IKUTAN HAJATAN PERNIKAHAN ALA MADURA

Saya berdiri dekat tempat ijab kabul bersama anak-anak kecil yang juga penasaran ingin melihat. Seperti halnya hajatan pada umumnya, acara dihelat dengan tenda di depan rumah. Ramai pengunjung pula. Dari wajah-wajah mereka, khas etnis Madura.
Acara pernikahan ini dihelat dengan adat Madura. Saya datang dan awalnya ke kediaman si laki-laki terlebih dahulu. Di sana saya menemukan hal baru. Bahwasanya, kalau adat Madura, pengunjung yang laki-laki berada di luar dan perempuan di dalam.


Padahal waktu itu saya mau masuk ke dalam dengan membawa bingkisan hadiah untuk ‘sepasang yang bahagia’ milik Mbu yang dititipkan kepada anaknya, Fitria. Bingkisan itu lumayan berat. Jadi saya yang membawa. Ternyata, seharusnya saya tidak boleh masuk, kudu perempuan yang bawa dan masuk ke dalam. Begitu.
“Sini, sini aku yang bawa. Liat, yang bawa cewek semua,” kata Fitria menjelaskan.
Saya baru sadar. Ternyata pengunjung laki-laki berada di luar semua, dan yang bawa bingkisan perempuan semua. Wah, begitu, saya tidak tahu…
Setelah itu saya kembali ke parkiran yang tidak jauh dari acara hajatan. Di bawah pohon saya ditemani Ipal. Ia membeli senter beginiin.




Melihat senter itu, saya jadi ingat masa kecil saya dulu di kampung. Malam-malam waktu itu setelah mengaji, saya dan teman-teman bermain senter begituan. Yang seru, cahaya senter bisa berubah bentuk.
Kembali ke hajatan yang ramai pengunjung ini. Kebanyakan mereka adalah saudara dari laki-laki dan perempuan. Omong-omong  saya ini bukan saudara dari mereka. Saya hanya menemani Fitria yang adalah saudara mereka. Dia sendiri tidak terlalu paham akan saudaranya ini, katanya, saudara jauh…
Tidak terlalu lama dan sudah mendapatkan makanan khas Madura, rawon, kami bertolak ke kediaman si perempuan yang tidak jauh jaraknya.
Dengan berjalan kaki, kami ramai-ramai mengiringi. Ada beberapa mobil yang berisi buah-buahan, kasur, dan macam-macam deh.




Saya berjalan di samping Fitria sambil dia menjelaskan tentang adat ini. “Kalau di Madura, naiknya kuda. Kalau di sini mah nggak,” katanya.
Benaran. Banyak banget yang mengiringi, kalau di kampung saya, mungkin ini satu desa yang ikut mengiringi. Saya jadi mengkhayal, apakah nanti pernikahan saya dan ‘dia’ bakalan semeriah ini? Ea…
***
Kali ini saya memakai kacamata dan hilang ketika mencari Ipal. Ipal memang suka keluyuran, berbeda sama Alpin yang nurut. Tak apalah kacamata itu hilang, biar manjadi kenangan di sini…, di Buaran, Klender… Minggu, 24 Mei 2015.


Sempat saya merasa menjadi orang asing karena mungkin saja saya satu-satunya orang yang tak berdarah Madura. Bukannya ini yang hadir adalah semua saudara ‘sepasang yang bahagia?’ Dan keduanya adalah Madura.
Tapi tak apalah, suatu saat nanti saya juga bakal jadi orang Madura kok. #eh
Acara pernikahan ini memang berbeda dari yang pernah saya lihat dan ikuti. Dan ini adalah pertama kali saya melihat ijab kabul secara langsung dengan bahasa Arab pula. Wih… semoga saja saya bisa…. Bisa apa? -___- gajelas.
***

Menjelang siang, kami pulang. Bersama Yu Titin, Margono, Fitria, Ipal dan Alpin. Perjalan lumayan jauh. Dan melepas lelah di rumah ketika benar-benar hari menjadi siang yang amat panas…***

Tambahan:



Sekian~


Comments
1 Comments

1 komentar:

Cie cieeee yg mau jd org madura...ciee..
Temenku jg ada yg dari madura..bahkan utk cwlon pengantin wanita harus melalui beberapa ritual tertentu, slh satunya minum jamu yg kata temenq pahitnya teramat dahsyat...

Reply

Posting Komentar