Perempuanku. Mengertilah, aku tak pandai berbicara. Gelagatku tak luwes. Semua kaku dan beku ketika mata mengarahku. Perempuanku, aku mohon kau mengerti akan hal ini. Aku tak pandai berbicara. Tidak seperti pada film dan sinetron yang sudah disekenario. Mereka berakting dalam memerankan cinta, mereka membuatnya sedemikian rupa, sehingga kita terpukau, bagiku, itu bukan cinta, itu imitasi! Mereka tidak tulus seperti kita.
Apa kauingini aku seperti pada film dan senetron kesukaanmu? Jujur, aku tidak bisa! Cara berbicaraku lamban, tak semulus aktor. Caraku mencintaimu..., ya dengan caraku, bukan dengan cara aktor. Perempuanku, mengertilah, lihat jalan untuk kita berdua. Lihat, hai, itu jalan yang luas. Jalan yang cukup untuk kita berjalan lebih jauh! Ya, lebih jauh!
Aku ingin kausadar, dan kauingin aku sadar. Aku, hanya laki-laki bodoh pendiam tak banyak akal. Sedang kau..., kau perempuan yang suka dengan sinonimku, mungkin begitu, bukan?
Perempuanku. Aku tak ingin hubungan kita putus. Aku tak ingin keindahan menjadi buram, seburam abu-abu seragam bawah kita ketika Selasa. Atau seburam Rabu, ketika kita mengenakan serba cokelat. Aku ingin kita selalu di hari baru, yaitu hari Senin. Di hari Senin kita memakai seragam putih-putih, seputih rasa cinta dan semacamnya.
Walau, perempuanku, warna putihku terkadang ada corak hitam dan kotoran. Sedangkan engkau, aku yakin, putihmu seputih awan ketika musim kemarau datang.
Hai perempuanku. Ingat, aku tak pandai berbicara dan gelagatku tak luwes. Aku pria bodoh pendiam dan tak banyak akal.***
Afsokhi Abdullah
01 Maret 2015