikan oleh ‘orang medsos travel’ itu lampion. Omong-omong tentang 'orang medsos travel', mereka itu masih muda, semangat, dan ramah.

senja dan sepotong bayangan
Dan ya, sekarang saatnya menerbangkan lampion bersama! Tidak yang kubayangkan sebelumnya, ternyata pekerjaan yang satu ini cukup sulit, hampir saja lampionku terbakar sebelum akhirnya benar-benar terbang.


Beberapa kali banyak lampion yang nyasar dan sangat berbahaya, bisa saja mengenai kepala orang dan terbakar.

Dan inilah bagian paling mengesankan dari perjalanan ini:

Belum lama ini aku menonton film Dunkrik, bercerita tentang penyelamatan sekutu Inggris di tengah perang melawan NAZI Jerman. Tentara harus dievakuasi karena mereka semakin terdesak. Perahu dikerahkan untuk misi ini, tapi beberapa kali gagal karena bom dari tentara Jerman dari pesawat.
Dan ya, aku mendapatkan situasi yang hampir sama dengan film tersebut. Kami naik perahu nelayan malam hari, gelap, ombok yang tidak terlalu tenang, dan di atas kami ada pesawat yang berlalu-lalang, cukup dekat.

Aku tidak bisa untuk tidak tenang, apalagi ketika ombak menabrak perahu kami dan kami hampir terguling.

“Ini lebih menyeramkan dari bananaboath,” bisiku ke seseorang di sampingku yang memegang tanganku erat, atau aku yang memegang tangannya erat? Namun ia begitu tenang, seolah siap mati kapan pun, malah menyandarkan kepalanya ke bahuku, “Aku ngantuk,” katanya. Sial!

Akhirnya kami sampai juga di muara, hatiku mulai tenang. Tak jauh dari dermaga, sudah ada angkot yang siap membawa kami ke daerah Kota. Kami menaikinya, perjalanan pulang terasa melelahkan, namun kenangan seharian di pulau itu, tak bisa kami lupakan.***

Follow medsos travel di sini
Ingin tau lebih lanjut tenang pulau Onrust, klik di sini


Setelah Membaca ‘Pacarku Memintaku Jadi Matahari’

Seperti lahir dari kepala yang rumit, penuh tanda tanya, dan semrawut, cerita di buku Pacarku Memintaku Jadi Matahari memang perlu dibaca oleh mereka yang sedang kesepian, depresi, tak ada tujuan, bingung, dan semacamnya.

Reza Nufa, dalam menulis buku ini, setidaknya menurutku, menargetkan pembaca yang suka galau, bermasalah dengan kekasih, keluarga, dan masalah-masalah khas remaja umur 19-an. Dan, sialnya, itu sangat dekat denganku.




Tulisan Reza Nufa memang tidak terlalu banyak kita temukan di media massa. Namun, ia aktif di media sosial dan mungkin dari sana, ia memupuk pembacanya. Dan buku ini, adalah buku yang sudah ia persiapkan untuk itu.

Penggunakan ‘pacar’ pada judul menurutku sudah ketara mau ke arah mana buku ini. Mungkin akan lain jika ‘pacar’ di sini diubah menjadi ‘kekasih’ atau semacamnya.

Sebagai cerpen pembuka, ‘Cara Terbaik Menjadi Anjing’, menurutku agak terlalu berat. Tapi selanjutnya, pembaca seolah dibuat lega karena cerpen-cerpen selanjutnya tarasa lebih ringan dan bersahabat, dalam artian cerpen tersebut tidak terlalu njelimet dan tidak membutuhkan konsentrasi penuh.

Cerpen ‘Suropati Menuju Sore’, terasa sangat dekat dengaku, sebab aku sendiri sering main ke taman yang satu ini. Pemandangan umum yang terjadi di taman suropati: merpati, anak kecil, orang tua, pasangan kekasih, ia gambarkan begini:

Merpati pintar bertingkah seola-olah mereka hampir takluk, bisa digenggam, tapi di saat-saat terakhir mereka dengan licik melompat, bahkan menghilang di rumbun daun-daun(…). Dulu dia pernah ada cinta dengan seekor merpati. Sampai saat ini masih membuatnya sakit meski sama sekali tidak disesali. ( 25-26)

Ternyata tidak hanya masalah pacar dan keluarga yang diangkat di buku ini. Agama pun turut menjadi cerita yang menggelitik. Sebut saja di cerpen ‘Dua Pemabuk Mengazani Mayat’. Diawali dengan dua laki-laki yang menemukan mayat, dan mereka merasa perlu untuk mengurusi mayat tersebut walau mereka sedang mabuk. Ada pertimbangan-pertimbangan yang lucu sekaligus menyedihkan yang dipikirkan dua laki-laki ini.

“Tetep aja nggak ada untungnya nolongin orang mati(…)”
“Tapi siapa tahu dia itu orang alim yang dibunuh. Nanti gantian, di akhirat kita ditolong sama dia, Yud. Bisa aja ‘kan?”
“Pede banget bakal masuk neraka.”
“Firasatku bilang begitu.” (hal. 31)

Tidak hanya itu, bahkan di buku ini, ia dengan entengnya menghujat tuhan, walau aku tidak tahu pasti tuhan mana yang ia maksud. Eh sebentar, emang ada tuhan selain tuhan?

Apa besaran dosa dan bagaimana cara menghitungnya? Hanya tuhan yang tahu. Dan kalaupun tuhan curang, kita tidak akan pernah tahu. Lama-lama tuhan ini tai juga, jelas kau setuju. 

Banyak narasi-narasi nyeleneh tentang tuhan di buku ini dan, itu lucu buatku. Mungkin bagi mereka yang berurat tegang, pasti akan melempar buku ini sesegera mungkin. Tapi di sinilah titik  keseruannya, ia membuat dunianya sendiri dan membuat tokoh yang menyedihkan, kesepian, tak tahu apa-apa, merasa bersalah, putus asa, seolah tidak ada yang bisa menolongnya dari semua itu, tuhan sekalipun.

Cerpen-cerpen di buku ini memang tidak terlalu panjang, sehingga aku menemukan cerita begitu singkat dan kurang kokoh. Beberapa kali ada kalimat ‘jangan tanya aku begini/begitu….” untuk alternatif membangun sebuah sebab-akibat-cerita.



Memang banyak cerita yang tidak panjang di buku ini, namun aku tidak katakan bahwa tidak ada cerita yang panjang. Bacalah ‘Sani Belum Kembali’, di sana tokoh ‘aku’ tampak begitu bawel dan seperti orang linglung. Ia membahas banyak orang, mulai dari yang tidak penting hingga yang tidak penting amat, mulai dari gereja hingga susu perempuan.

Penulis muda seperti Reza Nufa, Asef Saiful Anwar, Eko Triono, Dea Anugrah, Sabda Armandio, menurutku adalah penulis dengan generasi yang ogah mematuhi aturan. Mereka jengah dengan hal yang sudah ada sejak dulu dan mencoba membuat hal baru. Dan sepertinya kita sedang menuju dunia itu: menulis tanpa aturan yang mengikat.

Secara keseluruhan, aku menikmati buku ini, covernya pun keren, suka. Kisah hidup penulis yang berliku tampaknya menjadi tabungan rasa dalam mengeksekusi tiap cerpen. Melalui buku ini, setidaknya menurutku, penulis sedang menunjukan bahwa ia serius dalam menulis sastra, ini baru permulaan, ke depannya kuyakin ia menulis lebih banyak dan lebih baik dari ini.