Menghapus
Dari banyaknya peserta MOS yang berbaris di lapangan,
aku masih bisa dengan jelas melihat salah satu peserta MOS. Dia yang bisa
memusatkan seluruh perhatianku. Dari lantai dua ini, aku menikmati parasnya.
Pagi ini, semua peserta MOS berbaris di lapangan
dengan tertibnya. Semua wajah yang kutangkap jelas asing di otak.
Mentari pagi sudah bangun dan siap menjadi raja siang. Dari lantai dua ini, ada
satu yang membuat hati ini sekedar berdetak kencang. Ya, dia, entah apa yang
kurasa, tapi aura yang dipancarkannya menarik seluruh perhatianku. Aku memang
wanita yang tidak mudah suka dengan laki-laki. Tapi yang satu ini... berbeda.
Aku, masih duduk dan menonton MOS yang seru itu,
entah kenapa mata ini tak henti berfokus padanya. Aku jadi berandai “jika aku adalah anggota OSIS, pasti aku
akan mengerjainya, mendekatinya. Tapi,
aku bukan siapa-siapa, hanya murid kelas 11SMK yang tak memiliki eskul, apalagi mengikut
OSIS, huh.”
“Hoy!” kejut Pri, sahabatku.
“I-iya, ap-pa?“ jawabku terbata-bata.
“I-iya, ap-pa?“ jawabku terbata-bata.
Dia pun mengajakku masuk kelas, karena ada guru.
***
Hari kedua MOS, mejeng
di lantai dua menjadi favoritku belakangan ini. Satu peserta MOS itu sudah
membuatku tertarik. Sudah membuatku tak bisa tidur semalaman karena
memikirkannya.
Kali ini aku melihatnya bercanda gurau bersama teman
wanitanya – yang baru ia kenal. Memang, aku bukanlah siapa-siapa, tapi, ini jelas
membuatku cemburu, ya cemburu buta. Baru saja kemarin aku tertarik padanya,
baru semalam aku memikirkannya. Dengan cepatnya cemburu ini tumbuh begitu saja.
Karena itu semua, kuputuskan untuk masuk kelas saja,
belajar apa adanya. Setelah bel istirahat pertama dibunyikan, segera aku menuju
mushola sekolah, untuk sholat Duhha. Tempat wudhu untuk wanita sudah disediakan
sedemikian rupa, agar tidak ada kejadian yang tak diinginkan nantinya. Tetapi,
ketika aku mulai masuk ke tempat wudhu, terdengar pancuran air kran. Lalu, kumasuki tempat wudhu itu.
“Hey, siapa kamu!? Ini tempat wudhu wanita, tau...!”
bentakku, lalu menjambak-jambak rambutnya, yang sudah pasti dia adalah seorang
laki-laki.
“E-e-e maaf-maaf,” dia meringis kesakitan, aku tak peduli siapa orang ini.
“Maaf...,” lanjutnya, lalu ia menampakan wajahnya – kutangkap itu. “Hah? Dia orang yang membuatku setiap pagi mejeng di lantai dua? Di-diaa...,” batinku. Campur aduklah perasaan ini. Entah aku yang salah, atau dia?
“E-e-e maaf-maaf,” dia meringis kesakitan, aku tak peduli siapa orang ini.
“Maaf...,” lanjutnya, lalu ia menampakan wajahnya – kutangkap itu. “Hah? Dia orang yang membuatku setiap pagi mejeng di lantai dua? Di-diaa...,” batinku. Campur aduklah perasaan ini. Entah aku yang salah, atau dia?
Dia pun melarikan diri ketika aku membeku. Tadi aku
melihat wajahnya dengan jelas. Ah.
Segera kukumpulkan fokus yang berserakan. Lalu
kulanjutkan untuk wudhu dan sholat. Setiap hari memang aku sholat Duhha, ini
sudah rutinitasku. Pertama memang berat disuruh ibu untuk sholat Duhha. Namun,
lama kelamaan, sudah menjadi kebiasaan.
Memang, ibu dan ayahku terpandang dari
segi agama di daerah tampat aku tinggal.
Selepas sholat, kuniatkan menuju kamar mandi. Hanya
sebentar, lalu segeralah aku keluar.
“Bugh”.
“Hey, kalau jalan liat-liat...!” murkaku kepada orang yang menabrakku. Badan ini tersungkur ke lantai.
“Maaf, k-ka.” Jawabnya, lalu membantuku untuk bangkit.
“Hey, kalau jalan liat-liat...!” murkaku kepada orang yang menabrakku. Badan ini tersungkur ke lantai.
“Maaf, k-ka.” Jawabnya, lalu membantuku untuk bangkit.
Di-dia, orang itu lagi. Dalam 15 menit istirahat,
aku mempunyai masalah dengannya 2 kali?
“Siapa namamu?” tanyaku setelah tegap berdiri.
“Ini kak,” jawabnya, seraya menjulurkan nametag-nya yang terbuat dari karton.
“I-ii-Indra?” Tanyaku memastikan. Tulisanya agak jelek, tidak mudah dibaca.
“Iya kak bener, kaka sendiri siapa namanya?”
“Titi.” Jawabku ketus.
“Oh, kak Titi maaf ya sekali lagi....”
“Oke-oke, kaka maafin, tapi jangan diulangi lagi ya.”
“Sip kak,” jawabnya, lalu ia memekarkan senyumnya (ini pertama kalinya aku melihatnya senyum mengarah kepadaku) lalu ia lari meninggalkanku yang mematung, serasa semua angin di kutub utara bermuara di ujung-ujung jari kaki ini. Rasa apa ini? Ah...
