Membaca Kumcer 'Tuhan Tidak Makan Ikan' dan Karya Sastra Lucu

Aku selalu iri dengan seseorang yang bisa menyisipkan humor dalam berkomunikasi, apalagi jika ia menyisipkannya pada sebuah tulisan.

Buku kumpulan cerpen ini menurutku memiliki virus humor yang tersebar di banyak halaman. Seolah penulis tidak pernah kehabisan stok untuk membuat pembaca tertawa.

Itu juga menegaskan bahwa karya sastra juga bisa selucu ini. Walau kita tahu, sastra mempunyai 'wajah' yang serius, tapi bukan berarti ia tidak bisa lucu. Dan menurutku karya sastra yang kaya humor itu sangat langka saat ini.

Kendati demikian, ada beberapa cerpen yang serius dalam buku ini. Sebut saja cerpen yang berjudul "Istri Pengarang". Cerpen ini bercerita tentang sepasang suami-istri di mana sang suami adalah seorang penulis, hanya dengan menulis ia menghidupi keluarganya.

Hingga suatu hari sang istri cemburu dengan tokoh wanita yang ditulis oleh suaminya sendiri.

“Karena hanya denganmu aku kembali menjadi manusia biasa yang tidak direpotkan dengan kegiatan berpikir dan berasa yang kadang terasa menyiksa. Padamu aku bisa membicarakan hal remeh-temeh dan sejenak melukapan teror ide untuk dituliskan. Padamu aku seperti selalu libur sebagai penulis.”

Begitulah, bahtera keluarga mereka tetap berjalan, yang satu terus menulis untuk mendapat uang, yang lainnya hanya bisa sabar dengan honor penulis yang tidak seberapa.

Dari judulnya memang terkesan serius, tetapi buku ini tidak serius-serius amat. Ia bisa membawa kita untuk mencoba menertawakan diri sendiri, mengakui kebodohan, dan pada akhirnya ia seperti memberi kita obat hati.

Beberapa ada cerpen di buku ini memang nyeleneh, tapi itu tidak menghilangkan fokus pembaca untuk menikmati cerita demi cerita.

Mood tiap cerpen yang berubah-ubah, membuat pembaca tidak bosan untuk membalikan satu halaman ke halaman lain. Ketika kita habis membaca cerpen yang membuat gelak tawa, seketika menjadi merenung ketika kemudian bertemu cerpen selanjutnya yang serius. Seolah kita bisa melihat penulis yang menampakkan raut wajahnya ketika serius dan bercanda secara bersamaan. Absurd.



Terkadang, dalam cerpen-cerpen di buku ini kita dibuat serius di awal, namun pada akhir cerita, apa yang kita baca ternyata sia-sia belaka. Sebut saja cerpen “Perjalanan Ke Pacitan”. Bercerita tentang penyair yang diundang ke sebuah desa dan ia bertemu dengan seorang gadis.

Di awal, tokoh ‘aku’ sangat mengaggumi si gadis tersebut, namun di akhir, ia membalik itu semua dari yang terkesan cantik menjadi kekonyolan.

Yuh Kariyem mengeluhkan mata kanannya yang terasa mengganjal dan agak perih. Kuminta dia tenang. Aku membuka mata kanannya perlahan-lahan dengan kemampuan terhalus yang dimiliki jari-jariku. Dan, betapa kagetnya aku ketika melihat ada benda hitam sebesar biji semangka menempel di bola mata kananya. Ya tuhan, ternyata Yu Kariyem kelilipan tahi lalatnya sendiri.

***

Menurutku cerpen-cerpen dalam buku ini sangat khas, tokoh ‘Aku’ dan ‘Trijoko’ juga sangat khas. Berbicara tentang Trijoko, ada satu cerpen yang menarik tentang tokoh ini di cerpen berjudul ‘Riwayat Sempak”, bercerita tentang sepasang kekasih muda-mudi, di mana sang gadis sangat posesif. Sebuah cerita yang sangat dekat dengan kita.

Trijoko beberapa kali memang keluar menjadi tokoh utama di cerpen ini, dan ia tak pernah kehilangan kekhasannya: tak terduga, agak bodoh, dan memiliki pendirian.

Di luar itu semua, aku sangat suka dengan desain cover buku dan ilustrasi di dalam buku ini. Cetakan dan lay out-nya juga bagus, buku jadi enak dibaca dan tidak bikin sakit mata.

Sebagai sebuah karya sastra, bisa dibilang ini tidak terlalu berat untuk dibaca oleh orang awam sepertiku. Jika kamu pernah membayangkan Raditya Dika menulis sastra, mungkin itulah yang  akan kita temukan dalam karya Gunawan Tri Atmodjo, setidaknya menurutku.***
Comments
0 Comments

Posting Komentar