MAAF, AKU MENCINTAI SESEORANG

Menara Syahbandar yang pernah menjadi titik kilometer nol kota Jakarta. Jika Anda naik ke lantai paling atas menara ini, Anda bisa menyaksikan pemandangan pelabuhan Sunda Kelapa. Sumber: kekayaanindonesiaku



Sepulang dari sekolah yang membosankan, aku ada janji untuk bertemu denganmu. Selama di sekolah tadi, tidak ada guru masuk kelas. Jadi, aku lebih memilih perpus sebagai tempat belajar. Walau sampai tertidur di sana, sembari memikirkanmu.
Ekskul basket kutingglkan, mereka (teman-teman basketku) memakluminya ketika kuberi alasan: ada sebuah acara yang, mereka kira itu adalah penting. Hem…, sebenarnya memang benar-benar penting.
Keluar dari gerbang sekolah petang itu, aku naik angkot dan turun di sebuah tepi jalan lalu berjalan lagi ke dekat sebuah persimpangan sekolahmu. Sepanjang jalan, aku ditemani radio yang kusalurkan lewat headshet. Juga ada kegundahan di hatiku. Sepanjang hari ini, lebih tepatnya sejak sore kemarin, aku tak bisa tenang, dan selalu gundah. Kerenamu.
Kini aku sampai di persimpangan jalan yang sudah kita janjikan. Kamu datang, tidak seperti biasanya, tidak ada senyum yang kamu lambungkan, aku kikuk, dan kaku.
Setelah itu, kita bertolak ke suatu tempat, Museum Bahari. Di sana kita membuka percakapan yang singkat, singkat sekali, lalu kamu membuka dan mengambil sesuatu dari tasmu, aku membatin, pasti kamu ingin kita memutuskan hubungan ini.
Ternyata kamu mengeluarkan lembaran-lembaran kertas kecil yang masing-masing ada tulisan dengan tinta hitam dan abjad besar semua. Lembaran itu tertata rapi dan kamu memberikan satu-persatu padaku untuk dibaca.
Lambaran pertama,
“MAAF SEBELUMNYA.” Hatiku semakin kacau, hancur seketika itu juga, asal kamu tahu.
“AKU NGGAK JUJUR SAMA KAMU.” Lembar kedua kamu berikan, sekilas aku membacanya, cepat, emosi tak jelas aku rasakan. Kutelan ludah yang pahit, kontaminasi dari khawatir, marah, sakit, dan gundah-gulana.
“KALAU AKU MENCINTAI SESEORANG.” Membacanya, aku ingin segera pergi dari tempat. Memakan waktu saja. Aku sudah menebaknya, kamu pasti sudah tidak cinta lagi denganku. Sudah ada orang yang lebih baik dariku, dan kamu lebih memilihnya.
“DAN KAMU ADALAH ‘SAHABAT’ BAGIKU.” Kamu lupa, apa hubungan kita saat ini? Hah?!
“TERIMA KASIH UNTUK SEMUANYA, SAHABAT.” Kurangajar!
“WAKTU TELAH MENJAWAB PERTANYAAN DALAM ISI HATIKU.”
“DAN INILAH KEPUTUSAN YANG AKU AMBIL.”
“KALAU AKU MENCINTAI ORANG LAIN.”
“TERIMA KASIH SEMUANYA.”
“KARENA KAMU SAHABATKU, MAKA AKU AKAN BERITAHU.”
“SIAPA ORANG YANG TELAH MENCURI HATIKU.”
“JAWABANNYA ADA DI TASMU.”
          Segera kuraih tasku yang berada di punggung, semilir angin sore itu membuatku tidak karuan. Siapa gerangan orang itu? Kucari-cari apa yang kamu maksud. Dan kutemukan sesuatu asing di tasku, terbungkus koran, dan tersolatip transparan. Ada dua kertas di sana yang tidak ikut tersolatip. Kuambil dan, kubaca.
“YANG MENCURI HATIKU ADALAH IA SAHABATKU.”
“DIRIMU.”
Arght! Kulap keringatku yang sedari tadi banjir di kening, kusedot kembali ingusku yang meler, kutahan air mata yang tadi ingin terjun. Sampai saat itu aku tidak berpikir, bagaimana caranya kamu masukan ini ke tasku?
Kamu tersenyum menang, memotoku yang sedang bereskpresi tidak jelas, lalu kamu berkata,
“JEBAKAN BATMAN….” Kulihat lagi senyum termanismu, senyuman yang sering kurindukan. Argt. Entah, aku bingung mau apa, sungguh, ini tidak aku kira.
          Sore itu, benar-benar tidak akan aku lupakan. Angin yang semilir, lalu-lalang kendaraan di jalan. Tempat bersejarah itu, menjadi saksi bisu kejadian yang juga bersejarah bagiku, dan bagimu.