“Ini kak,” jawabnya, seraya menjulurkan nametag-nya yang terbuat dari karton.
“I-ii-Indra?” Tanyaku memastikan. Tulisanya agak jelek, tidak mudah dibaca.
“Iya kak bener, kaka sendiri siapa namanya?”
“Titi.” Jawabku ketus.
“Oh, kak Titi maaf ya sekali lagi....”
“Oke-oke, kaka maafin, tapi jangan diulangi lagi ya.”
“Sip kak,” jawabnya, lalu ia memekarkan senyumnya (ini pertama kalinya aku melihatnya senyum mengarah kepadaku) lalu ia lari meninggalkanku yang mematung, serasa semua angin di kutub utara bermuara di ujung-ujung jari kaki ini. Rasa apa ini? Ah...
Bunyi bel masuk tanda istirahat telah berakhir
dikumandangkan. Buyarlah sudah lamunanku tadi. Lagi-lagi kukumpulkan fokus yang
berserakan. Setelah itu barulah aku menuju kelas. Dan sampainya di kelas.
“Pri, aku mau curhat dong,” kataku kepada Pri,
sahabatku yang rela menampung segala curhatanku selama ini. Lalu ia
menganggukan kepalanya.
Karena guru yang bersangkutan mengajar tidak hadir,
maka curhatanku kepada Pri menjadi sungai yang tak berujung. Kuharap dia tidak
bosan.
“Kalau kamu memang suka sama dia, deketin, jangan
buat perasaan kamu jadi gundah, dan nggak menentu,” kata Pri ketika kutanya,
apa yang harus kuperbuat.
“Oke, terima kasih, Pri.”
“Oke, terima kasih, Pri.”
***
Perjuangan pun dimulai, dengan mengalokasikan
seluruh kekuatan, akhirnya aku bisa mendapatkan nomor handphone-nya. Ya, dia,
Indra.
Hari yang tak kutunggu pun datang – hari terakhir MOS. Hari terakhirku untuk bisa
melihatnya dari lantai dua ini. Karena itu, tidak akan kusia-siakan hari ini.
Kupusatkan ke tampat yang biasa ia berbaris.
Tersedialah Indra yang selalu ceria. Kata orang-orang yang mengenalnya, dia
adalah tipe laki-laki yang dingin, macho, dan pintar.
Waktu terus berjalan tak terasa, dan malam pun
datang membawa gelapnya. Segara kubuka kontak (Indra) di handphone-ku, lalu
kutekan tombol ‘panggil’ dengan penuh getaran di ujung jari tangan ini.
Beberapa menit kemudian. “Tuut... tuttt... tut.. tuut..., klek.”
“Ha-halo,” suara keluar dari speker handphone-ku.
Ya, suara Indra.
“Nggak ada orang ya?” lanjutnya, karena lama menunggu jawaban, karena aku tak menyangka bisa sejauh ini mendekatinya.
“E, jangan ditutup dulu!” kataku terburu-buru.
“Ini siapa? Ada apa?”
“Em... ini kaka yang pernah ketemu kamu di sekolah, waktu istirahat pertama. Ingat?”
“Oh, kak Titi, ada apa, kak?”
“Nggak ada orang ya?” lanjutnya, karena lama menunggu jawaban, karena aku tak menyangka bisa sejauh ini mendekatinya.
“E, jangan ditutup dulu!” kataku terburu-buru.
“Ini siapa? Ada apa?”
“Em... ini kaka yang pernah ketemu kamu di sekolah, waktu istirahat pertama. Ingat?”
“Oh, kak Titi, ada apa, kak?”
Bla ~ bla~ bla~
***
Setelah lama bertutur denganya, aku bisa
menyimpulkan bahwa dia bukanlah tipe laki-laki yang dingin. Dia perhatian, dan
satu-dua kali dia bertanya kepadaku ketika bertelepon tadi.
Hari demi hari berlalu begitu saja berpacu bersama
waktu. Dan, sampailah pada titik kedekatan kita yang lebih dari
sebelum-sebelumnya. Kita menjadi lebih terbuka. Rasa sayang pun terbit di hati
ini. Ya, sayang kepadanya. Indra.
Namun ketika aku bertanya mengenai agama, ternyata,
dia, dia, tidak satu kepercayaan
denganku. Bila ayah-ibu tahu, ini bisa menjadi
masalah, ya... walau hanya sekedar berteman.
Aku dipaksa untuk memutuskan satu pilhan pada
situasi ini. Menjauhi Indra, atau ayah-ibu, akan....
Mempertimbangkan ini semua, aku memilih menjauh dari
Indra. Akan tetapi, dia berkeinginan untuk dekat denganku. Katanya, dia merasa
nyaman denganku.
Dengan penuh perhitungan, aku lebih memilih menjauh denganya. Walau berat.
Dengan penuh perhitungan, aku lebih memilih menjauh denganya. Walau berat.
Sudah, biarlah semua ini menjadi lukisan indah di
hati. Biarlah dia tersenyum dengan wanita selain aku. Walau airmata ini tidak
bisa berkompromi. Walau, airmata ini satu-dua berjatuhan di pipi.
Walau saban hari aku bertemu denganya di sekolah, di
mimpi, di pikiran ini. Tapi, biarlah waktu – yang kuyakin akan menghapus dengan cepatnya.
Menghapus. Ya, menghapus benih cinta kepadamu. Indra.
NB:
Cerpen ini adalah titipan dari teman. Dia wanita, bernama Titi.