Tantri, Perempuan yang Bercerita dan Kisah Hewan Penuh Pesan Moral




Saat itu aku sedang jalan-jalan di toko buku gramedia Matraman. Bukan, aku bukan jalan-jalan di toko buku yang penuh dengan buku-baku baru dan mulus itu. Aku jalan-jalan di basement gedung gramedia matraman. Jangan salah, di sana pun ada penjual buku, bedanya, di sana buku-buku dijual dengan harga miring. Jadi, kalau mau beli harus berjalan miring dulu.. #krik
Kerena itu, aku sering ke sana. Beberapa faktornya, karena uang ndak memenuhi untuk membeli buku-buku mahal di ‘toko buku sebenarnya’. Tapi bukan berarti buku-buku di basement gedung gramedia ini ndak ada mutunya. Banyak buku-buku bagus dijual di sini. Dari pelbagai penerbit. Ada dari kompas, gramedia, KPG dan penerbit besar lainnya. Di tempat ini pun buku-buku yang dijual selalu ‘diupdate’ secara berkala.
Salah satu buku yang aku beli di basement gedung gremedia itu adalah novel Tantri, Perempuan yang Bercerita, karya Cok Sawitri. Awalnya aku tertarik dengan buku ini karena sampulnya, ditambah sinopsisnya, ditambah lagi penerbitnya. Kendati buku ini terbit tahun 2011, menurutku buku ini ndak termakan zaman, dibaca kapan saja ndak ‘ketinggalan’.
Menurutku untuk membaca buku ndak harus membaca buku yang baru terbit, buku-buku yang sudah lama terbit pun patut kita baca. Emang ada aturan untuk membaca buku harus buku yang baru terbit? Ya ndak ada salahnya sih, tapi ya coba sekali-kali baca buku yang udah lama terbit deh..
Buku ini berkisah tentang seorang perempuan, Nih Diah Tantri yang bercerita sepanjang hari untuk raja Patali Nagantum: Eswaryadala. Tantri bercerita sepanjang hari di peraduan sang raja. Tantri bercerita tentang hewan-hewan yang dihidupkannya seperti manusia, dan hewan-hewan itu terus bercerita dari kisah ke kisah. Aku membacanya juga sempat bingung.
Bukan apa-apa, soalnya hewan yang diceritakan Tantri terus berkisah dan kisah dari hewan itu malah berkisah lagi. Tapi cerita-cerita hewan itu cukup menggelitik, banyak pesan moralnya dan sangat menghibur.
Kenapa Tantri berkisah sepanjang hari di peraduan raja?
Itu karena sang Raja (yag masih muda) selalu resah hatinya. Bahkan raja ini menculik banyak perempuan dan ditampung di sebuah ruangan besar entah untuk apa. Apa hal ini akan membuatnya ndak resah lagi? Ternyata ndak..
Sampai suatu hari, ayah Tantri (patih dari sang Raja) memberikan tawaran. Ia memberikan tawaran anaknya Tantri untuk mengusir kegundahan di hati Sang Raja. Misi lain, Tantri ingin tahu perempuan-perempuan yang disekap di istana itu.

Apa bedanya raja dengan rakyatRumahnya disebut istanaPerintahnya adalah kuasaTak beda dengan saudagar kayaRumahnya bagai istanaPerintahnya juga kuasaPasar tunduk padanya. (hal 24)

            Maka Tantri mulai melakukan tugasnya, bercerita kepada sang Raja tentang hewan-hewan itu. Tantri perempuan cerdas, di dalam ceritanya itu, ia pun mengkritik kekuasaan sang raja tersebut. Pastinya dengan cara yang ciamik. Ia membuat tokoh-tokoh yang amat unik.
            Contohnya Sambada, dikisahkan Candapinggala seekor pemimpin dari gerombolan anjing di hutan Malawa yang terkenal angker. Hari itu semua pengikuitnya disuruh untuk berburu. Sial bagi anjing-anjing itu, ndak ada sama sekali hewan yang bisa diburu. Sampai pada suatu siang, mereka bertemu dengan Sang Nandaka, seekor lembu. Perut mereka sudah sangat lapar.


Sebenarnya aku sudah lama menamatkan buku ini, tapi entah kenapa, cerita-ceritanya terus aku ingat, bahkan ada yang ‘terlihat’ sangat jelas sampai sekarang. 



