AKU, MASA LALU DAN HARAPAN


JAKARTA, 2007
Aku terlahir sebagai anak pertama dari enam bersaudara. Umurku sudah menginjak 20-an tahun. Sejak di Jakarta, aku menjadi pedagang kecil keliling kota dan gang-gang sempit. Dulu, ketika aku baru lulus pesantren dan sekolah jurusan tekhnik mesin kecil,  kemudian diajak Bapak untuk berdagang di Jakarta. Iya berdagang, bukan menjadi ahli mesin. Bertolak belakang bukan? Jelas.
Katanya, aku tidak mempunyai bakat. Tanganku widung1, tidak bisa apa-apa, dan jika bekerja sesuatu, pasti tidak becus. Terkadang, aku juga dimarahi Bapak karena tidak inisiatif. Ah, mungkin ini masalah mindset-ku saja. Orang dulu memang begitu, bentuk tangan katanya berpengaruh pada pekerjaannya. Dasar.
Di Jakarta, aku menjalani hidup sesederhana mungkin. Urusan cinta itu masalah nanti, belakangan. Yang penting bisa makan saja sudah syukur, prestasi.
Jikalau pagi tiba, aku akan cepat bangun dari tidur di sebuah kamar kontrakan di bawah stasiun Jayakarta. Di sini tampat kami tinggal. Ilegal memang. Ya mau apalagi kalau sudah kepalang tanggung seperti ini. Wong kami juga bayar kok tinggal di sini.
Saban hari, lampu harus menyala. Sebab, kalaupun siang, di sini tidak terang, melainkan gelap. Bagaikan dunia malam yang sesungguhnya. Iya, dunia tanpa siang dan hanya malam saja.
Banyak kamar kontrakan yang dihuni oleh orang-orang udik sepertiku. Kebanyakan mereka adalah orang-orang dari Jawa. Bahkan, komunikasi kami di sini menggunakan bahasa Jawa pula. Tapi ya kalau di luar kudu memakai bahasa Indonesia dan juga gaul lo-gue.
Sebagai pedagang, aku harus terlihat rapi. Sekedar info, aku ini mempunyai bewok, tubuhku agak gemuk, tinggiku bisa dibilang tidak ideal.
Sekarang, aku akan berangkat dagang ke sebuah sekolah yang siswanya memakai seragam putih-merah. Mereka sungguh sangat ceria, kalau membeli kepadaku, kadang aku goda biar senang dan kembali lagi. Harapanku hanya satu, mendapat uang dan pelanggan sebanyak-banyaknya, ya itu saja.
Dahulu, ketika aku masih ‘putih-merah,’ susah sekali aku untuk berangkat sekolah. Waktu kecil aku terkenal galak dan nakal. Sampai orang yang sudah tua pun aku lawan. Ya itu kan sewaktu aku kecil, berbeda denganku yang sudah matang begini.
Rasanya ingin sekali kembali ke masa kecil dulu. Kalau pun boleh aku ke masa itu, aku kan belajar dengan sungguh-sungguh dan tidak merepotkan orangtuaku sendiri. Mendengar cerita dari Ibu, aku dulu itu sangat-sangat-sangat badung sekali. Sampai Ibu pun kewalahan menghadapiku.
Lambat-laun, aku mempunyai adik. Jadi, kasih-sayang orangtuaku tidak hanya kepadaku saja, namun juga dibagi-bagi ke adikku. Menjadikan aku anak pertama yang tercampakan.
***
Bertahun-tahun menjadi pedagang kecil seperti ini memang bisa dibilang tidak menguntungkan. Kadang ketika aku pulang kampung, tidak ada uang saku yang aku bawa. Dan hanya raut kecewa dari Ibu-Bapak terhadap anaknya ini.
Adikku, yang tepat di bawahku—umurnya tidak terpaut jauh dariku: hanya 2 tahun-an—ia bisa dibilang lebih dewasa ketimbang aku. Dan memang itu diakui oleh orangtuaku dan saudara-saudaraku. Walau ia memang pandai berbohong, pandai sekali bersilat lidah. Apa kerena ia pandai berbicara jadi lebih dewasa? Tidak. Tingkah-lakunya benar-benar mencerminkan seorang pria yang bertanggung jawab. Ya walau ia tidak suka dengan nasibnya kini.
Kudune dewek kie kerja, Yat, udu dagang2. Masak udah disekolahin tinggi-tinggi malah jadi pedagang begini. Salah…” Katanya suatu waktu kepadaku. Benar juga. Kalau memang kami disekolahkan hanya untuk berdagang makanan ringan khas India—martabak telor—buat apa kami sekolah dulu?
Aih, sudahlah, aku tidak mau lagi mengeluh…
***
JAKARTA 2011
Bertahun-tahun berlalu, aku masih seperti biasa, pedagang kecil yang dengan gerobak kumuh menimba asa demi masa depanku. Dengan gerobak itu aku berharap, semoga suatu saat nanti aku bakal menjadi sukses, ya walau umurku semakin hari semakin pendek saja. Huhu. Sedih aku…
Kedua orangtuaku sudah tidak lagi di Jakarta. Mereka menetap di kampung dan menjadi petani atau sekedar berjualan kecil-kecilan di rumah. Yang penting bisa menutupi biaya dapur saja sudah prestasi. Dan juga, kontrakan yang di bawah stasiun Jayakarta itu kini sudah digusur, tidak ada lagi yang tinggal di sini. Haram.
Jadi, aku di Jakarta hanya bersama adikku yang nomor dua dan yang nomor empat. Adikku yang nomor tiga, masih sekolah tingkat SLTA dan sedikit lagi akan lulus di Wonosobo. Dan adikku yang nomor lima dan terakhir, masih kecil-kecil. Kalau yang nomor lima sudah MI, yang terakhir masih belajar berjalan, menggemaskan adikku yang terakhir ini. Oh ya, adikku yang nomor tiga dan tarakhir adalah perempuan, sisanya laki-laki.
Kami, yang masih di Jakarta, tidak lagi menghuni tempat kolong stasiun Jayakarta lagi. Kami sering berpindah-pindah kosan. Dari yang mulai ada anjingnya di depan gerbang, pemiliknya medit, mck-nya jauh, sampai suatu hari kami diusir karena nunggak bayaran bulanan. Tragis.
Kasihan memang adikku yang nomor empat. Ia masih sekolah SMP, sejak SD memang ia sudah sekolah di Jakarta. Baru-baru ini ia terbiasa dengan kerasnya Jakarta dan jauh dari orangtua (walau dulu ketika ia masih MI belum pindah ke Jakarta sudah jauh dari orang tua). Ia merasakan pahitnya yang sama aku rasakan. Walau terkadang ia memang menyebalkan, memanggilku dengan sebutan namaku saja, tanpa embel-embel ‘MAS’. Tapi tidak masalah…
Bisa dibilang, kantin sekolah biasa kami berdagang di pagi hari, menjadi rumah tetap kami. Hanya sebuah kantin yang bertiplek dan beberapa kios berjajar di dalamnya. Namun, di kios milik kami, kami mempunyai lemari yang isinya adalah baju-baju kami, bukan peralatan dagang.

