Lintah Darat Pembawa Riba

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu
mendapat keberuntungan.” (QS. Ali Imraan: 130)


Setiap mata ini menangkap pria bertegak lurus dalam berjalan, besar, berjaket hitam, pasti aku ketakutan. Sebab, pria itu pasti orang jahat. Menjilat. Memuntahkan. Lalu dijilat lagi. Dan, segalanya yang jahat ada pada pria itu.

Ia adalah lintah darat. Ih, geli aku mendengar kata itu. Hasil uang dari pekerjaannya hanya api neraka yang dimasukan ke perut lewat rongga mulut. Riba namanya. Dalam agama, orang yang menghalalkan riba akan berdosa. Busyet. Termasuk si peminjam uang, orang yang mengasihkan dan juga tak luput orang yang manyaksikan transaksi itu. Mereka semua berdosa!
*
“Rasulullah melaknat pemakan riba, orang yang
memberi makan dengan riba, juru tulis transaksi
riba, dua orang saksinya, semuanya sama saja.”Diriwayatkan oleh imam Muslim dari Jabir bin
Abdillah radhiyallahu ‘anhu
*
Aku baru tahu hal ini kemarin-kemarin saja. Setelah membaca itu, aku kontan merinding, dan tak ayal menyesali semuanya. Nyatanya, orangtuaku bekerja sama dengan si lintah darat, juga Abangku kena imbasnya.

Selama masih berkaitan dengan si lintah darat. Aku melihat orangtuaku tak lancar dalam bernapas, tak tegak dalam berjalan, dan tak semangat menjalani hari. Padahal beliau sudah sepuh. Setitik uban sudah mendominasi rambut di kepalanya. Huh. Kasian. Aku sebagai anak, kala itu tak mengerti akan hal ini. Kubiarkan saja lancar transaksi. Kubiarkan si lintah darat menyambahi.

Lintah darat sungguh amat jahat. Mereka masak mendapatkan untung berkali-kali lipat dari uang yang kami pinjam. Jelas itu tidak adil dong! Namanya juga pinjam, ya harus dibalikin sama dengan uang yang dipinjam. Kalau memang ikhlas meminjamkan, ya jangan gitu juga..., pinjam seratus ribu, kami harus menyicil sampai dua ratus ribu, pinjam satu juta, jadi dua juta, pinjam sepuluh juta jadi dua puluh juta dan, selalu seperti itu atau bahkan lebih dari itu.

Huh! Aku ingin segera melihat di akhirat kelak. Apa yang akan aku alami, orangtuaku alami, Abangku alami, dan si lintah darat itu sendiri. Atau nanti kita akan masuk neraka? Diberi makan dari pohon yang berduri tak mengenyangkan. Atau nanti kita akan diberi minuman dari timah panas? Ohhh.... Mengerikan sekali.

***

Aku pernah menegur Bapakku yang meminjam ke si lintah darat, walau aku sendiri tidak mengerti kala itu.

''Apa tidak berdosa, pak?'' tanyaku.

''Ya sebenarnya ini haram. Tapi, kalau kepepet bukannya menjadi halal? Kita ini lagi kepepet. Bayar motor, kontrakan, kios dagang, jajan sekolahmu, dan abangmu, adikmu, ibumu. Semua butuh uang..., sekarang, uang dari mana? Dunia keras. Kita boleh bersaudara, namun uang? Uang tidak bersaudara. Manusia bisa buta karena uang. Mana ada orang yang mau meminjamkan uang ke kita untuk saat ini. Kepepet. Ya maka Bapak pinjam ke lintah darat,'' kata Bapaku dengan lancar. Matanya merah, keriput kulitnya kendor, dan ototnya layu, sayup-sayup pandangan matanya membuatku nelangsa.

Ah..., begitukah? Apa semua di dunia ini dimainkan oleh uang? Hem, jadi orang yang boleh hidup di dunia ini adalah uang dan orang? Huh, busyet, dunia keras sekali!

Memang kala itu sungguh kepepet. Aku pun merasakannya. Membayar kontrakan hingga kami sempat diusir. Membayar cicilan motor hingga denda berlipat-lipat. Aarggh, sedih kalau diceritakan kembali secara detail!

***

Pernah suatu waktu, Abangku yang meminjam kepada si lintah darat, akan dibunuh. Lintah darat berwujud pria berjaket hitam, tegak, sangar, wajahnya keras, dan pandangannya tajam. Siapa orang yang tidak takut? Ah, modal badan saja si lintah darat ini, kerjanya hanya membuat dosa saja. Dosa sana, dosa sini, dan dunia manjadi penuh dosa karenanya.

***

Terkadang, kami bisa saja kabur dari kejaran si lintah darat. Lintah kan hanya bisa merayap bukan? Hahaha..., tapi, bukan itu maksudku. Lintah yang satu ini merayap amat lihai. Merayapi apa saja yang menjadi santapan dan incarannya.

Walau yang meminjam uang adalah orangtua dan abangku. Si lintah darat amat hafal denganku. Sebab, akulah yang sering melihat transaksi haram itu. Si lintah darat kadang membentak, kadang tersenyum, dan kadang pula bercanda. Ah, itu paling hanya akal busuk saja!

Sebab tak ada lagi uang untuk membayar (menyicil) maka kami mengumpat. Jangan sampai bertemu dengan si lintah darat! Namun apa boleh buat, dunia yang terdiri dari waktu ini, mempertemukanku dengan lintah darat bertubuh tegak dan berjaket hitam itu.

Aku gemetar, dan ketika ditanya mengenai orang yang meminjam uang padanya, aku hanya bisa menggeleng kepala dan anggukan jika yang ia katakan benar. Huh! Menyeramkan sekali jika sudah berurusan dengan lintah darat. Bukan hanya di dunia namun, lihat di akhirat kelak!***

Afsokhi Abdullah
Kosan, 07 Maret, 2015
Comments
0 Comments

Posting Komentar