Buku kecil ini aku
dapatkan gratis ketika membeli paket buku di penerbit Mojok. Walaupun kecil,
isinya begitu menggugah. Salah satu kalimat yang terus teringat di kepalaku:
Tidakkah selain kelahiran, salah satu perayaan terbesar manusia adalah
kematian?
Pada dasarnya, tulisan
ini adalah tentang bagaimana Cak Rusdi, wartawan dan penulis senior Indonesia, melawan
kanker dalam tubuhnya. Ketika orang biasa menulis dengan duduk di depan layar
laptop atau komputer, Cak Rusdi tidak. Karena dalam keadaan sakit, ia menulis
dengan handphone, bahkan mengirimkan tulisannya ke Mojok melalui pesan
whatsapp.
Saat
itu ia, dia hanya bisa mengandalkan telepon genggam untuk menulis. Tangan
kirinya memegang telepon genggam, jempol kanan dia gunakan untuk mengetik.
Walau dalam keadaan di
mana nyawa dipertaruhkan, ia tetap ingin terus menulis, menyampaikan gagasan.
Saya
belum akan mati dan mudah-mudahan bisa menebus semua kesalahan dan alpa saya
kepada Anda semua. Dan memang saya belum akan mati. Saya hanya sedang merayakan
pertemanan saya dengan kawan-kawan baru saya, yang rupanya selama ini begitu
setia menunggu untuk mejadi kawan saya: tumor-tumor itu.
Dari beberapa buku yang sudah aku baca, ini
salah satu buku yang paling bisa merasuk hati dan membuat nelangsa. Kamu akan
merasakan bagaimana seseorang bertahan dengan harapan masih bisa hidup esok
dengan keadaan seadanya. Ia berusaha sebisanya, Cak Rusdi menggunakan BPJS dan
melalui prosedur yang sangat lama. Bahkan untuk foto rontgen, ia harus menunggu
beberapa minggu.
Hingga akhirnya ia
terlambat tahu bahwa tumor di dalam tubuhnya sudah stadium akhir. Dalam proses
itu, ia bertemu dengan orang-orang yang setia membantunya. Mulai dari perawatan
rumah sakit hingga orang-orang yang menunggunya di ranjang.
Phutut Ea, ketua suku
Mojok, di Epilog buku ini dalam tajuk ‘Siapakah kita jika suatu saat Sakit
dalam waktu yang panjang?’ mengatakan bahwa coba kita pertanyakan kembali
tabungan sosial apa yang sudah kita lakukan, sehingga orang-orang akan membantu
kita ketika sakit? Mungkin, kita tak seberuntung Rusdi Mathari, yang dengan
mudahnya mendapat uluran tangan dari berbagai penjuru.
Melalui buku yang
menguras emosi ini—sebuah buku yang ditulis oleh orang yang mau meninggal memang
mempunyai ‘aroma’ yang berbeda. Kalimat demi kalimat yang kita baca seakan
adalah suara bisikan dari dimensi lain yang membuat kita berpikir ulang: bahwa
kita suatu saat juga akan mati. Suatu hal yang sering manusia lupakan.