Sulit untuk orang mendapatkan kesempatan kedua, tapi ketika kita mendapatkannya. Maka gunakanlah sebaik-baiknya kesempatan
itu.
Aisyah, perjalanan menuju Mangrove
Sudah kuberi tahu Furqon itu agar tidak mengecewakanku lagi,
hampir berkali-kali. Memang, cintaku padanya sudah teramat dalam, dan jikalau
segores yang bernama kecewa hinggap di hatiku, efeknya bisa luar biasa. Asal kau
tahu, aku sungguh mencintainya, dialah laki-laki masa depanku, aku yakin.
Sekarang aku
sedang membonceng motor tapat di belakangnya. Angin bersepoi dan acap kencang
mengenaiku. Bersebab itu, kupeluk saja Furqon agar aku tidak kedenginan. Kadang,
kucubit perutnya, dia memberontak,
“Sakit tahu…,”
katanya memelas.
Dialah laki-laki penyabar, menghadapi segala sifatku dengan tenang, segala urusan dia anggap mudah dan dimudahkan. Segalanya, baginya, tidak ada yang sulit. Dan begitulah prinsip hidupnya yang kutahu.
Beberapa lama
kemudian, kami sampai di suatu tempat, Mangrove. Kami sampai pada petang hari
jam 3. Ini kali pertama bagi Furqon datang ke tempat ini, dan juga bagiku sih….
Tempat yang rindang akan pohon liar yang entah apa namanya. Ada sungai di
samping kiri, di jalanan yang kecil nan panjang ini, kami berjalan terus ke
depan sambil berharap ada sesuatu yang unik untuk kupotret.
Aku sedang
tidak bersemangat. Wajah kulipat sedemikian rupa. Dan Furqon berusaha
menghiburku dengan tingkahnya yang konyol. Bagiku dia tidak pantas seperti itu.
Furqon berusaha membuatku seperti sedia kala yang ceria.
“Kamu tidak
seperti biasanya?” tanyanya ketika kami duduk istirahat.
“Iyah,”
jawabku dingin.
“Kamu Kenapa?”
pertanyaan ritoriter itu kembali terdengar.
“Tidak apa-apa…,”
jawaban kesukaanku ketika ditanya seperti itu.
Memang, Furqon
bukanlah laki-laki yang peka. Tapi anehnya dia itu baper. Kau tahu baper? Yap, bawa perasaan, dia suka bawa perasaan
ketika ada pengadaan percakapan di antara kami, dan waktu yang lainnya juga
seperti itu.
Kemarin, aku
melihat Furqon didekati oleh perempuan. Yang pasti bukan diriku jika tidak
cemburu. Jelas aku cemburu, dan rasanya, dengan itu rasa sayangku padanya
semakin tumbuh, semakin dalam. Aku tidak ingin lepas darinya, cukup aku
perempuan yang dia cinta, cukup aku!
Aku terlalu
over?
Iya, begitu
memang. Kalau aku sudah sayang dengan seseorang, ya seperti ini, kau harus
tahu.
Mengingat kemarin,
aku jadi ingat kejadian waktu itu, dengan cepatnya ia mampir ke tempurung
kepalaku. Kejadian ketika Furqon mengecewakanku dan kuberikan kesempatan padanya
agar tidak diulang kembali. Entah apa alasan Furqon ketika itu, aku tidak acuh,
yang pasti, aku sungguh kecewa karena dia masih menyimpan rasa kepada mantan
pacarnya.
Baiklah. Tunggu
sebentar. Aku ingin menarik napas dan menghembuskannya pelan.
Aku sudah lega
sekarang.
****
Furqon, Mangrove
Tidak ada yang lebih misterius di muka bumi ini selain pemikiran seorang perempuan. Perempuan, yap, makhluk yang indah itu, memang sulit untuk ditebak, sulit untuk kata-katanya dicerna dan ditangkap.
Aisyah, kini
dia di sampingku, kami sedang melepas lelah setalah tadi mengitari komplek yang
terkenal dengan Mangrove ini. Kini di depan kami ada genangan air, di depan
sepanjang kami melihat, ada banyak pohon-pohon, dan petang menjelang senja ini,
aku merasa Aisyah berubah, em…, lebih tepatnya dia tidak seperti biasanya,
begitu.
Kenapa dia?
Tidak seperti
biasanya dia cemberut, dia tidak mendominasi perjalanan kami saat ini. Dia tidak
ceria seperti biasanya, dan tidak menunjukan rasa senang bertemu denganku setelah semalam dia katakan
rindu padaku. Aisyah, Aisyah…
Setelah kutanya
kenapa, dia lalu menjawab tidak apa-apa. Entah-bertantah, dia kembali menguak
kembali kejadian kala itu, kejadian di mana aku mengecewakannya. Sebenarnya tidak
ada maksud aku ketika itu mengecewakannya, tapi, yasudahlah. Perempuan memang
lebih perasa ketimbang aku yang dingin dan sering seperti es batu.
Aisyah pandai
sekali berbicara, dia memojokanku dan aku tak bisa menjawab pertanyaannya yang
sulit, seperti sudah disiapkan di tempurung kepalanya.
“Aku lamban
dalam berpikir,” celetukku kepadanya ketika dia menunggu tanggapan dariku.
“Kalau sudah tidak bisa menjaga perasaan,
buat apa dipertahankan, mending sudahi saja.”
Begitulah kata-katanya
yang masih kuingat betul dan sepertinya sudah menjadi permanen di salah satu
sudut kepalaku. Aisyah, kata-katanya menohok pas di hatiku ketika itu. Ditambah
lagi, suaranya yang serak dan tingkahnya sedari tadi yang tidak seperti
biasanya.
Dia kenapa?
Aku bingung
dan linglung. Kubiarkan saja dia sesuka hatinya bertingkah ketika itu. Namun,
perhatiannya tetap saja ada. Entah, dengan wajahnya yang tampak judes dan sinis—
wajah yang sangat kuhindar-hindari darinya—dia tetap saja perhatian.
Ya, perempuan
memang begitu. Dan baru kali ini aku lebih sadar tentang memperhatikan tingkah
dan perasaan perempuan. Sebelumnya, benar, aku tidak sama sekali tahu apa yang
dipikirkan perempuan di balik senyumnya, di balik tangisnya, di balik judesnya,
di balik yang terlihat darinya. Semua itu misterius!
Iya, aku mulai
belajar darinya tentang perasaan….
Seperti kataku
tadi, tidak ada yang lebih misterius di muka bumi ini selain pemikiran seorang
perempuan. Dan aku harus menguak misteri itu dengan bimbingan Aisyah jika ia
sudi.***