Matahari kian menjadi sepuh. Cahaya rapuhnya yang berwarna
kuning tua, kini bertengker di antara gedung-gedung kota. Dari atas sini, kami
bisa melihat setidaknya senja yang tenggelam, cahayanya yang magis, awan putih
berarakan, layangan yang terbang—putus dari benang.
“Kasihan yah layangan itu.” Aku mulai perbincangkan tema yang
berganti, tentang sebuah analogi layangan dan, mencoba memancing perempuan di
sampingku untuk menyambar umpanku tadi.
“Iyah, kasihan, benangnya, putus. Dan masih ada…, kelihatan
tuh benangnya. Benang dan layangan putus karena mereka terlalu tinggi—“
“Dan di ketinggian, angin semakin kencang.” Aku menyela. Ia
mengangguk.
“Dan layangan yang putus tadi, kalau diketemukan oleh tangan
tertentu, maka akan ditambal lalu diterbangkan kembali.” Aku menambahkan lagi.
Ia setuju.
Seperti hubungan. Semakin tinggi dan jauh sebuah hubungan,
maka akan semakin banyak halangan atau masalah yang merintang. Seperti layangan
yang kini menghiasi langit kota—yang tinggi, mereka terbang dengan bebas. Ada yang
tinggi, ada yang rendah, ada yang dicoba diterbangkan, dan juga ada yang putus.
Hubungan selalu ada masalah. Entah itu dari mana asalnya.
Jikalau layangan dan benang tidak sinkron, maka bisa jadi layangan akan cepat
putus. Sebab, benang yang tidak kuat, dan layangan yang terlalu tak tahu diri
keadaan benangnya —layangan main terbang saja ke atas, tidak memperhatikan
benang yang menerbangkannya tipis, tidak kuat, sehingga membuatnya putus….
“Ngga difoto?” Tanya perempuan di sampingku yang melihatku
menikmati cahaya senja. Tidak jauh dari sini, kami bisa menemukan lapangan yang
dulu adalah tampat aku bermain. Bermain layangan, bola, dan bahagia bersama
teman di semasa SD.
Dulu, ketika SD, aku ditipu oleh sahabatku, Andre. Maklum,
ketika itu aku tidak bisa menerka jam dengan melihat arah matahari. Ketika itu
di lapangan yang luas, matahari senja seolah masih saja bersahaja, seperti
masih sore saja.
“Sekarang jam berapa? Aku mau pulang..,” kataku pada Andre
yang agak gemuk dan rambutnya ngambang, matanya sipit, apalagi ditambah terpaan
angin kala itu yang memaksanya menyipitkan mata.
“Akh, masih lama. Lihat dong ke langit sana…,” balasnya
sembari menunjuk langit bercahaya kuning tua dengan mengangkatkan alis matanya.
Aku percaya sahabatku. Namun, ternyata, waktu malam sebentar
lagi datang. Walhasil aku pulang malam kerena ditipu tentang penunjuk waktu di
langit oleh sahabatku yang setelah itu tertawa menang. Kemudian ia
mengantarkanku dengan sepedanya.
***
Kami, aku dan perempuan itu, sedang berada di tampat parkir
sebuah mal. Kami sehabis membeli flashdisk
untuk tugas. Lalu setelah itu, tanpa direncanakan, kami berada di sini. Aku
yang sering berkunjung ke tampat ini, belum pernah naik ke tempat parkir mal ini (tempat kami melihat senja) yang
ternyata ketika senja, lumayan indah juga.
Terkadang yang tidak direncanakan memang berkenang. Dan
selama ini, bersama perempuan itu, banyak hal yang tidak direncankan tapi
mendapatkan momen yang berkenang.
“Kalau sama aku yang nggak direncanain jadi sering kayak
gini…,” katanya ketika kami sedang dalam perjalanan pulang. Ia di belakang
tepat di boncengan motor.
Tiba-tiba, aku melihat lagi ke langit, cahaya gelap. Tapi,
ada sesuatu yang janggal. Ada dua cahaya berwarna oren yang membentuk huruf V
di barat sana. Cahaya itu menembus sampai ke atas yang entah ke mana.
“Lihat, lihat di sana…,” kutunjukan cahaya itu kepadanya.
Kemudian ia melihatnya.
“Wah, iya, huruf V…” Katanya kagum.
Aku fokus pada jalan yang sempat kehilangan arah. Namun tak
lama kemudian kuketahui jalan menuju rumahnya. Ya, tidak direncanakan, aku akan
ke rumahnya. Kebetulan juga, ingin sekalian meminjam modul pelajaran. Dan juga
mengantarnya pulang. Penghujung bulan yang berkesan…