Belakangan ini sempat heboh terkait Tirto.id yang membuat kekeliruan dalam menampilkan animasi rangkuman debat cawapres. Animasi tersebut ‘dilempar’ Tirto.id ke media sosial dan mendapat kencaman dari banyak warganet kemudian Tirto.id menyatakan permintaan maafnya. Hal tersebut merupakan contoh kecil dari jurnalisme online dan ya, ia tak bisa lepas dari media sosial sebagai lingkup liputan dan khalayak-nya.
Di zaman serba digital seperti sekarang ini, pers cetak (koran) mulai ditinggalkan peminat. Dan jurnalime online (digital) semakin hari semakin menggeliat. Bahkan yang tadinya berbasis cetak mulai bermigrasi ke digital. Tentu saja hal tersebut dipengaruhi oleh teknologi yang semakin maju dan kecenderungan masyarakat kita yang lebih sering membuka gawai ketimbang koran untuk mengupdate berita.
Tapi ironisnya, attention span (rentang perhatian) khalayak saat ini lebih pendek. Riset oleh Microsoft menunjukkan rentang perhatian khalayak internet saat mengonsumsi sebuah laman daring rata-rata hanya 8 detik (2015), turun dari 12 detik pada 2000.
Hal tersebut tentu saja menuntut media online untuk membuat inovasi, berlomba-lomba membuat pembaca agar bisa berlama-lama di lamannya—hal ini juga terkait iklan yang membuat media tersebut tetap hidup.
Melalui buku yang ditulis oleh pengajar jurnalisme online di UGM (Engelbertus Wendratama) ini, kita diajak untuk melihat ‘dapur’ jurnalisme online dan bagaimana cara kerjanya. Mulai dari tata bahasa dalam penulisan berita, hingga model-model bisnis jurnalisme online.
Kita setiap hari membaca berita di internet, mayoritas yang kita baca tersebut kita lihat terlebih dahulu melalui media sosial. Melihat hal tersebut, memang media sosial dan jurnalisme tidak bisa dilepaskan. Bahkan jurnalis bisa membuat riset melalui media sosial. Media sosial sudah seperti ruang lingkup kehidupan yang lebih kompleks ketimbang dunia nyata. Dan hal itu harus dimanfaatkan jurnalis untuk mendukung liputannya. Dan tentu saja, dalam melakukan liputan tersebut ada langkah-langkahnya.
Dan kita tahu, ada banyak sekali media online yang bisa ditemui sehari-hari, mereka saling berlomba untuk mendapatkan pembaca paling banyak dan ya, ujung-ujungnya adalah mendapatkan uang dari iklan untuk operasional hari-hari mereka, walau tidak semuanya begitu.
Tapi sayangnya mereka lupa hakikat jurnalis.
Tapi sayangnya mereka lupa hakikat jurnalis.
Bahwa khalayak perlu berita yang penting dan menarik, di samping berita itu disampaikan secara cepat. Tapi kadang kita temukan media online berlomba-lomba untuk menjadi siapa yang tercepat memberitakan hingga lupa unsur-unsur jurnalistik di dalamnya. Dan yang dirugikan adalah khalayak. Karena sekecil apapun, jurnalis adalah orang pertama yang menulis untuk nantinya menjadi referensi di masa mendatang. Jika referensi tersebut keliru, maka lagi-lagi khalayak yang dirugikan. Sebab sejatinya, mata seorang jurnalis adalah mata khalayak.
Pada era daring, pengemasan liputan butuh cara-cara segar karena sebuah konten harus bersaing dengan jutaan konten lain. (…) seperti memasukkan humor dan menyusun cerita dalam narasi yang menegangkan pembaca. (Hlm. 77)
Dalam buku ini, kita akan diajak untuk memahami bagaimanajurnalisme online bekerja. Pada bab I kita akan diberi pengertian apa itu jurnalisme online. Dan pada bab II kita akan menemukan bagaimana cara menulis berita.
Pada bab II ini kita diajarkan untuk menulis secara lugas dan rangkum. Bahwa seharusnya jurnalis harus lebih hebat dalam menggunakan bahasa tulis dibanding profesi lain. Pada bab ini kita juga diajak untuk menyunting beberapa tulisan berita yang bahasanya bisa jauh lebih efesien.
Supaya bisa membuat tulisan jurnalistik yang kuat, kita juga harus memahami prinsip bahwa jurnalis adalah storyteller (pencerita) yang bertugas membuat cerita yang penting dan atau menarik. (hlm. 18)
Pada bab-bab selanjutnya kita akan diajak untuk menelaah unsur-unsur berita, bagaimana menampilkan dan melakukan liputan, prinsip dan etika jurnalisme, hingga memanfaatkan media sosial sebagai sumber berita.
Semua pembahasan itu menjadi bernas karena kita akan mendapat ‘bocoran’ perangkat yang bisa digunakan untuk membuat liputan jurnalistik. Di samping itu kita juga akan menemukan hal yang menambah pengetahuan kita terkait jurnalistik di dunia.
Seperti halnya pers cetak yang terlambat menanggapi teknologi, sekolah jurnalisme di perguruan tinggi terlambat mengikuti digitalisme informasi. (Hlm. 196)
Bahkan karena sadar akan ketertinggalan tersebut, banyak sekolah di AS sudah membuat beragam inovasi, seperti mengajarkan pemogramanan (coding), desain laman, jurnalisme data, bisnis konten multimedia, hingga kemitraaan inovatif dengan perusahaan media dan teknologi.
Terpelas dari itu semua, buku ini sangat nyaman ketika dibaca. Karena (1) bahasa yang digunakan sangat ramah dan lugas (2) lay out buku yang simpel.
Buku ini cocok untukmu yang berminat di dunia jurnalistik, juga untuk kita penikmat berita agar tidak buta-buta amat tentang dunia jurnalisme yang sangat kompleks.***