Tadi malam
saya melihat langit. Hitam. Ndak ada bintang. Kelam. Dingin. Seketika itu juga
saya ingat bahwa ketika kecil dulu saya pernah begitu dekatnya dengan Ibu.
Bertanya tentang hal-hal spele yang ndak penting.
Saya ingat, ketika itu saya, Ibu dan
adik saya pulang dari rumah kakek. Waktu itu malam hari, di kampung. Pencahayaan
minim, tapi di langit, bulan dan bintang terang. Padang bulang, kata orang-orang kampung.
Di kanan-kiri penuh pepohonan,
suasana begitu dingin, sesekali ada suara jangkrik bersautan, ranting tersapu
angin.
Kami berjalan, adik kecil saya
digendong Ibu, sedang saya berjalan di samping Ibu. Entah apa yang saya
pikirkan waktu itu—karena saya masih kecil—bertanya begini sambil menatap
bintang yang kerlap-kerlip, “Cita-cita ibu apa?” lalu Ibu menjawab agak lama,
berpikir. Sedang suara jangkrik menjadi mendominasi di antara kami. Saya kira
Ibu ndak akan menjawab.
“Ya, waktu kecil ibu pengin banget
menjadi orang sukses,” jawab Ibu datar.
“Kayak sekarang?”
“Ya, mau bagaimana lagi, ibu ndak
sesukses yang ibu impikan waktu kecil. Ya biar anak-anak aja yang sukses.
Seperti kamu, dan kakak-kakak, adik-adik kamu. Jadilah orang sukses.”
Sungguh, waktu itu saya ndak
berpikir panjang bahwa jawaban Ibu itu bisa teringat sampai sekarang.
*
Ibu akan menjadi orang paling sibuk
nomor satu di rumah kami. Beliau yang mengatur makan kami, pakaian kami, biaya
sekolah kami, dan segala hal. Seolah beliau ndak ada waktu barang sebentar
untuk menikmati dunia. Super sibuk. Ditambah anaknya yang banyak.
Ibu begitu sibuknya, sampai sekarang
pun saya jarang melihat ibu bersantai. Ibu melakukan banyak hal untuk anaknya.
Ibu akan mencari uang untuk anaknya agar bisa terus bersekolah, mencari uang
dari mana saja. Kadang ibu menjadi petani padi. Dengan pakaian alakadarnya dan
tudung yang begitu lusuh pergi ke sawah. Pulang dengan penuh peluh. Itu semua
untuk anaknya, untuk saya.
Suatu hari saya pun masih ingat Ibu
bercerita tentang masa kecilnya. Waktu itu Ibu mengenyam pendidikan hanya
sampai SD. Waktu SD dulu, Ibu membawa air botol dari rumah dan ditaruhnya di
semak-semak, saat istirahat air itu diambil ibu, saat itulah air menjadi agak
dingin. Diminum jadi lebih nikmat. Beliau diberi uang jajan pun alakadarnya.
Waktu kecil pun Ibu membantu
orangtuanya mencari uang. Maklum, Ibu adalah anak nomor dua tertua di keluarga.
Saya sungguh ndak tega melihat wajah
Ibu. Di sana tersirat betapa lelahnya seorang perempuan. Ah.. apalah daya saya
untuk membahagiakan Ibu? Bahkan sering menyusahkan Ibu. Belum ada yang bisa
saya banggakan di depan Ibu, sampai kapan pun saya ndak bisa membalas kasih
sayangnya selama ini. Ndak akan bisa.
Ke depan, saya bertekad untuk
membahagiakan Ibu. Saya akan membawanya jalan-jalan, meninggalkan rutinitas.
Membawanya ke tempat refleksi, dipijat-pijat, sehingga semua penat yang ada di
kepala Ibu terlepas. Walau hanya sementara.
Entah bagaimana caranya, saya akan
membuat Ibu tersenyum bahagia, walau selama ini kami jarang berjumpa. Kalau ada
kesempatan berjumpa, saya selalu nelangsa. Ibu pasti memakai daster lusuh di
depan rumah menyambut saya yang turun dari motor sehabis sampai di stasiun
(dari Jakarta). Ibu memakai daster itu-itu saja dari tahun ke tahun, sampai ada
bagian yang sobek.
Ibu hanya sedikit mempunyai pakaian
bagus. Mungkin hanya setahun sekali pakaian bagus Ibu dapat. Itu pun
kadang-kadang di hari raya boleh diberi oleh saudara-saudaranya. Jarang pula
Ibu membali pakaian baru di pasar, kalau pun beli, Ibu akan menimbang-nimbang
uang yang Ibu pegang untuk membeli keperluan lain. Jadi kalau beli pakaian harus
yang paling murah, biar bisa membeli kebutuhan yang lain.
Duh, sedang apa Ibu sekarang ini di
kampung? Sehatkah?
Saya sungguh rindu Ibu. Saya ingin
tidur di pangkuannya dan bercerita dan bertanya banyak hal. Tapi hal itu ndak
mungkin. Saya sudah sebegini besarnya, sudah mempunyai tanggungan hidup
sendiri. Sudah harus bisa mencari uang sendiri. Masak masih tidur-tiduran di
pangkuan ibu? Ah..
Waktu terasa begitu cepat.
Ingin rasanya kembali ke masa-masa
itu, masa di mana saya bisa bertanya kepada Ibu tanpa rasa sungkan. Dengan
polosnya tanpa beban. Ah, Ibu, suatu saat saya pasti akan bisa membahagikanmu.
Bagaimanapun caranya…
Ketika orang-orang sibuk mencari
Kartini di masa ini? Kartini saya adalah sosok Ibu saya.***