          Kubuka bungkusan yang terbungkus koran itu, lama, sebab banyak lapisannya. Dan sampai pada pangkalnya, kulihat ada dua bungkus lagi berwarna putih agak legam. Ketika kubuka benar-benar, ternyata isinya jam, dua jam tangan warna cokelat.
          Kemudian, kamu kenakan jam itu padaku, dan sebaliknya. Aku berjanji untuk mengenakan jam itu selalu, dan kamu juga.
          Lalu, kita pulang ke rumahmu. Kamu yang menawari itu, aku sebisa mungkin menolaknya, kerena aku tidak mau merepotkanmu. Dan juga aku sedang berpuasa. Namun apa daya, kamu memaksaku dan, tak lama sampailah kita di rumahmu yang kuhapal betul jalan, tempat, dan isinya. Kita masuk ke dalam, bertemu Mbu (Baca: bahasa Madura: Ibu) lalu berbincang panjang tentang apa saja…, sambil menunggu berbuka puasa.
***
Maghrib tiba, bertepatan dengan kepulanganku dari menjemput Adikmu, Yuni di sekolahnya. Kemudian, aku membatalkan puasa dengan meminum sirup yang kamu berikan dalam segelas plastik kepadaku. Kamu juga bawakan air putih mineral dalam botol. Ah, kamu selalu perhatian kepadaku. Selalu.
          Aku sholat di mushola yang tidak jauh dari rumahmu. Dan selepasnya, kita makan bersama di lantai dua dekat kamarmu, ruang tamu. Ada Yuni, Ipal (Yang biasa kamu panggil dengan sebutan Mamas, keponakanmu) yang ikut juga dalam makan malam itu. Ah, sudah lama aku tidak mengalami ini, berbuka dengan orang-orang terdekat. Berbuka dengan Ibu, Bapak, Adik, Kakak, sudah lawas tidak aku alami.
          Kamu mengambilkan setempuk nasi ke piringku, banyak. Nasi yang bercampur jagung khas Madura. Ya, itulah ciri khas dari rumahmu. Yang kamu pernah ceritakan bahwa jagung-jagung itu asli dari Madura, kampungmu.
          Kamu makan di samping aku. Televisi menjadi tontonan kita. Nasi kumakan dengan lahap, juga dengan lauk yang nikmat. Ibu kamu yang sering kita panggil Mbu, sedang di bawah, Mbu tidak ikut makan dengan kita. Mungkin Mbu sudah makan-sebelumya atau masih kenyang. Begitulah Mbu, sudah seperti Ibuku sendiri. Mbu perhatian sekali kepadaku. Dan katamu, kamu sering bercerita tentangku kepada Mbu. Ya, kamu adalah anak yang sekalian teman paling dekat dengan Mbu.
          Begitu piring-piring tandas, kita menyuci tangan, menyuci mulut dengan anggur hijau, lalu aku dan kamu ke genting rumahmu. Tempat yang langsung berlangitkan bintang-bintang, angin malam, dan awan yang berarakan. Di sini kita sering berdua.
          Kita kembali berbagi cerita, cerita apa saja. Kamu menggemgam tanganku.
***
Aku pamit pulang malam itu jam 8. Masih lengkap aku gunakan seragam sekolah, hanya saja kututupi dengan jaket biru tua yang kupakai. Perjalanan dari rumahmu ke rumahku tidak terlalu jauh, memerlukan setengah jam saja aku sudah sampai di kosan dan melepas lelah.
          Di kosan, aku mengenang kembali pertemuan kita hari ini sampai lelap aku tertidur. Mengenang  tentang lembaran itu, tentang sakitnya ketika-itu walau akhirnya hanya sebuah kejutan, tentang senyummu, tentang gayamu berbicara, dan semuanya tentang kita. Kulelapkan itu semua dalam tulisan ini, dan memori.
         

Catatan:
Ini kisah nyataku, bersama seorang wanita bernama Fitria Ulfa. Dia kekasihku. Sudah banyak cerita yang diukir oleh kita. Dan tentu saja tidak semua bisa kuceritakan di sini.
Oh ya, jam yang dalam bungkusan itu bermerek: ALBA. Kalau aku boleh mengakronimkan, menjadi Afsokhi Love Banget sama fitriA. Hahaha…, sekian. Semoga kita selalu bersama ya… ^_^

Kebun Jeruk
Tengah Malam, Kebangkitan Nasional 2015.


Semangat sekali mereka ya... Ekskulnya...

Akan selalu kukenakan ^_^


Awalnya kamu tidak mau memberitahu dua lembar ini. Menunggu ketika aku menagis baru kamu kasih tahu. Namun tidak terjadi... 

Lembaran-lembaran itu akan selalu aku simpan.













Comments
1 Comments

1 komentar:

Posting Komentar