Aku
tidak akan melupakan semua kejadian hari ini. Sayang untuk aku lupakan, maka
semua itu akan aku ikat dengan aksara lewat untaian jari-jemari yang kupunya.
Malam
ini, yang juga petanda hari akan menjadi hari yang lain, aku berusaha agar
'hari ini' tidak terlupakan. Kenapa demikian? Hai! Siapa orang yang akan mudah
sahaja melupakan sebuah keindahan, kenyamanan, cinta, kasih dan seribu rasa
lainnya? Aku juga manusia, mempunyai kealpaan dan suka lupa. Ya maka dari itu
aku menulis untuk mengingatnya, serta mengabadikannya dalam sebuah karya....
***
Pagi
hari, matahari penuh menyinari hari Rabu-ku. Aku berangkat sekolah dengan
mengenakan seragam Pramuka lengkap. Sampai di sekolah, ternyata benar asumsiku
semalam: lapangan digunakan untuk bazar, maka tidak bisa digunakan untuk
olahraga. Ya, pelajaran pertamaku adalah olahraga dan aku tidak membawa
bajunya. Wong aku udah tahu bahwa hari ini bakal ada bazar.
Alhasil
pelajaran pertama kosong mblong. Tidak ada guru masuk dan semua temanku asyik
dengan gadgetnya masing-masing di kelas. Seperti biasa, setiap pagi aku menulis
di buku jurnal, tiga lembar, ya harus tiga lembar. Hal ini aku dapati dari
sebuah buku yang menganjurkan agar melepaskan pikiran lebih kreatif dalam
kehidupan maka, menulis tanganlah tiga lembar setiap pagi. Kalau tidak
salah..., penulis buku yang menganjurkan hal ini adalah Julia Cameron.
***
Sedang
asyik menulis, ada yang memanggilku untuk mengahdap Pak Adi, beliau adalah
pembina Pramuka-ku.
Tak
lama.
Aku
sampai di hadapannya,
''Iya,
pak?''
''Ah...,
Sokhi. Bapak mau minta tolong. Em..., boleh berdua, temen kamu ajak satu lagi,
anak Pramuka, ajak. Siapa aja.''
''Ratna?''
''Ah...,
iya Ratna juga ngga apa-apa.''
Segera
aku menuju kelas dan memanggil Ratna yang ternyata sedang berada di depan
kelas, bersandar, dengan teman-temannya, ia sedang bermain ponsel besar yang
marauk tangan munyilnya itu.
''Na!''
panggilku.
Dia
mengangguk, artinya mungkin, ''Apa?''
''Dipanggil
Pak Adi, sekarang....''
Tanpa
menunggu lama, segera aku dan Ratna menuju keberadaan Pak Adi di ruang guru.
''Nah,''
kata Pak Adi, ''saya punya tugas untuk kalian berdua. Kan kita mau pelantikan
de ka er Tamansari nih. Ini ada beberapa data yang belum lengkap dan, data itu,
tolong, kalian ke kecamatan Tamansari, tanya di sana yah.''
Aku
dan Ratna mengangguk.
Setelah
memperjelas tugas dari Pak Adi yang perawakannya agak gendut itu..., kami
kemudian pergi ke kantor Kecamatan Tamansari, berjalan berdua. Terlebih dahulu
kami izin di meja piket. Lalu kami keluar dari gerbang sekolah.
''Tau
tempatnya, na?'' tanyaku.
Ratna
menggeleng.
''Itu
lho lagi pas mau berangkat Raida, kita ke sana dulu....''
Ratna
diam lalu senyum kecil menyungging di bibirnya yang manis itu. Aku pun ikut
tersenyum lalu berkisah,
''Terkadang
aku mengingat yang nggak penting gitu....''
''Beginilah
jadi Pramuka, harus selalu siap,'' sambungku dengan membuat kepalan di tangan
dan menhunuskan ke udara.
Ratna
masih diam dan memandang mantap ke depan sembari berjalan di sisi kiriku.
Kami
sampai di penyebrangan. Di ujung sana kami akan naik angkot lalu turun tepat di
kantor kecamatan. Ada pula mbak-mbak sendiri yang ikut serta akan menyebrang.
Dia mungkin tak sabar-an, dia menyebrang ketika arus lalu-lintas ramai.
''Wah...,
parah mbak ini, wah..., parah...,'' kataku sembari ikut menyebrang, lalu
sampailah di ujung sana.