Aku dan Adikku nomor empat


Hal ini sudah dimaklumi para pemilik kios. Mereka paham, kami kekurangan.
Yang lebih mencecik kami adalah, si Lintah Darat. Aku sungguh muak dengannya. Kerenanya, kami menjadi tidak bisa mendapakan uang dari hasil dagang kami. Bayangkan, setiap hari si Lintah Darat meminta setoran kepada kami dengan wajah yang garang. Mau tidak mau kami harus bayar.
Suatu waktu, aku merasakan kesengsaraan yang amat dalam. Tapi aku yakin, di setiap kejadian pasti ada pelajaran. Tugas manusia adalah mencari hikmahnya dari Tuhan. Begitu.
Terkena ulat bulu yang gatalnya mengalahkan kulit terkena bara api, makan hanya dengan saus dan krupuk, baju-baju dikencingin kucing, kena tai kecoa, jalan kaki yang amat jauh… semua kami alami.
Iya, sekali lagi, aku ingin bersudah mengeluhkan ini semua. Biarkan yang kualami ini menjadi kenangan pahit untuk ditaruh di meja belajar. Dengan itu, aku bisa menjadi manusia yang terlatih, yang pengalaman, dan kebal mengeluh. Pantang mundur menghadapi masalah.
***
MALAYSIA, 2015
Benar. Semua sudah berlalu. Sekarang aku menjadi TKI di Malaysia, menjadi supervisior atau staf pimpinan. Kerjaku ringan, dan gaji lumayan. Di sini aku mendapati teman yang sudah seperti saudaraku sendiri. Ketika senggang aku bisa ke mushola, saban hari aku ikut pengajian. Ya, sudah seperti di pesantren saja…
Sebuah keuntungan besar bagiku karena tidak merokok. Ketika medikal untuk menjadi TKI, aku dengan mulus lolos lalu segera diterbangkan ke Malaysia. Aku kerja kontrak di sini, kalau habis ya pulang kembali.
Oh iya, adikku yang nomor tiga juga menjadi TKW di Malaysia. Setelah lulus dari sekolahnya dan sempat menjadi guru TK, akhirnya ia memutuskan menjadi TKW. Ia bekerja di perusahaan emas, kerjanya ringan. Dan kami berdua, yang bekerja di luar negeri, sering mengirim uang ke kampung. Kadang pula aku sendiri mengirim uang ke adikku yang nomor empat, kasihan dia, jauh dari orang tua dan harus mandiri.
Cita-cita terbesarku yang jelas adalah membahagiakan orang-tua. Sebagai anak pertama, aku mempunyai tanggung-jawab yang lebih daripada adik-adikku. Mungkin selama ini aku gagal menjadi Kakak yang baik. Atau apalah itu. Tapi sebenarnya, dalam hati paling dalam, aku mempunyai keinginan untuk membahagiakan orang-orang di sekitarku. Terlebih lagi keluargaku yang meliputi Ibu, Bapak, Adik, dan saudara-saudaraku…
Seseorang bisa saja goyah dalam menuju impiannya. Tapi aku akan mencoba selalu berpegang taguh pada agamaku. Dengan itu aku bisa lebih hidup. Karena ketika aku merasa jauh dari-Nya, semua seakan jauh, iya, semuanya jauh. Akan tetapi ketika aku mencoba mendekatin-Nya, semua seakan dimudahkan.***
1 Widung: Anggapan orang-orang di kampung bahwa orang widung adalah orang yang tidak becus dalam bekerja.
2 Kudune dewek kie kerja, Yat, udu dagang: Seharusnya kita ini kerja, Yat. Bukan berdagang.

Barat Jakarta

Akhir Mei
Aku dan adikku yang nomor dua



Aku di Malaysia 

Ketika lebaran di Kampungku. Dua dari kanan itu sepupuku dan sisanya adalah adikku. Ya kurang satu, dia namanya IIN IFAYATUN AMANI.


End~
Afsokhi Abdulloh

Nb: Cerita ini adalah nyata yang dialami oleh Syamsul Hidayat (Aku). Ditulis oleh Adiknya yang nomor empat itu.

Comments
1 Comments

1 komentar:

terharu membacanya, cerita ini bisa menjadi motivasi untuk orang lain ^^

Reply

Posting Komentar