Kami pun masuk lebih
dalam. Naik eskalator mencari jejak yang tepat. Gue tak habisnya kagum dengan
toko buku ini. Maklum, gue biasanya ke toko buku biasa, kecil, banyak kecoa
dan terkadang cuma baca buku di perpus yang sempit.
Gue ngeliat banyak buku
berjejeran. Tak hanya buku. Ada pula tas, handphone,
Al-qur’an yang gede gitu. Dan pokoke banyak lagi....
“SUATU SAAT, GUE BAKAL
PUNYA BUKU. DAN MEJENG DI SINI,” kata gue ke kedua teman gue ini. Tapi mereka
acuh, dan sibuk dengan jejak langkahnya sendiri, mencari komodo raksasa yang
tak kunjung ketemu.
Kami naik ke lantai
paling atas. Di sana, kami hilang arah. Lalu memutuskan untuk mendirikan
tenda.
“Di mana sih, Khi?”
tanya Dina. Lalu gue buka Hape Nokia E63 milik gue. Langsung gue buka Opera
Mini dan masuk ke Twitter. Gue liat
TL-nya Radit, TL Gramed Matraman, dan TL Gagas Media.
“Nah, di sono, di kasir
lantai tiga!” saru gue. Dan kami pun mempunyai arah. Kami turun lewat tangga
jalan, lebih kerennya eskalator gitu-lah.
Menuju kasir lantai tiga. Di kasir ini, banyak banget yang antre, sebab buku
Koala Kumal emang dijual tapatnya di tempat ini!
Sampainya di sana. Kami
saling celingukkan. Melihat ada yang antre tak jauh dari kasir, kami pun ke
sana. Ada banyak yang memakai baju Koala Kumal. Dan gue yakin itu adalah tempat
di mana akan diadakannya Met & Gret-nya Radit.
Benar. Ya. Katika kami
masuk barisan paling belakang. Ada kak Odie, ya, gue kenal sama kakak ini. Dia
adalah editor Bukune. Gue pernah ketemu dia di Festival Pembaca Buku Indonesia.
Dan gue masih terngiang kata-kata dia.
“SEMOGA BUKUNYA AFSOKHI
MEJENG DI SINI.” Katanya, ketika gue ngikut tantangan menulis di bot Gagas
Media kala Festival itu.
Kak Odie dengan toanya (yang biasa buat demo gitu lho)
menerikkan bahwa: bagi yang pre-oder di sebelah kiri. Dan bagi yang baru beli
bukunya di sebelah kanan.
Di bagian pre-oder
sepertinya sedikit dibanding yang beru beli buku Koala Kumal hari ini.
TERUS
YANG BELUM BELI KE MANA...?
Di sini gue kaget,
terperanga. Gue paham, ternyata harus beli buku Koala Kumal dulu baru boleh antre.
Padahal, gue nggak bawa duit lebih waktu itu. Pas-pasan banget pokoknya. Masak
gue harus jual kolor dulu?
Lalu Meyla dan Dina
menuju kasir di mana tempat buku Koala Kumal berada.
“Eh. Gue nggak bawa
duit lebih,” panik gue. Keringat bercucuran hebat, dan membanjiri seisi
gedung Gramed Martraman.
“Mau minjem dulu?”
tawar Dina.
Sempat ada hening di
antara kita. Dina tampaknya membawa dompet. Em... gue ngomong nggak jelas dalam
hati....
“Udah, ngga papa
daripada udah sampe sini balik lagi?” kata Dina.
“Tapi gue nggak tau
kapan gantinya....!”
“Udah. Ngga papa.”
Gue pun mengangguk tak
berdaya. Saat itu pula gue berkomitmen: harus puasa seminggu untuk bayar uang
Dina kembali. Harga bukunya Rp 59.500,. dan itu pulalah yang akan gue bayar ke
Dina. Apa seminggu cukup yah gue ngumpulin duit segitu. Em... akan gue coba!
Tak lama, Meyla dan
Dina pun keluar dari antrean kasir. Membawa satu bungkus plastik yang berisi
tiga buku Koala Kumal. Kami lalu kembali ke antrean yang tadi. Di antrean kami
disuruh kak Odie untuk menampakan buku Koala Kumal masing-masing. Dina pun
membagikan buku yang masih di plastik.
Gue buka plastik yang
masih menempel erat di buku Koala Kumal yang masih baru ini.
“Jangan lupa kasih nama
di halaman pertama...!” parintah kak Odie. Kami pun mencari-cari pulpen untuk
menulis. Nggak tau dari mana: si Dina dapet pulpen. Setelah giliran Meyla
menulis, gue pun mendapat giliran untuk menuliskan nama gue di buku ‘Koala
Kumal yang ditalangi dulu’ ini.
***
Masih jam setengah satu
siang. Padahal acara dimulai jam 2. Antrean belum terlalu panjang jam segini.
Gue antre diampit oleh
beberapa cewek-cewek. Di belakang gue ada Meyla dan Dina. Di depan ada cewek
gendut yang awalnya gue kira cowok. Di samping gue ada cewek anak SMA yang gue
taksir baru kelas satu.
Anak SMA ini seru
sendiri. Ngomongin tentang Raditnya Dika dengan penuh semangatnya. Dalam hati
gue bergerutu. “Biasa aja kali...,”
Cukup pegel gue ngantre.
Karena bosen, gue baca aja bukunya. Gue buka. Dan gue baca. Ya, gue baca sambil
berdiri. Halaman awal membuat gue lebih kenal sama Radit. Di mana ia bercerita
bahwa ini bukunya yang ke-7. Memang, jika ia menerbitkan buku. Ia ibaratkan
dengan anaknya sendiri. Dan sekedar info. Radit menulis buku Koala Kumal selama
3 tahun.
Asyik gue baca buku
ini. Yang ngeselin di bukunya Raditya Dika adalah suka bikin gue ketawa
tiba-tiba.
Dan ketika gue baca di
bagian yang ‘bikin gue ketawa tiba-tiba’ gue pun menahan tawa sekuat tenaga.
Malu gila. Ini kan di tempat umum. Masak gue ketawa sendiri. Dikira nanti gue
orang gila dan, diusir dari barisan.
Masih asyik gue baca
buku. Lalu anak SMA di samping gue manyapa.
“Kak,” katanya.
Wajahnya..., gue taksir dia itu keturuan China. Taulah anak kayak gitu
tampangnya kayak gimana.
Gue memincingnkan mata
dan bertanya, “Iya?”
Lalu dia pun menunjuk
ke arah tepat depan gue. Apa yang dia maksud gue pun nggak tahu. Apa gue nyelak dia yah? Batin gue.
“Itu pembatesnya,
jatoh,” katanya.
“Aduh, iya...,” gue pun
langsung memungut pembatas itu. Dan berterimakasih kepada anak SMA ini. Dia
lalu tersenyum.***
Bersambung ~
Afsokhi Abdullah, 19 Januari 2015
Di Kelas yang Tak Ada Guru.