Tak
lama kemudian, angkot bersandar tepat di muka kami setelah kurayu dengan
lambaian tangan. Kemudian kami masuk dan duduk di bagian belakang,
bersebelahan. Suasana angkot lumayan penuh tapi tetap tertib. Ratna diam dan
aku diam, hanya memandangi segala apa yang ada berlari di kaca angkot ini.
Rasanya berbeda dengan naik angkot seperti biasanya, entah apa yang membuat
beda untuk kali ini..., tapi, yang kurasakan adalah rasa nyaman dan tentram,
ah,...
***
Kami
turun di depan kantor kecamatan Taman sari. Masuk dan bertanya salah seorang
petugas,
''Ka,
kantor Tamansari di mana, yah?'' tanyaku karena banyak gedung di dalam ketika
kami melangkah masuk, bukan kantor kecamatan saja ternyata!
''Itu,
di sana. Masuk aja,'' jawab petugas tadi.
''Oh...
Makasih kak...,'' ucapku dan Ratna, bersautan.
Kami
masuk, dan sampai di satu meja dengan tulisan di atasnya,
''TAMU
HARAP LAPOR.''
Melihat
itu, aku mengarahkan kaki ke meja itu, ternyata ada seorang laki-laki yang
kutaksir dia adalah penjaga di sini,
''Ada
apa?'' tanyaya.
''Ini,
kak, kami dari Pramuka SMK11. Ingin meminta data-data ini,'' jawabku sembari
menjolorkan kertas dari Pak Adi tadi.
''Em...,
silakan ke sana. Itu yang lagi duduk.''
''Terima
kasih, kak...,'' kembali suara aku dan Ratna beradu.
Orang
yang ditunjuk oleh penjaga tadi tak jauh dari pandangan mata, beberapa langkah,
kami sampai, lalu kembali bertanya seperti tadi dan mendapat jawaban,
''Kalian
nanti ke lantai dua. Terus belok ke kanan, ada tulisan ruangan staf, pak haji
Nurhidin, bilang aja begitu.''
Lalu
kami kembali mengucap terima kasih, dan kemudian berlalu ke lantai atas.
Langkah kakiku hampir salah ingin masuk ke sebuah ruangan yang entah apa itu,
kantor sepi, dan ketika hampir masuk rangan itu, segara kubelokan lagi arah
kaki dan hampir menabrak Ratna. Ah... Hampir saja....
Kami
menaiki anak tangga, dan sampai lantai dua bertemu penjaga yang ramah, kami
menanyakan pak haji Nurhidin lalu diarahkannya masuk ke dalam. Sampai masuk ke
dalam, kami disapa oleh ibu-ibu, lalu kami bertanya lagi mengenai pak haji
Nurhidin itu, dan mendapat jawaban bahasa tangan yang mempersilakan kami menuju
meja Bapak Tua yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Pasti itu pak haji Nurhidin!
Kami
menghampiri, dan menyapa,
''Pak.''
''Iya?''
''Pak
haji Nurhidin?'' tanyaku, dan bapak tua itu mengangguk, ''kami dari pramuka,
ingin meminta data-data ini,'' lanjutku dan mempersilahkan pak haji Nurhidin
membaca kertas dari pak Adi.
''Em...,
oke. Ini, kalian lihat di sini,'' pak haji Nurhidin mengasihkan kami sehelai
kertas dan, betul, ini datanya, segera kami salin.
''Duduk
di sana aja,'' tawar pak haji. Lalu aku dan Ratna menuju yang dimaksud pak
haji. Kami duduk berdua dan menyalin data.
''Enak
yah jadi PNS,'' kataku di sela sedang
menyalin data. Terlihat memang karyawan yand bekerja di sini santai, tentram,
dan diiringi lagu-lagu jadul. Setelah beberapa lagu, ah..., terdengarlah lagu
iwan fals - kemesraan. Mendengar syair-syair itu, aku ikut menyanyi di depan
Ratna. Dan Ratna masih asyik menyalin data. Em..., biarlah. Lagu yang cocok
untuk kami....
kemesraan
ini....
Janganlah
cepat berlalu....
Kemesraan
ini....
Ingin
kukenang selalu....
Hatiku
damai....
Jiwaku
tentram di sampingmu....
Hatiku
damai....
Jiwaku
tentram bersamamu....
***
''Terima
kasih pak,'' kata kami berdua.
