Kalau berbicara mengenai pelajaran, saya tidak akan lupa ketika waktu SMP. Di mana saya diajarkan matematika oleh guru saya, Pak Rizal namanya. Kala itu, sungguh, matematika adalah momok yang amat sulit nun menakutkan bagi saya dan teman-teman. Tapi, metode ajar Pak Rizal bisa menepis itu semua.
Jika pelajaran akan berlangsung, Pak Rizal menganjurkan kita untuk berdo'a menurut agama masing-masing dan, itu manjur menurut saya, membuat saya tidak tegang untuk menelan angka ketika pelajaran berlangsung.
Selain itu, Pak Rizal yang umurnya kira-kira 40 tahun dan sudah beruban itu, berujar kepada kami yang sudah rapi di meja dan bangku masing-masing,
''Ada yang tahu, dari mana ilmu dapat diserap?''
Kelas hening, aku pun menyeletuk karena tak ada yang menjawab,
''Dari rambut, Pak!'' kataku merobek hening. Gelak tawa terbit, termasuk Pak Rizal, air mukanya bersahabat, dia tidak marah dengan jawabanku tadi.
''Kalau yang nggak punya rambut gimanah?!'' tanya balik Pak Rizal kepadaku sembari mengusap rambut putihnya dan tersenyum kecil. Mungkin ia terlalu banyak berpikir jadi rambutnya mayoritas memutih, ckckckc....
Kelas hening. Pelajaran belum dimulai, mungkin akan banyak rumus dan apalah itu yang akan diajarkan oleh Pak Rizal sehingga ia bertanya seperti ini kepada kami: Ada yang tahu, dari mana ilmu dapat diserap?
***
Aku bingung, dari mana yah ilmu dapat diserap? Kalau pun ada alatnya, mungkin akan kuserap semua ilmu yang dimiliki Pak Rizal itu! Huh!
''Sekarang, kalau kita jalan dari sini (sekolah) ke rumah kita, ada yang nyasar nggak?'' tanya Pak Rizal.
Kelas menggeleng tanpa ada pita suara yang keluar.
''Mungkin kalau kita hanya satu kali pulang-balik dari sini ke rumah kita, mungkin ada yang tersesat, karena baru pertama kali!''
Lalu, apa maksudnya?
''Kalau kita pulang-balik ke rumah- ke sini empat kali, pasti nggak bakal nyasar, karena hapal betul. Kenapa begitu?'' Pak Rizal berhenti, kelas hening, lalu melanjutkan, ''karena kebiasaan. Bagi yang muslim, kita mungkin nggak usah lihat Al-Qur'an ketika baca surah Al-Fatihah? Sudah hapal betul. Karena itu, kebiasaan, setiap hari sholat, di dalam sholat itu kita selalu ulangi..., bacaan yang sama.''
Hem..., aku mulai mengerti.
''Begitu pun matematika,'' kata Pak Rizal melanjutkan setelah menelan ludah sejenak mengistirahatkan kerongkongannya, ''matematika juga butuh kebiasaan dan latihan. Matematika itu: pasti, logis. Dari dulu, satu tambah satu ya dua!''
Aku mengerti.
''Nah, jadi, kalau kalian ingin bisa matematika ya..., itu, latihanlah, biasakanlah.''
Kelas hening, hening sekali, hanya ada suara selewengan motor di luar sana.
''Oke, kita mulai pelajarannya!''
Kami pun segera membuka buku, siapkan segala indra yang dipunyai manusia untuk pelajaran matematika yang mahasulit ini. Hem..., andai semua guru bisa memotivasi seperti Pak Rizal ini, pasti aku akan suka belajar, belajar dan belajar pastinya. Thanks Pak Rizal, paradigmaku mengenai alergi dan pelajaran taik kucing yang bernama matematika sudah mulai punah sejak bertemu denganmu, aku suka matematika! Sebab dia pasti, logis, dan mengasyikan tidak seperti gebetan :3 *abaikan*
Di hari yang lain, Pak Rizal menganalogikan tentang otak dan daya tangkap. Jadi, Pak Rizal menganalogikannya dengan wadah yang akan dimasukan air. Pak Rizal menjelaskan, wadah ada yang besar dan ada yang kecil. Mulai dari bak hingga lubang botol minyak kayu putih.
Jelas wadah itu berbeda-beda kapasitas dan daya tampungnya, pun begitu pintu masuk ke wadah itu. Bak jelas besar, dan botol minyak kayu putih ya kecil.
Jadi pada kesimpulannya, setiap orang mempunyai daya tangkap yang berbeda-beda. Ada yang langsung mengerti dan juga ada yang lamban seperti memasukan air ke botol minyak kayu putih.
Semua itu harus kita sadari, masuk yang manakah kita? Bak atau botol minyak kayu putih? Sadari terlebih dulu, praktekan dengan membaca buku, setelah selesai, berapa yang kita pahami? Sedikit kah atau banyak? Kalau sedikit berarti kita masuk di botol minyak kayu putih, ya kalau banyak, berarti kita kelompok bak yang mampu menampung banyak air.
Maka dari itu, si botol minyak kayu putih, harus mengulangi membaca buku hingga dua kali atau lebih. Berbeda dengan si bak, dengan sekali baca, dia menyerap banyak dari buku yang dibacanya. Ya, begitulah. Menurutmu, kamu masuk yang mana?***
NB: Cerpen di atas adalah pengalaman penulis sendiri. Ketika penulis sekolah di SMP N 32 Jakarta Penjagalan dan kini penulis SMK kelas 11. Di sekolah itu, banyak guru yang 'keren', dan hanya bisa kita jumpai di 32 Vzgl, penggilan akrabnya.
Buktinya, pelajaran-pelajaran di SMP, masih terekam di kepala. Tidak hanya matematika, pun begitu dengan pelajaran lain: IPA ada Bu Sri Hastuti dan Pak Wiyono, Bahasa Indonesia ada Bu Endah, IPS ada Pak Harun yang gokil tapi tegas, Agama ada Pak Mas'udi, dan masih banyak lagi guru hebat dan keren yang ada di SMPN 32 Jakarta, aku pun cinta dan bangga pada mereka....
Afsokhi Abdullah
Kosan, 16 Maret 2015
2 Comments
2 komentar
Matematika beda ya sama pelajaran lainnya. Ilmunya pasti. Ngga berubah-ubah kayak sejarah, ataupun ngga ada pembaruan kayak sastra.. :D
Reply