Membaca 'Cinta Tak Pernah Mati' (Eka Kurniawan)

Mendengar nama Eka Kurniawan, di kepalaku langsung menuju ke sebuah tulisan yang vulgar, cabul,  jenaka, dan kasar. Namun hal itu kemudian menjadi runtuh ketika membaca kumpulan cerpen Cinta Tak Ada Mati pada cerpen pembuka.

 Eka mengutip ayat Alquran di awal cerpen. Pikiranku refleks: apa Eka akan menulis religi? Ditambah lagi ada cerpen yang berjudul Surau ketika kubaca daftar isi buku. Apakah aku akan menemukan ‘Eka’ yang sebelumnya aku kenal dari novel-novelnya? Atau dari buku ini aku akan menemukan sisi lain Eka?

Jawabannya adalah tidak, Eka tidak kehilangan ciri khasnya. Hanya saja aku lebih suka cerpen-cerpennya yang panjang dibanding cerpen yang pendek di buku ini. Entahlah, menurutku Eka mempunyai kodrat-nafas-cerita-yang-panjang ketimbang cerita singkat.

Mungkin ini hanya masalah selera, kamu perlu membacanya langsung untuk membuktikannya.

Cerpen favoritku adalah cerpen yang juga sebagai judul buku ini: Cinta Tak Ada Mati. Bercerita tentang pria tua yang mencintai gadis muda. Bisa dikatakan ini cinta yang aneh, begitu juga fantasi-fantasi si tua.

Pada umur tujuh puluh empat tahun, Mardio masih seorang bujangan yang sama sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Tak seorang perempuan pun di dunia pernah ditidurinya, dan semua itu hanya karena cinta sucinya kepada seorang perempuan yang tampaknya tak perrnah dilahirkan untuk menjadi milikinya. (halaman 19)

Hingga akhirnya si pria tua jatuh cinta dengan salah satu gadis dan bermaksud untuk memperistrinya. Tentu saja ia menolak dan lebih memilih pria yang lebih baik. Namun si tua tetap bersikeras terhadap pendiriannya hingga semua berakhir sia-sia belaka (sebenarnya tak sesederhana itu).



Kemudian cerpen favoritku berjudul Surau. Berkisah tentang pria yang bergelut dengan hatinya sendiri ingin salat atau tidak ketika ia terjebak di Surau ketika di luar hujan deras. Ia merasa harus salat karena segan sudah datang ke tempat itu, namun di sisi lain ia sudah lama tidak menjalankan perintah agama.

Kemudian muncul masa lalu kecilnya, di mana ia selalu disuruh ayahnya untuk rajin salat dan berdoa. Nemun menjelang dewasa, semua itu ia lupakan begitu saja.

Barangkali aku tidak sungguh-sungguh kehilangan iman. Entah dengan cara apa, aku masih percaya kepada Tuhan. Kubayakan Tuhan memandangku dari atas sana, sia-sia masa lalu ketika ayah dan guru mengaji menanamkan-Nya di kepalaku. (halaman 70) 

Cerpen-cerpen di dalam buku ini cukup berwarna, ada cerita yang berbau romantis, horor, religi, hingga pewayangan. Tidak semua cerpen di buku ini melekat di kepalaku, hanya beberapa saja. Nilai plus dari buku adalah ia mempunyai kekuatan ending yang kuat dan menggelitik.
 
Sebelumnya buku ini pernah terbit pada 2005, perbedannya ada 3 cerpen baru di edisi 2018 di antara 13 cerpen lainnya.

Secara keseluruhan aku menyukai buku ini, kendati kuakui ini bukan karya Eka terbaik yang pernah kubaca.

Comments
0 Comments

Posting Komentar