''Ya,
sama-sama, untuk data yang itu, nggak ada di sini, kamu ke gedung Fatahila
sana, nggak jauh dari sini,'' jelas pak Haji, menyikapi data mengenai museum
Fatahila yang tidak ada di kantor ini. Lalu aku dan Ratna pun turun tangga,
jalan menuju gedung Fatahila yang tak jauh jaraknya.
Kami
harus menyebrang lebih dahulu. Arus lalu-lintas amat ramai, sampai tak ada
celah untuk menyebrang. Terlihat di ujung sana pun ada dua ibu-ibu kesulitan
menyebrang.
''Ah...
Harus nekat ini mah...,'' kataku sembari menyebrang dengan rasa melindungi
Ratna dan ibu-ibu di sana. Sampainya di ujung, segara aku menyebrangkan ibu-ibu
itu, lalu mereka mengatakan terima kasih dengan nada yang bergetar....
Setelah
itu, kami masuk ke museum yang amat megah. Belum masuk gedungnya. Sampai di
depan gedung, kami bertemu penjaga.
''Kak,
kantor fatahila itu di mana yah?'' tanyaku, Ratna masih setia di belakangku
sedari tadi.
''Em...,
nanti kalian lewat pintu samping aja. Di sana pintu masuk ke kantornya.''
''Terima
kasih kak...''
Kami
mencari pintu samping. Tak jua berjumpa. Kerena itu, kulihat ada es selendang
mayang yang menggoda. Kudekati pedagang yang sarat akan Betawinya, dan memesan,
''Bang,
dua yah.''
Lalu
kami berdua duduk di bawah pohon, menunggu pesanan, setelah siap, kami santap
bersama sembari mengobrol. Kendaraan berlarian di belakang kami, pedagang pun
banyak berjajaran di depan sana, terhempas tanah luas yang megah dan sarat akan
sejarah. Semua itu menjadi pemandangan kami berdua.
''Nggak
Bantara de!?'' kata salah seorang pedagang kopi kepadaku, tiba-tiba.
''Udah
Bantara, bu, cuma nggak dipake aja,'' jawabku, ''ibu tau aja, Bantara?''
''Gini-gini
ibu Bantara juga...,'' katanya dengan bangga.
''Wehhh...
Keren...,'' heranku.
***
Aku
dan Ratna masih asyik dengan selendang mayang yang manis rasanya. Di samping
itu, Ratna tak lepas dari ponselnya. Dilihat dan ditaruh lagi. Terus begitu.
Setelah usai beristirahat, segera kami menuju pintu samping gedung museum yang
sudah kami ketahui begitu bertanya kepada pedagang selendang mayang tadi.
Kami
berjalan di trotoar. Melihat pintu, kami masuk. Ada penjaga di sana, dan ia
bertanya,
''Ada
apa?''
''Kami
dari Pramuka, kak, ada tugas dari pembina kami. Kami ingin ke kantor museum
ini.''
Tanpa
panjang-lebar, penjaga itu mengantar kami masuk ke dalam gedung. Mengganti
sepatu dengan sandal dan sampai di pintu depan, bertemu salah seorang pemandu
yang sudi kami wawancarai.
Namanya
kak Yosen. Awalnya kami hanya ingin bertanya mengenai ketua museum ini, namun,
tertekan keadaan, dan kadung kak Yosen yang sudah siap sedia ditanya banyak
hal. Maka, kami bertanya lumayan banyak.
Selepas
itu, kami berjalan-jalan menyusuri museum sebab kadung membeli tiket.
''Na,
belum pernah ke dalam sini yah?'' tanyaku kepada Ratna yang setia bersamaku.
''Em...,
kayaknya sudah, apa belum yah? Ya, waktu SD, sudah.''
''Hem...,
yuk masuk ke sana,'' ajakku dan kami berdua berjalan menyusuri museum dengan
suasana gembira, dibarengi juga pengunjung yang lainnya.
***
Lama
kami berputar-putar menyusuri museum. Tiba saatnya kami kembali ke sekolah.
Berjalan melewati trotoar, menyebrang jalan, melewati stasiun kota yang sarat
sejarah lalu sampai di sekolah.
Hari
ini tak pernah kulupakan. Banyak juga yang tidak kuceritakan di sini. Teramat
banyak tentang kami berdua jika dilukiskan dengan tulisan. Ratna, wanita itu,
ah..., aku sudah diambil hatinya olehnya. Biar dia rawat hatiku, biar dibawa ke
mana saja, tak keberatan aku.
Dan,
setiap melihat buku panduan museum, pasti aku tak lepas dari cerita ini. Semua
tertata rapi di batok kepala dan di dalamnya.