            Tanpa babibu, anjing-anjing itu menyerang sang lembu. Tapi jangan salah, lembu itu bukan lembu biasa, ia lembu yang diberikan kepada seorang Bhagawan dari dewa. Lembu itu hebat, lembu itu ajaib.
            Dari banyaknya anjing yang mengepung sang lembu, dengan mudah lembu itu mengalahkan anjing-anjing itu. Hingga akhirnya kabar ini terdengar oleh Candapinggala, pemimpin mereka. Akhirnya keduanya bertemu, ndak dipercaya, Candapinggala malah berguru pada sang lembu. Pengikutnya kecewa..
            Candapinggala yang seekor anjing meniru kebiasaan sang lembu agar bisa menjadi seajaib, dan diberkahi dewa seperti Nandaka. Anjing itu ikut memakan remput, ndak memakan daging. Kata Nandaka (lembu itu), ndak diperbolehkan untuk memakan daging, itu pantangan.
            Di sini aku tertawa geli. Ini seperti singgungan untuk orang-orang yang ingin pintar seperti orang yang dianggapnya pintar dengan meniru orang itu mentah-mentah. Bahkan sebenarnya orang bisa pintar menurut jalannya sendiri. Ndak bisa dipaksakan.
            Seperti halnya anjing itu, ingin bisa diberkahi dewa seperti sang lembu, tapi ia dengan bodohnya mengikuti sang lembu dengan memakan tumbuhan. Bukannya anjing diciptakan untuk memekan daging?
            Sambada, patih dari pemimpin anjing itu bersiasat untuk mengembalikan pemimpinnya itu seperti sedia kala. Memakan daging lagi, berburu lagi selayaknya anjing yang ia kenal selama ini. Candapinggala tampak kurus, tulangnya sampai terlihat setelah beberapa lama berguru dengan sang lembu. Coba bayangkan anjing yang hidupnya terus-terus memakan tumbuhan?
            Sambada, akhirnya melancarkan kepicikannya untuk membuat Candapinggala kembali sedia kala. Ia bercerita pada sang anjing dan sang lembu itu. Ia bercerita tentang kejelekan Candapinggala kepada Nandaka dan sebaliknya. Cerita-cerita itu disampaikan dengan kisah-kisah pula, kisah-kisah tentang hewan juga.
            Sambada yang ndak ada lelahnya bercerita agar pemimpinnya bisa kembali sedia kala akhirnya membuahkan hasil.
            “Aiiih, Baginda jangan berduku dahulu, hamba yang setia, hanya menyampaikan apa yang dikatakan oleh Sang Nandaka. Bersabarlah, agar kelak Baginda tidak salah menilai kesetiaan hamba. Izinkan hamba menceritakan kambing yang bisa membuat macan ketakutan…” hal. (264)
           
            Iya, kisah ndak ada habisnya dari Sambada untuk memengaruhi pikiran keduanya, membuahkan hasil. Akhirnya sang anjing membunuh sang lembu (gurunya) itu.
            Semua gara-gara Sambada, ia anjing yang pandai mengadudomba!

***

Setelah aku baca lebih jauh, ternyata kisah di buku ini terinspirasi penulis dari kisah-kisah orangtuanya yang diceritakan kepadanya setiap malam. Betapa bagusnya cerita seorang orangtua terhadap anaknya ini? Buku ini patut kamu miliki. Pasti ndak nyesel.

Nah, berikut adalah endorsement dari Tantri ‘Kotak’ yang ditulis di bagian depan buku:

Sumpah, setalah membaca novel Tantri, Perempuan yang Bercerita dari Cok Sawitri, petama aku kaget! Ternyata nama Tantri itu bukan nama sembarangan lho. Ia nama yang memiliki sejarah panjang dalam dunia kesusastraan kita. Bayangin, hanya Tantri, dan dia seorang perempuan, yang bisa menaklukan seorang raja yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Kedua, hebatnya lagi, penaklukan itu dilakukan dengan cara bercerita sepanjang siang dan malam, tanpa henti. “Dongeng-dongeng” Tantri seperti mengalir dan tanpa sadar kita dirasuki petuah-petuah yang penting di dalam menjalani hidup. Aku saranin, baca deh, kalau enggak percaya. Sumpah…***

Sevel Gajah Mada. 15 April 2016

Comments
0 Comments

Posting Komentar