Saya percaya pada takdir. Walau sering orang bilang kebetulan, saya anggap itu sudah direncanakan. Dan kamu membaca tulisan ini
juga sudah direncanakan oleh Yang Maha Esa.
Daun yang jatuh ke tanah, juga tak luput dari kebesaran-Nya.
Hewan yang melata sekalipun, yang basah-kering di dunia ini, sudah
direncanakan.
Termasuk hari ini, 23 Mei 2015. Saya menemukan banyak
kejadian yang, bisa dikatakan tragis.
Pertama, saya menemukan pemadam yang meraung-raung ketika saya
berada di halte busway. Dan tak lama,
terlihat awan hitam membumbung tinggi dari belakang Satasiun Kota. Di mana
gerangan kebakaran itu?
Saya tidak tahu di mana, namun saya sikilas berpikir: apa itu
di rumah Iwan? Teman SMP saya dulu, yang pernah saya kunjungi? Atau adik kelas
SMK saya yang katanya tinggal tidak jauh dari Stasiun Kota? Akh, kacau.
Saya tidak bisa menerka-nerka dengan meyakini itu benar.
Hanya saja, ada khawatir menjadi gemuruh di dada.
Tak lama, busway yang saya tunggu tiba di muka. Saya naik dan
melanjutkan perjalanan ke Bandengan Selatan.
Dari halte Bandengan
***
Kedua, hari ini saya menemukan, lebih tepatnya melihat dengan mata kepala
saya sendiri, orang kecelakaan.
Orang itu sudah berumur, mengendarai sepeda motor. Dekat
turunan jalan layang, di situ ia tergeletak.
Saya yang melihatnya, lantas kaget bukan kepalang. Saya
hentikan motor yang saya kendarai, ada Fitria membonceng.
“Kamu nggak bantuin?” Tanyanya. Sedang saya
kaku, bergetar, dan jelas ada rasa ingin membantu.
Lalu saya hampiri orang yang kecelakaan itu. Ada seorang menghampiri,
mencoba menggugahnya yang jatuh tengkurap. Tak lama, beberapa orang ramai.
Helm dibuka, darah segar terlihat. Kakinya bolong berdarah, baju yang
dikenakan ternodai darah pula, napasnya tersengal-sengal, wajahnya pucat-pasi,
matanya..., tak berkedip.
Ketika ia dipindahkan ke tepian, saya ikut membantu. Walau
awalnya memang ada rasa takut. Saya bingung apa yang harus saya lakukan. Kacau,
tidak karuan. Saya biarkan Bapak-bapak yang jelas lebih tua dari saya mengambil
andil seluruhnya.
Ada yang mengambil hp disaku orang yang kini tergeletak di
pinggir jalan penuh darah, ada yang melihatnya saja, dan ada yang mencoba
menelepon dengan memesang wajah panik.
Tiba-tiba orang mencolek saya dan berkata, “Wah, parah itu.” Ia seperti menyayangkan yang terjadi,
dan pupus jika terselematkan.
“Bawa ke rumah sakit nih...”
“Aih, udah tua.”
“Ketabrak yah?”
“Bukan, tadi nabrak turunan...”
Saya mematung melihat orang tua itu, ia masih bernapas satu-satu sambil
merintih kesakitan. Sempat mata kami bertemu, saya
tergunjang, bergetar, dan benar-benar kacau saat itu. Ya, ini kali pertama saya
melihat orang kecelakaan sekarat.
“Ayo, Mas.” Tiba-tiba Fitria
menarik tangan saya.
“Ah, iya, ayo.” Saya lalu kembali ke
motor yang tadi diparkir asal di bibir jalan. Ya, saya tinggalkan orang tua
yang kecelakaan tadi, lagi pula banyak yang bersedia membantu.
Selanjutnya saya tidak tahu nasib orang tadi. Yang pasti saya
berharap besar, semoga terselamatkan.
Jalan tadi (tempat kecelakaan) sering saya lewati. Mengerikan memang. Kita harus minimal berlari dengan
kecepatan 40km sampai 60km di jalan layang itu. Jalur yang agak sepi
sebenarnya, namun sedikit padat.
***
Ketiga, saya melewati Fatahila. Malam Minggu memang selalu akan ramai di
sini. Dan benar, saya menemukan keramaian yang amat sangat.
Dari yang berjualan, pengunjung dan beberapa perjalan kaki
yang menggandeng pasangannya. Trotoar menjadi parkiran dan lapak kaki lima,
lapangan menjadi tempat tongkrongan dan pertunjukan, lalu pojokan digunakan
untuk orang pacaran. Jalan menjadi tersendat-sendat jika kita lewati.
Komplek Fatahila adalah wisata bersejarah yang murah-meriah.
Di sini kita bisa menemukan aneka baju, celana, dan aksesoris murah. Kadang
pula ada pertunjukan-pertunjukan spektakuler di lapangan utama atau di jalanan.
Akan ada kita temukan orang bergandengan tangan, dan setengah
merangkul berjalan. Semua wajar.
Tempat wisata yang saya kira mengalami perubahan. Belum lama
dulu saya pernah bahkan sering melewati komplek Fatahila ini. Sepi, dan asri...
Kita bisa temukan seniman tato, komunitas vespa, dan warung
pinggiran.
Enak dipandang.
Namun kini, sampah menjadi pemandangan yang indah. Dan
intinya tidak nyaman lagi dikatakan wisata malam. Hanya didapat murahnya saja,
tapi tak ada kesan yang terpancar dari bangunan tua sekitar.
Entah bagaimana membuatnya berkesan, mungkin yang penting
adalah pertemuan mereka dengan kawan.
***
Nah, itulah pengalaman saya pada hari ini. Seru bukan? Ya tentu saja...
Akan ada cerita di balik harimu, dan jadikanlah pelajaran,
bahkan sejarah hidupnmu yang berkesan.***
Kebun Jeruk
23 05 2015 23.30
Tambahan: