Menyerah Saja (Tantangan Nulis #KampusFiksi #KataSebuahNapas)


Hidup ini terlalu singkat untukku. Kata dokter, tiga tahun lagi aku tidak akan hidup. Sekarang aku berumur sepuluh tahun. Aku terlahir dan tumbuh menjadi anak lelaki. Tapi, gigiku busuk, rambutku rontok, hanya beberapa helai rambut yang rela tampil di kepalaku. Bahkan pembuluh darah di bagian kelapaku tampak jelas. Jaringan di bawah kulit berkurang, bahkan menghilang sehingga kulit menjadi keriput. Kuku tak tumbuh sempurna, malah tumbuh melengkung serta rapuh. Dan aku mengalami pengeroposan pada tulang. Ditambah lagi, aku sudah seperti orang yang berumur 60 tahun.

Adakah yang sudi mendekati anak sepertiku? Dan kau bisa bayangkan bagaimana sakit hati ini ketika orang-orang mencibir dengan mulut tak berdosanya--mencibir keadaan fisik-ku.

Keadaan fisik pun mempengaruhi mental-ku. Aku tidak bisa merasakan dicintai oleh lawan jenis. Terlebih lagi menjalin hangatnya persahabatan seperti cerita yang pernah kubaca di dalam buku.

Biarpun begini, hatiku subur, bisa merasakan getaran cinta. Tapi..., apakah cinta hanya bisa dirasakan oleh orang normal saja?

Jujur. Aku telah jatuh cinta pada wanita di salah satu siaran televisi kesukaan. Saban hari aku menontonnya. Wajahanya manis, berlesung pipi dua. Suka sunyum tepat mengarahku. Dan dia sering membuatku tertawa bahagia sendiri. Aku cinta padanya. Sungguh.

***

Bunga mawar menghiasi meja tamu, tepat di tengah. Kini aku merenung sepi duduk di sofa, menunggu kepulangan Ibu seperti biasa jam 7 malam. Mata ini menatap jauh ke depan, terpentok oleh pintu rumah yang kokoh. Tiba-tiba pintu itu diketuk tiga kali. Lalu tampil Ibuku dan, Ibu cepat mendekat ke arahku.

''Kamu akan sembuh,'' kata Ibu menyakinkan yang tak kuyakin.

''Bagaimana bisa, bu?''

''Kamu akan sembuh begitu kamu mati, bukan?''

Kutelan ludah sebagai pelumas agar kata-kata bisa terlontar dari rongga leher sampai ke mulut.

''I-itu tiga tahun lagi, bu,'' sergahku.

''Memang,'' kata Ibu merintih. Kasihan aku melihatnya, terbisat kerja kerasnya untuk anaknya ini. Saban Minggu Ibu harus membawaku ke rumah sakit. Bertemu dokter dan membayar dengan uang yang dikumpulkannya. Kini uang Ibu ludes, dan mengumpulkan kembali untuk Minggu depan sampai tiga tahun lagi; sampai aku mati. Akh, hidupku tiada guna!

***

Masih di sofa yang empuk. Ibu terlihat semakin murung. Tampaknya ia mulai menurunkan tetesan air mata. Secepat kilat Ibu mempalingkan wajah ke arahku. Dan berkata,

''Apa kamu tidak bisa sembuh, yah anakku.''

''Biarkan saja kematian yang akan menyembuhkanku, bu. Bukankah hanya itu obatnya?''

Lalu Ibu mendekap erat tubuhku. Sampai aku mau roboh dibuatnya. Tidak ada obat untuk bisa menyembuhkanku? Apakah hanya kematian yang bisa menyembuhkan?

Sungguh. Pada titik seperti ini aku tak tega melihat Ibu. Aku sudah mulai nalar sebagai anak.

Ibu hanya seorang Janda. Ditinggal suaminya sebab mempunyai anak sepertiku. Aku anak satu-satunya buah pernikahan mereka.

Begitu pagi buta Ibu berangkat kerja dan pulang malam jam 7.

Oleh sebab itu, Ibu Meninggalkan aku sendiri di rumah. Tidak ada yang bisa kulakukan selain diam. Bermain di dalam dan tidak boleh keluar. Sebab, jika aku keluar, banyak yang tertakuti olehku.

Hari-hariku selalu seperti ini.

Heran. Kenapa Ibu masih saja setia mengurusku? Padahal aku anak yang tiada guna baginya.

***

Tiga tahun kemudian. Seharusnya aku sudah mati. Tapi, kenapa sampai saat ini aku masih bisa menatap bulan malam?

Dari sofa ini aku menunggu Ibu pulang. Namun waktu dan kenyataan tak segera menjawab. Tidak ada tanda-tanda Ibu akan pulang. Sampai fajar tiba, Ibu masih saja tak datang. Aku panik. Seharusnya malam jam 7 Ibu sudah pulang--seperti biasa.

Aku baru sadar. Sedari malam sampai fajar menjadi raja siang, aku belum tidur.

Kulempar tubuh ini ke sofa yang empuk dan akhirnya pulas tidur. Lalu beberapa jam kemudian, aku terbangun.

Ibu sudah datang, kini tepat di sampingku. Ibu tampak seperti biasa. Matanya berair, wajahnya keras, dan bertubuh agak gemuk. Kupanggil Ibu,

''Ibu, ke mana saja!'' seruku memelas dan tak mendapatkan jawaban. Ibu acuh terhadapku.

''Ibu, Ibu kenapa?'' kini aku menangis.

Ditambah lagi melihat tubuhku terbujur kaku di sofa tempat aku tertidur tadi. Apakah aku sudah mati?

End~

NB: PENYAKIT LANGKA YANG DIDERITA OLEH TOKOH 'AKU' ADALAH 'Progeria'. Pengidap penyakit ini akan tampak seperti orangtua karena penuaan yang 8-10 kali lebih cepat daripada biasanya. Dengan kondisi fisik, penderita progeria cenderung menjalani kehidupan sangat singkat, umumnya hanya 13 tahun. Namun, ada kasus ketika penderita masih bertahan hidup hingga 20 tahun, bahkan 40 tahun.


Afsokhi Abdullah
Kosan, 25 Januari 2015
Comments
0 Comments

Posting Komentar